LOGIN୨ৎ T O Y I જ⁀➴
"Toyi, kamu harusnya pergi sekarang!" gernyit Derrin sambil mencubit pahaku di bawah meja. "Enggak, aku baik-baik aja, kok." Dia memperhatikanku dengan enggak sabaran. "Pasti capek, kan." Aku angkat bahu. " Enggak juga, orang aku tidur di pesawat." Dia pun mendesah, kesal. "Kamu punya pesawat pribadi?" tanya seseorang, entah dari saudara kandungnya atau saudara tiri, aku belum kenal. "Bukan punya aku, sih. Cuma aku biasa diantar kemana-mana pakai itu. Maskapainya juga udah kerja sama sama aku." "Pasti enak banget tuh," sahut Pelayan sebelum menaruh beberapa pitcher di meja. "Atau kamu mau sesuatu? Aku bisa ambilin" Dia ulurkan tangan ke arahku. "Kamu mungkin enggak ingat aku, tapi—" "Marlin, kan?" Alisnya langsung jumping, kaget. Aku tunjuk ke name tag dia. "Ada namanya di situ." Marlin tertawa, dan satu meja pun ikut cekikikan juga, yang bikin Derrin makin kelihatan sebal. "Aku pesan minuman paling populer di sini," kataku ke Marlin. "Gimana kalau Khalisa Takes Flight? Jadi kamu bisa cobain banyak rasa sekaligus," katanya. "Mantap, tuh." Aku tengok ke Derrin, yang lagi bersandar santai di kursinya sambil sibuk main HP. "Aku biasanya enggak minum bir, tapi aku punya waktu tiga bulan sebelum pertandingan berikutnya." Derrin geleng kepala, kelihatan enggak berminat. Sekarang aku malah merasa bingung. Benar-benar worth it enggak, sih kalau aku berjuang buat dia, kalau dia saja enggak mau sama aku? "Jadi, Toyi," Mamanya Derrin, buka suara. "Bisa kasih kita sedikit gambaran tentang pernikahan kalian, soalnya Derrin rahasiain ini dari kami." Derrin langsung duduk tegak. "Maaa!" "Ya gimana, orang kamu sendiri enggak pernah cerita apa-apa, dan Mama pingin tahu pernikahan anak Mama." "Aku udah bilang enggak ingat. Kita mabuk, dan bentar lagi juga nikahannya bakal dibatalin." "Itu alasan kamu ada di sini, Toyi?" tanya Hapsari. Derrin angkat tangan. "Enggak usah nunggu jawabannya, Ma. Aku udah jawab mewakili kita berdua." "Sebenarnya, Tante Hapsari ... Emmm," kataku, "Aku ke sini buat meyakinkan Derrin biar enggak batalin pernikahan ini." Senyum langsung muncul di bibir Hapsari. "Panggil aku Mama aja, Nak. Ayo, ceritain lebih banyak lagi." Dia sandarkan dagu di telapak tangan. "Udah, cukup! Ini urusan kita, bukan urusan kalian." Derrin bangkit dan memperhatikanku tajam. "Kita harus ngomong berdua!" Akhirnya. Memang ini tujuanku datang ke sini. Walau keluarganya asik, aku tetap lebih suka kalau kita bisa memperjelas dulu soal pernikahan ini, lebih cepat lebih baik. Aku berdiri, Derrin jalan melewatiku. "Ikutin dia, gih!" celetuk adiknya yang berambut merah. "Oh ya, kalau kamu butuh tempat menginap, mampir aja ke Pecang Inn. Aku yang punya." Aku benar-benar belum memikirkan akan menginap di mana, jadi aku mengangguk sambil bilang, "Makasih. Senang kenalan sama kalian." Di luar, Derrin mengijinkanku jalan bareng dia. Kita berakhir di teluk, yang aku tebak jadi asal nama tempat ini. Ada beberapa orang di sekitar, tapi sepi, cuma angin laut saja yang berhembus, jadi enggak ada yang bisa dengar kita. Dia jalan ke pinggir air, menunduk, terus ambil beberapa batu. "Kamu bisa berhenti main drama sekarang," gumamnya. "Drama?" "Kamu datang ke sini sok-sokan jadi pahlawan di depan keluargaku, gitu kan? Narsis amat sih, jadi orang terkenal, hah?" "Aku cuma bilang apa yang sebenarnya." "Dengar baik-baik ..." Dia keluarkan napas panjang sambil angkat tangan. "... aku hargai kamu masih mau nerusin ini, enggak salah ..." Aku baru mau buka mulut, tapi dia langsung memotongnya. "Tapi aku enggak akan bisa sama orang seperti kamu." Aku menyipitkan mata. "Maksud kamu apa?" Dia lempar batu ke air. "Anggap aja kita tetap nikah dan coba jalanin ini. Menurutmu bakal kayak gimana? Kamu tinggal di Bandung, sedangkan aku di sini." "Aku enggak tinggal di