Aku tak percaya dengan ucapan yang keluar dari bibir ayah.
Dia tak mau menceraikan ibu karena tak bisa melihat ibu, dan paman hidup bahagia.Apa bedanya dengan sekarang? Sekarang pun ibu, dan paman sudah sangat bahagia. Mereka sampai-sampai tak tau waktu, dan tempat bila ingin melakukan hubungan intim."Alasan itu terlalu klasik, Yah. Sandra nggak percaya. Pasti ada alasan yang lain kan? Boleh Sandra tau?"Ayah terlihat menghela nafas cukup dalam, dan menghembuskan nya perlahan.Tatapannya mengarah padaku. "Ayah malu, nak. Semua ini terjadi karena kesalahan ayah di masa lalu," ucapnya lirih.Aku tak menyahut ucapannya. Aku tau dia sudah siap untuk menjelaskan semuanya padaku.Tatapannya kembali menerawang jauh, "dulu ayah sangat mencintai Sari,ibumu. Tapi, sayangnya Sari nggak cinta sama ayah. Dia malah mencintai Tejo, adik kandung ayah sendiri. Karena kesal, dan merasa kalah saing dari Tejo. Ayah pun nekat berbuat hal hina, dan menjijikan itu padanya.Berharap dengan begitu Sari mau menikah dengan ayah. Setelah kejadian itu, Sari langsung mengandung. Dan dengan senang hati ayah memintanya pada orang tuanya untuk bertanggung jawab.Ayah begitu bahagia karena almarhum kakek, dan nenekmu langsung menerima niat baik ayah. Ayah dengan senang telah mengatur pesta pernikahan yang mewah untuk Sari. Sebagai bentuk permintaan maaf ayah karena telah merenggut mahkotanya. Tapi—" ayah menjeda ucapannya sejenak.Tangannya terangkat pelan, menyeka ujung matanya. Lagi-lagi dia membuang nafas dengan kasar.Seakan-akan berusaha melepas beban berat yang di pikulnya selama ini.Aku masih setia menunggu cerita lanjutan dari ayah.Meski hati ini sudah mulai bimbang lantaran mendengar penjelasan ayah.Tapi apapun itu. Aku tetap berada di pihak ayah."Sebulan sebelum hari pernikahan itu. Sari mengatakan satu hal yang membuat ayah makin merasa terkalahkan oleh Tejo. Sari mengaku bahwa dia pun sempat melakukan hal itu dengan Tejo. Dan dia pun setuju menikah dengan ayah. Asalkan setelah kamu lahir, ayah langsung menceraikannya.Ayah jelas nggak setuju dengan persyaratan itu. Ayah menolak tegas. Karena ayah nggak mau kamu tumbuh tanpa kasih sayang dari seorang ibu.Dan akhirnya, Sari membuat keputusan gila itu. Kalau ayah nggak menceraikan dia, maka dia akan nekat menikah lagi dengan Tejo. Tentu hal itu pun ayah tentang habis-habisan.Tapi, telinga ibumu seolah tuli. Setelah dua hari ayah menikahinya. Dia pun menikah lagi dengan Tejo, tanpa seorang keluarga pun yang tau.Ayah, ibu, serta Mbak Wati pun sama sekali nggak tau. Ayah nggak tau mereka menikah dimana, dan bagaimana caranya. Tapi yang pasti mereka pun sudah sah menjadi sepasang suami istri.Tejo membawa Sari ke rumah. Karena memang orang tuanya sudah mengusirnya dan nggak menganggapnya sebagai anak lagi.Tejo mengenalkannya sebagai istri kepada Kakek, dan nenekmu. Kakekmu yang saat itu memang sedang sakit jantung pun terkejut bukan main, dan langsung meninggal di tempat.Sedangkan nenekmu, dia nggak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, karena malu dengan gunjingan para tetangga. Nenekmu memutuskan menjual rumah di kampung, dan membawa Sari serta ayah, dan paman Tejo selaku suaminya ke desa ini.Di desa ini nggak ada satu orang pun yang tau masalah ini. Kecuali pak RT, dan pejabat desa. Karena memang dulu nenekmu yang mengurus semuanya.Ayah meminta pada nenekmu untuk membujuk Tejo agar menceraikan Sari. Tapi, tanpa ayah duga. Nenekmu justru menolak tegas. Dan nenekmu meminta agar kami hidup seperti ini sampai maut yang memisahkan.Mau nggak mau ayah menyetujui permintaan nenekmu. Karena setelah itu nenekmu langsung pergi, menyusul Kakekmu di atas sana." Ayah menutup penjelasannya dengan senyum getirnya.Aku