"Van ... Revan!" Di saat badanku basah kuyup, tiba-tiba di luar ada yang manggil. Suaranya seperti aku kenal, Mbak Ratih. Ya, dia kakakku satu-satunya.
Buru-buru aku melangkah, ingin membukakan pintu. Tapi, saat aku mendorong pintunya, ternyata tak bisa dibuka. Astaga ... si Rina benar-benar membuatku emosi hari ini. Dia mengunciku di dalam rumah.Kulihat dari jendela, Mbak Ratih sedang menunggu di depan teras. Dia menjinjing sebuah kresek besar, pasti membawa makanan untukku."Mbak!" teriakku, sambil menggedor jendela."Revan, buka pintunya. Mbak mau masuk!" Mbak Ratih melangkah mendekati pintu depan."Pintunya dikunci si Rina, Mbak!" teriakku, di balik jendela."Apa? Istrimu itu benar-benar kurang ajar ya! Masak, suami sendiri dikunci di rumah!" pekiknya."Aku mau lihat dulu pintu belakang, siapa tahu gak dikunci, Mbak!" teriakku lagi.Aku buru-buru melangkah ke dapur. Pintu belakang memang letaknya ada di dapur."Iya, buruan deh!" jawabnya, kesal."Gak dikunci, kuncinya ada menggantung." Aku melihat salah satu kunci ada di lubangnya.Kuputar kuncinya, dan akhirnya pintu bisa dibuka. Aku melangkah tanpa alas kaki ke depan rumah. Di sana ada Mbak Ratih yang sedang duduk di teras."Mbak, ayo masuknya lewat pintu belakang saja!" ajakku."Dasar ya, si Rina!" Dia begitu ikutan kesal pada Rina, Mbak Ratih berdiri mengangkat tubuhnya, "Lho, kamu habis ngapain lagi, bajumu basah semua gitu?" Mbak Ratih baru sadar, kalau aku basah kuyup."Diguyur si Rina, Mbak. Gara-gara aku gak kerja, padahal aku lagi ngelamar di perusahaan. Emang gak pernah sabar tu, si Rina!" gerutuku,Membuat mata Mbak Ratih membulat sempurna."Kenapa gak pisah aja si, sama istrimu itu!" cetusnya."Gak, aku gak mau pisah, Mbak. Aku cinta sama dia," ucapku.Aku memang tidak mau bercerai dengan Rina. Walaupun dia sekarang kurang aja juga. Sebenarnya bukan karena cinta si, tapi karena uang dia."Kamu itu, gimana si? Bodoh apa gimana, istri kayak gitu dipertahankan!" ketusnya."Gitu-gitu juga dia punya uang, Mbak," balasku."Ck,ck,ck, ayolah masuk, kamu ganti baju dulu!" Mbak Ratih, berdecak kesal mendengar ucapanku.Tapi emang benar juga aku, kalau aku pisah sama Rina, siapa dong yang ngasih aku uang.Kami pun, berjalan menuju pintu belakang."Revan, kamu ini punya istri gak si, sebenarnya?" tanyanya, dengan nada kesal."Make nanya, si Rina kan istriku, Mbak.""Ini dapur udah kayak pembuangan sampah aja!" Dia bergidik jijik, melihat sekeliling dapur saat kami melewatinya."Si Rina belum beres-beres kali, Mbak," ucapku,Mbak Ratih, lalu masuk ke dalam. Dia duduk di ruang tamu."Mbak, jangan duduk di situ, kursinya basah!" sergahku. Namun, dia kadung duduk. Jadinya celananya ikutan basah."Kamu, si ... dari tadi kek bilanginnya, mbak udah duduk baru teriak, kan jadi basah, argh!" Mbak Ratih nampak kesal sekali. Merasa celananya basah, dia langsung berdiri lagi."Ya sudah, tunggu dulu. Aku mau ganti baju dulu Mbak!" Aku kedinginan dari tadi pakai baju basah, gara-gara si Rina. Dasar, istri gak beradab.Setelah ganti baju, aku menghampiri Mbak Ratih, dari tadi dia berdiri, padahal ada sofa lain yang kering, mungkin dia tidak nyaman."Revan, pinjam dulu celana istrimu lah! Masak, mbak harus pakai celana basah si! dasar