"Mas, kamu kok keramas sih subuh-subuh gini? Semalam kita kan nggak ngapa-ngapain?" tanyaku heran saat melihat mas Damar, suamiku keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamar tidur kami.
"Loh, kok kamu sudah bangun Mut? Aku cuma gerah. Kamu emang gak merasakan suasana panas ya?" tanyanya mendekat padaku sambil mengusap-usap rambutnya yang basah sambil bersiul-siul.Aku mengernyitkan dahi. "Enggak. Semalam seingatku hujan deras. Lagipula jendela kamar kubuka lebar," jawabku bingung."Ehm, eh, nggak tahu ya. Aku keramas cuma karena gerah kok. Itu saja," kata mas Damar membungkuk sambil menjawil daguku.Posisiku yang duduk di ranjang membuatku bisa memeluk pinggangnya erat.Wangi sabun dan shampoo menguar dari tubuhnya memanjakan hidungku. Mas Damar memang tampan. Kulitnya sawo matang, berbadan tegap dan berhidung mungil dengan rambut hitam ikal tebal.Membuatku semakin merasa jatuh cinta dari hari ke hari. Kendati dia belum bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari kami, bahkan membuatku menjadi ART di rumah nyonya Larasati, tapi aku sangat mencintainya."Mas, mumpung belum subuh, yuk kita tempur," ajakku sambil berusaha melepas celana pendeknya."Eh, ja-jangan!" Mas Damar memegang tanganku perlahan."Loh, kenapa Mas? Seminggu kan kita nggak tempur soalnya aku lagi dapet. Sekarang mumpung aku sudah bersih," tanyaku keheranan."A-aku capek Sayang," katanya perlahan."Capek? Emang habis ngapain? Kan kamu cuma tidur aja semalam?" tanyaku heran.Malu dan gengsi juga selama 8 bulan menikah baru kali ini ditolak suami."Eh, maksud Mas, nanti malam saja. Soalnya hari ini Mas ada janji mengantar Nyonya ke salon."Aku hanya manggut-manggut saja."Bajuku sudah kamu siapkan?" tanyanya."Sudah kusetrika, tuh di cantolan lemari," sahutku lalu bangkit dan segera menuju ke dapur.***"Heh, Mutia! Suami kamu pergi berdua dengan Bu Larasati ya?"Aku mendongak dan melihat Yu Nem sedang menghampiriku."Iya, Yu.""Kamu kok nggak curiga sih? Suami kamu walaupun sopir tapi legit lho. Hati-hati lho kalau Bu Larasati kecantol sama Damar," tukas Yu Darmi, terdengar mengompori.Aku tertawa. "Nggak mungkin. Nyonya Laras kan punya suami ganteng. Walaupun jarang di rumah, masa sih bisa doyan sama Damar. Kayaknya nggak mungkin banget." Aku tertawa."Loh siapa tahu. Jaman sekarang, apapun bisa terjadi. Bayangkan! Dalam semobil hanya ada dua manusia. Yang satu cewek cantik, yang satu cowok ganteng. Pasti lah nyetrum! Ya nggak, buk ibuk?" tanya yu Nem memanasi."Eh, tapi katanya Bu Laras itu cuma istri kedua. Istri seimpenan alias gund*k lho! Jadi ya maklum aja kalau ditinggal-tinggal lakinya mulu!" tukas Yu Nem."Masa sih Mut?"Beberapa asisten rumah tangga menatapku menuntut jawaban.Aku hanya menghela nafas. Lalu segera mengambil ayam dan bahan sup, setelah itu tanpa berkata apapun lagi, aku beranjak dari tukang sayur langganan komplek."Eh, lha kok kabur! Padahal aku kan hanya memperingatkannya. Gimana sih?"***"Mas, kamu kok mandi lagi habis dari salon nganter Nyonya Larisa?" tanyaku curiga.Mas Damar mencubit hidungku mesra. "Kamu tuh ya, kenapa sih kalau aku rajin mandi. Kan kalau aku ganteng, kamu juga yang seneng," tukas mas Damar memelukku erat."Mas, apa kamu ada main sama Nyonya Laras?"Mas Damar mendelik, lalu tertawa. "Nggak lah. Dia sudah punya suami. Dan aku juga sudah punya kamu, Mut. Aku nggak akan melirik perempuan lain," tukas Mas Damar tegas.Aku bernafas lega. Tuh, kan ini semua gara-gara Yu Nem dan Yu Darmi. Aku jadi kepikiran mas Damar selingkuh. Awas saja mereka nanti."Mut, Mas Damar! Ayo makan bersama!""Nah, itu kita dipanggil Nyonya! Yuk makan!"Mas Damar menarik tanganku dan aku mengikutinya."Lho, Mutia, kamu mau kemana? Kan kemarin lusa, sudah kubilang untuk makan di sini sama-sama," tegur Nyonya Laras.Aku hanya tersipu. Lalu mulai mengambil nasi, lauk, sayur dan duduk di kursi jati yang indah ini.Lihatlah, Nyonya Laras begitu baik padaku, tidak mungkin kan dia selingkuh dengan mas Damar?!