masih diam menyimak penjelasan ayah tadi.Kalau ibu juga melakukan hal itu dengan paman Tejo. Berarti ada kemungkinan aku adalah anak paman.Tapi, paman jelas-jelas tak menganggap ku sebagai anaknya.Sedangkan ibu lebih senang jika aku adalah anaknya bersama paman.Ternyata serumit ini hidup dengan dua orang suami.Nasib sialnya justru menimpaku. Aku tak tau siapa ayah ku sekarang.Ku tatap wajah ayah yang juga tengah menatapku. "Apa ayah masih mencintai ibu?" tanyaku dengan suara pelan."Sangat. Ayah sangat mencintainya. Dia cinta pertama ayah. Karena dia, ayah banyak menolak setiap gadis yang mendekati ayah dulu," tandasnya tegas."Apa ayah juga mencintai Sandra?" tanyaku lagi.Ayah mengganggu cepat. Dia menggeser posisi duduknya mendekatiku, dan mengusap lembut puncak kepalaku yang masih tertutup dengan jilbab berwarna putih. " Tentu, nak. Ayah sangat menyayangi mu. Karena kamu, ayah bisa bertahan selama ini. Sebenarnya sudah dari lama ayah ingin menceraikan ibumu. Tapi ibumu meminta agar kamu ikut dengannya. Dia menganggap kamu adalah anaknya dengan Tejo. Tapi, melihat perlakuannya padamu. Ayah jadi nggak tega." Tatapannya terlihat sendu."Kalau begitu ayah ceraikan ibu sekarang. Sandra pasti akan ikut ayah. Sandra janji, Yah," ucap ku sungguh-sungguh.Ayah terdiam sejenak. Dia terlihat berpikir karena permintaanku barusan.Dalam hati aku berdoa semoga ayah menyetujui permintaan ku tadi.Walaupun awalnya cara ayah untuk mendapatkan ibu bisa dibilang salah. Tapi aku mendukung ayah.Ayah sudah banyak menanggung kesakitan selama ini.Mungkin sudah setimpal dengan perbuatannya di masa lampau.Sudah cukup ayah menyiksa dirinya sendiri."Sandra janji akan ikut ayah setelah perceraian nanti?" tanya ayah seolah dia meragukan kesungguhan ku.Aku mengangguk mantap. "Sandra janji!" jawabku tegas."Baik. Setelah waktu kebersamaan paman, dan ibumu selesai. Ayah akan langsung menceraikan ibumu."Aku menggeleng. "Nggak. Itu terlalu lama. Sandra mau sekarang juga kita kerumah, dan ayah langsung ucapkan talak pada ibu. Kalau perlu langsung talak tiga!" sahutku.Ayah terkekeh mendengar ucapanku. "Anak ayah sekarang sudah tau talak tiga rupanya. Tau dari mana, Hem?"Aku gugup sendiri mendengar pertanyaan yang dilempar ayah.Semenjak aku tau bahwa ibu memiliki dua orang suami.Aku langsung mencari tau masalah pernikahan di internet.Salah satunya adalah masalah perceraian. Talak tiga tentu tak akan bisa rujuk lagi.Aku takut besok atau lusa ayah berniat rujuk lagi pada ibu.Maka dari itu aku menyuruh ayah langsung memberikan talak tiga, dan harus sekarang.Aku tak mau terlalu lama, dan ayah akan berubah pikiran lagi."Ayo. Kita kerumah. Sandra mau hari ini juga ayah, dan ibu pisah." Aku berdiri, dan mengambil tas yang terletak di atas meja.Bersiap-siap menemani ayah ke rumah untuk menceraikan istrinya.Ada sedikit rasa sedih yang terselip di hati ini karena harus melihat perpecahan keluarga sendiri.Tapi ini justru lebih baik.Aku coba menghibur diri dengan melempar senyum manis pada ayah.Aku berusaha menguatkan ayah, walau aku pun sama rapuhnya seperti ayah._____Kalau suka dengan ceritanya. Jangan lupa komen, ya. Komentar kalian adalah sebuah kata penyemangat untukku 🤗☺️"Diarak keliling desa saja, pak RT!" "Iya, betul itu! Diarak saja!" "Iya!""Iya!" Terdengar suara riuh dari depan rumah. Aku, dan ayah yang baru sampai di kebun belakang rumah pun saling pandang dengan wajah terkejut."Ayo, cepat, nak!" Ayah menarik tanganku, dan melangkah cepat menuju ke halaman depan rumah. Aku terkejut melihat ibu, dan paman Tejo berada di tengah-tengah kerumunan warga dengan penampilan yang tragis. Ibu hanya memakai kain jariknya tadi pagi untuk menutupi tubuhnya. Sedangkan paman hanya memakai celana kolor saja.Sungguh pemandangan yang sangat memalukan.Rasanya aku ingin pergi dari sini, dan menyangkal bahwa dia bukan ibuku."Ada apa ini bapak-bapak, ibu-ibu? Ini istri, dan adik saya—" Ayah seakan tak sanggup berkata-kata lagi saat melihat wajah paman Tejo yang sudah babak-belur. Kondisi ibu pun sangat miris. Rambut yang berantakan dengan lelehan kuning telur di sekujur tubuhnya membuat tubuhnya menjadi berbau amis. "Istrimu itu sudah selingkuh sama adikmu
