Mutia berjalan perlahan ke arah ruang tengah, dia lalu mengeluarkan ponselnya.
"Tunggu, kalau aku melaporkan pak Andi dan Bu Laras ke Bu Mawar, jangan-jangan nanti malah ada keributan. Bisa-bisa aku enggak kerja di sini lagi. Padahal aku kan masih butuh duit. Duh.Tapi kalau aku diem'in aja tentang perselingkuhan Bu Laras dan mas Damar, ck, enak aja. Nggak sudi dong. Apa aku melipir saja pada Bu Mawar. Siapa tahu bisa kerja di tempat Bu Mawar kalau aku memberikan informasi tentang istri kedua suaminya.Nggak salah dong ya kalau aku berusaha membalas kecurangan yang telah mereka lakukan padaku? Emangnya hanya orang kaya yang bisa sakit hati? Aku juga punya hati lah! Enak aja menyakiti Mutia!"Mutia pun lalu mengambil ponsel. "Aku harus tahu alamat rumah atau paling tidak akun media sosial Bu Mawar alias istri pertama pak Andi."Mutia lalu mencari akun F******k dengan nama Mawar."Ck, kenapa banyak banget nama mawar di sini?"Mutia lalu menggulir layar ponsel nya dengan perlahan."Mawar merah, mawar putih, mawar melati semuanya indah. Yasalaam. Yang mana sih? Aku juga belum tahu wajah istrinya pak Andi. Duh, Mutia!"Mutia menepuk jidatnya yang agak lebar perlahan."Hm, ya sudah. Beresin dulu meja makan bekas pak Andi makan tadi."Mutia beranjak ke ruang makan. Saat melewati kamar kosong yang berisi baju-baju Larasati yang hendak distrika, langkah Mutia terhenti karena mendengar suara dari dalam.Pintu kamar yang tertutup sedikit membuat Mutia dengan perlahan mendorong nya sedikit dengan ujung telunjuk nya. Dan pemandangan di dalam membuat Mutia terkesiap.Damar, sang suami tampak mencium dan memeluk baju dalam Larasati!Mutia menarik nafas panjang. Mencoba agar tidak menangis meskipun dalam hatinya terasa sesak.'Ya Tuhan, tega sekali mas Damar. Padahal aku sudah berusaha untuk menjadi istri yang baik untuk nya. Dia masih tega bermain gila dengan majikan padahal pernikahan kami belum genap setahun.'Dengan perlahan, Mutia mengambil ponselnya. Lalu dia mengambil gambar Damar dengan hati-hati.'Baiklah, Mas. Kalau memang kamu begitu mencintai Bu Laras, aku yang akan pergi. Aku nggak sudi berbagi hati apalagi berbagi alat tempur dengan perempuan lain. Tidak ada maaf bagimu. Tapi aku belum puas kalau kalian tidak mengalami sakit hati seperti yang telah aku alami, Mas,' desis Mutia kemudian berlalu dari kamar penuh baju itu.**Mutia baru saja selesai beberes ruang makan saat Damar memeluknya dari belakang."Mut, kamu nggak minta jatah?"Mutia menghela nafas panjang. Lalu perlahan menggeleng. "Aku lagi capek, Mas. Baru saja masak, nyuci piring. Habis ini nyapu dan setrika lho," sahut Mutia sambil menahan rasa jijik membayangkan Damar yang berbagi peluh dengan Larasati.Bibir Damar mengerucut. "Ck, kamu nggak sayang lagi sama aku, Mut!? Mumpung suasana lagi sepi nih."Mutia menoleh dan melotot. Rasanya dia ingin menampol pipi suaminya itu. Setelah entah berapa kali, suaminya sudah usluk-usluk dengan Larasati, sekarang suaminya yang dengan seenaknya mengatasinya dengan ucapan tidak sayang?'Mas Damar benar-benar butuh cermin!' maki Mutia dalam hati."Hm, rasanya tadi kayak datang bulan. Nanti aku cek, Mas," elak Mutia membuat wajah Damar muram."Sayur!"Mendadak telinga Mutia menangkap suara Abang penjual sayur langganan."Nah, kebetulan tukang sayur langganan sudah datang. Aku mau beli cabai, terung, dan ayam titipan Bu Laras. Bentar ya Mas."Mutia agak mendorong tubuh