Setelah berpisah dengan para prajuritnya, Jenderal Lo melangkah memasuki kediaman Hakim Yang. Rumah mewah bergaya kuno itu dikelilingi tembok tinggi dan penjaga bersenjata yang mondar-mandir dengan waspada. Hakim Yang, pria berusia 60 tahun dengan jenggot tipis yang terawat, menyambut sahabatnya dengan pelukan hangat."Sahabatku, sudah tiga tahun lebih kita tidak bertemu!" Hakim Yang menepuk punggung Jenderal Lo, "malam ini kau harus bermalam di sini, tidak ada penolakan!"Sambil berbincang dan sesekali tertawa, mereka duduk di ruang tamu yang diterangi lentera giok, ditemani teh dan kudapan. Namun Jenderal Lo menangkap kegelisahan di balik senyum sahabatnya. Gurat-gurat lelah menghiasi wajah yang biasanya berseri itu."Ada apa, Saudaraku? Wajahmu seperti awan mendung di musim hujan.”Hakim Yang menghela nafas berat, "Sepertinya ada yang mengincar nyawaku, Lo." Ia menyesap teh dengan tangan sedikit bergetar, "Semua dimulai dengan ditemukannya bangkai tikus di depan pintu, disertai sel
"Qing Ning …," nama itu meluncur dari bibir Hakim Yang seperti bisikan hantu.Jenderal Lo mencondongkan tubuh ke depan, menangkap perubahan drastis pada raut wajah sahabatnya, "Siapa Qing Ning? Apakah dia memiliki kaitan dengan Dewa Golok Putih?"Hakim Yang menghela nafas berat, tangannya yang gemetar menutup kitab tua itu. "Aku tidak yakin mereka memiliki hubungan dekat, tetapi yang kutahu, Qing Ning adalah istri mendiang Pendekar Iblis yang kala itu menjabat sebagai Kepala Pasukan Khusus. Dan Dewa Golok Putih mengabdi pada suaminya.""Hmm," Jenderal Lo mengusap jenggotnya, matanya menyipit menunjukkan ia sedang berpikir keras. "Mungkinkah Dewa Golok Putih berencana membalaskan dendam kematian istri tuannya?"Hakim Yang menggeleng lemah. Ia bangkit dari kursinya, melangkah ke jendela yang menghadap ke taman belakang. Bunga-bunga persik bermekaran dengan indah menghiasi taman, namun tak mampu menghilangkan kegelisahan di hati pemiliknya."Aku rasa tidak mungkin, dia justru sangat memb
Jenderal Lo sedang berdiskusi dengan Hakim Yang di ruang tamu, sementara A Lung dan dua prajurit berjaga di teras.Tiba-tiba terdengar derap langkah tergesa memecah keheningan. Yun Hao berlari ke arah mereka, wajahnya tegang seperti ingin menyampaikan kabar penting. Namun langkahnya terhenti mendadak saat A Lung menghadang di depan pintu, lengannya terentang menghalangi jalan."Hey-hey, mau apa kau buru-buru begitu?" hardik A Lung, matanya menyipit curiga."Aku harus bertemu Jenderal Lo dan Hakim Yang!" Yun Hao berusaha menahan nada tak sabar dalam suaranya. Bayangan putih yang baru saja ia lihat berkelebat di kegelapan malam masih membayang di benaknya."Mereka sedang sibuk dan tak mau diganggu," ujar A Lung ketus, bibirnya mencibir meremehkan, "kau sampaikan saja padaku, nanti aku yang beritahu Jenderal!"Kening Yun Hao berkerut menahan kesal, akan tetapi mengingat situasi genting ini, ia memilih untuk mengalah, "Aku melihat sekilas ada bayangan putih melintas di antara pepohonan di
Yun Hao cepat menyarungkan pedang, tak ingin memicu kepanikan di antara orang banyak. Ia berusaha mengatur nafas dan langkah agar tampak biasa. Matanya bergerak waspada di antara kerumunan, mencari kilasan putih yang bisa menjadi petunjuk keberadaan si pembunuh. Aroma makanan dan asap dari tungku pedagang makanan bercampur dengan suara-suara keramaian.Sekilas Yun Hao menangkap sosok berpakaian putih tak jauh di depannya. Tanpa pikir panjang, Yun Hao mempercepat langkah dan mencengkeram bahu orang itu dengan kuat. "Berhenti kau!""Aduh!" Orang itu menoleh kesakitan, memperlihatkan wajah seorang pedagang tua yang kebingungan. "Ada apa, Anak Muda?""Maaf, saya salah orang!" Yun Hao buru-buru melepaskan cengkeramannya. Tiba-tiba dari sudut mata, ia menangkap sosok berpakaian putih yang lain, si pembunuh misterius sedang mengawasinya dari balik pilar gazebo, mengenakan kain penutup wajah berwarna senada sehingga sulit melihat seperti apa wajahnya.Merasa ketahuan, sosok itu melesat pergi.
