Share

SUAMI TOXIC
SUAMI TOXIC
Author: Linsara

BAB 1

"Dek! Beresin dulu bekas makannya! Baru kamu tidur!" ucap Mas Dani, suamiku.

Aku baru saja membuka mata. Rupanya aku ketiduran saat menyusui anakku. Posisiku di kasur lantai, menghadap suami yang rupanya sudah selesai makan. Saat ini kami di ruang tengah, duduk beralaskan tikar. Kulihat makanan sudah dibereskan, mungkin oleh suamiku.

"Aku, kan lagi nyusui Ari, Mas. Maaf, aku ketiduran," kataku.

"Makanya jangan tidur!" Ekspresi suamiku terlihat menahan marah.

"Aku ketiduran, Mas. Bukannya sengaja tidur," balasku. "Lagipula, kalau Mas gak mau beresin … ya gak usah diberesin. Biarin saja!"

"Kamu kalau dibilangin, ngejawab terus!" sentak suamiku.

"Ya ampun, Mas. Kamu, kan lihat kalau aku lagi nyusuin Ari. Kenapa sih, cuma urusan beresin bekas makan aja, Mas marah?" tanyaku.

"Alaah … alasan. Kamu memang malas!" ucap suamiku.

Deg. Sakit sekali hatiku mendengar ucapannya. Biarlah aku tak menanggapi lagi ucapannya. Daripada ribut terus, malu kalau sampai terdengar oleh orang tuaku, karena saat ini kami tinggal di rumah orang tuaku.

Aku beranjak untuk makan. Baru saja aku mau menyuap nasi ke mulut, tiba-tiba Ari menangis. Buru-buru kuhampiri dan kugendong.

"Cup, cup. Anak ibu kenapa?" tanyaku lembut. "Bobo lagi, ya. Ibu mau makan dulu," Kugendong Ari. Ia pun kembali tenang dan tertidur.

"Mas, tolong gendong Ari dulu, ya. Aku mau makan," pintaku.

"Taruh aja di kasur!" sahut suamiku cuek. Tangannya sibuk mainan hp.

"Kalau ditaruh, takut bangun lagi, Mas," ucapku.

"Ya sudah, kamu makan sambil berdiri saja. Makan sambil gendong, kan bisa!" seru suamiku.

Astaghfirullah. Terbuat dari apa sih, hati suamiku itu? Tidak peka, tidak mau membantu aku sama sekali. Sedih sekali rasanya. Kenapa aku mendapat jodoh, orang yang seperti ini? Tidak pernah kubayangkan, akan menjalani rumah tangga yang begitu menyusahkan hati. 

Tak terasa air mataku mengalir begitu saja. Kupaksakan menyuap nasi dan mengunyah dalam tangis tanpa suara. Perih hatiku merasakan perlakuan suami seperti ini.

Setelah selesai makan, pelan-pelan kuletakkan Ari di kasur. Aku harus cepat mencuci piring sebelum Ari terbangun. Kulirik Mas Dani, dia masih sibuk dengan hpnya. Hari ini, hari Minggu, Mas Dani libur bekerja. Kalau hari libur begini, seharian Mas Dani bersantai tanpa mau membantu pekerjaan rumah apapun. Terkadang aku malu sama orang tuaku. Kami tinggal menumpang disini, tapi suamiku tidak pernah membantu bapak mengurus sapi-sapi, atau membantu ibu menjemur padi. Alasannya capek, tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan seperti itu, bahkan Mas Dani sering pura-pura tidur kalau melihat ibu sibuk angkat padi yang sudah kering.

Mas Dani bekerja di sebuah pabrik pengolahan makanan instan. Letaknya di ujung desa, tempat kami tinggal saat ini. Sedangkan, asal Mas Dani dari desa yang berjarak cukup jauh dari sini. Makanya kami memutuskan untuk tinggal di desa ini, menumpang di rumah orang tuaku karena gaji Mas Dani sebagai buruh pabrik masih kecil. Begitu yang Mas Dani bilang, aku sendiri tidak tahu berapa jumlahnya. Apalagi statusnya saat ini masih kontrak.

Saat ku sedang mencuci piring di dapur, ibu pulang dari pengepul, selesai menjual padi.

"Mawar … kamu sudah makan?" tanya Ibu.

"Sudah, Bu," jawabku. "Aku siapkan makan untuk Ibu dulu, ya."

"Sudah … sudah. Tidak usah. Biar Ibu ambil sendiri saja. Kamu lanjutkan cuci piringnya!" ujar Ibu.

"Baik, Bu! Bapak, kok belum pulang, Bu?" tanyaku.

"Bapak masih di desa sebelah. Tadi telepon Ibu, katanya masih menunggu pembeli yang akan membeli sapi-sapi bapak," jawab Ibu. "Suamimu sudah makan?"

"Sudah, Bu," jawabku.

Aku telah selesai mencuci piring. Aku ikut duduk, menemani Ibu makan di meja makan.

"Bu, maaf. Tadi Ibu harus membawa sendiri padi-padi ke pengepul," ucapku tak enak hati. "Seharusnya Mas Dani bisa membantu Ibu membawakan."

