Share

08. Adus kramas

Author: HaniHadi_LTF
last update Last Updated: 2025-11-03 17:30:35

Jati hanya menatap, wajahnya datar tapi matanya berbicara banyak, menatap Ryan dan Gandes bergantian. Ia melangkah mendekat. Ada jarak yang terasa begitu tegang.

Gandes menelan ludah, napasnya cepat. Ryan menatapnya tak percaya. "Bukankah tadi dia sudah pergi?" bathinnya.

"Naik mobil sekarang juga," titah Jati terdengar dingin tapi bergetar di ujung nada.

Ryan yang masih memegang kunci segera menatapnya tajam. "Mas, begini ya, cara kamu ngomong sama Gandes?"

"Aku bicara sama istriku, bukan sama kamu." Tatapan Jati tak kala tajam, menusuk Ryan seolah ingin menelan setiap kata yang sempat keluar. Di belakang mereka, suasana kantin yang tadi ramai tiba-tiba terasa sesak.

Gandes menatap Jati. "Pulang saja duluh, aku belum mau pulang. Aku mau ambil baju di kos." Suaranya pelan, hampir tenggelam dalam gemetar yang ia tahan.

"Lupakan bajumu, bukankah aku telah membelikanmu baju. Kita bisa mengambilnya kapan-kapan."

"Tapi,.."

"Masuk mobil, kataku." Dengan menahan marah, Jati segera menarik tangan Gandes.

"Mas,..." Ryan berusaha menahan.

"Jangan ikut campur urusanku!" Dengan kasar, Jati mengibaskan tangan Ryan, lalu menutup pintu mobilnya begitu Gandes masuk.

"Kenapa kamu bersama lelaki itu lagi?" tanya Jati begitu mobil melaju.

Gandes hanya diam.

"Kamu tuli ya?"

Gandes masih diam.

Tangan Jati mengepal menahan marah.

Hening. Mobil melaju menuju kediaman Jati. Sepanjang perjalanan, yang ada hanya kemarahan di wajah Jati.

Sesampainya di rumah megah itu, sudah terdengar suara gaduh. Suara perempuan-perempuan sepuh dan ibu-ibu kerabat juga tetangga, bercampur tawa, bunyi ember tembaga beradu dengan gayung batok. Aroma bunga menguar, campuran melati, kenanga, dan mawar putih.

Maheswari sudah berdiri di halaman belakang. Ia tampak puas mengatur segalanya: tempayan tanah liat besar, janur kuning melingkari sumur, air yang sudah diberi kembang tujuh rupa. Semua tampak sempurna, kecuali wajah Gandes yang pucat saat tiba.

Setiap langkah terasa berat. Kakinya lemas, seolah menolak untuk mendekat pada ritual yang tidak ia pahami.

Perias sepuh, berambut putih keperakan dan bersanggul rapi, menyambutnya dengan senyum hangat.

"Ini pengantin wanitanya?" tanya perias itu.

Maheswari mengangguk. "Ya, ini Gandes."

Gandes menunduk. Ia bisa merasakan seluruh mata di halaman itu menatapnya, menilai, menimbang, mungkin juga mencibir.

Ketakutan menyergapnya. Bagaimana kalau benar ia harus memakai jarik yang dililit sampai dada? Ia menelan ludah. Tubuhnya kaku.

Perias mendekat, matanya tajam seperti membaca isi hati. "Cantik," katanya pelan, "tapi belum lepas dari dunia lamanya."

"Makanya kami minta tolong, bersihkan semuanya," sela Maheswari cepat.

Perias hanya mengangguk, lalu menyiapkan air bunga.

Gandes berdiri di tengah halaman, taman itu, jemarinya saling meremas. Dadanya terasa penuh, seolah udara enggan masuk.

"Mas Jati... mana?" tanyanya pelan pada Maheswari.

"Dia akan ke sini sebentar lagi."

Hati Gandes lega. Ia berharap lelaki itu sudah pergi. Ia tak ingin tatapan itu lagi, tatapan yang selalu membuatnya merasa kecil. Tapi langkah-langkah berat itu akhirnya terdengar juga.

Jati muncul dengan pakaian adat Jawa lengkap: beskap hitam, blangkon di kepala, kain batik melilit rapi. Ia membawa kebaya dan kain panjang di tangannya. Meletakkannya di hadapan perias tanpa menatap siapa pun.

