Share

Bab 9: Bayangan masa Lalu

Penulis: Zayba Almira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-01 15:44:59

Keira terbangun di tengah malam dengan tubuh basah oleh keringat dingin. Dalam mimpinya, ia terus mendengar suara tembakan dan melihat wajah pria yang hampir ia tembak di jalan tadi. Meski ia tahu itu tindakan untuk bertahan hidup, rasa bersalah terus menghantui dirinya.

Ia memeluk lutut di tempat tidur, menatap jendela kamar yang gelap. “Apa aku benar-benar berubah menjadi seseorang yang tidak aku kenal?” gumamnya pelan.

Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya.

“Keira, ini saya, Adrian,” suara Adrian terdengar dari luar.

Keira mengusap air matanya dan mencoba menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. "Masuk."

Adrian membuka pintu dan menatap Keira dengan ekspresi khawatir. "Saya mendengar sesuatu. Anda baik-baik saja?"

Keira berusaha tersenyum, tetapi gagal. "Aku hanya tidak bisa tidur. Semua yang terjadi hari ini... terlalu banyak untukku."

Adrian duduk di kursi dekat tempat tidur, menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Apa yang Anda rasakan itu normal. Anda dipaksa menghadapi situasi yang tidak pernah Anda bayangkan sebelumnya."

Keira memeluk dirinya sendiri. "Aku hampir membunuh seseorang, Adrian. Bagaimana itu bisa normal? Aku tidak pernah membayangkan diriku memegang pistol, apalagi menembakkannya."

Adrian terdiam sejenak, seperti sedang memilih kata-kata yang tepat. "Saya pernah berada di posisi Anda, Keira. Ketika pertama kali saya harus menarik pelatuk, saya juga merasa hancur. Tapi satu hal yang selalu saya pegang adalah, saya melakukannya untuk melindungi orang yang penting bagi saya."

Keira menatap Adrian, matanya penuh emosi. "Apakah aku benar-benar layak dilindungi, Adrian? Aku hanya membawa masalah untuk semua orang."

Adrian mendekat, menatapnya dengan intens. "Keira, Anda lebih dari layak. Dan bukan hanya karena Anda anak pemilik Hartono Group. Anda punya hati yang besar, keberanian yang jarang saya temui pada siapa pun. Itu sebabnya saya tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Anda."

Air mata mengalir di pipi Keira. "Terima kasih, Adrian. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku tanpa kamu di sini."

Setelah Keira tertidur, Adrian keluar dari kamarnya. Ia berjalan ke ruang tamu, tetapi langkahnya terasa berat. Ia merasakan tekanan yang semakin besar di dadanya.

Kenangan masa lalu mulai menyeruak ke permukaan—kenangan tentang misinya yang gagal bertahun-tahun lalu. Ia melihat bayangan rekan-rekannya yang gugur, wajah mereka yang dipenuhi rasa sakit. Ia mendengar suara mereka memanggil namanya, menyalahkan dirinya karena tidak bisa melindungi mereka.

Adrian meninju dinding dengan keras, mencoba mengusir bayangan itu. Namun, rasa bersalah itu tetap ada, menghantuinya seperti duri di dalam hatinya.

"Adrian?" Suara Lina memecah keheningan.

Adrian menoleh dan melihat Lina berdiri di pintu, menatapnya dengan wajah prihatin. "Apa yang terjadi?"

Adrian menghela napas, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Hanya kenangan lama yang kembali. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Lina melangkah mendekat, tatapannya tajam. "Kau tidak bisa terus menyembunyikan ini, Adrian. Aku tahu kau masih merasa bersalah atas apa yang terjadi di misi itu. Tapi ini bukan tentang mereka lagi. Ini tentang Keira. Dia butuh kamu sekarang."

Adrian mengalihkan pandangannya, rahangnya mengeras. "Aku tahu. Tapi bagaimana jika aku gagal lagi? Bagaimana jika aku tidak bisa melindunginya seperti yang seharusnya?"

