Share

bab 5. Nasib Terong

'Siapa lelaki ini? Kenapa dia kenal dengan pak Andi? Apa dia detektif yang disewa Bu Mawar seperti di tivi-tivi?' batin Mutia sebelum akhirnya dia menjawab, "memangnya siapa bapak itu, Mas? Apa bapak yang ada di foto itu adalah orang hilang?" tanya Mutia dengan wajah polos.

Tampak pemuda itu agak terkejut mendengar jawaban dari Mutia.

"Jadi mbak nggak pernah melihat papa saya di sini?" tanya lelaki itu lagi memastikan. Mutia mendelik mendengarkan ucapan lelaki muda itu.

'Astaga, pak Andi punya anak laki-laki seganteng ini? Berarti laki-laki ini anaknya Bu Mawar? Tapi bagaimana laki-laki ini tahu alamat rumah ini? Wah, sepertinya hal ini akan lebih menarik,' batin Mutia.

"Nggak pernah, Mas. Saya tidak pernah melihat bapak ini di sini. Tapi saya bisa memberikan informasi kalau seandainya ada bapak-bapak yang mirip dengan papanya mas di sini."

Pemuda itu tampak berpikir keras. Dahinya berkerut-kerut.

"Apa mbaknya bisa dipercaya?"

"Wah, sepertinya urusan tentang papanya Mas, serius banget. Sampai Mas harus mencari seseorang yang bisa dipercaya ya?"

"Betul Mbak. Ini urusan pribadi keluarga saya. Menyangkut nama besar dan bisnis keluarga. Bisa-bisa malah sampai ke ranah hukum, Mbak."

Mutia melongo. "Saya bisa dipercaya, Mas. Tenang saja. Jadi apa yang harus saya lakukan?"

Pemuda itu menatap ke arah Mutia dengan serius. Membuatnya menjadi salah tingkah. Mutia segera berusaha mengendalikan diri. Dan balik menatap manik mata pemuda itu.

"Baiklah. Ini kartu nama dan nomor ponsel saya. Kalau mbaknya mengetahui papa saya ada disini, segera hubungi saya. Apalagi kalau mbaknya bisa tahu perempuan yang bersama papa saya. Saya akan memberikan uang lebih banyak pada mbaknya."

Otak Mutia segera bekerja cepat dan mengalami kenaikan Pentium saat mendengar bahwa pemuda itu bersedia membayarnya.

Mutia menatap kartu nama pemuda itu. "Aksara Sanjaya," gumam Mutia.

"Nama saya Aksara, panggil saja Aksa."

Pemuda itu mengulurkan tangannya ke arah Mutia yang masih mengamati kartu nama Aksara.

"Baiklah. Pak Aksa, nama saya Mutia. Saya akan memberi tahu tentang papa pak Aksa jika melihat beliau di daerah sini sekaligus saya akan merahasiakan semua hal yang berkaitan dengan beliau dan keluarga Pak Aksa."

Mutia menjabat tangan Aksara dengan mantap. Lelaki itu menghela nafas panjang.

"Baiklah, kalau begitu saya pamit dulu. Saya sangat menantikan informasi dari mbak Mutia."

Mutia mengangguk dan pemuda itu meraih sepeda kayuhnya lalu menjauhi rumah yang ditempati oleh Mutia.

Yu Nem berdehem sambil mendekat ke arah Mutia.

"Cie, siapa dia, Mut? Kamu diam-diam menghanyutkan ya? Duh, aku kira kamu cupu, tapi ternyata kamu suhu juga."

Mutia melirik Yu Nem dan tertawa. "Suhu apaan, Mbak? Suhu badan apa suhu ruangan nih?" tanya Mutia tertawa kecil.

"Heh Mut. Aku serius. Apa kamu kenal dengan pemuda tadi? Jadi kamu nyeleweng?"

"Aduh, Yu Nem nih. Mau tahu saja apa mau tahu bulat?"

"Astaga, Mutia. Jangan bercanda deh. Siapa laki-laki ganteng tadi?"

"Nggak tahu dan nggak kenal, Yu. Ya sudah, aku mau ngungkep ayam dulu."

Mutia pun segera masuk ke dalam rumah meninggalkan biang gosip yang hanya bisa manggut-manggut kebingungan.

Mutia berjingkat dan menoleh ke kanan kiri mencari keberadaan Damar. Dia menghela nafas lega saat melihat Damar sedang menyikat kamar mandi.

Mutia segera menuju ke dapur lalu memotret kartu nama milik Aksara dengan ponselnya secepat kilat lalu segera membakar kartu nama itu di atas kompor.

