Share

bab 3. Rencana Balas Dendam

Bunyi bel pintu terdengar dan Larasati memandang Mutia. Perempuan berkimono handuk itu mengarahkan dagunya ke arah depan.

Mutia mengangguk dan bergegas meletakan sendok sayur lalu meninggalkan ruang makan menuju ke arah ruang tamu. Dia tercengang saat melihat tuan Andi berdiri di depan pintu rumah.

"Tuan sudah pulang?" tanya Mutia tidak percaya dengan sosok tinggi besar yang berdiri di hadapannya.

Lelaki berusia lima puluh tahun itu masih tampak gagah. Bahkan meskipun uban menutupi kepalanya, penampakan lelaki itu masih terlihat tegap dan kuat di umurnya yang sudah memasuki 52 tahun. Kemeja, dasi, dan jas mahal membuat penampilan nya semakin berharga. Dilonggarkan nya dasi warna marun dari leher nya lalu menatap Mutia dengan ramah seperti biasanya.

Tanpa ucapan apapun, tuan Andi masuk ke dalam rumahnya melewati Mutia. Sebuah koper berwarna hitam beroda diseret lelaki itu.

Mutia mengerjap-ngerjapkan mata dan berjingkat mengikuti lelaki tua itu. Tidak ada perubahan sikap dari lelaki itu.

'Perasaan tadi videonya belum centang biru, apa memang belum dilihat oleh Tuan Andi?' batin Mutia.

"Hai Mas, kok mendadak datang?" tanya Larasati yang sedang duduk di kursi ruang makan. Perempuan cantik itu terlihat terkejut dan segera berdiri menyambut kedatangan sang suami.

"Kamu kok kaget gitu, Sayang? Seperti tidak suka kalau aku datang?" tanya Andi, berdiri sesaat di depan istrinya duduk lalu melanjutkan langkahnya menyeret koper ke kamar.

Larasati segera berdiri dan membuntuti suaminya. Ditutupnya pintu kamar dan perempuan itu berdiri di hadapan sang suami. Larasati menatap sang suami dengan sedikit mengigil bibirnya.

"Bukan begitu. Aku hanya terkejut dan belum melakukan persiapan untuk menyambut kedatanganmu, Mas. Belum ratus dan spa tubuh juga," sahut Larasati sambil mengalungkan lengannya ke leher Andi.

Andi pun memeluk istri keduanya dengan mesra. "Aku lelah dengan istri pertamaku. Semalam Mawar, menemukan ponselku yang khusus untuk komunikasi kita. Untung saja semua chat sudah kuhapus.

Tapi ponsel ku sudah rusak direndam di kuah soto. Dan akhirnya aku bilang saja aku ada meeting di luar kota. Untung Mawar tidak curiga, karena aku benar-benar ke bandara tadi sebelum ke sini," keluh Andi membuat Larasati tertawa.

"Ah, Mas Andi ini. Aku rasa beli hp baru sekalian kartunya kan bukan hal sulit. Pasti seperti beli keripik singkong dong buat mas Andi."

"Iya dong, Cantik. Kalau begitu, aku ingin mandi dulu sama kamu ya."

Andi dengan genit menjawil dagu Larasati lalu menggendong nya ke kamar mandi yang berada di dalam kamar itu. Larasati dengan tertawa-tawa hanya bisa pasrah Slam gendongan suaminya.

"Wah, nggak bener ini. Kenapa video mas Damar dan nyonya Larasati belum dilihat oleh Tuan Andi?" gumam Mutia lalu memasukkan ponselnya ke saku daster kembali dan akhirnya memilih menata sarapan yang telah dimasaknya.

Baru saja Mutia selesai menyiapkan aneka makanan, pintu kamar Larasati terbuka. Larasati dan Andi dengan tertawa bahagia berjalan menuju ke arah ruang makan. Larasati telah berganti dress selutut dan lengan pendek warna merah senada dengan kaus yang dipakai oleh suaminya. Rambut keduanya basah.

"Sarapan sudah siap, Tuan, Nyonya," ujar Mutia tersenyum.

Andi mengangguk-anggukkan kepalanya lalu duduk di meja makan. Sementara Larasati mulai mengambilkan makanan untuk Andi.

"Mutia, nanti saya dan Bapak mau ke konter hp lalu ke hotel. Jadi jaga rumah baik-baik."

"Iya, Nyonya. Siap," sahut Mutia sambil mengerutkan keningnya.

"Emangnya ke konter mau beli hp untuk siapa, Nyonya?" tanya Mutia memberanikan diri.

Mendadak Larasati menghentikan makannya. "Ish, kepo aja kamu!"

Mutia tertawa. "Saya kira mau beli hp untuk saya," sahut Mutia nyengir, membuat Andi tertawa.

"Empat bulan kerja di sini betah nggak? Tetangganya baik nggak sama di sini?"

"Baik kok Tuan. Saya dan mas Damar kerasan bekerja di sini."

"Oh, syukur lah kalau begitu. Saya akan ke hotel seharian ini setelah beli hp untuk saya, Mut. Kalau kamu mau keluar rumah juga jangan lupa dikunci ya. Oh, ya. Sekali lagi saya ingatkan, kalau manggil saya dan Larasati, pak dan Bu saja. Aneh kalau dipanggil nyonya dan tuan. Apa kamu mengerti?"

Mutia mengangguk, saat dia akan merespon ucapan Andi, mendadak terdengar suara benda jatuh.

Prang!

Semua mata menatap ke asal suara. Tampak Damar salah tingkah sedang memunguti sekop dan gunting taman yang berukuran besar.

"Ma-maaf pak Andi. Tangan saya licin sehingga gunting dan sekop taman jatuh," sahut Damar menundukkan kepalanya.

Mutia tersenyum dalam hati. 'Hahaha. Kamu pasti tidak menyangka kalau pak Andi kesini kan, Mas? Apa kamu cemburu dengan pak Andi dan Bu Larasati? Kalau kamu memang cemburu pada Bu Larasati, lalu aku ini kamu anggap apa, Mas?' tanya Mutia dalam hati.

"Ya sudah, Mut, Damar. Kami berangkat dulu ya. Hati-hati di rumah. Mungkin kami pergi tiga hari."

Mutia mengikuti langkah Andi dan Larasati menuju pintu depan. Sementara itu Damar suaminya menuju kamar mandi.

"Wah, rencana merekam video perselingkuhan mas Damar dan Bu Larasati gatot. Tapi aku tidak akan tinggal diam dengan perbuatan kalian.

Aku akan mencari tahu tentang istri pertama pak Andi. Dan memberi pelajaran pada Bu Larasati lewat istri pertama pak Andi saja. Dan setelah itu, aku akan memberi pelajaran pada Mas Damar," gumam Mutia setelah mengunci pintu depan.

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status