Share

Hutang di Bayar Lunas

<span;>Hutang dibayar Lunas

"Berapa hutang Emak saya, Mbok? Saya bayar lunas semuanya," ujarku tegas. 

Mbok Inah sama terkejutnya dengan emak. Raut wajah mbok Inah segera berubah masam, diraihnya buku kecil yang ada di meja dapurnya dengan kasar. Usia mbok Inah lebih muda dari emak, tetapi entah mengapa tidak ada hormatnya sedikitpun dengan bapak dan emak. Padahal, usia anaknya juga masih tingkat sekolah dasar. 

"Owh, jadi anak kebanggaanmu udah pulang, toh," ujarnya sarkas.

"Maaf, Mbok, berapa hutang Emak semuanya?" ucapku kembali lembut. Emak menggenggam tanganku seraya menepuk pelan tanganku, mengisyaratkan agar aku tidak emosi. 

"Dua ratus lima puluh ribu," Mbok Inah menatapku jengah. 

"Emak mau belanja apa lagi?" kutarik lengan Emak lembut, dan menuntunnya ke depan. 

"Emak cuma mau beli minyak sama gula aja, Nduk," 

Padahal aku tahu, emak bukan belanja bahan itu saja, melainkan juga ayam dan bumbu dapur lainnya. Sempat terdengar sebelumnya, emak meminta itu sebelum aku memergoki emak menangis. 

"Mbok, tolong juga dihitung, ayam setengah kilo, gula dan minyak juga satu kilo, ya," ucapku, seraya tanganku sibuk menumpuk barang-barang lainnya. 

Mbok Inah bergegas merapikan barang belanjaanku, tak lupa mulutnya ikut komat kamit seakan tidak suka. 

"Yang ini dibayar kok, Mbok. Jadi gak usah masam gitu, mukanya," Ibu mengedipkan matanya, tanda tak suka akan ucapanku. 

"Totalnya sembilan puluh tiga ribu, ditambah hu … tang," Mbok Inah menekankan kata hutang dengan tegas. 

"Jadi, semuanya tiga ratus empat puluh tiga ribu," jemarinya sibuk menekan kalkulator mininya. 

Kuambil dompet yang ada di saku gamisku, menyerahkan uang lima puluh ribuan sebanyak tujuh lembar dan menyerahkannya ke mbok Inah. 

Mbok Inah sedikit terkejut, tetapi dengan cepat menguasai kembali keadaanya. 

"Nih, kembaliannya," 

"Terimakasih, Mbok," ucap emak seraya mengangkat satu kantong belanjaan. 

"Ya, besok-besok jangan ngutang lagi. Kan si miskin udah jadi kaya," ucapnya pelan, tetapi masih terdengar ditelingaku dan emak. 

Mulutku baru mangap ketika emak sudah menarik paksa untuk keluar dari kedai Mbok Inah. 

"Sudah, jangan dilayani, gak enak nantinya. Emak kalau belanja cuma kesana. Karena itu yang terdekat, Nduk," 

"Iya, Mak. Tapi kan seharusnya mbok Inah mulutnya jangan lemes," memonyongkan bibirku, tanda tidak setuju dengan perkataan emak. 

"Mak, apa uang yang dikirim bang Ilham tidak cukup?" tanyaku 

Mendadak emak menghentikan langkahnya, dan memandang lekat. Ada air mata yang tertahan di sudut mata emak. 

"Besok-besok, Emak cerita ya, Nduk. Sekarang kita masak dulu, kamu juga pasti sudah lapar dan butuh istirahat," ujar emak seraya melangkahkan kakinya kembali. 

Ternyata banyak rahasia yang harus ku ungkap. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat. Ah, sejenak akan kulupakan dulu hal tersebut, sekarang waktunya makan enak dan istirahat. 

***

Adzan maghrib telah berkumandang, bapak dan Taufik sudah berangkat ke masjid sejak tadi. Indahnya kampungku, tidak ada suara kendaraan yang berlalu lalang. Berbeda dengan di kota, kendaraan yang sibuk hilir mudik, menandakan waktunya untuk pulang setelah selesai mencari nafkah. 

Emak meraih mushaf yang sedikit usang, dibacanya pelan. Terdengar suara bapak dan Taufik diluar rumah. 

"Assalamu'alaikum," ucap kedua lelaki tersebut bersamaan. 

" Waalaikumsalam," 

"Sudah shalat, nduk?" tanya bapak. 

"Lagi izin, Pak." jawabku. Begitulah kebiasaan bapak, pasti selalu mengabsen anak-anaknya, apakah sudah shalat atau belum. 

'Bapak bukan tidak percaya, tetapi setan banyak tipu muslihatnya. Jadi, Bapak hanya mengingatkan saja. Karena terkadang ada orang yang sudah dengar adzan, tetapi berat untuk melaksanakannya.' Kalimat itu kembali terngiang ditelingaku. 

"Pak, hutang di kedai Mbok Inah, alhamdulillah sudah lunas. Tadi Nia sudah membayarnya," ujar emak seraya menutup mushaf ditangannya. 

"Lah, kok?" 

"Iya, Pak. Alhamdulillah," kulirik Taufik yang tengah makan menghentikan suap nya. 

"Dengan bunganya juga, Kak?" sahut Taufik. 

"Bunga? Maksudnya, Fik?" 

"Hutang Emak, kan, cuma tujuh puluh ribu. Tapi kalau di kedai mbok Inah bisa jadi tujuh ratus ribu," 

"Astagfirullah, benar, Mak?" 

Emak mengangguk lemah dan Bapak terlihat menerawang jauh ke arah pintu rumah. Emak mulai bercerita, kalau kas bon di kedai mbok Inah maka akan ditambah dengan persen bunga per hari dari jadwal pembayaran yang telah ditentukan. Maka apabila telat sehari membayar, maka akan bertambah pula catatan hutangnya. Apakah mbok Inah tidak tahu, bahwa itu adalah riba dan Allah sangat membenci perbuatan tersebut. 