**"Mut, aku buatin jus jeruk. Diminum ya?"Mas Damar menyodorkan gelas berisi cairan kuning ke arahku.Aku melihatnya dan merasa agak janggal. Empat hari ini sebelum tidur mas Damar selalu memberikan jus buah padaku. Dan aku selalu mengantuk setelah menghabiskannya. Jangan-jangan di dalam jus itu ada CTMnya. Batinku curiga. Tapi untuk apa dia memberiku obat tidur?"Hm, oke. Aku minum ya." Aku mengambil gelas dari tangannya."Eh, Mas, aku lupa nih. Bisa nggak minta tolong matikan kompor? Sepertinya tadi aku baru saja manasin ayam goreng. Bisa minta tolong dicekkan sementara aku minum jus jeruk ini?" pintaku."Oke, aku kedapur dulu. Jangan lupa dihabisin jusnya," kata mas Damar sembari berlalu keluar kamar.Aku bergegas membuang jus jeruk itu keluar jendela, lalu berlagak menjilati bibirku seolah menikmati sisa jus jeruk."Kamu nggak lagi manasin ayam, kok. Kompornya mati semua," lapor mas Damar saat masuk ke dalam kamar."Oh, ya sudah. Berarti tadi udah kumatikan kompornya. Jus jeruknya enak banget," pujiku."Kalau kamu mau, kamu akan kubuatkan tiap malam," tawarnya."Makasih," sahutku tersenyum."Yuk, main sekarang," ajakku lembut menghampiri suamiku."Loh, kamu belum ngantuk?" tanya mas Damar heran."Ngantuk? Emang kenapa aku harus ngantuk?" tanyaku heran."Karena jus itu, eh, maksud aku karena kamu kan capek seharian kerja," kata mas Damar tersenyum.Deg, sebuah firasat buruk tanpa bisa dicegah menghampiriku."Iya, aku sebenarnya ngantuk," Aku sengaja menguap dibuat-buat."Kalau gitu tidur aja. Mainnya besok habis subuh," tukasnya tersenyum."Iya Mas. Kamu gak apa-apa nganggur malam ini?" aku berusaha tersenyum walaupun rasa curiga semakin menjadi."Nggak apa-apa, dah tidur aja sini. Mas peluk," tukas mas Damar sambil menepuk ranjang di sisinya.Aku mengangguk lalu merebahkan diri di sampingnya. Mas Damar mengelus kepalaku perlahan.Dan aku pura-pura mengantuk serta memejamkan mata.Entah berapa lama aku ketiduran, saat mendadak aku merasakan mas Damar yang memelukku bergerak.Aku masih pura-pura memejamkan mata untuk mengetahui apa yang akan dilakukannya setelah bangkit dari ranjang.Terdengar langkah kaki berjingkat mendekat ke arah pintu kamar yang perlahan terbuka dan tak lama kemudian kembali ditutup.Hatiku berdebar tidak karuan dan pikiran tidak tenang karena penuh dengan pertanyaan kemana suamiku pergi.Dan hatiku nyaris berhenti berdetak, saat mas Damar masuk ke dalam kamar nyonya Larasati.Aku berjingkat mendekati kamar besar itu lalu mengambil kursi dan mengintip dari ventilasi."Aah, kamu lama sekali, Yang.""Maaf, Yang. Mutia tadi manja banget.""Aku cemburu kalau kamu ngomongin Mutia.""Aku juga cemburu kalau kamu ngomongin Pak Andi.""Hm, baiklah. Kalau begitu, malam ini waktu untuk kita berdua, Sayang.""Iya."Mataku memanas melihat mas Damar yang mulai menyentuh tubuh seksi nyonya Larasati dengan penuh hasrat.Aku menyiapkan ponsel dan mulai merekamnya walaupun dengan tangan gemetar."Kamu luar biasa, beda dengan Mutia yang tidak terawat dan hanya seperti gedebok pisang."Mas Damar tertawa dan air mataku berjatuhan. Lalu dengan segera aku mengirim video nyonya Larasati dan mas Damar pada Tuan Andi, suami Nyonya Larasati.Klik.Next?Klik.Video itu sudah terkirim. Aku segera turun dari kursi lalu dengan gerakan perlahan, aku mengembalikan kursi itu. Aku menghela nafas dan menguat-nguatkan hati masuk ke dalam kamar dan melihat ponselku. "Masih centang satu. Kenapa hp tuan Andi tidak aktif?" gumamku bingung.Mendadak suara dan bayangan mas Damar dan nyonya Larasati terputar lagi di memori, membuat air mata menetes kembali. Gegas kuusap