Lina menyentuh bahunya dengan lembut. "Kau bukan dewa, Adrian. Kau tidak bisa mengendalikan segalanya. Tapi satu hal yang aku tahu, kau akan melakukan segalanya untuk memastikan Keira aman. Itu yang membuatmu berbeda."

Adrian terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Aku hanya tidak ingin kehilangan orang lain."

Keesokan harinya, Keira memutuskan untuk menghadapi keluarganya. Ia merasa sudah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang dan kebohongan.

Ketika ia memasuki ruang makan, ayahnya, Bapak Hartono, sedang duduk di sana, menikmati sarapan. Wajahnya tenang seperti biasa, tetapi Keira melihat sesuatu yang berbeda—keletihan yang tersembunyi di balik senyum ramahnya.

"Ayah, kita perlu bicara," kata Keira, duduk di seberang meja.

Bapak Hartono meletakkan cangkir kopinya. "Ada apa, nak?"

Keira mengambil napas dalam-dalam. "Aku tahu tentang Lama Hitam. Aku tahu tentang ancaman yang mereka bawa untuk perusahaan kita."

Wajah ayahnya berubah serius. "Keira, dari mana kamu tahu tentang itu?"

"Adrian memberitahuku. Dan aku juga melihat sendiri apa yang terjadi. Mereka mencoba menghancurkan kita, Ayah. Tapi kenapa kamu tidak pernah memberitahuku apa-apa?"

Bapak Hartono menghela napas panjang. "Aku tidak ingin kamu terlibat, Keira. Dunia ini terlalu berbahaya untukmu."

"Aku sudah terlibat, Ayah!" seru Keira dengan suara yang pecah. Air mata mulai membasahi pipinya, tapi ia tidak peduli. "Mereka mengancamku, mengejarku, dan aku hampir kehilangan nyawaku! Kenapa Ayah tidak pernah mempercayai aku untuk menghadapi kenyataan ini bersama?"

Bapak Hartono menundukkan kepalanya. Untuk pertama kalinya, Keira melihat ayahnya tampak rapuh—pria yang selama ini ia anggap kuat dan tak tergoyahkan.

"Ayah tidak ingin kamu merasakan beban ini, Keira. Dunia bisnis bukan hanya soal angka dan kesepakatan. Di baliknya ada permainan yang kotor, penuh pengkhianatan, dan darah. Ayah ingin melindungimu dari semua itu," jawabnya dengan suara pelan.

Keira menggenggam meja dengan erat, matanya membara. "Ayah tidak bisa melindungiku dengan cara menyembunyikan semuanya dariku. Aku bukan anak kecil lagi. Aku punya hak untuk tahu dan berjuang untuk keluarga kita."

Suasana hening. Ketegangan memenuhi udara di antara mereka.

Akhirnya, Bapak Hartono mengangguk perlahan. "Kamu benar, Keira. Ayah salah. Ayah terlalu meremehkan kekuatanmu. Jika ini pilihanmu, maka Ayah akan memberitahumu segalanya."

Bapak Hartono mengisahkan masa lalu yang selama ini disembunyikan rapat-rapat.

"Dua puluh tahun lalu, sebelum kamu lahir, Ayah membangun Hartono Group dari nol bersama beberapa teman dekat. Tapi tidak semua dari mereka setia. Salah satunya adalah Raymond Setiawan, orang yang kini menjadi pengkhianat."

Keira mendengarkan dengan seksama, wajahnya menegang saat mendengar nama itu lagi.

"Raymond dulu adalah sahabat Ayah. Kami berjuang bersama melalui banyak kesulitan. Tapi keserakahan mengubahnya. Dia mulai memanipulasi laporan keuangan perusahaan untuk keuntungan pribadi. Ketika Ayah mengetahuinya, Ayah tidak melaporkannya ke polisi. Sebagai gantinya, Ayah memberinya kesempatan untuk pergi dengan tenang. Ayah pikir itu akan menyelesaikan masalah."