Tangan kanannya mengacungkan selembar kertas pengumuman sambil menunjuk ke arah Du Fei, "Dia si Topeng Hantu!"Kertas berwarna kuning di tangan si prajurit memperlihatkan sketsa wajah buronan bertopeng yang begitu mirip dengan pemuda itu. Du Fei terpaku sejenak melihat kertas kusut yang melambai di udara. Sedetik kelengahan itu sudah cukup memberi kesempatan bagi si Pembunuh misterius untuk kabur. Sosoknya lenyap begitu memasuki lorong-lorong kota yang berliku."Kepung dia!" A Lung mengeluarkan komando, "jangan biarkan Topeng Hantu lolos!"Dua puluh empat prajurit bergerak cepat membentuk lingkaran, mata tombak dan pedang mereka teracung mengancam ke arah Du Fei. Si Topeng Hantu tetap berdiri tenang di tengah lingkaran, meski hanya bertangan kosong namun postur tubuhnya menyiratkan bahaya yang siap meledak.Sementara itu Yun Hao mengamati dengan nafas tertahan. Ia sungguh tak menyangka sosok penyelamat yang membuatnya kagum karena keahlian luar biasa saat menyelamatkan bocah kecil it
"Menyerahlah, Topeng Hantu!" Yun Hao mendesis dingin, meski jauh di lubuk hati masih tersisa kekaguman pada penyelamat nyawa bocah kecil itu.Dalam kegelapan, senyum tipis tersungging di bibir Du Fei. "Kau pandai memilih waktu, Anak Muda.""Sebaiknya kau bekerja sama denganku kalau tak ingin kepalamu terpisah!" Pedang di tangan Yun Hao menekan sedikit lebih dalam ke kulit leher buronan kerajaan. Bergerak sedikit saja maka kulit Du Fei akan tergores."Lucu sekali!" Du Fei terkekeh, suaranya ringan seolah tak merasa terancam sama sekali. "Kau jelas-jelas tak ingin membunuhku. Kalau kau ingin melakukannya, pasti tak akan menolongku tadi. Benar bukan?"Yun Hao terdiam, genggamannya pada pedang sedikit mengendur. Dalam sekejap mata, Du Fei memanfaatkan kelengahan ini. Tubuhnya berputar bagai angin puyuh, tangannya menepis pedang dengan gerakan kilat.TRANG!Pedang terlempar, namun Yun Hao tak kalah cepat. Kakinya bergerak dalam tendangan beruntun yang membuat Du Fei terpaksa melompat mundu
"Ssst!" Du Fei mendadak menghentikan pembicaraan, telinganya menangkap derap langkah dan suara-suara di luar. Kedua pemuda itu segera melompati jendela dan mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk bersembunyi di atas tembok pembatas. Dedaunan rimbun melindungi mereka dari pandangan mata orang-orang di bawahnya.Ratapan pilu terdengar nyaring di pagi hari itu. Istri Hakim Yang terhuyung memasuki halaman, wajahnya pucat pasi dengan bekas air mata yang belum mengering. Di kanan kirinya, dua putra sang Hakim memapah tubuh ringkih ibunya yang gemetar hebat."Suamiku ... suamiku …," Nyonya Yang terisak sebelum tubuhnya limbung tak sadarkan diri untuk kesekian kalinya."Ibu!" Kedua putranya dengan sigap menangkap dan membawanya duduk di bangku taman. Wajah mereka memancarkan duka yang dalam, bercampur dengan amarah yang siap meledak.Yang Jin, putra sulung Hakim Yang, melangkah dengan tangan terkepal ke arah Jenderal Lo yang menyambut kedatangan mereka. Matanya merah, suaranya bergetar menah
