Share

Bab 2

"Sejak kapan dia pindah lagi ke sini, Mas?" Aku menatap Mas Hilman dengan mata yang masih mengeluarkan buliran bening. Suaraku masih bergetar menandakan sakit dalam hatiku belum luntur. Bagaimana tidak, suamiku sendiri justru meluangkan waktunya untuk menemani wanita lain dan anak orang lain. Sementara istri dan anaknya sendiri, harus menelan kekecewaan karena janji yang kembali diingkari.

"Beberapa hari yang lalu. Dia ... sudah bercerai dengan suaminya. Makanya pindah lagi ke sini," jawab Mas Hilman nampak ragu. Kepalanya menunduk seolah menghindari tatapan mataku.

"Oh ... jadi sekarang Mbak Anita janda?" Aku tersenyum getir. Kemudian mere mas seprai yang kini tengah aku duduki bersama Mas Hilman. Entah kenapa saat mengucapkan kata janda, hatiku semakin terca bik.

Mas Hilman tak menjawab. Dia hanya menanggapi pertanyaan dariku dengan anggukan pelan.

"Kenapa kamu selalu seperti ini, Dek? Selalu saja cemburu pada Anita. Padahal, kamu tau sendiri. Dari dulu Mas dan Anita bersahabat. Bahkan jauh sebelum Mas mengenal kamu." Mas Hilman akhirnya bersuara. Dan selalu saja kata sahabat dijadikannya tameng memojokkan diriku yang seolah istri cemburuan di matanya. Padahal, tak ada satupun seorang istri yang rela suaminya dekat dengan wanita lain. Sekalipun itu sahabatnya sendiri.

Mbak Anita adalah sahabat Mas Hilman sejak duduk di bangku SMA. Persahabatan mereka semakin erat tatkala keduanya kembali kuliah di universitas yang sama. Aku mengetahui semua itu dari cerita Mas Hilman sendiri. Sementara aku, mengenal Mas Hilman saat bekerja menjadi kasir di swalayan tempat Mas Hilman bekerja. Pun karena aku juga adalah teman sekelas dari adik Mas Hilman.

Dulu, aku mengira, Mas Hilman dan Anita adalah sepasang kekasih. Seringkali Anita datang ke swalayan dan membawakan makan siang untuk Mas Hilman. Keduanya nampak begitu akrab dan saling menyayangi. Bahkan Anita tak segan untuk menyandarkan kepalanya di bahu Mas Hilman saat keduanya tengah menikmati kebersamaan. Hingga suatu saat, aku mendengar kabar kalau Anita akan bertunangan dengan atasan di tempatnya bekerja. Anita memang bekerja sebagai sekertaris di sebuah perusahaan. Parasnya yang cantik dan bentuk tubuhnya yang tinggi, bukan hal yang mustahil bisa membius sekelas bos di tempatnya bekerja dan jatuh hati padanya.

"Kerja kok melamun terus!" Aku mencoba menggoda Mas Hilman yang terlihat murung akhir-akhir itu.

"Eh, enggak, Ra. Aku kayaknya cuma kecapean," kilahnya saat itu.

"Jangan bohong. Daripada sedih gitu, mending kita makan. Ibuku tadi membawakan bekal dari rumah. Cobain deh. Masakan ibuku enak, lho!" Aku menyodorkan kotak bekal ke hadapan Mas Hilman.

"Makasih, Ra. Aku belum lapar!" tolaknya halus. Nada suaranya pelan seolah hilang semangat.

Untuk beberapa saat, hening menyelimuti. Hingga kemudian, Mas Hilman kembali bersuara diawali dengan helaan napas berat.

"Hari ini Anita tunangan."

"Lho, kok bisa? Bukannya kalian pacaran, ya?" tanyaku heran.

"Enggak. Mana mau Anita pacaran sama aku yang cuma karyawan swalayan. Aku sama Anita cuma sahabatan. Gak lebih," jawabnya saat itu.

"Oh. Kalau gitu, harusnya seneng dong sahabatmu itu tunangan," timpalku.

"Iya, sih. Cuma sedih aja. Karena mungkin setelah ini, kami tidak akan sedekat sebelumnya." Mas Hilman berkata sembari menatap langit di luar sana. Langit yang begitu cerah dan nampak berlawanan dengan suasana hatinya yang mendung.

Aku tak menanggapi apapun lagi. Kubiarkan dia larut dalam lamunannya sendiri. Dalam tatapan matanya yang nampak kosong.

