Rumah ini terlalu besar jika hanya ditempati oleh Mutia seorang diri. Luasnya mungkin tidak seberapa, tapi karena ada dua lantai, pasti itu menyulitkan Mutia untuk membersihkannya.Arrgh, kenapa baru terpikir sekarang, ya. Mutia melakukan semua pekerjaannya sendiri, melayaniku dengan tangannya sendiri, tidak ada asisten rumah tangga yang meringankan pekerjaannya. Pantas saja dia sering mengeluh capek. Langkahku gontai memasuki rumah yang menjadi saksi keharmonisan rumah tanggaku bersama Mutia, sebelum akhirnya aku sendirilah yang menghancurkannya karena mendua bersama Maura.Rumah ini begitu sunyi tanpa kehadiran Mutia, bahkan saat ini aku merindukan setiap kecerewetan yang dulu selalu Mutia lontarkan. Kini aku kehilangan sosoknya, jika dulu aku jenuh bahkan menjadikannya alasan pembenaran atas perselingkuhan yang kulakukan dengan Maura. Maka saat ini aku sangat merindukannya. Mungkinkah Tuhan sebenarnya sedang menghukumku karena telah mengabaikan istriku Mutia. Hingga kini aku m
Setelah memarkirkan mobil di halaman depan, aku segera masuk ke dalam rumah tempat di mana aku di besarkan. "Assalamu'alaikum. Bu, Pak." Dengan suara tertahan aku memanggil mereka. Ibu sedang duduk di sofa ruang TV."Wa'alaikumsalam. Loh, Putra. Datang sendirian, Nak? Mana istrimu Maura?" tanya ibu heran, kepalanya terus celingukan mencari keberadaan Maura."Putra sendirian, Bu." Bergegas aku menghampirinya, mencium tangannya takdzim. Duduk dilantai menggenggam tangan Ibu. Entah kenapa dadaku terasa begitu sesak, seperti ada sesuatu yang ingin aku tumpahkan dari dalam diri ini.Lama aku terdiam dalam posisiku."Nak? Ada apa? Bolehkah Ibu tau?" tanya ibu sambil memegang pundakku."Ibu ... Mutia ...." Aku tak sanggup lagi meneruskannya. Bibirku bergetar, lidah ini terasa begitu kelu, hingga akhirnya tangisku pecah dalam pangkuan ibuku."Yang sabar, ya, Nak. Mutia wanita yang kuat, dia pasti bisa melewatinya dengan baik," ucap Ibu lirih, suaranya bergetar hampir menangis. Aku mendongak
Tak terasa, sebulan sudah aku menjalani kehidupan pernikahan dengan dua istri. Selama itu pula aku tinggal secara bergantian, seminggu dengan Maura seminggu dengan Mutia. Terus saja seperti itu. Lama-lama aku berasa jadi piala bergilir, tapi aku tetap menikmatinya. Minggu ini adalah jatah bersama Mutia. Yang aku suka darinya, aku selalu dilayani dengan baik. Segala kebutuhanku disiapkannya. Seperti pagi ini, sebelum aku berangkat bekerja sarapan sudah terhidang dengan rapih di atas meja. Hal yang tidak bisa di lakukan oleh Maura selama menjadi istriku. Namun, Maura juga punya kelebihan yang tidak dimiliki Mutia. Dia pandai memu askanku di atas ranjang."Mutia, kamu jangan terlalu banyak beraktifitas. Aku gak mau kamu sampai kelelahan." Aku mendekati Mutia yang sedang sibuk membersihkan peralatan bekas memasak."Hanya ini yang bisa kulakukan Mas, anggap saja ini sebagai baktiku pada seorang suami di sisa-sisa hidupku," ucapnya santai. Aku tidak suka saat Mutia membicarakan tentang kem
Sepulang dari kantor aku mendapati rumah dalam keadaan gelap gulita. Kutinggalkan Maura yang masih berada di dalam mobil. Aku benar-benar khawatir, takut terjadi apa-apa dengan Mutia. Aku pulang terlambat karena harus menemani Maura belanja keperluannya. "Mutia ...." Aku berteriak sambil melangkah memasuki rumah, mendapati pintunya dalam keadaan tidak terkunci, membuatku semakin panik dan tidak karuan. Itu artinya Mutia ada di rumah, tapi kenapa semua lampu rumah ini belum ada yang menyala.Kaki ini melangkah dengan setengah berlari menuju saklar lampu ruang tamu, saat ini ruangan sudah terang, tapi belum terlihat juga tanda-tanda keberadaan Mutia."Mutia ...." Aku kembali memanggilnya, tetap tak ada jawaban.Semakin kupercepat langkah kaki untuk memasuki kamar kami berdua. Ternyata Mutia juga tak ada di sana. "Arrgh ...." Aku berteriak, mengacak rambutku frustasi. "Mutia, kamu di mana." Aku meracau sendiri."Mas, kenapa panik banget, sih. Mungkin Kak Mutia sedang ke rumah saudaran
