Aku menjatuhkan bobotku di sofa ruang tamu. Lalu membalik amplop yang ada di tanganku. Aku begitu syok saat melihat tulisan yang tertera di belakang amplop yang kupegang."Mutia," ucapku lirih.********Segera saja aku membuka surat yang ada di dalamnya. Dadaku benar-benar terasa sesak. Tak sanggup membacanya lagi aku melemparkan surat itu ke atas meja. Aku meraup wajahku kasar."Mutia, kamu gegabah," lirihku pelan. "Lho, Mas. Katanya mau nunggu di mobil?" Maura bertanya lalu duduk di sampingku.Aku tidak menjawabnya, pikiranku benar-benar kacau saat ini. Kulihat Maura mengambil surat yang ada di atas meja."Apa ini, Mas?" tanya-nya lagi."Mas, pengadilan agama? Kak Mutia menggugat cerai?" Sebuah pertanyaan yang tidak perlu aku jawab. Karena jawabannya sudah jelas. Ahh, aku benar-benar gusar. "Mutia, apa yang kamu lakukan?" lirihku pelan."Bagus, dong, Mas. Itu artinya aku bakalan jadi istri satu-satunya, yes." Maura bersorak gembira dengan kabar ini. Sebuah ucapan yang seharusnya t
"Maura, kita harus segera menyusul Mutia. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus tau dimana Mutia saat ini tinggal, dan siapa gadis yang bersamanya tadi." Aku menarik paksa tangan Maura."Mas, pelan-pelan. Aku lagi hamil anak kamu, loh, ini. Kalau terjadi apa-apa gimana?" Maura terlihat kesal dengan kecerobohanku."Maaf, maaf, Sayang. Aku lupa, buru-buru soalnya, takut keburu hilang mobil yang membawa Mutia." Aku mengelus perut rata Maura. "Mas, dari pada repot-repot menyusul Kak Mutia, lebih baik kita berbagi kabar bahagia ini dengan orang tua kita, mereka pasti sangat senang, Mas." Maura merengek manja, lengannya bergelayut manja di tanganku. Aku hanya tersenyum menghadapi tingkahnya.Aku tahu Maura sedang mengulur waktu. Tentu saja, karena dia tidak akan pernah suka jika aku lebih memprioritaskan Mutia.Tanpa banyak bicara, langsung saja aku membopong tubuhnya. Dengan langkah cepat segera menuju parkiran dan masuk ke dalam mobil. "Arrgh, sial! Aku kehilangan lagi jejaknya," umpatku
"Tapi, kamu dan Maura harus pergi dari rumahku." Lanjutnya lagi, senyuman yang baru saja terukir kini harus pudar kembali.Sungguh, aku tidak mengerti sama sekali. Apa yang di maksud dengan 'harus pergi' oleh Mutia.*******"Apa maksud kamu aku harus pergi?" tanyaku memastikan. Aku menatap dalam manik indah milik Mutia."Aku rasa kamu paham, Mas," jawabnya dingin. Kenapa Mutia jadi seperti ini? Ini bukan Mutia yang aku kenal."Mutia, aku tau kamu wanita baik, istri yang selalu berbakti pada suami. Kenapa sekarang kamu tega berbicara seperti ini? Mengusir suamimu sendiri?" tanyaku heran. "Mas, tidak kah kebaikanku selama ini kamu anggap sebagai baktiku terhadap seorang suami? Aku sampai rela berbagi cinta dengan wanita lain, untuk apa? Untuk kebahagiaanmu, untuk mempertahankan rumah tangga kita. Adakah kamu sebagai suami menghargai perasaan aku sebagai istrimu?" Mutia berurai air mata. Entah sesakit apa yang dirasakannya, dia meremas jilbab di bagian da*anya. "M-Mutia ...." Ucapanku t
POV 3 (Author)Selepas kepergian Putra dan Maura, Mutia mengunci dirinya di kamar. Dia menangis sesenggukan, betapa hatinya begitu hancur saat ini. Perjuangannya untuk tetap bertahan di tengah badai yang menerpa, harus berakhir sampai di sini. Pertahanannya selama ini harus berakhir dengan sia-sia."Aku gagal, Ayah, Bunda. Aku gagal menjadi istri yang baik. Maafkan Mutia, betapa pun Mutia mencoba ikhlas dan kuat, nyatanya hati ini begitu rapuh." Mutia tersedu memeluk lututnya sendiri, wajahnya terbenam di antara kedua lengannya."Peluk Mutia, Ayah. Dekaplah aku, Bunda. Aku merindukan kalian," lirihnya. Suaranya melemah, semakin hilang dan tenggelam diantara isak tangisnya. Mutia pun kehilangan kesadarannya.Begitu berat beban yang ditanggung Mutia. Beban hati dan pikiran membuat kesehatannya semakin menurun.Dari luar, Aldiansyah dan Viona mencoba memanggil Mutia. Namun, tak ada jawaban sama sekali. Mereka begitu khawatir dengan keadaan Mutia. Mereka sangat paham dengan apa yang tengah