Damar yang menghalangi langkahnya hingga bergeser beberapa langkah.Sementara itu Mutia langsung berlari ke pintu depan."Nah, ini orangnya datang!" seru Yu Nem saat melihat Mutia mendekat ke arah tukang sayur."Ada apa Yu?" tanya Mutia dengan nada cuek. Tangannya sibuk memilah sayuran yang akan dibelinya."Tadi suami nya Bu Laras kan?" tanya Yu Nem mulai mengajak gibah berjamaah.Mutia hanya mengangguk."Wah, ramah dan ganteng ya. Walaupun sudah tua tapi terlihat masih perkasa. Keren banget!" puji Yu Nem yang langsung diamini oleh asisten rumah tangga lain yang sedang bergerombol di sana."Apa tidak ada tanda-tanda suami kamu mulai berubah sikap? Biasanya cemburu atau ...,""Eh, siapa sih itu kok rasanya baru lihat?" tanya Yu Sri memotong ucapan yu Nem. Tangannya menunjuk ke seorang pemuda tampan yang muncul dengan sepeda kayuh di pagar depan perumahan."Wuah, nggantengnya! Kayak mantan pacar saya dulu!" seru Yu Nem penuh percaya diri membuat para asisten rumah tangga lainnya yang mengelilingi tukang sayur itu mengelus dada dan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.Mutia mengerut kan dahinya saat lelaki muda itu menatap rumah Larasati dengan seksama. Kemudian berlalu mengelilingi kompleks."Ini sayuran dan ayam saya, Bang. Totalnya berapa?" tanya Mutia sambil menunjukkan barang yang akan dibelinya.Tukang sayur itu menatap barang yang dibeli Mutia. "Ayam sekilo, terung dan lombok seperempat ya. Semua 50 ribu, Mbak."Mutia mengangsurkan selembar uang berwarna biru kepada tukang sayur itu dan bergegas pergi.Baru saja dia hendak masuk ke pintu rumah, saat terdengar suara lelaki memanggil nya."Mbak."Mutia menoleh. Dan tampaklah lelaki yang bersepeda kayuh itu mendekat ke arah Mutia."Ada apa, Mas?"Pemuda itu menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan sebelum mengeluarkan ponselnya."Apa mbak pernah melihat orang ini?" tanya laki-laki muda itu membuat Mutia terkesiap. Karena foto yang ada di ponsel dan sedang ditanyakan oleh pemuda itu adalah foto pak Andi!Mutia tercengang. Batinnya sibuk menduga-duga.'Siapa lelaki ini? Kenapa dia kenal dengan pak Andi? Apa dia detektif yang disewa Bu Mawar seperti di tivi-tivi?' batin Mutia sebelum akhirnya dia menjawab,Next?'Siapa lelaki ini? Kenapa dia kenal dengan pak Andi? Apa dia detektif yang disewa Bu Mawar seperti di tivi-tivi?' batin Mutia sebelum akhirnya dia menjawab, "memangnya siapa bapak itu, Mas? Apa bapak yang ada di foto itu adalah orang hilang?" tanya Mutia dengan wajah polos. Tampak pemuda itu agak terkejut mendengar jawaban dari Mutia. "Jadi mbak nggak pernah melihat papa saya di sini?" tanya lelaki itu lagi memastikan. Mutia mendelik mendengarkan ucapan lelaki muda itu. 'Astaga, pak Andi punya anak laki-laki seganteng ini? Berarti laki-laki ini anaknya Bu Mawar? Tapi bagaimana laki-laki ini tahu alamat rumah ini? Wah, sepertinya hal ini akan lebih menarik,' batin Mutia. "Nggak pernah, Mas. Saya tidak pernah melihat bapak ini di sini. Tapi saya bisa memberikan informasi kalau seandainya ada bapak-bapak yang mirip dengan papanya mas di sini."Pemuda itu tampak berpikir keras. Dahinya berkerut-kerut. "Apa mbaknya bisa dipercaya?" "Wah, sepertinya urusan tentang papanya Mas, serius
