Kabut hitam begitu pekat, kedua bocah itu semakin histeris dan saling berpelukan satu sama lain. Badan terasa lemas hingga keduanya terduduk tak mampu hanya untuk sekedar menopang tubuhnya.Sesosok bayangan besar muncul di tengah kepulan asap serta kabut hitam. Mata keduanya terpejam erat tak berani untuk melihat. Tak mungkin jika itu ibunya, karena itu begitu tinggi dan besar.Hingga perlahan bayangan itu mendekat, angin tiba-tiba berhembus begitu kencang. Cairan yang keluar dari sela pintu mengenai kaki Sheila hingga terasa dingin."Kakak ...!!" jeritnya. Sheila mempererat pelukan hingga membuat Rafa memberanikan diri untuk membuka mata."Astaghfirullah ... pergi! Jangan ganggu kami!" Suara bocah itu bergetar karena menahan rasa takut.Ia teringat akan ucapan sang bapak jika manusialah mahluk yang paling sempurna dan jangan lah takut dengan apapun itu kecuali sama yang Maha Kuasa. Namun, bagaimana pun itu, Rafa tetaplah anak kecil yang masih mempunyai rasa takut yang tinggi."Tolong
"Pergi ... Pergi ...!!" teriak Rafa. Kaki dan tangannya terus bergerak mencoba menghalau tangan yang kini menyentuh pundaknya. Terasa dingin sekali saat tangan itu menyentuh kulit Rafa yang berkeringat.Mata bocah itu masih terpejam erat. Sungguh, dirinya tak berani hanya untuk sekedar mengintip, sebab beberapa waktu lalu ia melihat sesuatu yang amat mengerikan.Tubuhnya di goncang dengan pelan, hingga suara yang amat ia kenali terdengar di gendang telinganya. Perlahan bocah lelaki itu berhenti menendang dan berteriak."Kamu kenapa Rafa?" Suara itu, Rafa mengenalinya. Tubuhnya yang tidak terlalu gemuk terus di goncang."Rafa bangun. Ini ibu. Kenapa kalian berdua tidur di sini?" Tak salah lagi, itu suara ibunya. Gegas Rafa membuka perlahan kelopak mata dan melihat sang ibu yang berada tepat di depannya. Sedangkan sang adik-Sheila berbaring di sampingnya dan masih memejamkan mata.Rafa tak lantas menjawab pertanyaan sang ibu sebab dirinya pun masih bingung. Bocah lelaki itu mengedarkan
Rafa menceritakan semua yang pernah ia alami. Tentang kejanggalan dan suara-suara yang selalu ia dengar. Ardi pun mendengarkan dengan baik."Apa Bapak tahu tentang semua ini?" tanya Ardi. Kegiatannya ia tinggal begitu saja demi memperhatikan sang keponakan.Rafa menggeleng. "Bagaimana mau bilang ke bapak, orang ibu selalu berada di dekatku dan Sheila saat kami menerima telepon dari bapak. Aku takut, sebab Ibu pernah bilang jangan membahas apapun sama bapak tentang apa yang aku ceritakan dan tanyakan ke ibu. Jadi, aku memilih diam dan tak memberitahu kepada bapak. Kemaren sebenarnya aku ingin ke sini dan bercerita, tetapi, lagi-lagi ada aja alasan ibu agar aku tak datang menemui Om. Untung saja tadi ibu bolehin main ke sini. Jadinya bisa lega deh hati ini bisa bercerita sama Om," terang Rafa panjang lebar.Tangan Ardi terulur dan menyentuh pundak Rafa. Mengusapnya dengan pelan untuk memberi ketenangan pada bocah lelaki itu. "Om akan coba bicarakan ini pada bapakmu. Untuk saat ini, Raf
"Tadi di dalam plastik itu ada amplop nya kan? Kamu taruh mana?" Rafa berdiri dan di tangannya terdapat piring kosong bekasnya makan. Menyimpannya di wastafel dan kembali menghampiri Sheila.Gadis kecil itu pun juga sudah selesai makan. "Masih ada di dalam plastik itu." Sheila menunjuk kantong plastik yang tergeletak di atas meja. "Memangnya apa isinya, Kak?" "Entahlah." Rafa segera meraihnya.Mereka berdua berjalan menuju kamar. Sheila sedari tadi tak berhenti menguap, dirinya sangat lelah karena bermain serta ngantuk berat. Bocah perempuan itu lantas pergi ke kamar dan membaringkan tubuhnya."Ini apa ya?" gumam Rafa lirih. Dirinya duduk di sebuah bangku dan di depannya terdapat meja laci kecil tempat penyimpanan bukunya dan juga milik sang adik.Saat dirinya hendak membuka amplop tersebut, suara dari arah belakang mengejutkannya. Dengan cepat Rafa menyimpannya di antara tumpukan buku."Kalian baru pulang?"Rafa memutar tubuhnya menghadap sang ibu yang berdiri di tengah pintu kamar
