Sean Blackwood tidak pernah menyangka akan membawa pulang wanita yang ditemuinya secara tidak sengaja. Wanita yang mencuri perhatiannya sejak pertama mereka bertemu di rumah sakit. Ketidaksengajaan yang kedua di klub seolah menjadi petunjuk bahwa ada campur tangan takdir dalam pertemuan mereka.
Ciuman panas yang memabukkan dan sentuhan hangat yang menggairahkan, membuat Sean tidak pernah menyesal telah membawa wanita itu pulang. Desahan demi desahan menggema, memercikkan gairah yang kian membara.
Sean mendorong Elena ke dinding, menahan tangan wanita itu di atas kepala. Matanya berkabut, memandang wajah cantik yang tampak menawan dan erotis dalam waktu bersamaan. Dia tahu Elena sedang mabuk, tapi dia tidak peduli. Elena telah membangkitkan monster di dalam dirinya, sehingga wanita itu harus bertanggung jawab.
“Kau yakin ingin melakukan ini?” Sean berbisik sambil menciumi leher wanita itu.
“Kumohon, bercintalah denganku!” Elena mengangguk, benar-benar putus asa oleh gairah yang membuncah.
“Begitu kita mulai, aku tidak akan berhenti sekalipun kau memohon padaku.”
“Maka jangan berhenti.”
Sudut bibir Sean terangkat. Sebuah smirk penuh kemenangan terukir indah di sana.
“Jangan pernah menyesali keputusanmu, Sweet Pie,” bisik Sean sebelum mencumbu Elena dengan lebih gila.
Celah bibir Elena meloloskan desahan panjang ketika Sean mencium lehernya, meninggalkan bekas kemerahan. Sean menyentuh setiap jengkal tubuhnya dengan sensual, membuka satu persatu kancing kemejanya dengan tidak sabar. Insting Elena pun bekerja, melakukan hal yang sama dengan Sean.
Pria itu menarik wajahnya, saat semua kancing telah terlepas. Matanya terpaku pada keindahan di balik bra hitam di depan wajahnya.
“Ukuran yang sempurna.” Smirk di bibir Sean menyiratkan sebuah kepuasan.
“Kau mau mencobanya?” Elena menggigit bibir, menggoyangkan dadanya.
“Jangan lakukan itu?” Mata Sean tak bisa lepas dari bibir wanita itu.
“Lakukan apa?”
“Menggigit bibirmu.”
“Kenapa? Kau suka?”
“Jangan menantangku, Sweet Pea.”
Tanpa aba-aba, Sean mencium bibir itu dengan liar. Deru napas saling bersahutan. Elena dan Sean berciuman seolah mereka sangat kehausan. Sean mengangkat bokong Elena, membuat wanita itu refleks melingkarkan kaki di pinggangnya. Sambil berciuman, Sean membawa Elena ke ranjang. Dia lempar wanita itu ke ranjang, lalu merangkak di atasnya.
Bibir Elena terlalu menggoda untuk dilewatkan. Sean seolah tak pernah puas untuk terus menciumnya. Bagian depan tubuh Elena yang terbuka membuat Sean lebih leluasa menikmatinya. Ciumannya di setiap inchi tubuh Elena membuat wanita itu melayang. Pria itu sangat ahli melakukannya, membuat Elena semakin mabuk kepayang.
“Engghh…” Desahan keras menyela ciuman itu ketika Elena merasakan jemari Sean menyelinap di balik roknya, menuju area pribadinya. Gerakan Sean begitu lihai saat dia menarik celana dalam Elena. Sentuhan hangatnya membelai kulit paha Elena, semakin naik, dan naik lagi.
“Oh, please…” Elena tidak dapat menahannya.
“Please…” Elena semakin gila oleh sensasi yang dirasakannya.
“Kau menyukainya?” Sean menjeda ciumannya, menggoda titik sensitif wanita itu.
“Yes. Please….”
“Katakan lebih keras.”
“Oh, shit! Aku menginginkanmu, Tuan.”
“Kau mau lebih?” Sean semakin gila mempermainkan hasrat Elena.
Sementara Elena hanya mengangguk dengan putus asa, merasakan kenikmatan dari setiap sentuhan Sean.