Bandung." Dia langsung menengok ke arahku. "Enggak?" "Enggak, aku punya beberapa rumah, tapi enggak ada satupun di Bandung. Makanya aku nginap di suite waktu itu." Dia mengangguk pelan. "Jadi kamu mau ke mana habis dari sini?" "Kamu pikir aku bakal pergi?" Aku senyum, tapi senyum itu sama sekali enggak bikin mood dia membaik. Jadi, aku ambil batu, aku lempar ke air. "Mungkin ke Nusa Tenggara. Mamaku di sana." "Jadi kamu berharap aku pindah ke Nusa Tenggara? Di sana enggak ada pertandingan MMA." Aku tengok ke belakang, ke arah kota kecil ini. Rasanya beda banget sama semua tempat yang pernah aku kunjungi, tapi aku suka karena di sini enggak ada wartawan. Dan walaupun di perjalanan ke sini aku enggak terpikirkan bagaimana caranya menjalani hubungan jarak jauh, tiba-tiba saja ada ide muncul di kepalaku. "Aku bisa latihan di sini buat pertarungan nanti." "Apa?" Dia langsung menoleh cepat. Jelas banget dia enggak menyangkanya, dan saat aku berhasil bikin dia kaget, rasanya malah membuatku antusias. "Aku ada pertandingan sembilan puluh hari lagi, seperti yang aku bilang tadi. Aku yakin bisa menemukan tempat buat taruh beberapa alat gym sama semua yang aku butuhin. Jadi selama itu kita bisa saling mengenal, terus kita bisa nilai dari sini, apakah pernikahan ini sesuatu yang worth it buat diterusin." "Kan, aku udah bilang, aku enggak mau nerusin ini." Dia lempar batu lagi ke air. Sepanjang jalan ke sini, aku memikirkan bagaimana caranya biar dia mau kasih aku kesempatan. Cuma satu hal yang muncul di kepalaku, aku enggak ingin menyuap dia biar tetap jadi istriku, tapi kalau itu satu-satunya jalan, mungkin patut dicoba. "Gimana kalau kita bikin kesepakatan?" Dia menengok ke arahku. "Kamu kan pingin banget jalanin podcast itu, kan?" Pipinya langsung merah, sepertinya dia lupa sudah cerita itu ke aku. "Terus kenapa?" Dia masih jutek, tapi aku bisa lihat dia lumayan terpancing. "Aku dengan senang hati bakal bantuin, bahkan bisa ngajak beberapa tamu lain juga." "Sebagai gantinya apa?" Dia menyilangkan tangan di dada yang ... yah, bikin aku langsung teringat bagaimana rasanya waktu aku pegang benda kenyal itu, sampai aku harus geser posisi buat menutupi tonjolan di celanaku. "Sebagai gantinya kamu jadi istriku selama aku di sini." "Kok, kedengarannya kayak kamu ini lagi beli aku, hah?" Dia menjauh dari tepi air, jalan mengelilingi jalur pinggir teluk. Aku lari menyusulnya agar sejajar sama dia. "Aku enggak lagi beli kamu. Aku ngajak bikin kesepakatan. Aku cuma pingin tahu hubungan ini bakal jadi apa ke depannya." Dia berhenti, memperhatikanku tajam. "Kasih aku satu alasan kenapa kamu pingin lanjutin pernikahan ini. Kamu enggak tahu apa-apa soal aku. Kamu juga mabuk waktu nikah sama aku." Aku angkat bahu. "Aku ngikutin instingku." Dia tertawa miris. "Instingmu? Sinting kamu! Jadi, sinting kamu itu udah bikin kamu terbang ribuan kilometer ke Pecang, cuma buat ngejar cewek yang bahkan kamu baru kenal kurang dari 24 jam?" "Aku juga enggak mau media ngejar-ngejar aku. Gini, ya ... mereka udah tahu kalau kita nikah. Dan kalau ketahuan kita cerai atau batal, mereka bakal ngikutin tiap gerak-gerik aku, menguliti karir aku, sementara aku harus fokus latihan buat pertarungan tiga bulan lagi." "Jadi maksud kamu kita harus pura-pura nikah, gitu?" Nada suaranya sudah enggak jijik seperti tadi. "Iya." Aku enggak bisa fokus kalau wartawan terus-terusan menempel seperti lintah. Kalau aku sembunyi di sini, terus kita bikin podcast seolah-olah pernikahan kita sudah bahagia, lama-lama mereka juga akan bosan karena enggak ada gosip seru. Dia diam, langkahnya cepat saat belok di jalan setapak. "Dan kamu bisa bawa beberapa teman-teman kamu yang terkenal itu buat jadi bintang tamu podcastku?" "Iya, dan aku juga ada koneksi sama orang radio International." Dia keluarkan