"Ibu bicara sama siapa?" tanya Sheila seraya membuka pintu lebih lebar. Kakinya mulai melangkah masuk.Sinta terkejut, dirinya lantas menoleh ke samping di mana suami ghaib-nya tadi berada. Kemudian wanita itu menghembuskan napas lega ketika Virgon sudah hilang tak ada di sana lagi."Ibu? Kenapa bengong?" Langkah Sheila terhenti tepat di samping sang ibu."Eh ... tidak papa. Lain kali kalau kamu mau masuk kamar orang lain harus ketuk pintu dulu. Ibu jadi kaget." Sinta memaksakan senyum."Jadi benar? Akan ada bayi dan Sheila punya adik, Bu? Lalu, ibu bicara sama siapa tadi?" Sheila mengulang kembali pertanyaannya."Memangnya apa yang Sheila dengar? Lain kali jangan menguping pembicaraan orang, tidak baik." Bukan jawaban yang Sheila dapatkan. Melainkan sebuah Omelan dari sang ibu."Bukan kamu yang akan punya adik. Tadi ... emm...," ucapan Sinta terhenti sejenak sembari memikirkan jawaban yang tepat untuk anaknya itu. "Ibu teleponan dengan teman , ibu.""Kata ibu ponselnya mati?" Anak se
Ardi dan Sinta duduk saling berseberangan. Mulut Sinta tertutup rapat dengan sorot mata yang sulit dimengerti. Entah dirinya mendengarkan semua nasihat sang adik ipar atau justru sebaliknya."Ayo kita berangkat sekarang, Mbak," Ardi berbicara lembut. Tak ada kata kasar atau pun menghakimi. Lelaki itu tau jika pikiran Sinta melayang dan tentunya sudah di kuasai oleh mahluk itu dan matanya tertutup oleh hawa nafsu.Sinta menelan ludah. Wanita itu lantas mengalihkan pandangan dan menatap pintu yang masih terbuka. Suasana di luar sana sangat sepi sebab para tetangga banyak yang bekerja serta sibuk dengan pekerjaan di rumah masing-masing."Sebaiknya kamu pulang saja dan lupakan semua yang kamu dengar dan lihat malam tadi," ucap Sinta dengan suara pelan. Tak ada ekspresi apapun di wajahnya. Datar, sedatar nada bicaranya. Matanya pun tak berkedip menatap luar sana.Ardi terkejut dengan apa yang Sinta lontarkan. Bagaimana mungkin kakak iparnya itu menyuruhnya untuk melupakan semuanya? Apakah
"Assalamualaikum." Terdengar suara lelaki yang sedari tadi ia tunggu.Ardi menghembuskan napas dengan lega. Sedikit terlintas di benaknya kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dengan sang kakak."Wa'laikumsalam. Mas dari mana saja? Kenapa telepon ku dari pagi tidak di angkat?" Rasa cemas itu akhirnya hilang."Oalah, maaf. Ponselnya aku tinggal di kamar. Ini Mas baru saja pulang lembur," terang Aldo."Memangnya kenapa? Apa bapak sakit? Tumben telepon sampai puluhan kali," sambungnya.Ardi terdiam cukup lama. Dirinya bingung harus memulainya dari mana. Hingga suara Aldo kembali terdengar dan membuat Ardi seketika tersadar dari lamunannya."Di, kenapa diam saja? Memangnya ada apa? Jangan membuat Mas khawatir.""Emm ... itu Mas. Anu ... anu ..." Mendadak suara Ardi menjadi gagap. Rasanya sulit sekali untuk menjelaskan."Anu-anu. Anu apa?" Aldo terdengar tak sabar.Ardi menarik napas panjang dan menghembuskan lewat mulut secara perlahan. Akhirnya lelaki itu menceritakan semua y
Aldo sangat heran mengapa pintu rumah tidak terkunci, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 23.20Lelaki itu lantas berjalan masuk dan kembali menutup pintu. Ia meletakkan tas ranselnya di kursi yang berada di dekat tivi. Tubuh Aldo rasanya sangat lelah. Namun, ia sama sekali mengabaikan semua rasa penat setelah seharian kerja lembur di proyek.Aldo berjalan melewati kamar dan menuju dapur. Lelaki yang memiliki bewok tipis itu segera mencuci kaki dan membasuh seluruh wajahnya.Aldo menuju meja makan dan meraih air minum lalu meneguknya hingga tandas untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Sebenarnya lelaki itu juga merasakan perutnya yang perih karena sama sekali belum makan. Namun, sekali lagi ia tak memperdulikannya dan bergegas menghampiri sang istri yang sedari tadi tak menyahut panggilannya."Dek ..." panggil Aldo dengan suara pelan.Lelaki itu membuka pintu kamar. Kosong, tak ada Sinta di sini. Aldo mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar."Dek ... Sinta!?" Aldo sedikit b