Keira memandang ayahnya dengan ekspresi tak percaya. "Tapi itu tidak menyelesaikan apa pun. Dia kembali, dan sekarang dia mencoba menghancurkan kita."

Bapak Hartono mengangguk, matanya penuh penyesalan. "Ayah tahu. Itu kesalahan Ayah. Dan sekarang, Raymond telah bersekutu dengan kelompok kriminal seperti Lama Hitam. Mereka ingin mengambil semuanya dari kita."

Keira merasa dadanya sesak. Amarah, rasa kecewa, dan kesedihan bercampur menjadi satu. "Kenapa Ayah tidak melawan mereka sejak awal? Kenapa Ayah membiarkan mereka tumbuh sebesar ini?"

"Ayah pikir Ayah bisa menangani semuanya sendiri," jawab Bapak Hartono dengan suara berat. "Tapi sekarang Ayah sadar, Ayah butuh bantuan. Kamu, Adrian, dan Lina adalah harapan Ayah untuk memperbaiki ini."

Setelah percakapan itu, Keira berjalan keluar ke taman belakang rumah. Kepalanya penuh dengan pikiran yang berkecamuk. Ia merasa bingung, marah, dan sekaligus termotivasi.

Adrian menunggunya di sana, seperti tahu bahwa ia membutuhkan seseorang untuk diajak bicara.

"Jadi, bagaimana?" tanya Adrian pelan.

Keira menatapnya dengan mata yang berkilat. "Aku tidak akan lari, Adrian. Aku akan melawan mereka. Jika mereka berpikir bisa menghancurkan keluargaku, mereka salah besar."

Adrian mengangguk, tetapi ekspresinya tetap serius. "Keputusan ini tidak mudah, Keira. Semakin jauh kita melangkah, semakin berbahaya semuanya."

Keira melipat tangannya, mencoba menahan ketakutan yang masih ada di sudut hatinya. "Aku tahu. Tapi aku tidak bisa hanya duduk diam. Ini adalah keluargaku. Hidupku. Aku tidak akan membiarkan mereka merebutnya dariku."

Adrian menatapnya dengan penuh rasa hormat. "Baiklah. Kalau begitu, kita akan melawan mereka bersama."

Keira merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu. Meski situasinya masih penuh ketidakpastian, ia tahu bahwa ia tidak sendirian.

Malam itu, Keira, Adrian, dan Lina berkumpul untuk menyusun strategi. Lina membawa dokumen-dokumen tambahan yang berhasil ia dapatkan dari jaringan informannya.

"Raymond punya rencana besar untuk mengambil alih Hartono Group," kata Lina sambil menunjukkan beberapa dokumen di atas meja. "Dia berencana membuat perusahaan ini bangkrut melalui manipulasi aset. Setelah itu, dia akan membelinya dengan harga murah menggunakan dana dari Lama Hitam."

Keira mengepalkan tangannya. "Dia benar-benar tidak punya hati. Kita harus menghentikannya."

Adrian menyela. "Kita tidak bisa hanya menghentikannya. Kita harus memastikan dia tidak punya jalan untuk kembali. Kita perlu bukti kuat untuk menjatuhkannya secara hukum, sekaligus memutus koneksinya dengan Lama Hitam."

Lina mengangguk. "Ada cara untuk itu. Tapi kita butuh akses ke kantor pribadi Raymond. Semua dokumen penting ada di sana."

Keira menatap mereka dengan tekad. "Kalau begitu, kita akan masuk ke kantornya. Aku akan melakukannya."

Adrian langsung memprotes. "Tunggu, Keira. Ini terlalu berbahaya untukmu. Biarkan saya dan Lina yang mengurusnya."

Keira menatap Adrian dengan tajam. "Ini adalah pertempuran keluargaku, Adrian. Aku tidak bisa hanya berdiri di pinggir dan menunggu. Aku harus menjadi bagian dari ini."

Adrian terdiam. Ia tahu ia tidak bisa menghentikan Keira jika gadis itu sudah mengambil keputusan.