ya si Rina, semua jadi kena imbasnya!" Mbak Ratih ngomel lagi."Oke Mbak, tunggu dulu!"Buru-buru ku ambilkan Mbak Ratih celana milik Rina. Aku mengambilnya asal, pasti muat lah badannya juga gak jauh beda."Mbak, nih!" ucapku, sambil menyodorkan celana yang dia minta.Mbak Ratih mengambilnya, lalu pergi ke kamar mandi.Sementara Mbak Ratih pergi, aku mencoba untuk membuka keresek besar yang dibawanya. Tukan, dugaanku benar, makanan. Mataku begitu berbinar kala melihat ayam goreng, bakso, dan cemilan lainnya. Mbakku emang terbaik deh."Van, itu makanan salin ke piring. Biar gak berantakan!" Mbak Ratih, tiba-tiba udah nongol aja, dia menghampiriku duduk di sofa yang tidak basah."Oke, Mbak. Ini buatku kan?" tanyaku."Buat siapa lagi, Revan? Buat kucing?" ucapnya.Mendengarnya, aku hanya nyengir kuda, lalu kuambil beberapa piring di dapur."Mbak, juga tadi papasan sama si Rina, dia senyum-senyum sendiri pas mbak lihat. Ditegur juga kayaknya gak dengar dia," ucapnya, saat aku sedang mengalihkan makanan ke dalam piring.Rina dan Mbak Ratih memang tidak pernah akur, pernah juga aku tegur istriku itu agar bersikap baik pada Mbak Ratih, eh dia malah menjawab Mbakku yang kurang ajar."Biarin ajalah, Mbak.""Biarin, biarin. Dia itu kudu diberi pelajaran!" jawabnya."Udahlah, jangan ngomongin si Rina terus. Mending kita makan aja!" Aku mulai menyantap makanan yang telah aku hidangkan di atas meja."Kamu saja yang makan, Van. Pasti kamu belum makan. mbak mau pulang aja deh, Van." Tiba-tiba Mbak Ratih mau pulang aja, dia mengemasi celananya yang basah."Lho, kok pulang si? Ini buat aku aja?" ucapku."Iya, itu buat kamu aja," jawabnya."Ya sudah. Makasih Mbak," ucapku, senang.Tanpa menjawab, Mbak Ratih langsung aja keluar. Dia senyum-senyum sendiri, kenapa ya? Ah aku gak peduli.***Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, perutku begitu kenyang sekali.Jam segini biasanya Rina pulang dari pekerjaannya.Ceklek! terdengar suara kunci.Tukan bener, dia sudah pulang.Saat Rina masuk, dia begitu terlihat syok melihat ke dalam ruang tamu."Mas, kamu kerjanya apa si? Ini kamu habis ngapain, di atas meja begitu banyak plastik makanan?" Baru pulang langsung ngomel-ngomel."Gitu aja di permasalahkan, ya tinggal buang aja," jawabku, santai.Sepertinya dia tidak peduli aku dapat makan dari mana."Ya sudah, buanglah sama kamu, Mas. Jangan taunya cuma makan, tidur, makan, tidur aja!" pekiknya, sambil melengos.Kuping ini serasa panas mendengar ocehan si Rina terus.Dengan malas, aku pun membersihkan bekas makanku. Membuangnya ke tempat sampah."Mas, kamu lihat jam tanganku gak?" Saat aku duduk kembali di sofa, tiba-tiba si Rina menanyakan jam tangannya padaku."Gak tahu, memangnya kamu lupa naro di mana?" tanyaku, barangkali dia lupa."Di kamar mandi!" pekiknya, suaranya itu lho! Ngegas mulu."Gak tahu," ucapku, jujur."Jangan bohong, kamu Mas. Atau jangan-jangan kamu jual ya?" tuduhnya."Jangan sembarang nuduh, Rina. Biarpun aku pengangguran tapi aku gak berani ngambil barang orang lain, termasuk barang kamu!" tegasku, enak saja dia main nuduh-nuduh aja."Kalau gitu, di mana dong? itu jam tangan mahal!" teriaknya.Dia marah, matanya juga berkaca-kaca sepertinya mau nangis, biarinlah aku gak