Share

SUAMIKU DI RANJANG SANG NYONYA
SUAMIKU DI RANJANG SANG NYONYA
Penulis: ananda zhia

bab 1. Ketahuan

"Mas, kamu kok keramas sih subuh-subuh gini? Semalam kita kan nggak ngapa-ngapain?" tanyaku heran saat melihat mas Damar, suamiku keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamar tidur kami.

"Loh, kok kamu sudah bangun Mut? Aku cuma gerah. Kamu emang gak merasakan suasana panas ya?" tanyanya mendekat padaku sambil mengusap-usap rambutnya yang basah sambil bersiul-siul.

Aku mengernyitkan dahi. "Enggak. Semalam seingatku hujan deras. Lagipula jendela kamar kubuka lebar," jawabku bingung.

"Ehm, eh, nggak tahu ya. Aku keramas cuma karena gerah kok. Itu saja," kata mas Damar membungkuk sambil menjawil daguku.

Posisiku yang duduk di ranjang membuatku bisa memeluk pinggangnya erat.

Wangi sabun dan shampoo menguar dari tubuhnya memanjakan hidungku. Mas Damar memang tampan. Kulitnya sawo matang, berbadan tegap dan berhidung mungil dengan rambut hitam ikal tebal.

Membuatku semakin merasa jatuh cinta dari hari ke hari. Kendati dia belum bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari kami, bahkan membuatku menjadi ART di rumah nyonya Larasati, tapi aku sangat mencintainya.

"Mas, mumpung belum subuh, yuk kita tempur," ajakku sambil berusaha melepas celana pendeknya.

"Eh, ja-jangan!" Mas Damar memegang tanganku perlahan.

"Loh, kenapa Mas? Seminggu kan kita nggak tempur soalnya aku lagi dapet. Sekarang mumpung aku sudah bersih," tanyaku keheranan.

"A-aku capek Sayang," katanya perlahan.

"Capek? Emang habis ngapain? Kan kamu cuma tidur aja semalam?" tanyaku heran.

Malu dan gengsi juga selama 8 bulan menikah baru kali ini ditolak suami.

"Eh, maksud Mas, nanti malam saja. Soalnya hari ini Mas ada janji mengantar Nyonya ke salon."

Aku hanya manggut-manggut saja.

"Bajuku sudah kamu siapkan?" tanyanya.

"Sudah kusetrika, tuh di cantolan lemari," sahutku lalu bangkit dan segera menuju ke dapur.

***

"Heh, Mutia! Suami kamu pergi berdua dengan Bu Larasati ya?"

Aku mendongak dan melihat Yu Nem sedang menghampiriku.

"Iya, Yu."

"Kamu kok nggak curiga sih? Suami kamu walaupun sopir tapi legit lho. Hati-hati lho kalau Bu Larasati kecantol sama Damar," tukas Yu Darmi, terdengar mengompori.

Aku tertawa. "Nggak mungkin. Nyonya Laras kan punya suami ganteng. Walaupun jarang di rumah, masa sih bisa doyan sama Damar. Kayaknya nggak mungkin banget." Aku tertawa.

"Loh siapa tahu. Jaman sekarang, apapun bisa terjadi. Bayangkan! Dalam semobil hanya ada dua manusia. Yang satu cewek cantik, yang satu cowok ganteng. Pasti lah nyetrum! Ya nggak, buk ibuk?" tanya yu Nem memanasi.

"Eh, tapi katanya Bu Laras itu cuma istri kedua. Istri seimpenan alias gund*k lho! Jadi ya maklum aja kalau ditinggal-tinggal lakinya mulu!" tukas Yu Nem.

"Masa sih Mut?"

Beberapa asisten rumah tangga menatapku menuntut jawaban.

Aku hanya menghela nafas. Lalu segera mengambil ayam dan bahan sup, setelah itu tanpa berkata apapun lagi, aku beranjak dari tukang sayur langganan komplek.

"Eh, lha kok kabur! Padahal aku kan hanya memperingatkannya. Gimana sih?"

***

"Mas, kamu kok mandi lagi habis dari salon nganter Nyonya Larisa?" tanyaku curiga.

Mas Damar mencubit hidungku mesra. "Kamu tuh ya, kenapa sih kalau aku rajin mandi. Kan kalau aku ganteng, kamu juga yang seneng," tukas mas Damar memelukku erat.

"Mas, apa kamu ada main sama Nyonya Laras?"

Mas Damar mendelik, lalu tertawa. "Nggak lah. Dia sudah punya suami. Dan aku juga sudah punya kamu, Mut. Aku nggak akan melirik perempuan lain," tukas Mas Damar tegas.

Aku bernafas lega. Tuh, kan ini semua gara-gara Yu Nem dan Yu Darmi. Aku jadi kepikiran mas Damar selingkuh. Awas saja mereka nanti.

