Hanan meletakkan piring yang isinya sudah berpindah ke perut. Kemudian meneguk sisa es jeruk yang tinggal setengah. "Sekarang mending kamu tenangkan diri dulu. Daripada kerja juga gak konsen," tutur Hanan. "Kamu beneran mau pisah kan sama Bang Hilman?" tanya Hanan lagi "Iyalah. Apalagi yang mau dipertahankan. Bagiku, apa yang dilakukan Mas Hilman itu sudah fatal. Dia berbuat z1na saat masih berstatus sebagai suamiku. Dan itu tidak akan pernah aku maafkan. Ya, meskipun jujur aku sedih. Sedih karena sudah gagal mempertahankan rumah tanggaku. Sedih karena Ilham harus kehilangan kasih sayang ayahnya di usianya yang masih begitu kecil." "Jangan sedih. Selama ada aku, Ilham gak akan kekurangan kasih sayang. Percaya, deh." Hanan tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang tipis. "Iya. Aku percaya. Solat dulu, gih. Nanti lanjutin lagi. Aku bantuin, deh. Bersihin lantainya. Tuh, banyak tetesan cat gitu." Aku menunjuk tetesan cat yang tersebar di lantai. "Gak usah. Gak enak ngerepotin. Ma
"Emangnya kenapa kalau dibuka?" tantangnya. Dan dia benar-benar melepaskan kaos yang sudah basah oleh keringat itu. Terlihat dari sela-sela jari saat aku mengintipnya. Aku menghela napas lega saat melihat dia yang mengenakan kaos dalam. Padahal, aku sudah siap-siap untuk berlari meninggalkannya. "Pede banget sih, aku mau mengobral d4da bidang sembarangan," tuturnya sambil terkekeh pelan. "Issshh ... mana tau, kan, tiba-tiba dibuka gitu aja," timpalku mend3lik. "Gak akan. Apa yang tersembunyi, hanya untuk istriku kelak. Cie cie. Wit wiw." Dia bersuit, heboh sendirian. "Apaan, sih. Gak jelas banget," timpalku sambil berbalik dan berjalan menuju rumah. "Ra, jangan lupa. Kan mau ngepel. Aku udah capek nih. Gak kuat lagi." Aku masih bisa mendengar perkataan Hanan. Namun, aku tak menanggapi. Aku langsung masuk ke dalam rumah hendak melaksanakan solat asar. Masuk ke dalam kamar, ternyata Ilham sudah bangun. Dia sedang duduk sambil memegang ponsel dan berbicara dengan seseorang. "Iya.
"Ini kenapa berantakan gini, Mbak?" tanya Fara yang baru saja masuk menyusulku dan Hanan. "Ini pasti kelakuan Mas Hilman dan Anita. Mereka masih mencoba untuk bisa nguasain rumah ini dengan cara nyari sertifikat rumah. Untungnya Mbak sudah amankan duluan," jawabku sambil merapikan kembali kamar itu. Memunguti baju-baju yang berserakan dan merapikannya. "Astaghfirullah. Mereka memang nekad, ya. Kalau mau kawin tinggal kawin aja padahal," timpal Fara yang juga membantuku membereskan kamar. Hanan juga merapikan laci-laci yang terbuka dan barang-barang yang jatuh dari meja rias. "Aku lumayan tahu Anita sejak lama. Ya, sejak bersahabat dengan Bang Hilman. Dan dari pengamatanku, dia itu tipe yang ambisius. Kalau menginginkan sesuatu, harus dapat bagaimanapun caranya," tutur Hanan."Ih, ngeri, ya, berurusan dengan orang model gitu." Fara menggidikan bahunya. "Ya, begitulah. Makanya dari dulu aku sempat ragu, saat tahu Zara menerima pinangan Bang Hilman. Karena aku takut hal ini akan ter
Mata Ilham semakin berbinar saat melihat kolam renang lengkap dengan perosotan berbagai bentuk di area tersebut. "Turun sekarang, Ham?" tanya Hanan pada Ilham yang memang sudah dipakaikan pakaian untuk renang dari rumah. "Iya, Om," jawab Ilham antusias. "Aku di sini saja, ya, lihatin," tuturku. "Ya, gak seru. Ayo dong Mbak, ikut renang. Biar Fara ada teman," paksa Fara. "Kamu aja. Mbak tungguin sini," timpalku. "Udah, Far. Gak perlu dipaksa. Zara emang anti air sejak dulu. Mungkin takut cantiknya ilang," ujar Hanan yang sudah mulai memasuki kolam. Hanan memang tau persis, kalau aku tidak suka berenang. Jangankan suka, bisa aja enggak. Kalaupun masuk kolam renang, hanya akan diam mematung. Tanpa berani ke tengah atau bermain-main di dalamnya. Gagal membujukku, akhirnya Fara turun menyusul Hanan dan Ilham. Dengan menggunakan ban, Ilham nampak antusias saat diajari berenang oleh Om-nya itu. Senyum kebahagiaan tak pernah luntur dari bibir mungilnya. Hingga kebahagiaan itu terasa b