Wanita itu tiba-tiba mendesah keras ketika jari Sean membelai area pribadinya, dan sedikit menekannya.
“Basah sekali di bawah sini,” ujar Sean, mengejek.
Elena berjuang mati-matian melawan ledakan hasrat di dalam dirinya. Itu adalah pertama kali bagi Elena saat seorang pria menyentuh area pribadinya. Dan rasanya sungguh gila.
Tiga tahun berpacaran dengan Josh, Elena bahkan tidak pernah membiarkan pria itu menyentuhnya. Mereka hanya berciuman dan bercumbu ringan—alasan Josh berselingkuh dengan Bianca. Namun, Elena yang berusaha keras menjaga kesuciannya, kini justru menyerahkan tubuhnya pada pria asing. Meskipun dia melakukannya dalam pengaruh minuman keras, tetap tidak mengubah kenyataan bahwa tubuhnya telah dinikmati pria yang tidak seharusnya.
Perlahan, Sean mengarahkan ciumannya ke perut Elena, terus ke bawah sampai ke paha dalam wanita itu. Dia buka kaki Elena lebar-lebar. Matanya terpaku pada pemandangan yang membuatnya menelan ludah.
“Sangat indah.” Dia berbisik dengan suara parau, matanya menatap penuh nafsu.
“Oh, shit!” Elena menjambak rambut Sean, dadanya membusung, dan matanya terpejam.
Sean tidak hanya menggoda Elena dengan jarinya, tetapi juga dengan lidahnya. Elena pun menjerit ketika kenikmatan itu mencapai puncaknya.
“Ini gila. Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya.” Elena merasakan tubuhnya lemas, tulang-tulangnya lunglai seperti jeli.
Namun, Sean tidak memberinya kesempatan untuk beristirahat. Pria itu merangkak naik, membelai wajah Elena yang berkeringat.
“Jadi ini pertama kalinya, hm?” Sean memandangi keindahan di bawahnya.
Elena mengangguk, masih berusaha mengatur napas.
“Bersiaplah! Aku akan membawamu pada kenikmatan di level selanjutnya.” Sean mengangkat badannya sambil menyeringai. Dia membuka sabuk, lalu menanggalkan celananya.
Mata Elena membelalak melihat kejantanan 9 Inch milik Sean yang tegak sempurna, besar, dan panjang.
“Itu… terlalu besar.” Elena menyuarakan isi pikirannya tanpa canggung.
“Rileks! Aku akan membuatmu terbiasa dengan ini. Percayalah padaku!” Sean membungkuk, memosisikan kejantanannya di tempat yang seharusnya.
Ini adalah pertama kalinya bagi Elena. Sean tidak akan meninggalkan trauma, tetapi kenikmatan yang tak terlupakan. Dia akan memberi pengalaman pertama yang luar biasa untuk Elena.
Sean mendorong kejantanannya menembus keperawanan Elena dengan perlahan, dan seketika jeritan terdengar. Sean berhenti sejenak, saat baru setengah kejantanannya yang masuk, memberi waktu pada Elena untuk beradaptasi dengan miliknya.
“Aku akan melakukannya dengan lembut.” Sean berjanji sambil membelai rambut Elena. “Aku hanya perlu kau untuk percaya padaku,” imbuhnya seraya membenamkan seluruh kejantanannya.
Jeritan kembali terdengar, tapi Sean tidak bisa berhenti lagi kali ini. Dia mulai menggerakan pinggulnya, mulai dari ritme pelan, hingga akhirnya dia tidak bisa lagi menahan monster di dalam dirinya untuk mengambil alih.
Itu adalah malam panas yang panjang. Sean merasakan kepuasan yang tak pernah dia temukan saat bercinta dengan wanita lainnya. Dia sangat menyukai Elena dan semua bagian tubuhnya. Wanita itu terasa luar biasa, hingga Sean merasa tidak akan pernah cukup hanya dengan sekali bercinta dengannya.
Malam begitu tenang. Sean turun dari ranjang, meninggalkan Elena yang terlelap karena kelelahan. Dia pungut celana yang teronggok di lantai, dan mengenakannya. Kemudian, dia raih ponsel dari atas nakas untuk menguhubungi asistennya.