"Ini untuk acara ini, Mbah," katanya datar. "Biar auratnya nggak kelihatan. Namun untuk tidak menghilangkan sakralnya, sudah saya siapkan hijab melati dan penutup dada melati."

Semua orang terdiam. Maheswari menatap putranya lama. "Kau pikir ini acara siraman, Jati?"

"Bukan, Kanjeng Ibu," jawabnya tenang. "Tapi aku tidak mau istriku dipertontonkan. Adat tetap jalan, tapi kehormatan tetap dijaga."

Hening beberapa detik. Lalu perias tersenyum tipis. "Kau suami yang tahu batas. Baiklah, kita mulai dengan cara ini."

Maheswari tidak berkata apa pun, tapi ekspresinya sulit dibaca. Mungkin marah, mungkin heran seorang Jati mengatakan itu, atau mungkin sekadar menyerah pada anak laki-lakinya yang keras kepala.

Gandes memandangi Jati diam-diam. Dalam hatinya, perasaan campur aduk.

Perias menuntunnya ke kamar. Gandes berganti jarik dan kebaya sesuai arahan.

"Seharusnya jarit ini dililit sampai dada," kata perias lembut.

"Maaf, Mbah. Saya..." suara Gandes tercekat.

"Tidak apa," sahut perias cepat. "Kita pakai cara yang lebih sesuai untukmu. Tetap indah, tetap sakral."

Ia memakaikan Gandes kebaya lembut, lalu melati ronce di dada dan kepala. Wangi bunga melati memenuhi ruangan. Gandes menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya terlihat tenang, tapi hatinya bergetar hebat.

Mereka keluar. Gandes duduk di bangku kecil di tengah taman. Semua mata tertuju padanya.

Air pertama disiramkan ke kepalanya. Dingin, menusuk kulit. Tetesannya mengalir di wajah, di leher, membawa bulir air mata yang tak bisa lagi ia tahan.

"Air ini simbol kesucian," kata perias lembut. "Membersihkan bukan hanya tubuh, tapi juga hati."

Gandes menutup mata. Ia mendengar bisik-bisik di sekitarnya. Ada yang memuji, ada yang mencibir. Tapi ia diam. Hanya air dan doa yang menemaninya.

Jati berdiri agak jauh, bersandar di tiang kayu, tak bergeming. Sekali pun tatapannya tak beralih dari wajah Gandes yang menunduk.

Saat perias menuangkan air terakhir dan mengucap doa pamungkas, Jati menunduk perlahan.

Perias menepuk bahu Gandes. "Selesai sudah. Kau kini bagian dari keluarga ini, Nak."

"Mana suaminya?" tanya perias dengan suara parau.

"Jati, kemari," panggil Maheswari.

Dunia seperti berhenti sejenak.

Gandes menegakkan punggungnya. Tubuhnya bergetar, bulir air menetes dari ujung hijab ke pipi. Hatinya tak enak.

"Kenapa dia dipanggil?" bisiknya hampir tak terdengar. Tapi tak seorang pun menjawab.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   11. Rambut

    Suasana sore di rumah Maheswari perlahan hidup kembali setelah prosesi adus keramas selesai. Aroma melati, pandan, dan bunga kenanga masih tercium samar di pekarangan. Dari halaman belakang terdengar suara air mengalir, sementara dari dapur, denting piring dan suara sendok beradu pelan menandakan kesibukan para ibu yang membantu menyiapkan hidangan untuk selamatan malam nanti.Di teras samping rumah, beberapa perempuan duduk melingkar di atas tikar pandan. Angin sore menelusup di antara sela genting, membawa suara gelegar anak-anak kecil berlarian di halaman depan. Di tengah lingkaran itu, Maheswari duduk dengan raut lelah. Meski wajahnya tetap tampak anggun, gurat kecewa dan amarah halus tampak di sana."Perempuan itu... entah membawa berkah atau malah ujian," gumamnya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat yang lain saling pandang.Bu Nara, tetangga sebelah yang dikenal bijak dan sering dimintai pendapat setiap ada urusan keluarga di kampung, mencoba menenangkan suasana. "Mungkin kar

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   10. Ibumu,..

