DUA KOMENTAR PERTAMA DAPAT PULSA 10K. TERIMA KASIH SUDAH MENYUKAI OM SAM
17 “Arghhhhh ….” Entah untuk ke berapa kalinya aku berteriak dan mengacak rambut dengan frustrasi. Bahkan aku yakin jika wajah dan rambut ini sudah kusut masai. Andai ada yang melihat, sudah barang tentu tuduhan wanita gila tersemat padaku. Aku tidak peduli. Aku sedang sangat malu saat ini. Bahkan mungkin sudah sangat akut. Bagaimana tidak? Nenek Widya menjelaskan jika malam itu Om Samudra …. “Arghhh ….” Kembali aku mengacak rambut. Kemudian menyembunyikan kepala di bawah bantal. Berharap dengan begini rasa maluku akan terhapus. Mungkin kalian menganggap aku lebay, tapi jika kalian di posisisku apa juga tidak malu? Selama ini aku selalu jual mahal di depan pria yang ternyata sudah melihat dan pastinya memegang-megang tubuh ini dalam keadaan polos. Tidak ada yang tahu apa yang ia lakukan saat aku tidak sadar itu. Terbayang kan, betapa ia bebas memandangiku tanpa busana. Lalu juga menyentuhku? Secara Nenek mengatakan anaknya itu mengurusiku seorang diri. Satu hal membuatku sangat
18 Aku mematut diri di depan cermin. Membolak-balik tubuh ke kanan dan kiri, depan, belakang. Cantik. Nenek Widya benar, gaun yang dibelikan Om Samudra sangat indah. Menandakan jika orang yang memilihnya, memiliki selera tinggi akan fashion. Ukurannya juga sangat pas di tubuhku. Pundakku meluruh mengingat bagaimana ia bisa pas memilih ukuran gaun ini. Terang saja, ia sudah melihatku dalam keadaan polos. Aku menutup wajah saat membayangkan jika ia mengukur panjang pinggang dan dadaku dengan tangannya. Bukan berburuk sangka. Bisa saja ia mengukur dengan jengkal tangannya, kan? Toh, ia bebas melakukan apa pun karena aku tidak sadar, dan kami hanya berdua saja di kamar hotel itu. “Nona, Tuan Samudra sudah menunggu.” Aku membuka telapak tangan yang menutupi wajah, kemudian menoleh ke arah seorang wanita yang barusan mendandaniku. Lalu mengangguk. Namun, wanita tersebut malah berjalan mendekat dan memindai wajah ini. “Nona, saya koreksi dulu make upnya sebentar,” ujarnya seraya mengam
19“Kejadian unik terjadi di sebuah pesta pernikahan cucu salah satu orang terkaya negeri ini. Pengantin pria tiba-tiba saja memeluk seorang tamu undangan yang hadir di sana. Usut punya usut, ternyata tamu wanita adalah mantan calon istri sang pengantin pria yang tidak jadi ia nikahi.Seharusnya mereka menikah beberapa hari lalu. Tapi posisi pengantin pria mendadak digantikan oleh pamannya sendiri.Belum diketahui sebab pergantian posisi itu. Tapi disinyalir pihak keluarga laki-laki memutuskan menikahkan dulu pamannya yang sudah cukup berumur. Mereka tidak mau paman pengantin pria dilangkahi oleh keponakannya. Padahal pengantin pria ini terlihat masih mencintai mantan calon istrinya yang kini sudah menjadi istri pamannya. Terbukti saat hadir di pernikahannya, pengantin pria seolah enggan melepas—”Klik.Layar datar di hadapanku mendadak berubah menjadi gelap hingga berita itu tak lagi kulihat. Aku mengerjap dan mengembuskan napas kasar. Entah apa yang ada di kepala Bastian hingga memb
20Aku masih mematung. Kaki merasa sudah tak lagi memijak bumi. Aliran darah berhenti mengalir karena jantung terasa tak berdetak. Terlebih setelah itu….“Pelangi tanpa Hujan.”Pria itu menyebutkan judul novelku.Ke-napa? Bagaimana ia tahu? Bahkan satu bait puisi dalam salah satu bab itu bisa ia bacakan dengan lancar.Ke-kenapa bisa? Aku terus membatin.“Percayalah, Pelangi, meski keburukan seluruh dunia kau ambil dan kau dekap untuk dirimu sendiri, di mataku kau tetaplah yang ter—”“Stop, Om!” Aku berbalik dan mengangkat tangan. Kupindai wajah itu untuk mencari tahu kenapa ia bisa tahu begitu banyak akan novelku. Sayangnya, bahkan setelah kutatap lama pun mata itu untuk mendalami hatinya, tak ada yang kudapatkan selain tatapan datar yang tidak pernah bisa kutafsirkan.Aku membuang pandangan saat ia malah sengaja mendekatkan wajahnya. Kulipat tangan di dada. Bagaimana aku bisa membaca pikirannya kalau aku malah salah tingkah bersitatap dengannnya dalam waktu yang lama?“Dari mana Om t