"Silahkan masuk, pak." Ayah berdiri menyambut mantan kades dengan senyum merekah. Dia mempersilahkan pak Salim, dan pak RT duduk di sofa. Pak Salim, dan ayah saling berjabat tangan. Usia mereka terlihat tak jauh berbeda. Hanya warna kulit ayah terlihat lebih gelap karena sering berjemur di bawah sinar matahari untuk mengurus kebun.Tak lama ibu, dan paman Tejo pun datang dari kamar mandi. Tapi sayang, penampilan ibu yang hanya mengenakan handuk membuat pak Salim, dan pak RT langsung membuang pandangannya. Aku, dan ayah hanya bisa menunduk diam. Karena seperti tadi, ibu sama sekali tak menghiraukan kami."Kamu masuk pake pakaian dulu, ya." Paman mendorong pelan tubuh ibu kearah kamar, dan tanpa menyapa kami. Paman langsung melangkah menuju sofa tunggal yang terletak di dekat tv. Paman terlihat cuek memangku kakinya dengan santai. "Bagaimana kabarnya mas Tejo?" Entah karena merasa tak enak hati. Pak RT pun berinisiatif mengajak paman berbincang."Seperti yang anda lihat," sahutny
"Kamu kenapa sih, mas? Kok, kaya nggak senang gitu tau aku hamil." Wajah ibu memberengut."Bukan begitu, sayang. Tapi, selama ini kan kamu selalu suntik KB. Masa bisa kebobolan, sih?" "Sebenarnya aku sudah lama nggak suntik, mas. Aku mau cepat hamil anak kamu. Biar bisa lepas dari dia," ungkap ibu seraya menunjuk ayah dengan dagunya."Astaga, matilah aku!" seru paman menepuk keningnya. " Kamu kenapa nekat Banget, sih?! Kan aku sudah bilang pake KB dulu kalau belum pisah sama Bang Dayat!" Nada bicara paman terdengar mulai meninggi. Membuat ibu langsung menunduk. "Aa-aku lakuin ini biar cepat lepas dari dia, dan kita bisa hidup berdua seperti impian kita, mas." "Tapi aku nggak tau anak itu murni anakku atau anak bang Dayat!" bentak paman. "Ini murni anak kamu, mas. Aku nggak pernah campur lagi sama dia." Ibu meraih tangan paman, namun segera di tepis dengan kasar oleh sang empunya. "Halah, omong kosong! Dulu sebelum menikah saja kamu mau dijamah sama dia. Apa lagi sekarang? Aku ngga
Sudah dua bulan sejak kepergian ibu, dan paman dari rumah ini. Sikap ayah jadi berubah murung. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di kebun belakang dengan melamun. Ibu, dan paman Tejo pun tak pernah kelihatan lagi. Mereka seolah hilang bak ditelan bumi. Padahal mereka tinggal di desa sebelah. Aku kasihan melihat ayah yang terus-terusan murung. Dirinya seolah-olah kehilangan semangat hidupnya setelah kepergian ibu.Bahkan, dirinya sudah tak pernah lagi berkunjung ke kebun. Entah bagaimana nasib padi, dan sayur-sayuran di sana. Mungkin sudah habis di makan monyet. Begitu besar pengaruh ibu dalam hidup ayah. Dulu, biarpun ibu tak memperlakukannya dengan baik. Ayah selalu semangat, dan tak pernah terlihat murung seperti ini.Ayah, dan ibu pun sudah resmi bercerai secara hukum. Sepertinya ibu, dan paman yang mengurus surat perceraian itu. Sebab, ayah tak pernah terlihat keluar dari rumah ini. "Sandra!" Terdengar suara ayah yang berteriak memanggilku dari kebun belakang. Aku
