Eva menatap ke layar ponsel yang ada di tangannya. Sedari tadi ia terus menandangi wajah pria yang baru saja ditemuinya beberapa jam lalu lewat ponselnya. Ia masih tak percaya pria itu bisa berfoto dengan wajah datar.
Eva beralih pada kamera, lalu ia mulai mengikuti pose Andra. Ia membuat wajahnya sedatar mungkin, lalu memotretnya. Ia pun tercengang dengan hasil potretannya tersebut. "Adik gue bahkan bisa bergaya lebih bagus dari itu," celetuk seorang wanita dari belakangnya.Eva langsung mematikan ponselnya dan menoleh ke sumber suara. Ia tersenyum kikuk menyadari ada orang yang melihat fotonya tersebut."Itu ... gue," gumam Eva pelan.Wanita berambut pendek sebahu itu terkekeh. "Santai saja, Va. Yuk lanjutkan pekerjaan kita."Eva tersenyum lebar lalu mengangguk. "Maaf ya, Ina. Gara-gara gue izin terlalu lama, pekerjaan kita jadi banyak."Wanita itu membentuk jarinya membentuk huruf O sambil tersenyum. Eva sangat bersyukur mempunya rekan kerja seperti Ina. Selain wanita itu sangat baik, ia juga sabar dan pengertian.Sudah lebih dari 5 tahun Eva bekerja sebagai Desainer. Sejak awal bekerja, ia memang langsung dekat dengan Ina. Walaupun terpaut usia 2 tahun, tapi mereka nampak sangat akrab.Eva meletakkan ponselnya di atas meja, ia mengambil kertas yang ada di mejanya. Lalu ia mulai memutar otaknya untuk mendapatkan desain baju yang berbeda dengan sebelumnya.Tiba-tiba ia membayangkan seperti apa baju pengantinnya nanti. Tangannya mulai menari di atas kertas, membentuk sebuah gambar yang indah. Ia menginginkan baju pengantin sederhana dengan rompi yang menutupi bahunya."Eva, lo mau nikah?"Eva langsung menutupi rancangan baju yang ada di atas kertas. Ia menggelengkan kepala dengan mata yang melebar. Namun wanita berambut panjang sepinggul itu malah menatapnya dengan penuh curiga."Ibu lo bilang, minggu depan mau ada lamaran. Jadi gue disuruh bantu-bantu," ujar wanita tersebut.Eva meringis lalu menempelkan jari telunjuk di bibirnya. "Jangan berisik, Vira."Wanita bernama Vira itu menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? Ina juga sudah tahu kok."Eva langsung menoleh ke arah Ina yang sedang fokus pada layar monitornya. Lalu Ina menoleh sambil tersenyum."Gimana calon suami lo, Va? Ganteng ga?" tanya Vira.Eva menghela napasnya, lalu ia mengambil ponsel dari atas meja. Kedua rekan kerja sekaligus sahabatnya langsung menghambur. Perlahan ia membuka galeri yang ada di ponselnya. Meski ragu, tapi ia tetap membuka foto yang dikirim oleh ayahnya.Kedua sahabatnya itu langsung melotot saat melihat foto tersebut. Lalu mereka tersenyum walau sangat terpaksa. Sedangkan Eva hanya bisa mendengus pelan melihat respon dari kedua sahabatnya tersebut."Mirip sama foto lo yang tadi," ujar Ina.Vira langsung menarik ponsel itu dari tangan Eva. "Foto yang mana?"Tangan Vira dengan lincah bergerak di atas layar ponsel tersebut. Matanya terus mencari foto yang sedang dibicarakan. Lalu nampaklah sebuah foto yang terlihat aneh. Ia langsung membuka foto itu. Seketika tawanya pecah melihat ekspresi datar milik Eva yang terlihat mirip dengan Andra."Kayaknya kalian jodoh deh," celetuk Vira.