kasar air mataku, lalu aku mulai menyemangati diri sendiri. "Awas saja kalian. Sekarang kalian memang bisa puas-puasin diri. Tapi tunggu saja saat Tuan Andi sudah pulang ke rumah ini," gumamku penuh dendam. Aku membuka Facebook dan mulai mengubah pengaturannya menjadi privasi. Lalu mengirim video mas Damar ke akun facebookku. "Oke. Untuk sementara aku akan menyimpan video ini di akun facebook untuk berjaga-jaga kalau mas Damar menemukan dan menghapus video ini. Perasaanku menjadi harap-harap cemas saat melihat pesan whatsapp yang hanya centang satu. Ini jelas sudah terkirim, ta
Bunyi bel pintu terdengar dan Larasati memandang Mutia. Perempuan berkimono handuk itu mengarahkan dagunya ke arah depan. Mutia mengangguk dan bergegas meletakan sendok sayur lalu meninggalkan ruang makan menuju ke arah ruang tamu. Dia tercengang saat melihat tuan Andi berdiri di depan pintu rumah. "Tuan sudah pulang?" tanya Mutia tidak percaya dengan sosok tinggi besar yang berdiri di hadapannya. Lelaki berusia lima puluh tahun itu masih tampak gagah. Bahkan meskipun uban menutupi kepalanya, penampakan lelaki itu masih terlihat tegap dan kuat di umurnya yang sudah memasuki 52 tahun. Kemeja, dasi, dan jas mahal membuat penampilan nya semakin berharga. Dilonggarkan nya dasi warna marun dari leher nya lalu menatap Mutia dengan ramah seperti biasanya. Tanpa ucapan apapun, tuan Andi masuk ke dalam rumahnya melewati Mutia. Sebuah koper berwarna hitam beroda diseret lelaki itu.Mutia mengerjap-ngerjapkan mata dan berjingkat mengikuti lelaki tua itu. Tidak ada perubahan sikap dari lelaki
Mutia berjalan perlahan ke arah ruang tengah, dia lalu mengeluarkan ponselnya. "Tunggu, kalau aku melaporkan pak Andi dan Bu Laras ke Bu Mawar, jangan-jangan nanti malah ada keributan. Bisa-bisa aku enggak kerja di sini lagi. Padahal aku kan masih butuh duit. Duh. Tapi kalau aku diem'in aja tentang perselingkuhan Bu Laras dan mas Damar, ck, enak aja. Nggak sudi dong. Apa aku melipir saja pada Bu Mawar. Siapa tahu bisa kerja di tempat Bu Mawar kalau aku memberikan informasi tentang istri kedua suaminya.Nggak salah dong ya kalau aku berusaha membalas kecurangan yang telah mereka lakukan padaku? Emangnya hanya orang kaya yang bisa sakit hati? Aku juga punya hati lah! Enak aja menyakiti Mutia!"Mutia pun lalu mengambil ponsel. "Aku harus tahu alamat rumah atau paling tidak akun media sosial Bu Mawar alias istri pertama pak Andi."Mutia lalu mencari akun Facebook dengan nama Mawar. "Ck, kenapa banyak banget nama mawar di sini?"Mutia lalu menggulir layar ponsel nya dengan perlahan. "M
'Siapa lelaki ini? Kenapa dia kenal dengan pak Andi? Apa dia detektif yang disewa Bu Mawar seperti di tivi-tivi?' batin Mutia sebelum akhirnya dia menjawab, "memangnya siapa bapak itu, Mas? Apa bapak yang ada di foto itu adalah orang hilang?" tanya Mutia dengan wajah polos. Tampak pemuda itu agak terkejut mendengar jawaban dari Mutia. "Jadi mbak nggak pernah melihat papa saya di sini?" tanya lelaki itu lagi memastikan. Mutia mendelik mendengarkan ucapan lelaki muda itu. 'Astaga, pak Andi punya anak laki-laki seganteng ini? Berarti laki-laki ini anaknya Bu Mawar? Tapi bagaimana laki-laki ini tahu alamat rumah ini? Wah, sepertinya hal ini akan lebih menarik,' batin Mutia. "Nggak pernah, Mas. Saya tidak pernah melihat bapak ini di sini. Tapi saya bisa memberikan informasi kalau seandainya ada bapak-bapak yang mirip dengan papanya mas di sini."Pemuda itu tampak berpikir keras. Dahinya berkerut-kerut. "Apa mbaknya bisa dipercaya?" "Wah, sepertinya urusan tentang papanya Mas, serius
