Aku hampir saja melemp4r ponsel saking kesalnya. Apalagi saat melihat Ilham yang semakin kesusahan bernapas. Tiba-tiba saja aku teringat perkataan Hanan siang tadi. "Aku akan selalu ada untukmu." Gegas aku mencari kontaknya yang baru tadi siang aku simpan. Setelah ketemu, aku langsung meneleponnya. Panggilan pertama tak diangkatnya. Padahal jantungku sudah berlompatan saking ketakutan dengan kondisi Ilham. Beruntung saat aku menelponnya lagi, Hanan mengangkatnya. "Halo, Ra, kenapa?" tanya Hanan di sebrang sana."Tolong aku, Han. Sesak napas Ilham kambuh. Obatnya juga habis. Mas Hilman gak ada di rumah," jawabku dengan bibir bergetar saking paniknya. "Astaghfirullah. Aku langsung ke sana sekarang. Kamu siap-siap dan tunggu di depan," timpal Hanan dengan nada suara yang juga terdengar panik. Belum sempat aku menjawab, sambungan telepon sudah terputus. Aku langsung meletakkan ponsel sembarang. Lalu mengusap-usap punggung Ilham yang ada dalam pangkuanku. "Sabar, ya, Sayang. Sebentar
Suasana pagi ini berubah panas padahal cuaca di luar masih begitu sejuk. Kepalaku bahkan terasa sudah berasap saking kesal dengan sikap Mas Hilman. Sepasang mataku masih menatapnya nyalang menunggu jawaban apa yang akan keluar dari mulutnya. Di ruangan depan rumah ini, tinggal aku berdua dengan Mas Hilman. Sementara Hanan aku suruh untuk menemani Ilham di kamarnya. Aku harus segera menyelesaikan masalah ini agar tak berlarut-larut."Kenapa diam, Mas? Jawab aku! Pilih aku dan Ilham, atau Anita?" Aku kembali bertanya karena Mas Hilman tak kunjung menjawab."Ra, kamu ini ngomong apa? Emangnya kalian barang sampai harus dipilih segala," jawab Mas Hilman tanpa memberi kepastian."Justru karena aku bukan barang, makanya aku bertanya. Aku punya hati, Mas. Aku tidak bisa diabaikan terus seperti ini," timpalku. Aku masih berharap Mas Hilman segera menjawab pertanyaan dariku. "Udah, deh, kamu gak usah ngomong yang macam-macam. Aku itu gak mungkin memilih. Kamu itu istriku. Sementara Anita ada
Aku menatap Hanan. Wajahnya nampak sedikit muram setelah mendengar ucapan Mas Hilman. Dia tak lagi bersuara. Tapi berjalan cepat menuju pintu keluar. Sebelum benar-benar keluar rumah, Hanan sempat menoleh ke arahku sebentar. Namun, dia berbalik dan melanjutkan langkahnya keluar dari rumah ini. Apa yang Mas Hilman tadi katakan? Anak pungut? Siapa yang anak pungut? Hanan? Kepalaku dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung ada jawabannya. Setelah melihat Hanan keluar rumah, Mas Hilman pun berjalan kasar. Langkahnya seperti menuju kamar. Gegas aku menyusulnya. Benar saja. Dia tengah mengganti kemejanya yang tadi sempat terkoyak. Dia juga merapikan kembali penampilannya dengan mematut diri di depan cermin. "Mas, kamu belum menjawab pertanyaanku!" Aku kembali membuka percakapan. Kali ini nada suaraku melunak agar hati Mas Hilman bisa sedikit saja luluh. "Pertanyaan yang mana?" Mas Hilman menoleh dengan kening berkerut."Mas pilih aku atau Anita?" jawabku tanpa embel-embel yang lain. Meski h
SUAMIKU BUKAN SUAMIMUBab 12Aku mencoba menguatkan diriku sendiri. Jangan sampai ada semburat kesedihan yang dipancarkan mataku yang dapat dibaca oleh Ilham. "Kan ayah kerja, Sayang. Nanti, kalau ayahnya sudah gak sibuk, pasti nyusul Ilham sambil jemput kita. Oke. Tos dulu dong!" Aku mengulurkan telapak tangan ke arahnya untuk melakukan tos. Ilham pun langsung membalasnya dengan antusias. "Yuk!" Satu tanganku menuntun tangan Ilham. Sementara tangan yang lainnya menyeret koper. Langkah demi langkah yang dipijak, bagaikan duri-duri t4jam yang menancap ke telapak kaki. Perih. Tak pernah kusangka sedikit pun, aku akan meninggalkan rumah yang sudah kurawat dengan sepenuh cinta. Baru saja tanganku terulur untuk membuka hendel pintu, tiba-tiba aku mendengar suara dering ponsel milikku. Aku mengedarkan pandangan. Mencari-cari keberadaan ponsel yang belum sempat disentuh sejak semalam. Saking kalutnya, aku bahkan hampir melupakan barang pribadi itu dan tak membawanya. "Ilham tunggu seben