"Mut, Mas Damar! Ayo makan bersama!"

"Nah, itu kita dipanggil Nyonya! Yuk makan!"

Mas Damar menarik tanganku dan aku mengikutinya.

"Lho, Mutia, kamu mau kemana? Kan kemarin lusa, sudah kubilang untuk makan di sini sama-sama," tegur Nyonya Laras.

Aku hanya tersipu. Lalu mulai mengambil nasi, lauk, sayur dan duduk di kursi jati yang indah ini.

Lihatlah, Nyonya Laras begitu baik padaku, tidak mungkin kan dia selingkuh dengan mas Damar?!

**

"Mut, aku buatin jus jeruk. Diminum ya?"

Mas Damar menyodorkan gelas berisi cairan kuning ke arahku.

Aku melihatnya dan merasa agak janggal. Empat hari ini sebelum tidur mas Damar selalu memberikan jus buah padaku. Dan aku selalu mengantuk setelah menghabiskannya. Jangan-jangan di dalam jus itu ada CTMnya. Batinku curiga. Tapi untuk apa dia memberiku obat tidur?

"Hm, oke. Aku minum ya." Aku mengambil gelas dari tangannya.

"Eh, Mas, aku lupa nih. Bisa nggak minta tolong matikan kompor? Sepertinya tadi aku baru saja manasin ayam goreng. Bisa minta tolong dicekkan sementara aku minum jus jeruk ini?" pintaku.

"Oke, aku kedapur dulu. Jangan lupa dihabisin jusnya," kata mas Damar sembari berlalu keluar kamar.

Aku bergegas membuang jus jeruk itu keluar jendela, lalu berlagak menjilati bibirku seolah menikmati sisa jus jeruk.

"Kamu nggak lagi manasin ayam, kok. Kompornya mati semua," lapor mas Damar saat masuk ke dalam kamar.

"Oh, ya sudah. Berarti tadi udah kumatikan kompornya. Jus jeruknya enak banget," pujiku.

"Kalau kamu mau, kamu akan kubuatkan tiap malam," tawarnya.

"Makasih," sahutku tersenyum.

"Yuk, main sekarang," ajakku lembut menghampiri suamiku.

"Loh, kamu belum ngantuk?" tanya mas Damar heran.

"Ngantuk? Emang kenapa aku harus ngantuk?" tanyaku heran.

"Karena jus itu, eh, maksud aku karena kamu kan capek seharian kerja," kata mas Damar tersenyum.

Deg, sebuah firasat buruk tanpa bisa dicegah menghampiriku.

"Iya, aku sebenarnya ngantuk," Aku sengaja menguap dibuat-buat.

"Kalau gitu tidur aja. Mainnya besok habis subuh," tukasnya tersenyum.

"Iya Mas. Kamu gak apa-apa nganggur malam ini?" aku berusaha tersenyum walaupun rasa curiga semakin menjadi.

"Nggak apa-apa, dah tidur aja sini. Mas peluk," tukas mas Damar sambil menepuk ranjang di sisinya.

Aku mengangguk lalu merebahkan diri di sampingnya. Mas Damar mengelus kepalaku perlahan.

Dan aku pura-pura mengantuk serta memejamkan mata.

Entah berapa lama aku ketiduran, saat mendadak aku merasakan mas Damar yang memelukku bergerak.

Aku masih pura-pura memejamkan mata untuk mengetahui apa yang akan dilakukannya setelah bangkit dari ranjang.

Terdengar langkah kaki berjingkat mendekat ke arah pintu kamar yang perlahan terbuka dan tak lama kemudian kembali ditutup.

Hatiku berdebar tidak karuan dan pikiran tidak tenang karena penuh dengan pertanyaan kemana suamiku pergi.

Dan hatiku nyaris berhenti berdetak, saat mas Damar masuk ke dalam kamar nyonya Larasati.

Aku berjingkat mendekati kamar besar itu lalu mengambil kursi dan mengintip dari ventilasi.

"Aah, kamu lama sekali, Yang."

"Maaf, Yang. Mutia tadi manja banget."

"Aku cemburu kalau kamu ngomongin Mutia."

"Aku juga cemburu kalau kamu ngomongin Pak Andi."

"Hm, baiklah. Kalau begitu, malam ini waktu untuk kita berdua, Sayang."

"Iya."

Mataku memanas melihat mas Damar yang mulai menyentuh tubuh seksi nyonya Larasati dengan penuh hasrat.

Aku menyiapkan ponsel dan mulai merekamnya walaupun dengan tangan gemetar.

"Kamu luar biasa, beda dengan Mutia yang tidak terawat dan hanya seperti gedebok pisang."

Mas Damar tertawa dan air mataku berjatuhan. Lalu dengan segera aku mengirim video nyonya Larasati dan mas Damar pada Tuan Andi, suami Nyonya Larasati.

Klik.

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status