“Kau sudah mendapatkannya?” tanya Sean seraya berjalan menuju jendela, melihat pemandangan kota yang berhias lampu-lampu.
“Lengkap, Tuan,” jawab asisten Sean.
Senyum puas melengkung di sudut bibir Sean. “Bagus, Jake. Lakukan seperti yang aku perintahkan tadi,” ujarnya.
“Baik, Tuan,” balas Jake.
Sean menutup sambungan telepon lantas membalik badan. Tatapan elangnya mengarah pada Elena yang meringkuk di atas ranjang, telanjang, sungguh tubuh yang sangat indah. Sean seperti terkena sihir, hingga membuat matanya tak dapat berpaling. Sean menginginkan wanita itu. Dia menginginkan Elena di ranjangnya setiap malam.
“Kau akan mendapatkan yang kau inginkan, Sweet Pea” ucap Sean, seraya mengayunkan kaki ke arah ranjang.
Seperti tidak ada masalah yang terjadi. Setelah pertemuan pagi itu, sikap Sean tampak biasa saja. Tidak ada lagi pembahasan tentang identitas Roxy. Sean tampak seperti tidak lagi peduli siapa ayah biologis Roxy. Namun, Elena tidak bisa menganggap masalah ini selesai begitu saja. Dia tetap waspada, sebab dia tahu Sean dapat melakukan apa saja yang mungkin tidak pernah dia duga.“Eric?” Elena sedikit terkejut melihat Eric keluar dari ruang kerja Sean.“Hei, aku pikir kau sedang tidak di kantor.” Eric menghampiri Elena yang berada beberapa meter saja darinya. “Paman Sean mengatakan kau sedang ada pekerjaan di luar.”“Ya, aku baru saja kembali.” Sekilas Elena menengok ke pintu ruangan Sean, lalu kembali fokus pada Eric. “Apa yang kau lakukan di sini?”Raut wajah Eric berubah muram. Hal itu terbaca oleh Elena, dan wanita tersebut langsung bertanya, “Apa ada masalah? Katakan, Eric! Apa yang terjadi?”“Aku harus pergi ke Lisbon.” Eric mengangkat berkas di tangannya. Pria itu menarik sudut bi
Tubuh Elena membeku. Matanya membola, seiring dengan irama jantung yang menggila. Kaki yang melangkah penuh semangat itu seolah mendadak lumpuh. Duduk di salah satu kursi, seorang pria yang Elena harap tidak akan pernah bertemu dengan putrinya, sedang berbincang dengan sang kekasih. Percakapan yang tampak ringan itu harus terhenti tatkala Elena dan Roxy muncul dalam ruangan. Dua pasang mata di sana langsung bergulir pada ibu dan anak tersebut.“Sean?” Elena bergumam dengan bibir yang bergetar. Suaranya lirih, hingga hanya dia sendiri yang mendengar.“Abby, Roxy!” sapa Eric dengan senyum sehangat mentari pagi. “Kita kedatangan tamu istimewa pagi ini.”Eric sama sekali tidak tahu ketegangan seperti apa yang Elena rasakan. Pria itu mengira kedatangan Sean adalah sebuah keistimewaan, sebagai isyarat bahwa hubungannya dengan Elena telah mendapatkan restu.Sebagai tindakan defensif, Elena menarik tangan mungil Roxy, dan membawa gadis kecil itu ke belakang tubuhnya. Matanya menatap Sean deng
“Katakan sekali lagi!” Mata Sean menatap Elena lebih dingin. Suara dalamnya terasa menusuk.Dengan berani, Elena mengangkat dagu, membalas tatapan Sean sama tajam. “Aku akan membayar semua yang telah kau berikan padaku dan ibuku. Kau hanya perlu mengatakan berapa banyak yang telah kau habiskan.”Bola mata Sean begerak tenang, memindai wajah cantik yang sedang menatapnya penuh keberanian. Keberanian itu menjadi salah satu daya tarik yang memikat sekaligus menantang harga diri, meski ego memaksanya untuk menekan perasaan tersebut. Amarah sempat tergambar jelas dalam sorot mata Sean, namun dalam sekejap berubah menjadi tatapan sinis yang intimidatif. Sean tidak akan membiarkan perasaan melankolis mengalahkan sisi iblis di dalam dirinya.“Jadi sekarang kau ingin menyombongkan diri dengan uangmu yang tidak seberapa itu?” ujar Sean.“Tidak ada yang namanya menyombongkan diri. Aku hanya muak kau selalu menggunakan alasan yang sama untuk mengintimidasiku, mengontrolku, dan bertindak semena-me