Saat malam semakin larut, Adrian kembali ke kamarnya. Ia duduk sendirian di tepi tempat tidur, menatap ke luar jendela. Ada rasa cemas yang tidak bisa ia hilangkan.

Bayangan masa lalu terus menghantuinya. Ia teringat akan misi terakhirnya sebelum menjadi sopir Keira—misi yang berakhir dengan kehancuran timnya. Ia merasa déjà vu, seperti tragedi itu akan terulang lagi.

Adrian mengepalkan tinjunya. "Kali ini, aku tidak akan gagal. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Keira."

Namun, di sudut hatinya, ia tidak bisa menghilangkan rasa takut. Bagaimana jika ia tidak cukup kuat? Bagaimana jika ia harus memilih antara menyelamatkan Keira atau dirinya sendiri?

Adrian memejamkan matanya, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu. Tetapi ia tahu, pertempuran ini bukan hanya melawan musuh di luar sana. Ia juga harus melawan ketakutan dan bayangan dari dalam dirinya sendiri.

Di tengah kegelapan malam, Keira berdiri di balkon kamarnya, memandang kota yang gemerlap. Di balik keindahan itu, ia tahu ada banyak bahaya yang menanti.

Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa ia siap menghadapi semuanya.

“Aku tidak akan lari. Ini adalah hidupku, dan aku akan berjuang untuk itu.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 232

    Matahari pagi membuka hari dengan sinar lembut yang mengusir embun dan membangkitkan semangat baru. Di Taman Pulih yang kini telah menjadi saksi pergerakan hidup bersama, setiap sudutnya bercerita—tentang perjuangan, tentang mimpi yang diberdayakan oleh tangan-tangan penuh cinta, dan tentang keberanian yang menorehkan satu jejak abadi.Di ujung taman, Keira dan Adrian bersama-sama mengadakan acara kecil yang mengundang warga dari berbagai penjuru kota. Di tengah-tengah panggung sederhana yang dihiasi lampu-lampu tenaga surya dan rangkaian bunga-bunga segar, mereka berbagi kisah perjalanan hidup yang terukir dalam setumpuk kenangan."Setiap langkah, setiap tawa, setiap air mata—semua itu adalah bagian dari cerita kita," ujar Adrian di hadapan kerumunan yang terpaku dalam keheningan penuh harap. "Hari ini, kita rayakan bukan hanya apa yang telah terjadi, tapi juga apa yang akan terus kita bangun bersama."Sorak-sorai dan tepuk tangan hangat mengalun, seolah alam pun turut merayakan

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 231

    Di pagi yang cerah, seolah alam sendiri ingin menyambut babak baru dalam hidup mereka, kota kecil itu terasa lebih hidup dari sebelumnya. Taman Pulih, yang sudah menjadi simbol perjuangan dan harapan, kini beriak dengan kegiatan yang penuh warna. Di sinilah titik temu cerita—bukan lagi persimpangan antara masa lalu dan masa depan, melainkan sebagai saksi perjalanan setiap insan yang telah melewati badai dan menemukan cahaya.Di Taman Pulih, Keira dan Adrian duduk di bangku kayu yang sama sejak lama. Di sekeliling mereka, para penduduk berkumpul; ada yang membawa makanan, ada pula yang menyuguhkan alunan musik akustik sederhana. Anak-anak berlarian sambil tertawa, menyisipkan cerita baru di antara gemerisik dedaunan.“Lihat, Kang,” ujar Keira sambil menunjuk ke arah sekelompok remaja yang sedang bermain alat musik hasil kreativitas mereka dari barang bekas. “Dunia ini terus mengajarkan kita untuk memulai dari nol, tapi selalu ada keindahan di setiap langkahnya.”Adrian mengangguk,