peduli."Cari lagi aja sana, jangan nuduh-nuduh sembarangan!" ucapku.Matanya begitu tajam melihat ke arahku."Mas! Aku mau pisah sama kamu, kalau kamu gak ceraikan aku, aku yang akan menceraikan kamu, Mas. Aku sudah tidak tahan hidup berdampingan dengan kamu. Hari ini juga aku akan pulang ke rumah orang tuaku!" Dia berteriak, semakin marah padaku.Jangan sampai aku pisah sama istriku Rina, mana aku pengangguran lagi, cari kerja susah. Batinku."Jangan, Rin. Maafkan Mas. Mas janji akan bekerja," ucapku, membujuknya.Namun, sepertinya Rina tidak peduli dengan ucapanku, dia melenggang begitu saja ke dalam kamar. Apa dia benar-benar akan pulang ke rumah orang tuanya? Gawat! Gimana nasibku?POV AuthorSiang itu, Revan memasuki pusat perbelanjaan, ia sengaja berdesak-desakan dengan banyak orang agar bisa memulai aksi buruknya. Tangannya merayap ke dalam tas milik seorang ibu-ibu. Namun, si pemilik berjalan buru-buru sehingga aksinya gagal. Tak patah arang, ia mencoba sekali lagi pada orang yang berbeda, dan ... ia berhasil mendapatkan satu buah dompet dan ponsel milik seorang wanita muda."Berhasil! Haha." Ia bersorak girang, setelah keluar dari pusat perbelanjaan. "Wuah, ada kartu ATM-nya lagi. Ternyata menjadi m****g tidak sesusah yang aku bayangkan," ujarnya.Hari sudah hampir larut, Revan berjalan menuju toko-toko yang akan tutup. Ia akan tidur di depan toko tersebut. Sebelum tertidur, ia menyimpan barang curiannya di tempat yang aman. "Besok aku harus beraksi lagi kayaknya!" gumamnya sebelum tidur. ***Sudah hampir setengah tahun, Revan menikmati kehidupannya di jalanan. Ia kini menjadi seorang pencuri. Belum ada satu orang pun yang berhasil menangkapnya. Ia kin
Aku berasa ingin berlari keluar sekarang juga. Untung saja aku diperbolehkan diam saja di ruangan ini hingga jam bekerja selesai. ***"Mas, waktunya pulang. Hati-hati, Mas. Takutnya mereka berkeliaran di jalan." Seorang petugas kesehatan membuka pintu, sembari membangunkan ku yang tengah tertidur. "Sudah waktunya pulang, ya Pak? Baik, Pak. Saya akan hati-hati. Besok saya tidak akan datang lagi ke sini ya, Pak. Gak papa kan gak bilang dulu HRD?" "Lebih baik, Mas bilang dulu. Biar saya yang antar ke ruangan HRD," ucapnya. "Oh, baiklah. Sekarang saja, Pak kita ke sana!" ajak ku. **"Permisi, Pak. Saya mengantarkan pekerja baru ke sini. Mas, ayo masuk!" Ucap Pak petugas kesehatan.Aku memasuki ruangan HRD dituntun petugas kesehatan."Pak, saya izin berhenti dari perusahaan ini, karena tiga karyawan sudah memukuli saya sampai babak belur. Apa tidak ada tindakan dari pihak perusahaan?" "Apa kamu melakukan kesalahan sehingga kalian terjadi keributan?" "Tidak sama sekali, mereka yang s
Jam enam pagi aku sudah bersiap pergi ke tempat kerja baruku. Saat sudah sampai, ternyata orang-orang yang kemarin keterima seperti sedang berkumpul di depan bangunan putih kemarin. Aku juga ikut kumpul di situ, ternyata pembagian kerja. Aku bagian di pengecekan barang. Okelah, tidak masalah. Katanya nanti bakal ada atasan yang mengajari dulu kami. Jam tujuh, semua karyawan pabrik harus siap dengan tanggung jawabnya di sini. Aku memasuki ruangan yang begitu besar, banyak kain-kain yang tertata rapi di sana. "Kain itu sudah tahap pengecekan ya, Mas. Nah, kalau yang ini belum dicek. Nanti kita harus teliti, apakah ada kain yang melar, bergaris dan terkadang ada yang sedikit sobek. Kita harus teliti jangan sampai ada yang tertinggal. Kalau kain ada yang cacat, di simpan di sebelah kiri. Kalau Yang mulus, di simpan di rak khusus. Mengerti, Mas?" "Siap, Pak. Apa di sini cuma saya saja ya?" "Tidak, itu yang lain lagi siap-siap masuk ke ruangan ini," tuturnya. "Baiklah, saya mulai seka