"Pak, Nia mau tanya, apakah uang yang dikirim bang Ilham selama ini, tidak cukup untuk Bapak dan Emak," tanyaku pelan. Kulangkahkan kakiku menuju kursi bapak, ku genggam tangannya hangat. 

Semua terdiam, tidak ada yang terdengar terkecuali suara jangkrik yang bersahutan diluar rumah. 

"Mak?" kualihkan pertanyaanku kepada emak. 

"Nanti juga kamu akan tau, Nduk." Hanya itu jawaban Bapak dan aku paham bahwa ini bukan saat yang tepat untuk mendapatkan jawabannya. 

*** 

Mentari bersinar terik pagi ini, waktu masih menunjukkan pukul sembilan lewat sepuluh menit. Bapak dan Taufik sudah pergi setelah subuh, ke kebun yang ada di kampung sebelah. Emak tengah sibuk di halaman belakang memetik sayuran yang telah ditanamnya. 

Drrt

Drrt 

Terdengar pesan masuk ke telepon genggamku, yang ada di meja dapur. 

[Nia, besok kamu sudah bisa datang ke sekolah ya. Tepat pukul delapan, jangan telat], rupanya Intan yang mengirim pesan. 

[Beres, bu bos] balasku. 

Akhirnya, setelah dua hari menunggu kabar, Intan, teman kecilku dan juga tenaga pengajar di sekolah dasar tempat pengajuan kerjaku memberi kabar. 

"Nia, kapan kamu mulai mengajar?" Emak sudah berdiri di hadapanku. 

"Alhamdulillah, Mak. Intan baru kasih kabar, kalau besok, Nia sudah bisa datang ke sekolah," 

"Alhamdulillah, berarti besok kamu diantar bapak, ya." 

"Loh, bapak gak ke kebun, Mak?" 

Sekolah dan kebun berbeda arah, sekolah yang ku tuju berada di kampung Cemara, sedangkan kebun berada di arah sebaliknya, yaitu di kampung Padi.

"Bapakmu ada urusan di kantor camat," ucap emak ragu. 

"Oh, yowes. Besok aku sama Intan aja, Mak!" Emak tak menanggapi lagi jawabanku, seakan setuju akan keinginanku. 

"Mak, aku ke kedai mbok Inah dulu, ya. Mau beli ***balut," 

"Hati-hati, awas jangan lemes mulutnya," ujar emak seraya terkekeh lucu.  

****

Kedai mbok Inah terlihat ramai oleh ibu-ibu. Wajar bila waktunya mereka belanja untuk keperluan makan siang. Kulihat ada mbah Sarmi, mbak Risa dan mbak Atun, sedangkan yang lainnya tidak ku kenal. 

"Assalamu'alaikum," 

"Waalaikumsalam," ucap mereka serentak, seperti koor paduan suara. 

Mbak Risa memperhatikanku dari ujung kaki sampai ujung kepala, dahinya berkerut menandakan sedang berpikir. 

"Gak usah banyak mikir, itu si miskin yang jadi kaya, Nia, anaknya Arman," mbok Inah tiba tiba muncul dari samping kedainya. 

Andaikan tidak ingat perkataan emak, mungkin sudah ku segel mulut mbok Inah. 

"Wah, Nia. Makin cantik aja," mbah Sarmi menghampiriku, kusalami wanita berkerudung warna maroon itu. 

"Mau ngutang lagi?" Masih dengan ketusnya, mbok Inah terus saja memancing emosiku. Ibu-ibu yang lain mencoba terlihat sibuk dengan memilih bahan belanjaan, mulut mereka juga sibuk berbisik-bisik sambil melirik ku. 

"Gak kok, mbok. Cuma mau beli ***balut, yang merk ***** ada, Mbok?" Merk yang kusebutkan memang sedikit mahal dari lainnya. Bukan karena harga, tapi karena memang aku sudah cocok menggunakannya. 

"Alah, emang kalau pakai merk lain, yang lebih murah, kenapa? Miskin ya miskin aja, keluarga miskin aja belagu" ujarnya lagi. Mbah Sarmi mengusap lembut tanganku sedangkan yang lain terlihat semakin kusuk memindai wajahku. 

"Mbok, dengar ya. Nia tidak tahu, ada masalah apa sebelumnya Mbok dengan keluarga Nia. Setahu Nia, hutang emak sudah Nia bayarkan, lunas. Bukankah hutang emak cuma tujuh puluh ribu? Mengapa Mbok menagihnya menjadi dua ratus lima puluh ribu? Apa Mbok sadar, kalau itu riba? Apa Mbok tahu, orang pemakan riba di hari kiamat tubuhnya halal disentuh api neraka?" ucapku garang, terdengar detak jantung dan nafas ku yang memburu. 

Seketika suara manusia tidak terdengar di telingaku. Semuanya terdiam, mulut mbok Inah terbuka lebar memandangku, pukulan telak baginya. Kuambil ***balut yang ada di gantungan kedai, meletakkan uang dua puluh ribu diatas meja. 

"Kembaliannya untuk mbok saja,. Nia, ikhlas. Lebih baik miskin harta, daripada miskin hati," ujarku seraya meninggalkan kedai tersebut. Masih sempat kuucapkan salam, dan hanya satu orang saja yang menjawab salamku, mbah Sarmi. 

Baiklah, mari kita buktikan, siapa yang paling kaya disini.

@@@

Hei, hei. Udah eps 2 aja nih. Makasih yang udah buat jejak dan likenya. 🥰🥰🥰🥰. love u.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status