"Sstt … tidak apa-apa, Nak. Ibu sudah biasa," ucap Ibu. "Mungkin suamimu masih capek. Tidak apa-apa," Ibu mengusap lembut tanganku.

"Iya, Bu," ucapku. "Bu, aku mau melihat Ari dulu, ya. Takut bangun."

"Iya, Nak. Itu sekalian kantong plastiknya dibawa! Tadi ibu beli vitamin buat kamu, supaya asinya lancar," ujar Ibu.

"Terima kasih banyak, ya, Bu," ucapku.

Aku langsung menuju ruang tengah, tempat Ari kutidurkan di kasur lantai.

"Bagus kamu, ya. Jadi begitu kelakuan kamu di belakangku?!" sentak Mas Dani.

Aku terperanjat kaget, mendengar perkataan Mas Dani.

"Kenapa, Mas? Apalagi kesalahanku?" tanyaku.

"Kamu barusan menjelek-jelekkan aku di depan ibumu, kan!" ketus Mas Dani.

"Kamu bilang, aku gak bantuin ibu membawakan padi. Aku gak pernah bantu-bantu orang tua kamu," ucap Mas Dani. "Kamu itu kalau ngomong dipikir, dong! Aku ini bekerja 6 hari dalam seminggu! Aku libur cuma 1 hari, di hari Minggu. Masa aku masih harus kerja lagi di rumah!? Aku juga butuh istirahat. Lagipula pekerjaan yang seperti itu, kan udah biasa orang tua kamu lakukan. Jadi gak perlulah bantuan aku. Apalagi aku gak biasa kerja begitu. Gak level aku gendong-gendong padi! Paham, kamu!?" ucap Mas Dani panjang lebar.

Dadaku naik turun, mendengar ucapan Mas Dani. Tanganku mengepal, menahan emosi yang seolah ingin segera tumpah dari mulutku.

"Apa kamu bilang, Mas? Gak level?" tanyaku emosi.

"Iya!" sentak Mas Dani.

"Gak level, katamu! Apa Mas sadar, kalau selama kita tinggal di sini orang tuaku yang banyak membantu keuangan keluarga kita?! Pekerjaan orang tuaku yang gak level bagimu, justru banyak memberi kita makan! Disaat uang dua ratus ribu yang kamu berikan seminggu sekali bahkan sering lebih dari seminggu, sudah habis. Orang tuaku yang menambal kekurangannya!" ucapku penuh emosi.

"Alaah … dua ratus ribu seminggu cukup kalau cuma dipakai kita berdua saja. Gak cukup karena orang tua kamu ikut makan!" sanggah Mas Dani.

"Ya ampun, Mas. Kita ini numpang di sini. Masa iya, aku masak cuma buat kita berdua saja," ucapku geram. "Kan, sudah kubilang. Kalau uang dari kamu kurang, orang tuaku selalu menambal kekurangannya. Sering kali ibuku yang belanja sayuran untuk kita semua makan."

"Numpang … numpang terus yang kamu katakan. Ya wajarlah kalau kita numpang, kan kamu anaknya. Masa orang tua kamu tega, membiarkan kamu gak punya tempat tinggal," ucap Mas Dani. "Kita numpang, bukan berarti uangku bisa mereka pakai juga."

"Mas … masa kamu gak paham ucapanku. Orang tuaku tidak pernah pakai uang kamu! Penghasilan orang tuaku jauh di atas kamu! Gak usah kamu banggakan gajimu!" ucapku emosi.

Plak. Mas Dani menampar pipiku.

"Kurang ajar sekali mulutmu!" teriak Mas Dani.

"Mas, keterlaluan!" balasku.

Ari menangis keras. Mungkin kaget mendengar pertengkaran kami. Buru-buru kuraih Ari, menenangkannya dalam dekapanku.

"Makanya, kamu kalau bicara yang sopan sama suami. Bisa durhaka, kamu!" ucap Mas Dani lagi.

"Ada apa ini? Suara kalian sampai terdengar keluar rumah," Tiba-tiba terdengar suara Bapak.

"Eh, Ba– Bapak. Itu Mawar, Pak. Kalau bicara sama saya, suka gak sopan," kilah Mas Dani. 

"Tidak seperti itu, Pak," ucapku. "Mas Dani yang sudah salah paham dan bertindak keterlaluan."

"Apa kamu bilang? Kamu mau mengadu macam-macam sama Bapak?" Mas Dani bertanya dengan nada tinggi.

"Sudah, sudah. Kalian ribut sekali. Bapak tadi mendengar semuanya," ucap Bapak. "Mawar, kamu tenangkan Ari dulu. Setelah itu, Bapak mau bicara sama kalian berdua!"

"Baik, Pak!" ucapku.

Mas Dani hanya mengangguk ragu.

**********

Bapak, Ibu, aku dan Mas Dani sudah duduk bersama di ruang tengah. Ari sudah kutidurkan di kamar.

"Bapak dan Ibu tadi mendengar semua perkataan kalian saat bertengkar," Bapak memulai pembicaraan.

Aku hanya bisa menundukkan kepala sembari sekali-kali melihat ke arah Bapak. Mas Dani terlihat memainkan jemarinya, sepertinya ia gugup.

"Bapak sudah bicara dengan Ibu. Bapak memutuskan …."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status