Rupanya Bagas pergi ke kamar mandi, lelaki itu meredam amarahnya dengan mengguyur kepalanya. Setelah emosinya reda, lelaki itu berniat untuk mengobati sang istri. Namun, angkara kembali menguasai hatinya setelah tak mendapati Yulis dan Wina di ruangan tersebut.
"Yulis!" teriaknya sambil melangkah ke kamar. Berpikir jika istrinya ada di dalamnya. Dengan kekuatan penuh Bagas menendang pintu yang dikira terkunci. Membuatnya terhuyung setelah daun adahal pintu terbuka lebar."Yulis!" Lelaki itu kembali berteriak sambil beranjak meninggalkan kamar.Bagas kembali ke rumah keluarga, kemudian menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa, menatap nanar pada pecahan kaca yang masih berserakan di lantai, rahangnya mengeras menandakan kalau dia belum bisa menguasai emosinya.Lelaki itu mengambil bungkus rokok yang ada di meja, mengambil satu batang kemudian menyulutnya dengan korek bermotif wayang. Asap mulai mengepul dari mulutnya, seolah membawa beban yang ada dalam hatinya. Bagas menyandarkan kepalanya di sofa, mencoba menenangkan pikiran. Saat seperti inilah sudut hatinya ada yang terluka. Rasa sesal karena telah mengkhianati cinta yang begitu tulus dari Yulis.Ingatan lelaki itu melalangbuana pada tiga belas tahun lalu setelah Yulis mengalami keguguran yang menyebabkan dirinya harus kehilangan rahim. Yulis yang saat itu baru pulih dari stress pasca operasi pengangkatan rahim, memutuskan untuk pergi berlibur ke rumah orang tua Bagas di sebuah daerah pegunungan di provinsi Jawa Timur. Setelah beberapa hari di rumah mertuanya, Yulis nampak bahagia. Keramahan dan keakraban dari keluarga juga penduduk sekitar membuatnya merasa nyaman. Hingga dia merasa jatuh hati pada seorang gadis kecil berparas manis dengan lesung pipi yang saat itu sudah berusia tujuh tahun.Setiap malam Yulis bercerita kegiatannya bersama gadis kecil itu, ada nada kebahagiaan di setiap kalimat yang keluar dari bibir tipisnya. Malam itu Yulis menangis tersedu karena keinginannya untuk mengadopsi gadis kecil itu tak disetujui oleh suaminya. Perempuan itu kembali dirundung duka. Hingga membuat keluarga Bagas ikut bersedih.Dengan hati-hati, orang tua Bagas menyampaikan keinginan menantunya pada orang tua si gadis manis. Pucuk dicinta ulam pun tiba, keinginan untuk membantu merawat anak kecil itu ternyata disetujui tanpa ada syarat apapun. Asal si anak mau, dan anak itu pun tumbuh menjadi gadis manis bahkan sangat manis, sampai-sampai membuat Bagas terlena.Dering ponsel membuyarkan lamunannya, lelaki itu tersenyum ketika mengetahui siapa yang sudah menghubunginya."Baiklah aku akan segera datang, kamu istirahat saja dulu," balasnya.**Mira sangat kesal, karena Bagas tak kunjung mengangkat panggilannya. Sekali lagi dia menghubungi. Bibirnya langsung manyun setelah terdengar suara Bagas di ujung telepon.Hanya dengan dua kata Bagas menyahut sudah membuat gadis itu melupakan amarahnya. Hilang sudah rasa kesal yang beberapa saat lalu memenuhi hatinya. Sejak tadi wanita muda itu berpikir yang tidak-tidak. Dia benar-benar cemburu membayangkan apa yang dilakukan Bagas dan Yulis saat sedang berduaan saja di rumah."Mbak, Sih!" teriak Mira memanggil orang yang ditugaskan untuk melayaninya."Iya, Mbak Mira. Ada apa?" Perempuan bertubuh subur itu datang, berdiri di ambang pintu sambil