napas panjang, terus duduk di bukit kecil. "Kamu bikin ini susah banget buat aku tolak." "Emang itu niat aku." Aku duduk di sebelahnya, lututku ke depan. Dia menatapku. "Cuma kamu sama aku yang tahu soal kesepakatan ini, kan?" "Aku tahu kamu dekat sama keluarga kamu. Tapi, makin banyak orang yang tahu, makin besar juga kemungkinan bocor. Aku udah sering lihat wartawan melakukan hal kotor biar orang buka mulut, jadi menurutku lebih baik cuma kamu sama aku aja yang tahu soal ini. Lebih aman kalau semua orang percaya kita suami istri yang harmonis." "Benar juga. Tapi aku benci bohongin keluargaku." Dia turunkan kepala ke antara lutut. Dan aku juga benci membohongi dia. Tapi jelas banget, kalau aku pakai hati buat tarik dia, itu enggak akan ada pengaruhnya buat dia. Dia enggak percaya sama perasaan atau intuisi. Aku harap suatu hari nanti bisa tahu alasannya kenapa, karena itu berarti dia sudah cukup percaya buat cerita ke aku. "Tapi nanti kamu yang bakal urusin podcast itu." Dia sandarkan kepala ke lutut. Aku ingin banget menyelipkan rambut pirangnya ke belakang telinga, tapi aku yakin dia akan menganggap itu aneh. "Oke," katanya pelan. "Tapi ingat, yang tahu ini cuma kita berdua!" "Kita berdua," jawabku. "Dan kamu bakal tinggal di sini buat latihan?" "Iya, tapi ada hal penting yang harus kita beresin dulu. Kamu harus mau wawancara bareng aku di Bandung, biar media enggak ngikutin kita lagi." Dia mengangguk. "Oke." Kita enggak berjabat tangan, enggak juga berciuman. Tapi kesepakatan ini sudah deal. Dan aku punya waktu tiga bulan untuk membuktikan ke dia, kalau ada alasan kenapa kita bisa menikah di Bandung waktu itu. Doakan aku, ya. Karena aku akan butuh semua keberuntungan yang ada.୨ৎ D E R R I N જ⁀➴ “Aku enggak nyangka butuh boots buat kencan ini. Dan aku juga enggak nyangka bakal ngos-ngosan gini.” Hiking, jelas bukan tipe kencanku, tapi aku enggak mau merusak momen. Toyi terlihat excited banget saat dia chat aku dari gym tadi, kasih tahu apa yang harus aku pakai. “Dikit lagi kok, habis itu kamu bisa copot. Tapi aku suka pemandangannya,” katanya. Aku tengok ke belakang dan menemukan dia lagi fokus memperhatikan pantatku. “Kayaknya masih kepagian deh buat pantatku muncul terus di depan mukamu.” Bangun dari ranjang Toyi pagi ini rasanya enak banget. Mencium aroma dia di sarung bantal, teringat bagaimana badannya menempel sama aku. Tangannya semalam yang enggak berhenti menjelajahi tubuhku. Aku menyesal banget kenapa enggak dari dulu mengambil langkah ini. “Sorry nih harus aku jujur, tapi aku udah naksir pantat kamu dari pertama kali kita ketemu.” Aku goyangkan pantat dan dia langsung maju dari belakang, kedua tangannya menekan bokongku. “Kalau kamu terus
Keesokan harinya, alarm HP-ku berbunyi. Aku tepok layar buat mematikannya. Derrin bergerak sedikit di pelukanku, dan aku kecup keningnya."Tidur lagi aja," bisikku, terus aku pelan-pelan turun dari ranjang.Aku enggak berharap banyak dari sesi latihan hari ini. Badanku masih pegal gara-gara “latihan” yang Derrin kasih tadi malam. Film yang kita tonton cuma bertahan lima belas menit sebelum dia mencium dadaku dan akhirnya berubah jadi hal lain.Ujung-ujungnya kita balik lagi ke shower, terus turun ke dapur jam dua pagi buat cari camilan. Aku enggak yakin berapa kali kita nge-seks di malam pernikahan di Bandung, tapi aku cukup yakin tadi malam jumlahnya mengalahi itu.Aku bohong kalau bilang enggak kepikiran bagaimana perasaan dia saat bangun pagi ini. Aku cuma berharap dia masih ada di titik yang sama kayak tadi malam, kalau akhirnya dia sudah berhasil menyebrangi jembatan traumanya.Setelah pakai celana latihan, kaos, sama hoodie, aku gos