Meski Hanan mencoba menahannya, tetap saja Ilham bisa lepas dari pangkuannya. Dia berlari menuju kolam di mana Mas Hilman berada. Aku, Hanan, dan Fara hanya bisa mengikutinya tanpa bisa mencegahnya. "Ayah ....!" Ilham berteriak hingga Mas Hilman langsung menoleh ke arah Ilham yang berdiri di pinggir kolam."Ilham." Mas Hilman nampak keheranan melihat keberadaan putranya itu. Wajahnya langsung menunjukkan raut semacam bersalah ataupun kikuk. Meski akhirnya, senyum tipis tersungging dari bibirnya. Mas Hilman mendekat, lalu berdiri di dekat Ilham. "Ilham sama siapa ke sini?" tanya Mas Hilman. "Sama Bunda sama Om Hanan," jawab Ilham sambil menunjuk ke arahku yang berdiri dengan jarak tak lebih dari satu meter. Mas Hilman menoleh, raut wajahnya datar tanpa senyuman. Aku pun langsung memalingkan wajah. Tak ingin bertatapan lebih lama lagi. "Ilham berenang bareng ayah, yuk. Bareng Kak Nisya juga," ajak Mas Hilman. Ilham menggeleng. "Tapi Ilham sudah berenang. Sama Om Hanan sama Tante F
"Mas Ryan?" sapaku saat melihat Ryan sedang ada di belakang. "Sama siapa?" tanyaku memperhatikan sisi kiri dan kanannya."Sendiri aja. Maklum, belum punya kenalan daerah sini," jawabnya. "Kalau gitu, gabung sini aja. Kebetulan kita lagi makan siang," tawarku sambil tersenyum. "Memang boleh, ya? Apa ... yang lain gak keberatan?" Mas Ryan nampak ragu. Aku menatap Fara. Ia pun mengangguk. Sementara Hanan, datar tanpa ekspresi. "Tentu saja tidak. Orang kita tetanggaan," jawabku. "Oke, kalau gitu. Aku gabung, ya," timpalnya sambil menarik kursi dan mendudukinya. "Hai Ilham. Masih ingat sama Om?" Mas Ryan menatap Ilham yang masih menikmati es krimnya. "Om yang anterin Ilham sama Bunda ke rumah nenek, kan?" tebak Ilham. "Ya, benar. Om juga, kan, rumahnya di depan rumah nenek Ilham," jawab Mas Ryan. "Oh, iya. Ilham suka lihat," timpal Ilham. "Oh, iya, Mas, kenalkan ini Fara, adikku," tuturku sambil memegang lengan Fara. Mereka pun saling bersalaman sambil mengatakan nama masing-masi
Aku mendadak tak enak pada Mas Ryan setelah mengatakan hal demikian. Hingga suasana sempat terasa sedikit canggung. "Gak masalah. Lagipula, aku sudah ikhlas, kok. Mungkin ini sudah takdir yang digariskan Tuhan untukku," jawabnya sambil tersenyum. "Benar, Mas. Sebagai seorang manusia, kita hanya perlu menjalani peran sebaik-baiknya. Untuk hasilnya, serahkan sepenuhnya pada yang di atas," timpalku. Keasikan berbincang, akhirnya aku dan Mas Ryan sampai di area play ground anak. Aku mengedarkan pandangan, mencari-cari keberadaan Ilham bersama Tante dan Om-nya. "Itu Ilham!" tunjuk Mas Ryan pada arena permainan tembak-tembakan. "Oh, iya," timpalku sambil berjalan hendak menghampiri Ilham. Nampak ia sedang fokus bermain tembak-tembakan diajari oleh Hanan. Sementara Fara sedang fokus mengambil boneka kecil dari permainan yang dijepit. Sayangnya, boneka beruang berwarna pink itu keburu terjatuh sebelum akhirnya sampai ke lubang."Arrggghh ....!" Fara pun menjerit kesal. "Coba lagi," tit
"Gak enak kenapa. Orang di sini sudah pada kenal Nak Hanan semua." Ibu menimpali sambil terkekeh. "Hehe. Iya, Bu. Makasih banyak, ya. Saya senang banget bisa bertemu dengan orang-orang yang menganggap saya seperti keluarga sendiri," balas Hanan. "Melihat ibu dan bapak, saya selalu teringat pada ibu dan bapak saya yang sudah gak ada," lanjut Hanan dengan raut wajah berubah sendu. "Nak Hanan gak usah sedih. Anggap saja ibu sama bapak seperti ibu dan bapak Nak Hanan sendiri. Gak perlu sungkan." Ibu mengusap punggung Hanan lembut. "Ini adik atau kakakku ketemu gede, ya, Bu?" godaku agar Hanan tak bersedih lagi. "Ish ... kamu ini. Orang lagi sedih malah digangguin!" Ibu menepuk lenganku pelan. "Saya gak apa-apa, kok, Bu. Cuma terharu," timpal Hanan sambil tersenyum tipis."Udah, gak perlu sedih lagi. Entar aku masakin makanan kesukaan kamu," kataku pada Hanan. "Memangnya masih ingat?" Dia malah bertanya. "Tumis kangkung sama perkedel, kan?" tebakku. "Aku tuh masih ingat banget, wakt