Sudut bibir Yun Hao terangkat membentuk senyum dingin. Akhirnya ia memiliki kesempatan yang ditunggu-tunggu - waktu untuk menyelidiki tanpa gangguan dari dua prajurit yang sok berkuasa itu.Selama berjam-jam ia berpatroli mengelilingi kediaman megah tersebut, matanya awas mencari petunjuk sekecil apapun. Namun hingga langit mulai memerah, tak ada hal mencurigakan yang ditemukan. Tubuhnya yang lelah memaksanya beristirahat di bawah pohon besar di halaman belakang.Kantuk hampir menyergapnya ketika suara langkah-langkah kaki mengusik pendengarannya. Dengan sigap, Yun Hao melompat dan bersembunyi di balik pohon. 'A Lung kah itu? Jangan sampai ia mengadu pada Jenderal Lo,' pikirnya was-was.Dugaan Yun Hao meleset. Yang muncul bukanlah A Lung melainkan Yang Jin, putra sulung mendiang Hakim Yang. Pemuda itu tampak gelisah bercampur marah, tangannya tak berhenti mencabuti dan meremas daun-daun tanaman di dekatnya. Tak lama, seorang pria setengah baya berpakaian sederhana datang menghampiri
Di singgasana, di kursi yang biasa ditempati raja Yu Ping, Qi Lung duduk dengan sikap angkuh. Mengenakan jubah kebesaran berwarna biru tua dengan sulaman naga emas, ia tampak seperti raja muda yang baru dinobatkan.Di hadapannya, beberapa menteri dan pejabat tinggi berlutut dalam barisan rapi, wajah-wajah mereka menunduk dengan campuran rasa takut dan bingung. Sudah tiga hari Raja Yu Ping tidak muncul di aula penghadapan, dan Qi Lung dengan mudah mengambil alih tanpa perlawanan berarti."Laporan dari perbatasan utara, Yang Mulia," Mentri Wei membacakan gulungan yang dibukanya. "Hasil panen tahun ini diperkirakan akan meningkat dua puluh persen dari tahun lalu. Gudang-gudang beras kita akan penuh hingga musim dingin."Qi Lung mengangguk puas. "Kabar baik. Pastikan pasokan beras didistribusikan dengan baik ke seluruh wilayah.""Dan mengenai perjanjian dagang dengan Kerajaan Ming di timur," lanjut Mentri Wei, membuka gulungan lain. "Mereka mengajukan proposal untuk menurunkan pajak perda
Di istana, Raja Yu Ping terbaring gelisah di pembaringannya. Mimpi-mimpi buruk terus menghantui tidurnya—bayangan wajah-wajah yang menderita, jeritan-jeritan yang tak terdengar, dan sosok naga hitam yang mengintai dari kegelapan."Zhen Yi…," sang Raja mengigau, keringat dingin membasahi dahi. "Di mana... kau?"Xiao Lan, yang duduk di samping tempat tidur, mengelap keringat raja dengan kain lembap. Ekspresinya kosong, matanya hampa seolah jiwanya tidak hadir di sana.Pintu kamar terbuka perlahan, dan Qi Lung melangkah masuk. Ia mengenakan jubah tidur mewah berwarna biru tua dengan sulaman emas, tapi wajahnya tampak segar seolah belum akan tidur dalam waktu dekat."Bagaimana kondisinya?" tanya Qi Lung lirih, mendekati tempat tidur ayahnya."Masih sama," jawab Xiao Lan datar. "Racunnya bekerja seperti yang direncanakan. Ia terus bermimpi buruk, membuatnya tidak bisa beristirahat dengan tenang."Qi Lung mengangguk puas, "Sempurna. Sekarang di mana Yun Hao? Aku tidak melihatnya sejak sore
Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kotaraja saat Yun Hao memacu kudanya menyusuri lorong-lorong sempit yang menjauh dari istana. Matahari nyaris terbenam sepenuhnya, menyisakan semburat oranye keunguan di langit barat. Ia mengenakan jubah hitam sederhana dengan tudung menutupi kepalanya—bukan pakaian yang biasa dikenakan seorang pangeran, tetapi sempurna untuk seseorang yang ingin bergerak tanpa menarik perhatian.Di belakangnya, istana megah dengan atap-atap merahnya berdiri angkuh, semakin mengecil seiring jarak yang ia tempuh. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yun Hao merasa istana bukan lagi rumahnya—bukan lagi tempat yang aman. Sejak Qi Lung mengambil alih kekuasaan, dinding-dinding istana seolah menyimpan mata-mata di setiap sudutnya.Yun Hao membimbing kudanya memasuki wilayah kota yang lebih tua, di mana bangunan-bangunan kayu berjejer rapat dan papan-papan nama toko bergoyang tertiup angin malam. Jalanan semakin sepi, hanya beberapa pedagang yang sedang membereskan dag