21 Aku bergerak cepat menonaktifkan ponsel dan juga laptop dengan tangan gemetar. Lupakan pekerjaan, tunda dulu chat editor. Aku harus menghilang dulu dari bumi. Jika bisa bersembunyi di lubang semut. Malu tiada tara. Bagaimana bisa aku mengirim pesan itu untuk om-om resek itu? Ini kebiasaan burukku yang suka ceroboh. Saking senang novelku akan ada yang meminang, sampai tidak sadar membalas pesan yang salah. Kenapa pula mereka mengirim pesan di saat hampir bersamaan? Aku mematikan lampu kamar dan bersiap loncat ke tempat tidur untuk mengubur diri di bawah selimut, saat suara pintu diketuk, terdengar. Begiu cepat ia bergerak. Mungkin karena nomorku tidak aktif. Kuabaikan suara ketukan dan mulai naik ke atas kasur. Kali ini tidak loncat. Bahkan sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara yang mungkin bisa terdengar hingga keluar kamar. Kemudian menutup seluruh tubuh dengan selimut. “Mbak Violet Senja.” Mataku melotot dan mendelik ke arah pintu walaupun di balik selimut tebal yang
22Aku mengembus napas sebelum mengaitkan tangan di lengan pria yang mengulurkan tangannya. Bagaimanapun, kami harus tetap terlihat seperti suami istri sungguhan di depan orang lain. Terlebih keluarganya.Aku yakin keluarga Hanggara akan membahas perihal kejadian di pesta Bastian kemarin. Karena itu memanggail kami untuk menghadiri pertemuan keluarga itu.Bukan aku tidak tahu jika berita kami terus berkembang luas. Bahkan banyak yang menjadikan lelucon di berbagai media sosial.Aku memang berusaha tidak terpengaruh karena apa pun yang mereka beritakan tidak benar. Aku yang paling tahu diriku sendiri.Namun, keluarga ini tentu tidak nyaman dengan pemberitaan itu. Mereka mungkin takut berita ini akan berpengaruh terhadap bisnis keluarga. Dan sebagai seseorang yang kini termasuk bagian keluarga Hanggara yang merupakan salah satu orang terkaya negeri ini, aku harus patuh dan mau terlibat saat keluarga ini berusaha membersihkan nama baik mereka.Aku melenggang memasuki rumah bak kastil ini
23Ketegangan menyelimuti. Suhu ruangan terasa lebih panas, padahaal ruangan luas ini tentu berpenyejuk udara. Semua terdiam, karena tahu tabiat sang ratu rumah ini.Aku melirik kaku ke arah pria di sebelahku yang mengisyaratkan dengan kedipan matanya agar aku tetap diam. Aku balas berkedip tanda mengerti. Kemudian menunduk.“Apa aku bertanya padamu, Novita?” tanya Nenek setelah beberapa lama.Novita diam. Bola matanya terlihat melirik suami dan ibu mertuanya. Mungkin meminta pembelaan. Sayangnya tidak ada seorang pun yang bicara.“Aku sedang bertanya pada cucuku, Bastian,” tegas Nenek lagi dengan tatapan menancapkan kekuasaaanya di rumah itu.Pada akhirnya Novita menunduk walaupun aku tidak melihat penyesalan sama sekali di wajahnya. Ia bahkan menghujankam tatapan tajamnya dulu padaku.“Bastian!” panggil Nenek kali ini dengan suara agak keras. “Apa yang kau pikirkan hingga berbuat tanpa memikirkan akibatnya?”Aku melirik wajah laki-laki yang hampir menikahiku. Sejak tadi ia memang te
24“Sudah, jangan dimasukkan hati. Jangan menjadi lemah karena ucapan orang, padahal kita tidak merasa sama sekali.”Aku mengerjap dan mengalihkan pandangan dari kerlip bintang dan bulan sabit di balik jendela kamar.Ya, seharusnya memang aku tidak memsukkan perkataan Tante Esther ke dalam hati. Toh, aku tidak merasa seperti yang ia tuduhkan. Tapi, kok masih tidak bisa melupakan.“Bersyukur anakku tidak jadi menikahimu,” ucap wanita itu ketika melihatku sendiri selepas acara makan keluarga itu.Om Samudra bicara dengan ibu dan kakaknya entah di mana.“Ternyata kamu kelihatannya saja polos, padahal busuk.”Tentu saja aku terperangah dengan kelanjutan ucapan wanita setengah bule yang hampir menjadi ibu mertuaku. Apa maksud ucapannya?“A-pa maksud, Tante?” Aku bertanya gagap.“Aku tahu kenapa anakku melakukan itu kemarin padamu, itu pasti karena kamu yang menggatal. Kamu masih merayu anakku, kan, di belakang suamimu dan menantuku?”“Astagfirullah.” Aku menggumam istigfar seraya menelan l