Mutia menyingkir dari ruang tengah. Dan berjalan melewati pintu kaca menuju ke taman tengah yang ada kolam renang nya. Suasana malam yang sepi dengan diterangi lampu taman dan sinar bulan membuat hati Mutia sedikit menjadi sentimentil. Dia masih ingat saat dia berbahagia dengan Damar sebelum memergoki suaminya selingkuh. Ponsel Mutia masih berdering saat dia melangkah menjauh dari pintu ruang tengah. Mutia memilih duduk di pinggir kolam yang berhadapan dengan pintu masuk ruang tengah. Jadi kalau Damar muncul dari ruang tengah, Mutia bisa langsung mengetahui nya. "Halo." Akhirnya Mutia menerima panggilan dari Aksara. "Hhhh, mbak Mutia. Ada yang ingin saya tanyakan. Hhh."Mutia mengerut kan dahinya keheranan saat mendengar suara Aksara yang terengah-engah dari seberang telepon. Pikiran Mutia langsung mengelana jauh dan perempuan itu hanya bisa tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Maaf pak Aksa, kalau sedang bersama istrinya, jangan telepon saya sekarang. Besok saja sepe
Mutia meremas alat pengaman pria itu dengan gemas di tangan kanannya. "Hm, lebih baik aku coba tanya saja untuk apa dia menyimpan benda ini. Aku cuma penasaran apa kira-kira jawaban dari mas Damar," gumam Mutia sambil keluar dari kamarnya. Mutia mendekati Damar yang masih rajin menyapu taman tengah, mengumpulkan daun pohon mangga yang berguguran dan memotong daun-daun tanaman Kamboja favorit Larasati. Mutia menggeleng-gelengkan kepalanya saat mengamati beberapa tanaman bunga Kamboja yang ditanam secara bonsai di dalam pot. 'Kok bisa sih Bu Laras menanam bunga kuburan ini di taman tengah. Pantas saja kelakuannya seperti demit. Bunga kesukaan nya saja banyak tumbuh di kuburan,' batin Mutia. Mutia mendekat ke arah suaminya itu. Tangannya yang memegang alat pengaman pria itu bersembunyi di balik punggung nya. "Mas Damar."Mutia tersenyum manis membuat Damar mengehentikan kegiatan nya menyapu. Lelaki itu membersihkan keningnya yang berkeringat. "Ada apa, Mut?" tanya Damar seraya mene
*Jangan membuat perempuan yang kamu cintai menangis, karena akan sangat menyakitkan bila ada lelaki lain yang membantu mengusap air matanya. **Aksara menatap Mutia tak percaya. "Lalu apa jawaban dari dua pertanyaan lainnya semalam?"Mutia menghela nafas. "Satu, kenapa saya tidak jujur saat pak Aksa bertanya kemarin pagi kan?"Aksara mengangguk. "Saya memang tidak menjawab dengan jujur kemarin karena di sekitar rumah Bu Larasati banyak sekali asisten rumah tangga julid. Yang saya takutkan adalah diantara mereka ada mata-mata atau mulut yang tukang ngadu kalau saya jawab dengan jawaban yang jujur. Karena itu saya berbohong, dengan harapan pak Aksa cepat pergi dari kompleks perumahan itu untuk menghindari adanya kemungkinan mata-mata."Aksara tersenyum mendengar jawaban Mutia. "Kamu kayaknya terlalu banyak baca buku atau nonton film mafia deh, Mbak."Senyum Mutia terkembang. "Betul! Saya memang suka sekali nonton film dan tivi, termasuk novel karya Bu Mawar atau Aksara Novela," sahut
"Halo, Pak Alex. Saya terima tawaran dari bapak."Mutia dan kedua anak Mawar hanya bisa menatap Mawar yang sedang menelepon. Mereka tidak bisa ikut mendengarkan pembicaraan selengkapnya karena Mawar tidak mengaktifkan loud speaker nya. "Untuk instruksi lebih detailnya, lebih baik bapak ke rumah saya saja."Jeda sejenak. Mawar terlihat sedang serius mendengarkan suara dari seberang telepon."Iya. Kira-kira seperti itu. Baiklah. Saya tunggu segera."Mawar pun mengakhiri panggilan teleponnya. "Siapa itu, Ma?" tanya Aksara penuh rasa ingin tahu."Pak Alex."Mata kedua anaknya membeliak. "Pak Alex teman sekolah mama yang jadi detektif swasta itu?" tanya Novela. Mawar mengangguk. Sementara Mutia masih berusaha mencerna pembicaraan keluarga di hadapannya. "Wah, mbak Mutia penasaran rupanya. Baiklah. Saya akan menjelaskan secara garis besar. Jadi setelah saya mulai mencium perselingkuhan suami, saya dan anak-anak mulai melakukan penyelidikan diam-diam tanpa ingin melibatkan orang luar ter