~~~Eva memicingkan kedua matanya saat baru saja keluar dari kantornya. Ia melihat seorang pria yang sepertinya tak asing. Lalu pria itu menoleh ke arahnya dengan wajah datar.Eva menghela napasnya, lalu menghampiri pria tersebut. "Kenapa kamu bisa ada di sini?""Jemput kamu," jawabnya singkat."Saya bisa pulang naik taxi," ujar Eva sambil tersenyum.Andra mengambil ponsel dari sakunya. Lalu menunjukkan sebuah pesan yang dikirim oleh ayahnya."Kamu hanya perlu menurut, saya tidak akan memaksa kamu untuk melakukan hal aneh. Cukup pulang bersama saya," ujar Andra masih dengan wajah datarnya.Eva mendecih pelan, ia tak menyangka pria itu bisa mengucapkan banyak kata. Tentu saja bisa, pria itu juga manusia normal. Hanya satu yang kurang, senyuman."Kita pulang naik apa?" tanya Eva.Andra mengangkat sebelah tangannya untuk melihat jam. "Mobil. Ayo, sudah hampir jam 7 malam."Eva mengernyitkan dahinya. "Dimana kamu memarkir mobilnya? Saya tidak—""Saya tidak punya mobil," potong Andra."Lalu apa maksudmu kita akan pulang naik mobil?" tanya Eva.Andra menoleh ke belakang, menatap jalan yang cukup padat. Tentu saja, mengingat ini hari jum'at. Jalan dipenuhi dengan kendaraan roda empat. Lalu pria itu menarik lengan Eva saat melihat taxi berwarna biru muda mulai mendekat.Eva mendengus sebal. Bukankah sama saja pulang sendiri dengan pulang bersama Andra? Ia tetap saja harus naik taxi. Ia mengira pria itu mengajaknya pulang bersama dengan naik mobil pribadi. Ia akhirnya memilih untuk pasrah saat dibawa masuk ke dalam taxi tersebut."Alamat?" tanya Andra."Jalan Kemuning 3, berhenti di depan gang aja," ujar Eva.Andra mendesis pelan lalu berkata, "Jangan, sampai depan rumah ya pak. Jalan Kemuning 3 Blok FF nomor 12."Sopir taxi itu mengangguk lalu melajukan mobil tersebut. Sementara Eva memilih diam, ia menatap jalan lewat kaca mobil. Ia masih tak percaya akan menikah dengan pria menyebalkan seperti ini. Padahal impiannya ingin menikah dengan pria seperti Bill Gates atau Mark Zuckerberg yang uangnya mengalir seperti air. Tapi ia malah harus menikah dengan guru yang gajinya berbeda jauh dengannya."Belum terlambat kalau kamu ingin menolak pernikahan ini, Eva."Eva langsung menoleh ke arah Andra yang menatapnya dengan wajah datar. Andai saja pria itu bisa sedikit lebih hangat. Paling tidak pria itu bisa menunjukkan senyumnya. Jika itu terjadi, ia tidak terlalu menyesal dengan keputusannya.Eva menundukkan kepalanya, lalu tersenyum tipis. "Saya tidak akan membatalkannya."Andra mengangkat sebelah alisnya. "Tapi ekspresi kamu seperti ingin membatalkannya."Eva mengangkat kepalanya, lalu terdiam sejenak. Ia membiarkan matanya terus menatap kedua mata Andra yang membekukannya.