"Bunda, nanti di rumah nenek, Ilham mau mancing ikan sama kakek, ya. Mau ngasih makan ayam. Mau ikut kakek juga ke kebun. Ilham mau nangkap capung sama kodok," tutur Ilham dengan mata berbinar. "Emang Ilham gak takut sama kodok?" tanyaku sambil tersenyum kecil. "Enggak dong. Tapi kodoknya yang kecil. Keciiil banget," jawab Ilham menggemaskan. "Itu sih anak kodok," balasku. "Tapi kata kakek, tetep saja kodok namanya," sahut Ilham tak mau kalah. "Iya, deh. Tapi Ilham harus janji. Ilham gak boleh main panas-panasan apalagi lari-lari. Nanti asma Ilham kambuh. Oke?" Aku mengulurkan jari kelingking ke hadapannya. "Siap, Bunda." Ilham mengaitkan jari kelingkingnya di jariku tanda berjanji. "Anak pintar. Sini peluk dulu!" Aku meraih tubuh Ilham dan memeluknya erat. Tak lupa kucium ubun-ubun kepalanya sambil melangitkan doa. Semoga saja Ilham tetap bahagia dan ceria seperti ini meskipun harus terpisah dengan ayahnya. "Anaknya, ya, Mbak?" tanya sopir dengan kepala sedikit menoleh ke bel
Aku tersenyum miring setelah mengatakan hal demikian pada Mas Hilman. Rasakan. Biar dia tahu sendiri, sepenting apa peran seorang istri dalam kehidupan suami dibandingkan seseorang yang katanya sahabat. Aku baru saja akan meletakkan ponselku saat benda pipih itu kembali berdering. Saat dilihat, ternyata Mas hari Hilman yang lagi-lagi mengubungi. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum kembali mengangkat panggilan itu. "Ada apa lagi, Mas? Kurang jelas apa yang aku katakan tadi?" tanyaku sinis. "Kamu tahu sendiri, kan, hari ini aku akan keluar kota. Kamu belum siapin baju dan perlengkapan lainnya," jawab Mas Hilman terdengar kesal. "Mas bukan anak kecil. Siapin aja sendiri. Oh, iya. Kemejanya belum sempat aku setrika. Ada di keranjang setrikaan. Ambil saja. Dan ya, mulai hari ini, silakan biasakan untuk mengurus kebutuhan diri sendiri. Kecuali, mau minta tolong Anita buat nyiapin dan ngurus semuanya. Bye!" Aku mengakhiri panggilan itu tanpa menunggu jawaban darinya. Segera aku nonaktif
Namun, saat Anita kembali lagi ke sini, benar-benar merubah sikap Mas Hilman seutuhnya. Dia bukan lagi suami yang kukenal dulu. Panggilan sayang ataupun dek tak pernah lagi keluar dari mulutnya. Dia bahkan berubah menjadi sangat kasar dan temperamen. Bekas tamparan yang masih terasa panas di pipi, tak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun."Eh ... ada cucu yang kakek ganteng!" Terdengar suara bapak dari arah depan. Aku meraup wajah pelan dengan kedua tangan untuk menghapus bayangan kelam yang berkelebatan di ingatan. Aku bangkit dari bibir ranjang, menghirup napas dalam-dalam lalu keluar dari kamar dengan wajah ceria dan senyum mengembang. "Bapak sudah pulang?" tanyaku sambil mengulurkan tangan dan mencium punggung tangannya. "Iya. Baru saja datang. Kamu sudah lama?" tanya bapak balik. "Belum begitu lama, sih, Pak," jawabku sambil duduk di dekat Ilham. "Bapak ganti baju dulu kalau gitu," lanjut bapak sambil berjalan menuju kamarnya. "Ilham ikut, Kek!" Ilham mengejar langkah ka
SUAMIKU BUKAN SUAMIMUBab 14Gawai yang masih berada dalam genggaman tanganku nyaris saja terlepas andai aku tak buru-buru terduduk di lantai. Jantungku berdegup dengan begitu kencangnya. Apa maksud Anita melakukan semua itu? Tak bisakah ia menghargai aku sedikit saja sebagai wanita yang masih berstatus istri Mas Hilman? Dan kini, lelaki yang masih bergelar suamiku itu diakuinya sebagai suami sendiri di hadapan umum. Atau mungkin, sudah sejauh itukah hubungan suamiku dengan Anita? Apa mungkin mereka telah menjalin hubungan yang lebih intens daripada persahabatan? Menikah diam-diam misalnya. Tanpa bisa dicegah, sepasang mataku langsung memanas dan mengeluarkan buliran bening yang membasahi kedua pipiku. Aku terisak sendirian di dalam kamar. Dengan kedua kaki di tekuk dan wajah yang ditenggelamkan di sela-selanya. Sakit. Hatiku perih bak diiris sembilu. Dadaku sesak luar biasa diikuti hawa panas yang menjalari seluruh tubuh. Meski sudah berusaha untuk selalu kuat, tetap saja aku menang