୨ৎ T O Y I જ⁀➴ Aku benar-benar berharap ini bukan cuma mimpi gara-gara aku jatuh di shower, terbentur di kepala, terus berhalusinasi. Aku merangkak di kasur, hati-hati biar enggak menindih Derrin sepenuhnya, rasanya seperti mimpi. Apalagi setelah aku terus dihantui memori tentang memepetnya ke kaca di suite hotel waktu itu. Dia melilitkan tangannya ke leherku, jemarinya bermain di rambut basahku, menarikku turun biar bibir kita bertemu lagi. Tubuhnya lembut banget, licin seperti sutra, membuatku susah menahan diri untuk enggak langsung masuk ke dalam rahimnya. "Bentar, aku ambil kondom dulu," gumamku, melepas ciuman, meski aku enggak mau beranjak dari atas dia. Aku meraih ke meja samping tempat tidur, tempat aku menaruh kondom, karena memang aku sudah berharap dia bakal masuk kamarku suatu saat nanti. "Kamu tahu, kotak ini aku beli khusus buat kita." Aku ambil bungkusnya dan buka. Dia senyum, terus berlutut, membantuku memasangnya di sepanjang Juniorku. Gila, dia benar-
୨ৎ D E R R I Nજ⁀➴Aku duduk di ranjang, memandang kosong ke tembok. Bayangan mata biru Toyi yang biasanya penuh dengan ketulusan, tadi jatuh jadi putus asa setelah aku bilang aku enggak bisa. Itu terukir jelas di otakku.Aku copot sepatu, kesal sendiri karena Papaku lagi-lagi menghancurkan hidupku dengan masalah trust issue yang enggak selesai-selesai.Aku ambil HP, menelepon Marlin. Dia angkat di dering pertama.📞“Eh, girl!” Suaranya terdengar masih ramai, kayaknya dia masih di bar.“Kamu sibuk?” tanyaku sambil buka legging dan dalaman, terus ganti pakai celana piyama.“Kalau buat kamu, jelas enggak.”“Jadi, apa masalahnya?” tanyanya.“Kenapa kamu langsung mikir kalau ada masalah?” Aku nyalakan speaker, copot kaus, terus ganti pakai piyama model kancing depan. Dalam hati aku berpikir, setelah tidur nyenyak mungkin besok aku bisa baikan lagi sama Toyi.“Kamu punya nada khas, Derrin.”“Nada apa?”“Nada yang bilang, ‘aku lagi kenapa-kenapa.’ Ayo, cerita. Aku udah jadi sahabat kamu da
୨ৎ T O Y I જ⁀➴Begitu aku bilang ke Derrin kalau ini malam terbaik selama aku di sini, dia langsung bengong. Aku menunjukan beberapa gerakan ke para lansia, tapi sebenarnya mereka lebih pintar pakai pisau sama semprotan merica.Ada ibu-ibu yang bilang kalau dia bawa stun gun segala. Saat kita semua lagi makan es krim bareng, aku sempat kepikiran harusnya komplek ini pasang papan peringatan agar para penjahat berpikir dua kali sebelum macam-macam.Kita duduk melingkar di meja, aku bersama satu kakek namanya Lanon sama satu lagi Shanon.Topik obrolan mereka?Cuma peduli apakah payudaranya cewek-cewek yang pegang papan skor di ring itu asli atau bohongan.“Aku benaran enggak tahu,” jawabku lagi sambil melirik ke Derrin, yang masih sibuk menjelaskan ke Pingkan kalau "Tea" itu sebenarnya bukan teh benaran.Shanon bersandar ke depan. “Kita enggak bakal bilang ke Derrin atau Connie, kok. Ngaku aja, kamu benaran enggak pernah tidurin salah satu dari mereka? Gila, enggak percaya aku.”Aku meng
୨ৎ D E R R I N જ⁀➴Jam enam sore, Toyi turun dari kamarnya, dia habis mandi dan wangi banget."Eh, aku kira aku bakal siap duluan dari kamu." Dia berhenti di meja depan, masukkan dompet sama kunci ke kantong.Aku memutar badan ke arah pintu. "Kamu kelihatan rapi banget buat sekadar pergi ke panti jompo. Apalagi kamu mau ngajar bela diri."Dia membuatku merasa malu dengan outfitku, legging sama hoodie. Nenek Connie pasti bakal mengomentari bajuku di depan geng nenek-neneknya."Aku pakai baju olahraga, kok." Dia melihat ke dirinya sendiri seperti lupa apa yang dia pakai."Iya, tapi rambut kamu rapi, dan kamu wangi."Dia senyum. "Jadi, maksud kamu sebenarnya, kamu ngakuin kalau aku seksi ... dan wangi?"Aku memutar mata, pura-pura kesal karena dia berhasil menangkapku. "Ayo, lah."Aku buka pintu terus kita keluar ke halaman depan."Aku bisa nyetir kok," katanya."Aku kan udah bilang aku yang nyetir.""Yah, aku pingin nyetir aja. Aku harus hafalin lokasi-lokasi sekitar, dan aku juga belum