"Apa kamu bisa sedikit tersenyum?"Andra mengerjapkan matanya. Perlahan ia menarik sebelah sudut bibirnya. Tapi hal itu membuat Eva terkekeh. Ia melepas sabuk pengamannya, lalu mendekati pria tersebut. Ia mengarahkan telunjuknya ke sebelah sudut bibir pria itu agar melengkung sempurna.Andra membeku di tempatnya. Kini wajah dinginnya sedikit berubah. Tapi perubahan itu cukup membuat Eva merasa terpesona. Ia langsung kembali ke tempatnya. Wajahnya terasa panas tanpa sebab."B-begitu lebih baik. Lain kali kalau mau tersenyum, pastikan—"Andra langsung menarik tubuh Eva untuk kembali ke dekatnya. Ia menatap kedua mata wanita itu lekat-lekat. Ia mendekatkan wajahnya secara perlahan. Merasa tak ada perlawanan, ia pun mendaratkan bibirnya tepat di atas bibir wanita yang baru dikenalnya tadi siang.Andra membiarkan kedua matanya tetap terbuka, ia bisa melihat Eva yang menutup matanya. Untuk pertama kali dalam sejarah, ia berani mencium wanita.Andra secara perlahan mulai melumat bibir Eva, rasanya begitu nikmat. Ia kembali melumatnya, tapi ia merasa ingin lebih. Ia pun menarik tengkuk wanita itu."Ehem!"Eva langsung mendorong tubuh Andra menjauh darinya. Setelah itu ia mengalihkan wajahnya ke kaca mobil. Ia belum siap untuk melihat wajah pria itu."Sudah sampai, Pak?" tanya Andra.Sopir itu tersenyum lalu mengangguk. "Sudah, Mas. Sekitar 5 menit yang lalu. Saya mau bilang dari tadi, tapi—""Ini uangnya Pak," potong Andra sambil menyodorkan dua lembar uang kertas.Andra langsung keluar meninggalkan Eva yang masih ada di dalam taxi tersebut. Ia memejamkan matanya, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Ia merasakan wajahnya mulai memanas.'Sabar, Ndra. Jangan khilaf!'Bersambung ...Eva memandang hasil lukisan pertamanya di atas kanvas yang ukurannya terbilang cukup besar tersebut. Ia sudah tiba di galeri sebelum matahari terbit, ia sengaja memilih tempat yang strategis agar Andra bisa melihatnya saat masuk. Walaupun membayar mahal untuk mendapat tempat itu, ia merelakan uangnya. Eva mengambil ponsel di sakunya, ia menghidupkan layar ponsel untuk melihat jam. Ternyata satu jam lagi pameran akan segera di buka. Eva segera menghubungi Robi yang belum juga datang. Selain itu, ia juga menghubungi Ina, Vira, dan Erfan yang ikut andil dalam menjalankan rencananya hari ini. Mereka sempat ragu, tapi saat melihat wajah Eva yang begitu semangat, akhirnya mereka mengalah."Gue udah di depan nih, Va!" kata Ina melalui pesan suara.Eva mendekatkan ponsel ke bibirnya. "Gue keluar ya. Jangan ke mana-mana."Setelah itu Eva langsung berlari keluar dari galeri. Benar saja, sosok Ina sudah ada di luar tengah menyandar di mobilnya. Ia melambaikan sebelah tanga
Setelah perbincangannya dengan Eva, kini Robi merasa pikirannya sudah lebih ringan dari sebelumnya. Ia bisa tertawa lepas, bukan lagi tertawa yang seolah ditahan. Robi mengulurkan sebelah tangannya pada Eva."Mari kita berteman sekarang, Kak," kata Robi.Eva mengernyitkan dahinya, walau begitu ia tetap membalas uluran tangan tersebut. "Kak?"Robi mengangguk cepat. "Aku jauh lebih muda dari kamu loh.""Serius?" tanya Eva dengan terkejut.Robi mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lebarnya. Eva tidak bisa lagi menahan senyumnya. Untuk pertama kalinya ada yang memanggilnya dengan sebutan seperti ini. Robi melirik jam yang melingkar di tangannya. Ternyata sudah lebih dari tiga jam ia berada di sana. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu."Kak, apa kamu sudah benar-benar melupakan Kak Andra?" tanya Robi."Saya—""Aku, Kak. Jangan pakai saya," kata Robi lagi. "Jangan terlalu formal."Eva tertawa, sebenarnya ia tidak pernah