Setelah tiba di rumah sakit, aku segera menuju ruang ICU. Bapak, Ibu dan juga Ayah mengikutiku dari belakang.Mutiaku tengah terbaring lemah dengan banyak kabel yang terpasang di tubuhnya. Saat ini untuk bernafas pun dia sampai harus menggunakan selang oksigen.Aku hanya mampu menatapnya dari luar ruangan yang dibatasi dinding kaca."Mutia," lirihku pelan. Lalu satu isakan kecil keluar dari bibirku bersamaan dengan air mata yang jatuh tak terkendali.Tak berselang lama, Ibu pun ikut menangis saat melihat kondisi menantu kesayangannya masih dalam keadaan tak sadarkan diri."Pak ... Mutia, Pak." Ibu sesenggukan dalam dekapan Bapak."Iya, Bu. Kita do'akan yang terbaik untuk Mutia. Semoga dia cepat sadar. Dia harus tau, banyak orang yang sangat menyayanginya dan tidak ingin kehilangan dia." Bapak mengelus pelan punggung Ibu."Nak Putra, lihatlah istrimu. Dia sedang terbaring lemah karena penyakitnya. Dia yang merelakanmu untuk menikahi putriku karena ingin memberikan kebahagian untukmu dis
Waktu berjalan begitu cepat, proses mediasi sudah kami lewati. Mutia tetap dengan pendiriannya, keputusannya untuk berpisah dariku sudah bulat. Mediasi pun gagal.Hari ini adalah hari putusan sidang, karena aku tidak mempersulitnya maka proses perceraian berjalan dengan lancar. Hanya dengan waktu empat bulan, ikrar talak sudah bisa di bacakan. Jujur saja ini hal terberat yang harus aku lakukan, aku tidak menginginkan perpisahan ini. Meskipun saat ini aku memiliki Maura, dan akan segera mempunyai buah hati, tetap saja Mutia tidak akn tergantikan. Dia punya tempat tersendiri dalam hatiku.Namun, apa boleh dikata. Takdir berkata lain, Mutia memilih menyerah dengan pernikahan kami. Ini bukan salah Mutia, karena memang akulah yang memulainya. Aku yang membuat Mutia akhirnya memilih mundur dari pernikahan poligami yang sedang kami jalani ini.Aku datang bersama Ibu dan Bapak, sengaja tidak kuajak Maura. Aku takut dia membuat kegaduhan dan akan kembali menyakiti hati Mutia.Kulihat Mutia du
Kehidupanku mulai berubah setelah berpisah dengan Mutiara. Aku lebih sering merasa hampa, padahal Maura berada di sampingku. Entah apa yang terjadi pada diriku. Perasaanku terhadap Maura tidak lagi sedalam dulu saat aku dengan lantangnya menyakiti hati Mutia.Semenjak kehamilannya memasuki usia minggu ke delapan, Maura resign dari kantor. Kini hanya aku yang bekerja untuk memenuhi segala kebutuhan kami. Aku tetap berusaha semangat demi janin yang sedang dikandung Maura. Buah hati yang selama ini sangat aku nantikan. Sebenarnya aku sudah kehilangan sebagian dari semangat hidupku seiring dengan perginya Mutia dari sisiku. Jika saja bukan karena anakku, untuk pergi bekerja pun aku sudah enggan. Beberapa kali aku ditegur oleh atasanku karena performa kerjaku kian hari kian menurun. Aku lebih sering melamun dan pekerjaanku banyak yang terbengkalai karena tidak bisa selesai tepat waktu. Belum lagi penampilanku yang dianggap berantakan oleh Pak Bos.Seperti pagi ini, aku pamit untuk pergi b
POV MAURAAktifitasku setiap pagi, ya hanya duduk-duduk saja. Karena Mas Rakha selalu menyuruh Bi Jumi untuk datang ke rumah kami setiap dua hari sekali untuk beres-beres rumah. Aku sangat enggan melakukan kegiatan itu, karena hanya akan membuat jari dan kuku yang aku rawat jadi rusak. Biarkan saja, toh kalau Mas Putra risih dengan keadaan rumah yang berantakan dia akan mencari pembantu untukku. Dan perkiraanku terbukti benar, Bi Jumi lah yang selalu datang untuk membereskan rumah kami. Apalagi setelah dinyatakan hamil oleh dokter, rasanya aku hanya ingin bermalas-malasan saja. Tidur seharian di rumah tanpa melakukan apapun.Pagi ini setelah Mas Putra berangkat bekerja, seperti biasa aku duduk sambil menonton TV dan makan cemilan. Mas Putra selalu sarapan di kantor. Kalau aku gampang, tinggal pesen makanan delivery saja. Seperti hari ini, sambil menunggu bubur ayam yang sudah aku pesan datang, aku makan cemilan terlebih dahulu.Lalu sesaat kemudian terdengar suara ketukan pintu dari