Setelah membersihkan abu kartu nama Aksara, Mutia mencuci ayam, terung dan cabai.

Bertepatan dengan saat itu Damar keluar dari kamar mandi dengan peluh bercucuran.

"Wah, rajin sekali ya kamu, Mas," puji Mutia tersenyum.

Damar mengerucut kan bibirnya. "Ya gimana lagi. Kamu lagi dapet. Dan aku lagi pengen, ya sudah aku hanya bisa ngosek kamar mandi biar pikiran nggak kemana-mana," sahut Damar.

Mutia sejenak menatap ke arah Damar. "Tapi kamu hebat lho, Mas."

"Aku hebat? Maksudnya?"

"Kamu bisa kuat iman bekerja di sini. Padahal kamu tahu sendiri kan betapa cantik dan seksinya Bu Laras."

Damar terlihat terkejut sekilas. Lalu lelaki itu tersenyum kembali.

"Aku kan sudah punya kamu, Mut. Bagaimana mungkin aku tergoda dengan perempuan apapun. Secantik apapun perempuan yang ada di depanku, tidak akan membuatku berpaling darimu," sahut Damar yakin.

"Hm, benarkah? Padahal aku tidak keberatan kalau berbagi suami dengan perempuan lain, lho Mas."

Damar tercengang. "Hah? Masa Mut? Yang bener nih?"

"Iya dong. Tapi ya gitu. Kan kalau makan terong untuk dua orang nggak bisa utuh nih. Jadi harus dipotong dulu. Kayak gini nih."

Mutia meraih terong yang telah dicuci nya bersih lalu meraih pisau besar dan mengayunkan nya ke arah terong.

Kres!

Kres!

Kres!

Mutia memotong terong itu tanpa ampun membuat Damar bergidik ngeri. "Nah, kalau terong sudah terpotong gini kan baru bisa dibagi dengan adil. Nggak mungkin kan bisa membagi sesuatu tanpa memotongnya dengan adil lebih dulu?"

Mutia menyeringai seraya mengacungkan pisau di tangan kanan dan terung di tangan kiri. Damar melongo.

"I-iya. Mas Paham, Mut. Turunkan pisaunya ya?" sahut Damar cemas.

"Oh, ya. Tunggu! Karena terung itu sayur yang enak dinikmati saat pedas, jangan lupa haluskan cabainya!"

Mutia meraih cabai yang telah dicucinya dan menambahkan bawang merah, bawang putih, ke dalam Chopper lalu menghaluskan nya.

"Nah, terongnya baru siap, Mas. Memang terong harus dicabein nggak sih biar enak?" tanya Mutia menoleh dan tersenyum pada Damar.

"Ehm, Mut. Aku memilih setia kok. Eh, aku mau ngasih makan ikannya Bu Laras dulu. Tadi mulut ikan koi di kolam sudah mangap-mangap. Mungkin lapar," ujar Damar lalu melipir pergi dari dapur, meninggalkan Mutia yang masih berkutat dengan balado terongnya.

***

Mutia mendengarkan dengkur halus Damar dan setelah memastikan suaminya telah terlelap, dia meraih ponselnya lalu masuk ke aplikasi biru miliknya.

Mutia mengetik nama Aksara Sanjaya di kolom pencarian dan keluarlah foto-foto keluarga milik Aksara. Tampak Aksara memakai jas putih sedang berfoto di depan rumah sakit mungil di kota itu.

Ada foto Andi yang sedang menggandeng seorang perempuan cantik dengan dandanan elegan. Di samping Aksara, berdiri seorang gadis yang wajahnya mirip dengan Aksara dan tampak lebih muda dari perempuan pertama.

"Jadi Pak Aksara itu kembar?" gumam Mutia. Dia membaca tagg foto itu. Dan benarlah perempuan di samping Andi adalah Mawar.

Selintas ide muncul di pikiran Mutia. Perempuan berusia 20 tahun itu turun dari ranjang dengan perlahan lalu menuju ke ruang tengah rumah itu. Di ruang tengah itu, tampak foto pernikahan antara Andi dan Larasati berukuran besar dan di pasang di dalam pigura dengan bingkai berwarna keemasan.

Mutia segera memotret foto yang tergantung di dinding ruang tengah itu lalu mengirimkannya ke nomor Aksara tanpa caption apapun.

Maaf Bu Laras, Bu Laras juga harus merasakan sakit hati seperti apa yang saya rasakan karena pengkhianatan Bu Laras dan mas Damar,' batin Mutia.

Terkirim. Dan langsung centang biru. Mutia menatap layar ponselnya dengan dada berdebar apalagi saat nomor Aksara langsung menelepon nya!

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status