"Gila aja lo, Ndra!"Andra hanya tertawa, ia menatap lurus ke arah Fadil. Ia sama sekali tidak memberitahukan Fadil kalau ia menghapus ceritanya karena ingin menghilang dari Eva. Ia merasa benar-benar sangat kecil saat mengetahui seberapa tidak berguna dirinya. Bahkan papanya sampai mengadopsi anak agar ada yang bisa meneruskan usahanya. Andra merebahkan tubuhnya di kasur, tidak peduli dengan Fadil yang melotot ke arahnya."Itu kan satu-satunya karya lo yang lagi booming," kata Fadil sambil mengacak rambutnya. Ia terlihat sangat frustasi.Andra hanya menjawabnya dengan dehaman pelan. Seandainya ia tidak datang kemarin, apa hidupnya akan tetap tenang seperti sebelumnya? Ia akan tetap seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Andra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berharap kalau semua yang ia rasakan selama ini hanya mimpi. Sangat berat rasanya setiap mengingat apa yang terjadi saat ini. Bagaimana bisa orang yang merupakan adik tirinya itu berusaha untu
Andra memandangi layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Setibanya di rumah, tubuhnya terperosok jatuh ke lantai, kedua lututnya seakan tak mampu untuk menopang tubuhnya. Andra memejamkan kedua matanya, kepalanya menyandar di tembok. Lagi-lagi kilasan tentang pertemuannya dengan papanya itu memasuki ingatannya. Ia meletakkan ponselnya di lantai, kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. Seolah ia ingin menyingkirkan isi kepalanya yang berkaitan dengan papanya dan Robi.Flashback on."Kamu dengar papa kan, Ndra?" tanya Bambang.Andra tidak mampu mengeluarkan jawaban apa pun selain tertawa. Ia sendiri tidak tahu apa yang ditertawakannya saat ini. Apakah ia tertawa karena Robi yang selama ini berusaha merebut Eva adalah adik tirinya? Atau karena ia baru tahu kalau papanya itu menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diandalkan?Andra menoleh ke arah Robi, pria itu masih menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa menyalahkan Robi, karena setiap anak yang tin
Andra tiba di depan kantor papanya setelah menempuh perjalanan lebih dari 40 menit. Perjalanannya ke kantor papanya itu memang tidak terlalu jauh, tapi kalau naik angkutan umum, tentu saja akan memakan waktu lama, terutama karena akses jalannya yang terbilang ramai. Ia mempercepat langkahnya, mencoba untuk mempersingkat waktu sebelum sesuatu yang besar itu dimulai. Bertepatan saat dirinya tiba di pintu utama, lift langsung tertutup. Andra mendecak pelan, mau tidak mau ia harus lewat tangga darurat agar tidak terlalu lama menunggu lift.Andra berlari, seolah ia sudah menghafal tinggi setiap anak tangga. Satu per satu lantai berhasil ia lewati. Kini ia sudah berada di lantai lima, tersisa lima lantai lagi untuk tiba di ruangan papanya. Cukup melelahkan hingga membuatnya harus berhenti sejenak untuk memulihkan staminanya.Tiga menit rasanya sudah cukup untuk membuat tenaganya pulih kembali. Ia segera melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga yang entah berapa ratus jumla
Robi semakin curiga saat melihat bab yang baru dikirim oleh penulis cerita berjudul Kupu-Kupu tersebut. Ia tersenyum miring, saat membaca kedatangan seorang tokoh baru bernama Roni. Mungkinkah itu dirinya? Jika dilihat dari profesinya yang merupakan pemilik restoran terkenal, itu pasti dirinya. Robi membaca bagian terbaru dari cerita itu dengan cermat tanpa melewatkan satu kata pun. Ia sempat kesal saat digambarkan sebagai karakter yang seolah merebut istri orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, kekuasaan digenggam penuh oleh penulisnya. Ia bisa saja berkomentar, tapi itu tidak akan menghentikan penulis membuatnya menjadi karakter yang jahat."Andra atau Eva ya?" tanyanya pada diri sendiri.Robi melanjutkan kegiatannya. Untung saja saat ini tidak ada keluhan di restoran pusat atau pun cabang. Jadi ia bisa beristirahat di ruangannya dengan nyaman. Ia mengernyitkan dahinya saat tiba-tiba membaca bagian yang terasa tidak asing.Tokoh wanita itu mengalami hilang ingat