[Assalamualaikum, Bang. Ini persyaratan untuk melamar kerja]Anak laki-laki itu melampirkan sebuah gambar yang isinya syarat-syarat melamar kerja di sana.[Oke, terima kasih, Dek]Sepertinya semua sudah ada, aku punya berkas-berkasnya. Tapi, baju hitam putih aku tidak punya. Oke besok aku akan belanja dulu deh. ***Pagi-pagi, aku sudah bersiap untuk mencari baju hitam putih. Tak susah mencarinya hingga tidak butuh waktu lama untuk aku mendapatkannya.Semua berkas persyaratan sudah aku siapkan di dalam map. Waktunya bersiap ke pabrik untuk melamar pekerjaan. Semoga saja aku diterima.PT. Konveksi Indonesia, sebuah pabrik besar yang banyak sekali karyawan yang bekerja di sana. Aku melangkah penuh percaya diri ke depan gerbang, dimana ada bapak satpam sebagai penjaga di pos dekat gerbangnya. "Pagi, Pak. Saya mau melamar pekerjaan di sini, saya boleh masuk?" Aku menyapa Pak satpam sekaligus bertanya padanya."Pagi, boleh saya periksa dulu tasnya?" ucapnya, mungkin memang biasanya sepert
Aku menggeleng, menolaknya dengan tegas, "Tidak, Kak Fani. Karena itu bukan tanggung jawabku dan bukan karena kesalahanku." Tiba-tiba saat kami sedang berdebat, Jovan datang menarik lengan Kak Fani."Apaan sih, Jovan! Kamu gak sayang ya sama ibu? Kenapa kamu membela wanita itu, hah?" teriak Kak Fani."Kak, Kak. Tolong, ini tempat umum jangan teriak-teriak. Jovan membela Rina karena dia gak salah, Jovan saksinya. Lagi pula, bukannya ibu memang sudah punya penyakit jantung dari lahir kan? terus kenapa jadi menyalahkan Rina? Bikin malu saja!" desis Jovan."Tidak, Jovan. Wanita ini yang harus membayarkan semua biaya rumah sakit." Kak Fani masih dengan pendiriannya, ingin aku membayarkan biaya rumah sakit ibunya. Lama-lama, sifat Kak Fani terlihat juga aslinya. Padahal, waktu dia menjadi guru design, sangat sopan dan santun. "Baik, kalau Kak Fani memaksa. Berapa biaya rumah sakitnya?" Aku terpaksa melakukan ini, karena sangat malas untuk berhubungan terus dengan orang-orang kaya tapi ke
"Bu, gak kenapa-kenapa, kan?" ucap Sindi mengelus pundakku."Sudah, tidak apa-apa kok. Ayo kita kembali ke pekerjaan kita lagi, sepertinya ada yang mampir tuh?" jawabku."Hem, baiklah Bu." Intan dan Sindi kembali ke pekerjaan mereka. Sedangkan aku, disini hanya pura-pura baik-baik saja.Aku harus tetap profesional, tak baik membawa masalah ke pekerjaan.***Ting! Setelah beberapa jam berlalu, ponselku berbunyi tanda ada pesan baru yang masuk.Kak Fani[Rina, maaf. Kamu sudah lakukan apa pada ibu saya?]Mungkin kejadian tadi, ibu itu membicarakannya pada Kak Fani, anak perempuannya. Aku akui, Kak Fani memang sopan dalam bicara, tapi menyimpan luka kala aku mendengarnya. [Ibu Kakak kenapa memangnya? Tadi memang betul dia datang ke toko saya dengan marah-marah. Tapi saya hanya berbicara apa adanya saja pada beliau][Ibu saya serangan jantung, Rina. Pasti karena dia sudah mendengar kata-kata yang tidak baik dari kamu, ya? Sehingga membuat dia syok dan kepikiran][Maaf, Kak. Saya tidak b