POV MutiaTak ada hal lain yang paling kutunggu selain kedatangan Mas Putra setelah selama seminggu dia bersama Maura.Aku selalu melakukan yang terbaik setiap kali Mas Putra bersamaku. Menyiapkan makanan terbaik, segala kebutuhannya selalu kupenuhi. Berusaha melayaninya semampuku, aku melakukan itu semata-mata untuk menutupi kekuranganku sebagai seorang istri yang tidak bisa memenuhi kebutuhan biologisnya.Ya, aku sudah tidak sanggup lagi melakukannya. Rasanya begitu menyakitkan. Itu juga alasanku memintanya untuk tidak menyentuhku selama dua bulan sejak pernikahannya dengan Maura. Aku yakin, hidupku tidak akan selama itu. Penyakit kanker ovarium yang aku derita menggerogoti organ tubuhku dengan liar. Terakhir aku cek up, Aldiansyah bilang kangkerku sudah memasuki stadium empat, bukankah mustahil untuk aku bisa sembuh kembali. Aku memilih bertahan, demi bakti terakhirku pada sang suami, demi menjaga marwahku sebagai seorang wanita. Karena aku sudah tidak punya siapa pun lagi. Aku ju
POV Mutia"Ayah ... Bunda ... Mutia datang." Aku bersimpuh diantara tanah merah yang menjadi tempat peristirahatan terakhir mereka. Mengusap kedua batu nisan dihadapanku.Tidak terasa air mataku terjatuh, lolos begitu saja. Bibirku bergetar, banyak yang ingin aku ceritakan pada mereka. Namun, rasanya sangat sulit untuk mengucapkannya.Hanya beberapa bait do'a yang bisa aku panjatkan, lalu menaburkan berbagai macam jenis bunga di atas tempat peristirahatan terakhir mereka."Ayah, sesuai permintaanmu, aku tetaplah wanita yang kuat meski tanpa kalian di sisiku. Ibu, aku sudah berusaha menjdi istri yang baik untuk suamiku, sesuai dengan keinginanmu." Akhirnya tangisku benar benar pecah."Aku rindu kalian, sangat. Tapi Bunda dan Ayah tidak perlu khawatir, tidak lama lagi aku akan datang. Kita akan segera berkumpul, hanya tinggal menghitung waktu saja." Kupaksakan tersenyum, meski rasanya sulit mengukir sebuah senyuman disaat hati kita benar-benar di patahkan oleh orang yang paling kita say
Saat ini aku sudah berdiri di depan rumah Bapak dan Ibu. Aku bingung, harus masuk atau tidak. Kalau mereka bertanya kenapa aku mencari Mutia, aku harus menjawab apa, tapi kalau hanya berdiri di sini, mana aku tau Mutia ada dimana.Saat aku sibuk dengan pikiranku, tiba-tiba Ibu keluar."Loh, Putra. Ngapain malem-malem berdiri di sana? Ayo masuk. Ibu mau ke warung depan sebentar, stok kopi bapakmu sudah habis soalnya." "Ahh, iya, Bu. Aku masuk. Emmh, atau Ibu mau kuantar?" tanyaku."Tidak perlu, kamu masuk saja temani bapakmu. Warung 'kan deket, Put." Ibu terkekeh pelan. Aku hanya tersenyum canggung, pasti Ibu tau aku hanya basa basi.Di dalam rumah kulihat Bapak sedang menonton acara TV. Aku pun mendekatinya."Assalamu'alaikum, Pak." Aku mencium tangannya dengan takzim."Wa'alaikumsalam warohmatulloh, sendirian kamu, Put?" tanya Bapak. Dia menurunkan kacamatanya sampai batas hidung, lalu menaikannya kembali."Iya, aku sendirian, Pak." Aku memaksakan untuk sedikit tersenyum."Hhhh. Ba
Hari ini aku datang ke rumah sakit tempat Aldiansyah praktek. Syukur kalau bisa bertemu dia di sini, seandainya enggak pun yang penting bisa mendapatkan alamat rumahnya. Kulihat seorang perawat wanita lewat di depanku."Sus, apa Dokter Aldiansyah ada jadwal praktek hari ini?" tanyaku padanya."Dokter Aldiansyah praktek siang ini, Pak, jam sebelas," jawabnya lugas."Oh, iya. Saya ada keperluan dengannya, saya suami dari pasien Dokter Aldiansyah. Apa bisa saya meminta alamat rumah beliau?" Aku berbicara sesopan mungkin, agar terlihat meyakinkan."Emmh, mohon maaf, Pak. Saya tidak bisa membantu, bukan ranah saya untuk berbicara ini. Saya permisi." Suster itu berjalan melewatiku."Tunggu!" Teriakanku menghentikan langkah suster muda itu. Dia menoleh padaku."Saya mohon, Sus. Ini sangat mendesak, terkait dengan kondisi istri saya." Aku memelas.Suster itu hanya tersenyum dan menggeleng, lalu melanjutkan berjalan lagi meninggalkanku.Arrgh, sial. Aku kira ini akan mudah. Sepenting apa, sih