memainkan ponselnya.Melihat pemandangan itu, membuat Mira murka. "Mbak! Kamu itu kalau kerja jangan sambil mainan ponsel dong!" teriaknya pada pembantu dadakan itu."Halah, Mbak. Gak usah banyak omong. Kamu mau apa tinggal bilang aja, lagian nanggung banget ni ... cacingku udah besar banget. Ntar mati lagi kalau aku gak konsentrasi," sahut perempuan bernama Ningsih itu."Hei dodol! Kamu di sini itu dibayar untuk membantuku, bukan enak-enakan main ponsel!""Ya ... gara-gara kamu sih, Mbak! Tuh, kan. Jadi nabrak cacing bayik, mati deh! Huh!" Ningsih kembali berlalu tak mempedulikan Mira yang teriak-teriak memanggil namanya."Argh!" Mira terlihat kesal dan jengkel menghadapi perempuan tadi.**Bagas menghisap rokoknya yang tinggal sedikit itu dalam-dalam, baru kemudian dia mematikan dengan cara diinjak di lantai.Lelaki itu meraih bungkus rokok juga ponselnya yang tergeletak di meja, matanya sekilas memandang amplop yang sudah menjadi biang masalah antara dia dan Yulis. Bagas beranjak dari tempatnya berdiri lalu melangkah menuju ke luar. Belum juga sampai di pintu dia berhenti kemudian tertegun melihat pemandangan di depannya."Ke Jati Wangi kayak kemarin itu, terus ke Pelang, terus ke kampung air. Udah itu aja, Pa. Kenapa sih Papa nanya-nanya. Biasanya juga gak gitu." Mutiara mulai sewot, tetapi sebenarnya gadis kecil itu sangat bahagia karena baru kali ini papanya mengajaknya bicara cukup lama.Yulis mengulum senyum mendengar nada protes dari Mutiara."Papa kan ingin tahu, Kak. Karena setelah ini, papa akan berusaha menemani Kakak dan Mama kemanapun kalian mau," sahut Indra. Sontak hal itu membuat manik bening Mutiara berbinar."Jadi Papa gak kerja dong. Nanti dapat uangnya dari mana?" Yulis sampai tak percaya Mutiara akan berkata seperti itu. Dia benar-benar tahu apa yang dirasakan putrinya sambungnya tersebut."Kan Mama punya toko," canda Indra sambil tertawa."Jangan lah, Pa. Itu kan punya Mama.""Terus?""Ya Papa tetap kerja, kalau hari libur kita jalan-jalan. Gitu, Pa.""Pi
"Baiklah, Sayang. Yuk, mandi dan ganti baju dulu," ajak Ridwan. Lelaki itu merasa tak enak hati dengan ucapan putrinya. Dia khawatir Indra salah paham, tapi juga sadar jika sekarang bukan saat yang tepat untuk menjelaskan pada mantan iparnya tersebut.Citra menatap Yulis, biasanya wanita berjilbab itu yang melakukannya. Namun, melihat Yulis diam saja, bocah berambut lurus itu juga tak berani meminta. Citra benar-benar kesal pada pakdenya, yang menurutnya sudah merusak suasana. "Aku juga udahan, Ma," ucap Mutiara."Ayo, mandi dan ganti bajunya sama papa," sahut Indra. Seketika pandangan kedua wanita berbeda generasi itu tertuju pada lelaki yang sudah berdiri dari duduknya.Sesaat kemudian Mutiara tertawa. "Gak mau, sama Mama aja. Malu lah kalau ganti baju sama Papa.""Nah itu si Citra gak malu sama papanya""Beda, Pa. Kan Citra udah gak punya mama. Palingan Om Wan cuma nungguin di luar. Biasanya kan