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 230

    Setahun setelah malam penuh bintang dan janji yang tersulam dalam keheningan, dunia yang telah tersingkap dari luka masa lalu kini menunjukkan tanda-tanda perubahan yang lebih segar lagi. Di jantung kota kecil, Taman Pulih yang dulu hanya sebatas gagasan di atas kertas, kini telah menjadi oasis kehidupan—ruang yang mengundang tawa, perbincangan, dan harapan baru.Di pojok taman, Keira berdiri di bawah naungan pohon kenari yang dulu ia tanam bersama Adrian. Setiap helai daunnya menyatu bercerita tentang kerja keras, keberanian, dan keyakinan yang tak pernah padam. Di depan matanya, sekumpulan anak-anak tengah bermain, membuat kreasi dari daun kering dan ranting kecil. Tawa mereka seakan mengukir jejak kecil di tanah yang telah lama dirawat.Adrian, yang kini aktif membantu pembangunan komunitas, terlihat sibuk mendampingi para relawan yang sedang memasang instalasi lampu tenaga surya di sudut taman. “Setiap kilau lampu itu adalah cermin jiwa yang kembali bersinar,” gumamnya sambil

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 229

    Langit pagi membawa aroma embun dan tanah yang baru digarap. Di kejauhan, suara anak-anak dari sekolah dasar terdengar samar, bercampur dengan deru sepeda yang melintasi jalan kecil berkerikil. Dunia sudah tak lagi penuh gema peringatan bahaya—tapi gema tawa dan kehidupan.Di dapur rumah kecil itu, Keira sedang melipat surat-surat yang masuk minggu ini—bukan dari pejabat atau lembaga internasional, tapi dari orang-orang biasa: seorang guru di pelosok yang terinspirasi untuk mengajar coding dasar; seorang ibu yang kini bekerja di perpustakaan komunitas; seorang anak remaja yang baru saja memenangkan lomba inovasi pertanian.Semua surat itu ditaruh Keira di dalam sebuah kotak kayu berukir sederhana. Di bagian depan kotak itu, tertulis satu kata dengan tangan: “Ingatan.”Adrian masuk dengan membawa sekeranjang hasil panen pertama mereka—tomat, selada, dan dua buah paprika yang tumbuh lucu mirip huruf “A” dan “K”.“Lihat ini, kayaknya sayuran kita bisa ikut lomba fashion,” ujarnya samb

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 228

    Pagi itu, aroma kayu basah dan tanah yang baru disiram memenuhi udara. Kabut tipis masih menggantung di kebun belakang, tempat Keira menanam pohon kecil kemarin sore—pohon kenari yang diberikan oleh salah satu murid Samantha sebagai hadiah syukur.Keira berdiri diam di depannya, memandangi batang muda itu yang tampak rapuh namun penuh harapan."Aku belum pernah menanam pohon sebelumnya," katanya pelan ketika Adrian mendekat dari belakang, memeluk pinggangnya sambil menyandarkan dagu di pundaknya.“Tapi kamu tahu cara menumbuhkan sesuatu,” bisik Adrian, “karena kamu tahu cara menjaga.”Keira menyandarkan kepalanya ke bahu suaminya. “Pohon ini akan tumbuh tinggi nanti. Mungkin anak kita akan panjat dia, atau duduk di bawahnya baca buku. Tapi yang paling penting… dia akan tumbuh dari rumah ini.”Adrian mengangguk, membayangkan masa depan yang terasa jauh lebih dekat daripada sebelumnya.Samantha berdiri di bawah pohon besar di halaman belakang pusat pelatihannya. Beberapa siswa sedang

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 227

    Rumah kecil di pinggiran kota itu jauh dari kata mewah. Dindingnya sederhana, dikelilingi pagar kayu yang mulai dipanjati tanaman rambat. Tapi di dalamnya, setiap sudut memancarkan ketenangan. Di teras depan, Keira sedang menyiram bunga-bunga yang kini tumbuh subur. Tangannya lembut mengusap daun yang basah, sementara angin sore membelai rambutnya yang digelung santai.“Kalau kamu terus menyiram mereka segitu telatnya, nanti bisa tumbuh akar hati di situ,” goda Adrian dari pintu depan, membawa dua cangkir teh hangat.Keira tertawa pelan. “Kalau bisa, kenapa nggak? Setidaknya rumah ini jadi hidup.”Mereka duduk berdua di bangku panjang yang terbuat dari kayu daur ulang. Tak ada suara selain cicit burung dan desir angin. Dunia tak lagi berisik seperti dulu. Tanpa ancaman, tanpa kejaran. Hanya hidup... dan harapan.Di dalam rumah, tembok-temboknya dipenuhi foto—bukan foto kemenangan atau upacara penghargaan, tapi foto-foto kecil: senyum mereka di dapur, jejak kaki di taman saat hujan,