Matahari sudah mulai terbenam saat kereta tahanan berhenti di sebuah pos jaga di perbatasan antara wilayah hijau dan gurun pasir. Para pengawal menurunkan Zhen Yi, yang kakinya terasa kaku setelah seharian duduk di kereta yang sempit."Kita akan bermalam di sini," kata komandan pengawal. "Besok pagi-pagi sekali kita akan melanjutkan perjalanan ke Istana Pasir."Zhen Yi mengangguk. Ia tidak melihat gunanya melawan atau mencoba melarikan diri. Enam pengawal bersenjata lengkap mengawalnya, dan tidak ada tempat untuk bersembunyi di padang pasir yang terbentang luas di hadapannya.Komandan pengawal, seorang pria setengah baya, menatap Zhen Yi dengan ekspresi antara iba dan "Anda akan ditempatkan di kamar belakang, Pangeran," katanya, suaranya terdengar sedikit lebih lunak. "Tidak terlalu nyaman, tapi setidaknya lebih baik daripada sel tahanan.""Terima kasih," jawab Zhen Yi tulus. "Bolehkah tanganku dilepaskan? Sudah hampir sehari penuh terikat, dan aku tidak merasa nyaman."Komandan tamp
Kereta tahanan bergerak lambat meninggalkan gerbang kota, roda kayunya berderit membelah jalanan berbatu. Di dalam kereta, Zhen Yi duduk bersandar pada dinding kayu yang kasar, tangannya masih terikat di belakang punggung.Melalui celah kecil di jeruji jendela, ia melihat kotaraja yang semakin mengecil di kejauhan—istana megah dengan atap-atap merah dan dinding putih yang selama ini menjadi rumahnya. Semua kenangan, semua kehidupannya, kini hanya tinggal titik kecil di cakrawala. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk."Kenapa, Qi Lung?" bisiknya pada diri sendiri. "Apa salahku padamu?"Kereta berguncang keras saat melewati lubang di jalan, membuat Zhen Yi terlempar ke depan. Pengawal yang duduk di ujung kereta menatapnya tanpa ekspresi, seolah membawa seorang pangeran ke pembuangan adalah tugas biasa."Bisakah tanganku dilepaskan?" tanya Zhen Yi dengan suara tenang. "Aku tidak akan kabur."Pengawal itu mendengus. "Maaf, Pangeran. Perintah langsung dari Pa
Di antara para pejabat, beberapa mulai berbisik-bisik. Beberapa menunjukkan ekspresi ragu, sementara yang lain tampak terkejut dan kecewa."Siapa yang menjebakmu, Pangeran Zhen Yi?" tanya Menteri Wei dengan sikap hati-hati. "Dan untuk tujuan apa?"Sebelum Zhen Yi bisa menjawab, terdengar keributan di luar aula. Suara teriakan dan hentakan langkah kaki saling bersahutan."Aku ingin masuk! Lepaskan aku!" Suara Yun Hao terdengar dari balik pintu. "Aku berhak menghadiri pengadilan saudaraku!""Lanjutkan sidang!" perintah Qi Lung dengan tenang. "Pengawal, pastikan tidak ada gangguan dari luar!"Suara keributan terus berlanjut beberapa saat sebelum akhirnya mereda—tanda bahwa Yun Hao telah berhasil disingkirkan dari area tersebut."Kau tidak bisa melakukan ini, Qi Lung," kata Zhen Yi, matanya menatap lurus ke arah saudaranya. "Ayah akan mengetahui kebenaran. Semua orang juga akan tahu bahwa aku tidak bersalah."Qi Lung tersenyum tipis. "Ayahanda sedang sakit parah, Adikku. Dan sulit dipasti
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen