Share

SUAMIKU BUKAN SUAMIMU
SUAMIKU BUKAN SUAMIMU
Penulis: Siska_ayu

Bab 1

"Bun, itu ayah. Itu ayah!" Aku yang sedang menemani Ilham bermain di sebuah mall, langsung terperanjat mendengar celotehan riang Ilham dengan tangan yang menunjuk ke sebuah wahana permainan. Suara anakku itu terdengar begitu antusias saat menunjuk ke sosok lelaki yang berdiri tak jauh dariku dan Ilham. Aku men4jamkan penglihatan. Ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa apa yang dilihat Ilham itu adalah ayahnya yang juga suamiku. Benar saja, setelah menelisik hanya dalam beberapa detik, aku bisa memastikan bahwa itu adalah Mas Hilman, suamiku. Terlihat dari baju yang dikenakannya saat berangkat pagi tadi.

Tapi tunggu. Siapa wanita yang berdiri di sebelahnya? Mereka berdua terlihat begitu akrab dan sesekali saling melemp4r senyum. Tiba-tiba saja, seorang anak perempuan yang usianya tak jauh beda dengan Ilham, menghampiri Mas Hilman dan memeluk kakinya sambil tersenyum riang. Nampak sekali anak perempuan berambut panjang itu sudah cukup dekat dengan Mas Hilman. Siapa sebenarnya wanita dan anak kecil itu? Aku tak bisa dengan jelas menangkap wajahnya karena terhalang beberapa orang yang hilir mudik di sekitar mereka.

Tiba-tiba saja aku mengingat peristiwa tadi pagi. Di mana hari ini Mas Hilman berjanji untuk mengajakku dan Ilham berenang ke sebuah water boom yang baru saja buka. Kesibukan Mas Hilman karena pekerjaannya, membuat ia kesulitan mencari waktu sekedar untuk menemaniku dan anaknya untuk sekedar jalan-jalan di hari minggu.

"Sayang, maafkan Mas, ya. Sepertinya rencana kita liburan hari ini harus ditunda lagi," ucap Mas Hilman saat aku tengah menyiapkan sarapan.

Aku langsung menengadah dan menatap matanya. "Lho, kenapa, Mas? Kasian Ilham. Dia udah nungguin hari ini dengan antusias." Aku berusaha proses atas tertundanya liburan yang sekian kalinya.

"Barusan Mas dapat telepon. Mas diminta untuk datang ke swalayan. Ada hal yang penting yang tak bisa ditunda," jawabnya dengan raut wajah yang tak biasa.

"Tak bisakah Mas meluangkan waktu sehari ini saja? Minggu kemarin Mas ke luar kota. Minggu yang lalu pun tiba-tiba Mas ada keperluan. Padahal minggu ini Mas sudah janji mau menemani Ilham." Aku bertutur dengan wajah memelas. Meminta sedikit saja waktunya di hari yang seharusnya libur ini.

"Mas minta maaf, Dek. Tapi Mas kerja juga kan buat kamu sama Ilham. Gak enak kalau Mas menolak," sahutnya.

Aku hanya bisa menghela napas pelan. Jika sudah seperti ini, dibujuk seperti apapun, dia tak akan mungkin mengurungkan pekerjaannya. Rasa kecewa membuat dadaku kian sesak. Terlintas bayangan senyum ceria Ilham sebelum tidur semalam. "Malam ini Ilham mau cepat-cepat bobo. Kan besok kita mau berenang sama ayah," tuturnya sembari membaringkan badannya di atas kasur bermotif robot tersebut. Kedua sudut b1birnya masih melengkungkan senyuman kebahagiaan sampai matanya benar-benar terpejam.

Tak bisa kubayangkan wajah sedih dan kecewa Ilham saat mengetahui kalau ayahnya kembali mengingkari janji untuk membawanya berenang dan menemaninya liburan akhir pekan.

Benar saja, saat bangun tidur, hal yang pertama kali ditanyakan Ilham adalah keberadaan ayahnya. Hatiku tiba-tiba gerimis melihat mata Ilham yang berbinar saat menanyakan ayahnya itu. Aku pun berjongkok untuk mensejahterakan wajahku dengan anak berusia empat tahun tersebut.

"Sayang, maafin ayah, ya. Ayah ada pekerjaan. Dia terpaksa harus berangkat pagi-pagi." Aku membingkai kedua pipi Ilham dengan tanganku sambil menatapnya dengan tatapan penuh kasih sayang.

Namun, kilatan kesedihan langsung terpancar dari kedua netra hitamnya. Bahkan kaca-kaca langsung terlihat jelas di manik matanya.

"Ilham gak jadi berenang lagi ya, Bun?" tanyanya dengan lesu. Kepalanya menunduk seolah menyembunyikan kesedihan yang mendalam.

"Gimana kalau kita jalan-jalan berdua ke m4ll? Nanti Ilham bisa bermain di arena bermain anak. Sambil beli es krim. Mau?" Aku memberikan penawaran sebagai pengobat hatinya. Berusaha menampilkan wajah seceria mungkin.

"Gak sama ayah ya, Bun?" Ilham kembali bertanya.

"Kalau pekerjaan ayah sudah selesai, nanti Bunda minta ayah nyusul. Gimana?" Aku bertutur seceria mungkin meski aku tak yakin Mas Hilman akan menyusul kami.

"Hore ...!" Ilham berjingkrak kegirangan. "Mau, Bun. Mau!" lanjutnya antusias.

Sebelum berangkat ke mall, aku sempat menelepon Mas Hilman dengan maksud ingin memintanya menyusulku dan Ilham. Namun, panggilan teleponku justru ditolak dan sesaat kemudian sebuah pesan masuk layar ponselku.

[Aku lagi sibuk. Nanti aku hubungi lagi] pesannya. Aku hanya bisa menghela napas berat setelah membacanya, kemudian memasukkan kembali gawai milikku ke dalam tas.

Tak dinyana, kepergianku dan Ilham ke m4ll, justru mempertemukan aku dengan Mas Hilman yang pamit untuk bekerja pagi tadi.

"Bun, Bunda! Ayo kita samperin ayah!" Tiba-tiba saja Ilham menar1k tanganku. Membuat lamunanku tentang peristiwa tadi pagi hilang dari ingatan.

Kakiku melangkah pelan mengikuti kaki mungil Ilham yang berjalan hendak menghampiri Mas Hilman. Ilham nampak antusias. Terlihat dari larinya yang semakin kencang. Semakin dekat, jantungku justru terasa semakin berlompatan. Dadaku naik turun menahan emosi yang tiba-tiba meletup dalam hati. Apalagi saat melihat tangan wanita yang ada di sampingnya itu mendarat cantik di pundak Mas Hilman. Hingga akhirnya, aku dan Ilham tiba tepat di belakang Mas Hilman berdiri.

"Ayah ...!" Ilham langsung menghambur memeluk ayahnya itu. Sementara aku masih berdiri di belakang sembari berusaha mengatur debaran jantungku yang semakin tak beraturan.

"Loh, Ilham," tuturnya sambil menunduk menatap anak laki-lakinya tersebut. Nada terkejut begitu terdengar jelas dari suaranya. "Sama siapa, Nak?" lanjutnya sembari mengedarkan pandangan. Dan saat ia berbalik, aku bisa menangkap raut wajah terkejut bercampur grogi saat ia melihat keberadaanku.

"Za-Zara," tuturnya tergagap. Bahkan tangan wanita yang masih bertengger di pundaknya ia turunkan dengan kas4r.

Mata wanita yang berdiri di sampingnya pun membulat sempurna menatapku. Seolah melihat hantu di siang bolong. Ya, sekarang aku mengenali wanita itu. Dia adalah Mbak Anita. Sahabat suamiku. Tapi setahuku, Mbak Anita tinggal di luar kota. Entah kenapa sekarang dia bisa ada di sini. Apa mungkin mereka sudah janjian sebelumnya? Hingga Mas Hilman berani membohongiku demi bertemu dengan wanita yang selalu diutamakannya itu.

"Sedang apa di sini, Mas?" tanyaku setenang mungkin. Meski dadaku terasa bergemuruh dan hampir meled4k.

"Mas lagi ... lagi—." Mas Hilman nampak kebingungan mencari alasan. Hingga ia tak bisa melanjutkan perkataannya. Matanya bahkan tak berani menatapku.

"Oh, jadi ini yang Mas bilang ada pekerjaan penting!" Aku menatap mata Mas Hilman taj4m. Suaraku bergetar menahan gejolak emosi yang menggelegak dalam dada. Pun rasa sakit yang begitu menggerogoti hati yang tak bisa kutahan lagi.

"Kamu jangan salah paham, Sayang. Mas juga belum lama di sini." Mas Hilman mencoba memegang tanganku, namun aku langsung menepisnya.

"Bener kata Mas Hilman, Ra. Dia belum lama datang ke sini. Tadi aku menelponnya dan memintanya untuk menemaniku dan Nisya jalan-jalan. Maklum, aku baru pindah lagi ke sini. Jadi, masih agak risih kalau bepergian sendirian." Mbak Anita ikut menjelaskan, padahal, aku sama sekali tak bertanya padanya. Dia bahkan masih bisa tersenyum meski tipis. Sama sekali tak menunjukkan raut wajah bersalah apalagi meminta maaf padaku yang notabene adalah istri Mas Hilman.

"Oh, jadi Mas Hilman bisa meluangkan waktunya untuk menemanimu dan anakmu jalan-jalan? Sedangkan untukku dan anaknya sendiri gak punya waktu. Padahal, Mas Hilman itu suamiku, bukan suamimu!" Aku berkata dengan nada sin1s. Tak dapat lagi kutahan s4yatan demi s4yatan yang membuat hatiku seakan berd4rah-d4rah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Meyke Sartika
up dong thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status