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Ba 226

    Pagi yang lembut menyambut markas perjuangan dengan sinar matahari keemasan yang mengintip malu-malu di antara dedaunan. Aroma embun masih menggantung di udara, dan suasana yang sebelumnya penuh riuh sorak kemenangan kini berubah menjadi ketenangan yang syahdu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tidak ada rapat darurat, tidak ada rencana pengamanan, dan tidak ada ketegangan yang menanti di ujung malam.Keira membuka jendela besar ruang tengah. Angin pagi menyapa wajahnya dengan lembut, membawa harum bunga liar yang bermekaran di taman depan. Ia menghela napas pelan, seolah ingin menyerap seluruh keheningan damai itu ke dalam dada. Di belakangnya, Adrian berjalan mendekat, memeluknya dari belakang tanpa kata.“Seperti mimpi, ya?” bisik Keira.Adrian mengangguk, dagunya bertumpu di bahu Keira. “Tapi ini nyata. Kita di sini, setelah semua luka dan perjuangan.”Mereka berdiri dalam diam beberapa saat, menikmati pagi yang berbeda. Bukan pagi yang diburu oleh ketakutan, tapi pag

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 225

    Malam itu, langit di atas kota tampak seperti kanvas hitam yang dihiasi oleh ribuan bintang, seolah-olah alam pun turut serta dalam perayaan perubahan yang telah diraih oleh generasi baru. Di markas reformasi yang telah lama menjadi saksi perjuangan, seluruh anggota tim—Adrian, Keira, Samantha, Dylan, dan para relawan—berkumpul untuk merayakan bab terakhir dari perjalanan panjang mereka. bukan hanya penutup dari kisah perlawanan melawan ketidakadilan, melainkan juga sebuah janji abadi bahwa kebenaran, keadilan, dan cinta akan terus hidup di hati setiap orang.Di ruang utama markas, dinding-dinding yang dulu suram kini dipenuhi dengan foto-foto momen krusial, potret-potret perlawanan, dan kutipan-kutipan inspiratif yang mengisahkan perjalanan dari kegelapan menuju cahaya. Layar digital besar menampilkan peta nasional yang kini menandai keberadaan program-program pemberdayaan, pusat-pusat pendidikan, dan jaringan relawan yang tersebar dari kota besar hingga pelosok desa. Semuanya ad

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 224

    Malam itu, langit dipenuhi ratusan bintang berkelip, seolah-olah alam pun merayakan puncak perjalanan yang telah ditempuh. Di markas reformasi yang kini telah menjadi simbol keabadian perjuangan, seluruh tim—Adrian, Keira, Samantha, Dylan, dan semua relawan—duduk bersama dalam keheningan penuh makna. Malam itu bukan lagi tentang pertempuran, melainkan tentang refleksi, rasa syukur, dan pengharapan yang tak terpadamkan.Di ruang utama, di tengah dinding yang dihiasi foto-foto perjuangan dan kutipan inspiratif dari perjalanan panjang mereka, Adrian berdiri di depan seluruh hadirin. Suaranya tenang namun tegas, “Kita telah menyalakan obor kebenaran yang menerangi jalan bagi seluruh negeri. Perjuangan kita telah membuka mata dunia, dan hari ini, kita berdiri di ambang masa depan yang lebih adil. "Tapi lebih dari itu, kita telah menuliskan warisan—warisan tentang keberanian, tentang cinta, dan tentang keadilan yang akan hidup selamanya.”Sorakan memenuhi ruangan, namun di balik itu, k

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status