Mutia menyingkir dari ruang tengah. Dan berjalan melewati pintu kaca menuju ke taman tengah yang ada kolam renang nya. Suasana malam yang sepi dengan diterangi lampu taman dan sinar bulan membuat hati Mutia sedikit menjadi sentimentil. Dia masih ingat saat dia berbahagia dengan Damar sebelum memergoki suaminya selingkuh. Ponsel Mutia masih berdering saat dia melangkah menjauh dari pintu ruang tengah. Mutia memilih duduk di pinggir kolam yang berhadapan dengan pintu masuk ruang tengah. Jadi kalau Damar muncul dari ruang tengah, Mutia bisa langsung mengetahui nya. "Halo." Akhirnya Mutia menerima panggilan dari Aksara. "Hhhh, mbak Mutia. Ada yang ingin saya tanyakan. Hhh."Mutia mengerut kan dahinya keheranan saat mendengar suara Aksara yang terengah-engah dari seberang telepon. Pikiran Mutia langsung mengelana jauh dan perempuan itu hanya bisa tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Maaf pak Aksa, kalau sedang bersama istrinya, jangan telepon saya sekarang. Besok saja sepe
Mutia meremas alat pengaman pria itu dengan gemas di tangan kanannya. "Hm, lebih baik aku coba tanya saja untuk apa dia menyimpan benda ini. Aku cuma penasaran apa kira-kira jawaban dari mas Damar," gumam Mutia sambil keluar dari kamarnya. Mutia mendekati Damar yang masih rajin menyapu taman tengah, mengumpulkan daun pohon mangga yang berguguran dan memotong daun-daun tanaman Kamboja favorit Larasati. Mutia menggeleng-gelengkan kepalanya saat mengamati beberapa tanaman bunga Kamboja yang ditanam secara bonsai di dalam pot. 'Kok bisa sih Bu Laras menanam bunga kuburan ini di taman tengah. Pantas saja kelakuannya seperti demit. Bunga kesukaan nya saja banyak tumbuh di kuburan,' batin Mutia. Mutia mendekat ke arah suaminya itu. Tangannya yang memegang alat pengaman pria itu bersembunyi di balik punggung nya. "Mas Damar."Mutia tersenyum manis membuat Damar mengehentikan kegiatan nya menyapu. Lelaki itu membersihkan keningnya yang berkeringat. "Ada apa, Mut?" tanya Damar seraya mene
*Jangan membuat perempuan yang kamu cintai menangis, karena akan sangat menyakitkan bila ada lelaki lain yang membantu mengusap air matanya. **Aksara menatap Mutia tak percaya. "Lalu apa jawaban dari dua pertanyaan lainnya semalam?"Mutia menghela nafas. "Satu, kenapa saya tidak jujur saat pak Aksa bertanya kemarin pagi kan?"Aksara mengangguk. "Saya memang tidak menjawab dengan jujur kemarin karena di sekitar rumah Bu Larasati banyak sekali asisten rumah tangga julid. Yang saya takutkan adalah diantara mereka ada mata-mata atau mulut yang tukang ngadu kalau saya jawab dengan jawaban yang jujur. Karena itu saya berbohong, dengan harapan pak Aksa cepat pergi dari kompleks perumahan itu untuk menghindari adanya kemungkinan mata-mata."Aksara tersenyum mendengar jawaban Mutia. "Kamu kayaknya terlalu banyak baca buku atau nonton film mafia deh, Mbak."Senyum Mutia terkembang. "Betul! Saya memang suka sekali nonton film dan tivi, termasuk novel karya Bu Mawar atau Aksara Novela," sahut
"Halo, Pak Alex. Saya terima tawaran dari bapak."Mutia dan kedua anak Mawar hanya bisa menatap Mawar yang sedang menelepon. Mereka tidak bisa ikut mendengarkan pembicaraan selengkapnya karena Mawar tidak mengaktifkan loud speaker nya. "Untuk instruksi lebih detailnya, lebih baik bapak ke rumah saya saja."Jeda sejenak. Mawar terlihat sedang serius mendengarkan suara dari seberang telepon."Iya. Kira-kira seperti itu. Baiklah. Saya tunggu segera."Mawar pun mengakhiri panggilan teleponnya. "Siapa itu, Ma?" tanya Aksara penuh rasa ingin tahu."Pak Alex."Mata kedua anaknya membeliak. "Pak Alex teman sekolah mama yang jadi detektif swasta itu?" tanya Novela. Mawar mengangguk. Sementara Mutia masih berusaha mencerna pembicaraan keluarga di hadapannya. "Wah, mbak Mutia penasaran rupanya. Baiklah. Saya akan menjelaskan secara garis besar. Jadi setelah saya mulai mencium perselingkuhan suami, saya dan anak-anak mulai melakukan penyelidikan diam-diam tanpa ingin melibatkan orang luar ter