RINA Aku begitu lega telah bercerai dengan Mas Revan. Kini, aku memulai hidup baru dengan status janda. Berbulan-bulan aku belajar design baju-baju perempuan. Hingga akhirnya mempunyai toko baju kecil, di mall. Alhamdulillah, dengan baju-baju hasil jahitan ku. Aku tidak lagi kerja di orang lain, melainkan memperkerjakan orang lain. Berubah drastis, setelah bercerai dengan Mas Revan. Gara-gara status fesbuk yang aku buat, banyak sekali laki-laki yang datang menemui orang tuaku. Ibuku selalu saja menawariku untuk menikah lagi. Namun, aku masih belum memikirkan pernikahan setelah beberapa bulan cerai. Aku kelupaan, status yang aku buat beberapa bulan lalu belum aku hapus. Dan sekarang aku sudah menghapusnya.Tempo hari aku melihat Mas Revan, dia jalan bersama Nina mantannya dulu. Rupanya mereka balikan lagi, tapi itu semua bukan urusanku. Bertemu lagi dengannya di tempat makan, sepertinya dia mentraktir Nina. Huh! Syukurlah kalau sekarang dia sudah mempunyai pekerjaan. ***"Rin, jal
"Iya, kayaknya aku harus menjual rumah peninggalan bapak ini. Oke, sekarang aku harus memotretnya dan posting di grup jual beli rumah!" Tidak ada cara lain lagi selain menjual rumah ini, masalah tinggal dimana terserah nanti lah. Yang terpenting aku selamat dari debt colector. Luar rumah dan setiap ruangan sudah aku potret. Aku posting di grup jual beli dengan harga enam puluh juta, mengingat rumah ini berukuran kecil, dan banyak yang harus direnovasi. Semoga saja ada yang mau beli. "Maafkan Revan, Pak. Revan terpaksa jual rumah ini untuk melunasi hutang-hutang Revan," Aku bergumam sendiri, sembari memposting foto-foto rumah di beberapa grup. Rumah ini harus laku sebelum si penagih datang. Mbak Ratih? Ah, nggak. Aku ogah minta bantuan dia, orang dia udah ngusir aku. Aku sudah anggap dia bukan saudaraku lagi. Ting! Ada dua pesan baru lewat inbox.Oh, ternyata ada juga yang menanyakan rumahku, baru saja beberapa menit, sudah ada yang minat. [Lokasi di mana, bang?]Oh iya, aku lupa
"Lu, jangan dulu putusin tu cewek. Lu pura-pura maafin dia. Terus lu bujuk tu cewek, biar dia membujuk si selingkuhannya itu untuk tidak berani melaporkan lu ke polisi. Laki-laki mah, pasti tunduk pada cewek dah!" tutur si Angga panjang lebar."Oke ide bagus tuh, gue telepon sekarang?" "Terserah lu, mau sekarang apa mau besok kek?" "Sekarang, keburu gue dilaporin."Aku mencoba menghidupkan kembali data, lalu menelepon Nina. Panggilan tersambung, langsung dia menjawab teleponku. "Halo, Nin? Aku sudah memaafkan kamu," ucapku, tanpa basa-basi. "Makasih, ya sayang. Aku cinta banget sama kamu." Si Angga malah ketawa mendengar percakapan kami berdua."Tapi, kita harus bertemu, Nin." "Dimana?" "Di rumah aku, sekarang. Gimana? Ada yang perlu aku bicarakan sama kamu, penting!" "Ya sudah, kita bertemu." "Gak papa gak aku jemput? Kamu masih ingat kan, rumah aku?" "Aku ke sana naik taksi online saja. Iya aku masih ingat kok, yang." "Oke, kalau begitu aku tunggu ya, sayang." Tut! Pangg