Sejak saat itu, aku dan Mas Hilman mulai dekat. Dia sering menawarkan diri untuk mengantarku pulang meski aku seringkali menolak. Namun terkadang, aku menerima tawarannya jika keadaan tak memungkinkan untuk pulang sendiri.

Saat Anita melangsungkan pernikahannya pun, Mas Hilman mengajakku untuk menghadiri pesta pernikahan sahabatnya itu. Sebenarnya aku sudah berusaha menolak, tapi karena Mas Hilman terus-terusan memaksa, akhirnya aku pun terpaksa menurutinya.

"Man, persahabatan kita jangan sampai terputus, ya," pinta Anita saat aku dan Mas Hilman menyalaminya di pelaminan. "Oh, iya. Kalau kalian menikah, jangan lupa undang aku," lanjut Anita dengan senyum tipis menghiasi bibir merahnya.

Mas Hilman hanya mengangguk pelan. Sementara aku tak menanggapi apapun karena di antara aku dan Mas Hilman memang tidak ada hubungan apa-apa.

Sebulan sejak saat itu, Mas Hilman mengutarakan keinginannya untuk menikah denganku. Namun, saat itu, aku tak langsung memberikan jawaban. Aku butuh waktu untuk meyakinkan diriku sendiri dan butuh pembuktian cinta yang diutarakan Mas Hilman.

Hingga setelah tiga bulan menjalani hubungan tanpa kejelasan, aku menerima tawaran Mas Hilman untuk menikah. Bukan tanpa sebab aku menerima pinangan itu. Tapi karena kebaikan dan kegigihan Mas Hilman untuk mendapatkan hatiku. Bahkan, tak jarang dia berkunjung dan sekedar berbincang dengan ayahku. Atau bahkan menghabiskan waktu dengan bermain catur bersama-sama. Hingga bukan hanya aku yang terpikat dengan sosoknya, tapi juga kedua orang tuaku.

Aku dan Mas Hilman pun akhirnya menikah setelah setahun lamanya mengenal satu sama lain. Pernikahan yang digelar secara sederhana dan tanpa resepsi mewah. Mas Hilman menepati janjinya untuk mengundang Anita. Namun, sahabatnya itu justru tak bisa datang karena sedang hamil muda. Sementara posisinya saat itu sudah pindah ke Surabaya. Mengikuti sang suami yang dipindahtugaskan.

Aku dan Mas Hilman pun menjalani pernikahan dengan bahagia. Bekerja di tempat yang sama, pulang pergi pun bersama-sama. Tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana sekedar untuk melepas penat dan menghabiskan sisa malam berdua. Meski besoknya, rutinitas kembali seperti semula. Hingga aku akhirnya dinyatakan hamil saat usia pernikahan kami menginjak lima bulan. Saat itu, Mas Hilman memintaku untuk berhenti bekerja dan fokus pada kehamilanku.

Kelahiran bayi pertama kami ternyata membawa banyak kebahagiaan. Mas Hilman diangkat menjadi manager yang bertugas mengawasi beberapa swalayan di beberapa kota. Hingga akhirnya kehidupan kami mulai membaik dari waktu ke waktu. Dari mulai mampu membeli rumah sendiri dan kendaraan roda empat.

Pendar cahaya dari ponsel Mas Hilman yang tergeletak di samping suamiku itu membawaku kembali ke alam nyata. Aku bisa melihat dengan jelas nama yang tertera di layar ponsel. Anita.

[Mas, apa Zara marah?] Begitu isi pesannya. Singkat. Hingga aku bisa membacanya dengan jelas saat ujung mataku melirik layar ponsel yang sama sekali tak dibuka oleh Mas Hilman.

Beberapa menit berlalu, ponsel Mas Hilman kembali berbunyi. Namun dering kali ini menandakan sebuah telepon yang masuk. Nama Anita kembali terpampang di layar berukuran beberapa inci tersebut.

"Angkat saja, Mas!" titahku dengan ketus.

"Tapi, Dek." Mas Hilman hanya menggenggam benda pipih itu seolah ragu untuk menjawab telepon dari Anita.

"Tapi apa, Mas? Bukannya selama ini Mas selalu gercep setiap kali mendapat telepon dari Anita?" Nada suaraku mulai meninggi seiring emosi yang kembali menjalari hati.

"Bahkan aku sering kali bertanya-tanya. Mas itu sebenarnya suamiku atau suami Anita?" lanjutku dengan dada yang naik turun dan sepasang mata yang kembali memanas.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
berarti kamu itu cuman pelarian
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status