"Mbak Mut? Siapa yang telepon? Kok wajah kamu jadi berubah muram seperti itu?" tanya Aksara saat melihat ekspresi wajah Mutia yang sukar dilukiskan. Mutia menatap ke wajah Aksara dan layar ponselnya bergantian. "Suami saya menelepon," sahut Mutia lirih. "Ya sudah, Mbak Mut terima saja panggilan telepon nya.""Tapi sepertinya saya tahu kenapa dia menelepon saya," sahut Mutia seraya menghela nafas. "Emang kenapa suami mbak Mutia telepon?" "Mungkin dia kesal karena saya belum membuat sarapan untuknya dan saya menyembunyikan rokoknya," sahut Mutia tertawa. Aksara tercengang. "Mbak Mutia ini ada-ada saja."Mutia tersenyum. "Sekali-kali laki-laki yang berkhianat dan tidak menghargainya wanita nya perlu diberi pelajaran lah, Pak. Agar mereka tahu dan sadar diri. Belum bisa menafkahi istri dengan layak bahkan istri sudah membantu cari uang kok sok-sokan selingkuh. Kan lebih baik dikarungin terus diberikan ke pegadaian?" tanya Mutia tertawa. Aksara hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
"Mama, tidak apa-apa?" tanya Novela saat Mawar terhuyung setelah menutup telepon dari Alex. Mawar memegang pangkal hidungnya. Kepalanya berdenyut nyeri dan pandangan matanya mendadak kabur. Aksara dengan sigap menyangga tubuh Mawar dan memapahnya nya ke ranjang. "Nov, buatin mama teh hangat dan gorengkan nugget ayam. Nggak usah bangunin mbok Sumi, kelamaan. Aku mau ngambil tensimeter dulu dan CGM* dulu.""Oke." Novela membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar dari kamar sang Mama. Sementara itu Aksara menatap sang mama yang masih memegangi kening. "Mama, tunggu di sini dulu. Aksa periksa kondisi mama, baru kita berangkat. Mama tenang ya. Tidak perlu terburu-buru. Aksa dan Nova selalu ada untuk mama."Mawar terdiam dan Aksapun melesat keluar dari kamarnya untuk menuju ruang tengah. Aksara memang menyimpan tensimeter, termometer, dan beberapa alat kesehatan serta obat pertama dasar yang dibutuhkan saat sakit di kotak P3K ruang tengah. Diambilnya tensimeter dan CGM lalu segera menuj
"Apa?!" Wajah Andi terkejut dan sontak menatap ke arah Larasati di sampingnya. Larasati mendelik dan menatap ke arah Mawar yang berdiri tegak di hadapannya. "Nggak Mas, aku hanya punya kamu. Aku hanya tidur dengan kamu, sungguh! Si tua ini berusaha mengadu domba kita. Sebaiknya kamu ceraikan saja dia, Mas. Dan kita bisa menikah!" seru Larasati menatap tajam ke arah Andi. "Bagus lah. Tidak masalah siapapun yang mengajukan cerai ke pengadilan agama. Toh, kita tetap akan berpisah. Jangan lupa kita bicarakan lagi hal ini lebih lanjut, Mas. Aku cuma butuh foto dan video kalian untuk ke pengadilan agama.""Mawar, tunggu! Kalau kamu menggugat cerai aku, aku akan menuntut mu ke pihak berwajib karena penghinaan dan pelanggaran privasi, Mawar!"Mawar tertawa. "Lalu apa mau kamu, Mas? Apa kamu mau aku tetap ada di sisi kamu sementara Larasati juga menjadi istrimu?" "Aku sudah menikahi Larasati dengan sah walaupun siri. Terimalah dia sebagai adik madumu!""Wah, kamu serakah ya? Sudah mempunya