Mendengar penuturan Yulis, perlahan Indra menelan ludahnya. Lelaki itu takut jika sesuatu terjadi padanya karena sudah menyakiti hati istrinya tersebut."Apa kamu mau turun?" Tanyanya kemudian. Indra sendiri bingung mengapa dia menawarkan hal itu kepada Yulis."Maksudku, apa kamu mau menemuinya. Bicara apa gitu atau menanyakan apa gitu?""Sebaiknya gak usah Pak In. Karena aku dan dia sudah menjadi orang asing," sahut Yulis mantap."Baiklah kalau begitu kita lanjutkan perjalanan." Indra pun membunyikan klakson agar lelaki yang kata Yulis mantan suaminya itu menyingkir.Setelah beberapa saat kendaraan melaju, Indra kembali bertanya pada Yulis. "Bener nggak mau turun di toko aja, biar aku yang nyusul anak-anak ke kampung air."Yulis tak lagi menjawab, wanita penyuka warna kalem itu malah membuang pandangannya keluar jendela dia benar-benar gerah dengan sikap Indra yang tak seperti biasanya. Yulis merasa
Perlahan Indra membaringkan tubuh Yulis, seolah wanita itu adalah barang berharga yang harus dengan hati-hati memperlakukannya. Yulis segera beringsut setelah terlepas dari rengkuhan Indra. Wanita penyuka kopi tanpa gula itu terlihat kesal."Maaf, tadi kamu ketiduran di ayunan. Aku khawatir kamu masuk angin, jadi berinisiatif untuk memindahkanmu ke kamar," ucap Indra tanpa ekspresi. Yulis masih termangu, antara malu, senang, kesal dan tak mengerti dengan perubahan sikap Indra yang tiba-tiba."Tadi Muti telepon pakai nomor Ridwan. Ia ikut Omnya itu ke kampung air. Kamu istirahat saja. Biar aku yang menjemputnya," imbuh Indra, setelah itu dia langsung beranjak.Lagi-lagi Yulis dibuat terbengong, ia semakin tak mengerti, kedua alisnya bertaut memikirkan sebenarnya apa yang terjadi dengan suaminya tersebut."Aku ikut!" Setelah beberapa saat tercengang, Yulis segera menyusul Indra yang hampir meraih ganggang pintu.
"Kami dari rumah tahanan, ingin memberi kabar pada ibu bahwa tahanan yang bernama Mira telah meninggal dunia. Selain Ibu, apa ada nomor keluarganya bisa dihubungi?""Innalilahi wa innailaihi rojiun," ucap Yulis spontan. Sesaat kemudian dia tertegun. Seraut wajah yang dulu sangat disayanginya langsung hadir dalam kilasan ingatannya. Spontan nulis menutup mulutnya yang ternganga. Bagaimanapun juga Mira pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya."Mohon maaf, Pak. Saya sudah tidak lagi berhubungan dengan saudari Mira, tapi, saya tahu di mana alamat orangtuanya. Nanti saya kirim alamatnya aja ya, Pak. Mohon maaf, hanya itu yang bisa saya bantu.""Terima kasih Bu. Kami kesulitan mencari keluarganya. Rumah yang dulu ditempati sekarang sudah atas nama orang lain."Panggilan pun terputus, Yulis tak langsung menyimpan benda pintarnya terbaru. Setelah mengirim alamat orang tua Mira, wanita bermata bulat itu menghubungi Afif.
"Aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Indra menghentikan gerakan Yulis yang tengah menyendok nasi goreng di wajan untuk diletakkan di piring."Sarapan dulu, Pak In," sahut Yulis tanpa menoleh. Ia meneruskan kegiatannya menyiapkan sarapan untuk sang suami. Yulis berusaha bersikap biasa saja, walaupun sangat kecewa dengan sikap Indra semalam. Indra berhak melakukannya, tetapi caranya yang membuat Yulis kurang suka.Indra menghela napas untuk mengurangi kegugupan di hatinya, sambil terus memperhatikan punggung ramping istrinya yang belum pernah sekalipun dipeluk olehnya.Tak butuh waktu lama, sepiring nasi goreng sudah tersaji di depan Indra beserta segelas air putih."Sedekat–" "Makan dulu, Pak In," sela Yulis. Lagi-lagi wanita itu mengatakannya tanpa melihat suaminya. Setelah itu suasana kembali hening, hanya denting sendok dan piring yang terdengar memenuhi ruangan. "Alhamdulillah," ucap Yulis den