Elena merinding. Ini bukan tentang apa yang pernah terjadi antara dirinya dan Sean, melainkan apa yang dia hadapi selama di Lisbon mendampingi pria tersebut. Secara personal, Sean adalah bajingan tampan yang selalu berusaha mengendalikan hidup Elena. Namun, sosok yang Elena lihat selama beberapa hari terakhir di Lisbon bagaikan jelmaan Hades yang sedang menunjukkan seperti apa neraka yang sebenarnya.Cara Sean menyelesaikan masalah di perusahaan membuat Elena merasa seperti sedang menghadapi persidangan dengan hakim yang sangat kejam, yang siap menebas kepala siapa saja yang bersalah.“Jika dalam dua hari masih tidak ada progres, jalankan plan B!” Sean menutup berkas, kemudian beranjak dari balik meja, melenggang menuju pintu sembari mengancingkan jasnya.“Baik, Tuan.” Jake mengangguk, melangkah mengikuti bosnya.Elena gegas mengikuti mereka, tak ingin tertinggal dan membuat raja neraka di depan sana semakin murka.“Apa plan B yang dia maksud?” bisik Elena pada Jake.Langkah kaki Jake
“Mau ke mana kau?” Pria itu membuka mata saat merasakan sebuah gerakan yang Elena lakukan.Elena merotasi bola mata, jengah. “Ini sudah pagi. Aku akan pergi mandi dan bersiap untuk bekerja hari ini,” sergahnya, meski masih terlalu pagi untuk dirinya bersiap-siap.Wanita itu beranjak dari sofa bed, tetapi Sean menarik tubuhnya kembali. Tak ayal, Elena limbung dan kembali jatuh dalam pelukan Sean. Bahkan kali ini dengan posisi intim yang canggung. Elena berada di atas tubuh Sean.“Apa yang kau lakukan?” murka Elena. Dia hendak melepaskan diri dari Sean, tetapi pria itu menahannya dengan kuat.“Kau hanya akan pergi jika aku memintamu,” tegas Sean.Elena merasa terancam. Di ruangan itu hanya ada dirinya dan Sean. Tidak ada yang dapat dia mintai tolong, sekalipun itu Jake yang entah ada di mana sekarang.“Lepaskan aku!” desis Elena.Sudut bibir Sean terangkat, menampakkan seringai licik.“Aku akan melepaskanmu setelah kau memberiku ciuman pagi,” ujar Sean.“Tidak akan pernah!” Dengan tegas
“Baiklah.” Elena melemaskan bahu. “Aku akan memesan kamar terpisah.”Jika tidak bisa pulang ke apartemen, setidaknya dia bisa memesan kamar yang terpisah.Sean menatap wanita itu dengan tegas. “Siapa yang mengizinkamu memesan kamar terpisah?”Sikap dominan Sean membuat Elena memutar mata jengah. “Aku tahu aku adalah asistenmu, tapi tidak berarti aku harus 24 jam selalu bersamamu. Aku juga memiliki privasi.”“Tidak ada negosiasi, Nona Winter!” Sean berbicara dengan tegas, lalu berjalan pergi meninggalkan Elena.Wanita itu mengepalkan kedua tangan, lalu mengentakkan kakinya. Dia menggerutu, menganggap Sean semena-mena terhadap dirinya. Dalam situasi tertentu, Sean selalu memanggilnya dengan nama Winter, seolah ingin menegaskan bahwa sebagai siapa pun, Elena akan tetap berada di bawah kendalinya.“Jangan menyalak di hadapan singa yang sedang kelaparan,” bisik Jake.“Dia bukan singa kelaparan tetapi iblis jahanam,” sahut Elena, menatap kesal pada punggung Sean. Lalu, dia menoleh pada Jake.