Sesuai kesepakatan beberapa hari yang lalu. Kini aku, dan ayah sedang dalam perjalanan menuju desa tempat ayah di besarkan dulu. Wajah ayah pun sudah tak terlalu suram. Setelah perbincangan kami sore itu. Keesokan harinya ayah langsung berangkat ke kebun, dan melakukan kegiatan seperti biasanya. "Ayo turun, nak. Kita sudah sampai," ucap ayah seraya mengangkat tas yang berisi pakaian, dan beberapa buah tangan untuk sang bibi. Lalu dia pun bergegas turun dari angkot. Aku pun mengikuti langkahnya dari belakang dengan hati-hati agar kepalaku tak terantuk langit-langit mobil. Setelah turun dari angkot tadi, ayah langsung menyebrang jalan menuju sebuah warung makan. "Rumah nenek dimana, Yah?" tanyaku begitu tiba di dekatnya. Warung itu tampak lengang, hanya ada beberapa orang saja yang sedang menikmati makan siang mereka. "Ada di sebelah sana. Nanti kita kesana jalan kaki saja, ya. Dekat, kok," sahut ayah seraya menunjuk ke arah depan sana. Aku mengangguk, dan ikut duduk di sampingn
POV Tejo. ___"Mas, kamar kamu masih yang waktu itu, kan?" tanya Sari antusias begitu turun dari atas motor. Kami baru saja sampai di rumah peninggalan almarhum ibu. Aku mengangguk mengiyakan, dan lanjut memarkirkan motor disamping rumah agar tak terkena hujan nanti malam. Sekarang memang lagi musim hujan. Tiap malam menjelang subuh pasti hujan akan turun. "Eh! Kamu mau kemana?" Aku sungguh terkejut melihat Sari yang hendak masuk kedalam kamar yang biasa ku tempati. Dengan cepat aku melangkah ke arahnya, dan menepis tangan yang hendak membuka pintu kamar itu sedikit kasar. "Loh, kenapa sih, mas?" Tanyanya dengan wajah heran bercampur kaget. "Kamu mau ngapain masuk kesini? Ini kamar aku. Kamar kamu yang itu." Ku tunjuk sebuah kamar yang terletak di samping ruang tamu. "Maksudnya?" tanyanya lagi. Rupanya dia belum juga mengerti apa yang aku ucapkan barusan."Kamar kamu yang di depan sana. Ini kamar aku. Udah paham?" Aku menjelaskan dengan tegas. Agar dia tak lagi bertanya. "A
POV Tejo.___Sudah dua hari Sari tinggal di rumah ini. Aku menyuruhnya berpura-pura menjadi pembantu jika Gina datang nanti.Walau awalnya dia sempat menolak, dan berteriak-teriak tak mau. Tapi, perlahan dia mulai mau mengerjakan tugas pembantu. Tentunya dengan sebuah ancaman dariku. Dia akan ku usir dari rumah ini jika tak mau menuruti perintahku. "Mas." Dia memanggilku dengan manja saat aku tengah duduk santai sambil menonton tv. Aku menoleh padanya dengan alis yang menukik tajam. "Jangan panggil aku, mas. Biasakan dirimu untuk memanggilku TUAN!" tandasku penuh penekanan.Sudah berulang-ulang ku jelaskan tapi, dirinya seolah batu yang sangat keras. Tak pernah menurut.Aku tak mau Gina tau hubungan kami. Aku malu kalau sampai Gina tau aku berbagi istri dengan abangku sendiri. "Kan si pel4k0r itu nggak ada,"ujarnya dengan nada manja. "Emm, maaf. Maksudku Gina." Dia buru-buru meralat ucapannya saat ku pelototi dengan tajam. Dia mendudukan bobotnya diatas pahaku. Aku membiarka
POV Sari. ___Aku pikir setelah meminta mas Tejo mengurus surat perceraian ku, dan mas Dayat, hubungan kami akan kembali baik.Tapi, semua tak berjalan baik. Setelah selesai mengurus surat perceraian itu, hubungan kami memang sudah cukup dekat, dan aku pun sudah mulai berani lagi bermanja padanya.Namun sayangnya, itu tak bertahan lama karena kedatangan Gina, wanita yang sudah berani merebut mas Tejo dariku. Ingin rasanya aku berteriak di hadapannya mengatakan bahwa akulah istri sah mas Tejo, dan dia hanyalah pel4k0r tak tau diri. Tapi, nyaliku tak sebesar itu. Aku hanya bisa gigit jari melihat kemesraan yang mereka suguhkan setiap hari. Sedangkan aku di perlakukan seperti pembantu di rumah ini. "Loh, mas. Kok, pembantunya masih muda banget," protes Gina saat baru pertama kali melihatku. Dia menatapku dengan pandangan tak sukanya.Aku terkekeh senang dalam hati, melihatnya iri dengan kecantikan ku."Sudahlah, sayang. Dia hanya pembantu disini. Dia nggak bisa saingi kamu," sahut