    "Kamu mengusirku, Gandes?" Suara Jati dalam, berat, dan menekan. Di antara mereka hanya ada jarak sejengkal, tapi rasanya seperti jurang yang tak mungkin diseberangi. Gandes menunduk, jarinya gemetar ketika mencoba melepas sisa bunga melati yang menjerat lehernya."Aku hanya ingin melepasnya sendiri," jawabnya pelan, berusaha tenang meski dadanya berdebar cepat."Ini soal melati yang kamu lepas, atau karena lelaki di kampus itu?"Gandes berhenti sejenak. Tangan yang tadi sibuk menarik melati, kini membeku. Ia menatap Jati dengan mata yang tak lagi sekadar takut, tapi juga terluka. "Jangan kamu bawa-bawa dia.""Kamu belum jawab pertanyaanku tadi siang," lanjut Jati, suaranya kian tajam."Apa?" suara Gandes tajam."Kenapa kamu bersama lelaki itu lagi?""Apa hakmu melarang aku?" Gandes berusaha menjaga nada suaranya tetap rendah. "Kami juga tidak berdua. Apa kamu tidak lihat? Kami bersama teman-teman yang lain.""Itu yang terlihat tadi," ucap Jati cepat. "Tapi sebelumnya, kamu sudah ngap

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   09. Keluar!

    Langkah Jati perlahan mendekat. Suara sandal kulitnya menggesek tanah yang basah oleh air bunga. Gandes tidak berani menoleh. Hatinya berpacu cepat, seperti hendak meledak. Kebencian selalu muncul tiap melihat lelaki itu.Suara perias menyusul, lembut tapi tegas. "Sekarang giliran suami membasuh wajah istrinya. Sebagai tanda penerimaan."Gandes membeku. Jantungnya seperti berhenti berdetak.Udara terasa lebih dingin. Ia bisa merasakan kehadiran Jati di belakangnya, begitu dekat.Tangan lelaki itu terulur, berhenti di udara, lalu,..membasuh wajahnya."Dekatkan kepalamu," bisik perias sambil menunjuk Gandes yang menunduk, tubuhnya masih tertutup melati. "Cium ubun-ubunnya, Nak. Ucapkan satu harapan dalam hatimu. Biar langgeng, biar rumah tangga ini kuat seperti akar pohon beringin."Suara tawa kecil terdengar dari deretan ibu-ibu sepuh yang menonton."Ayo, Mas Jati. Kenapa masih canggung begitu? Bukannya semalam sudah mencium yang lainnya? " Kekeh seorang ibu tetangga Jati yang tak jauh

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   08. Adus kramas

    Jati hanya menatap, wajahnya datar tapi matanya berbicara banyak, menatap Ryan dan Gandes bergantian. Ia melangkah mendekat. Ada jarak yang terasa begitu tegang.Gandes menelan ludah, napasnya cepat. Ryan menatapnya tak percaya. "Bukankah tadi dia sudah pergi?" bathinnya."Naik mobil sekarang juga," titah Jati terdengar dingin tapi bergetar di ujung nada.Ryan yang masih memegang kunci segera menatapnya tajam. "Mas, begini ya, cara kamu ngomong sama Gandes?""Aku bicara sama istriku, bukan sama kamu." Tatapan Jati tak kala tajam, menusuk Ryan seolah ingin menelan setiap kata yang sempat keluar. Di belakang mereka, suasana kantin yang tadi ramai tiba-tiba terasa sesak.Gandes menatap Jati. "Pulang saja duluh, aku belum mau pulang. Aku mau ambil baju di kos." Suaranya pelan, hampir tenggelam dalam gemetar yang ia tahan."Lupakan bajumu, bukankah aku telah membelikanmu baju. Kita bisa mengambilnya kapan-kapan.""Tapi,..""Masuk mobil, kataku." Dengan menahan marah, Jati segera menarik ta

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   07. Kaget

    "Hanya bercanda. Aku ikut prihatin," ralat Wulan, merangkul Gandes.Ryan menyandarkan tubuhnya. Pikiran malam pertama Gandes masih menggayut, membuat dadanya makin terhimpit.Sementara Werda hanya bisa menggenggam jemari Gandes.Mata Gandes mengaca. Terlebih saat melihat Ryan yang hanya diam."Kalau kamu pingin nangis, nangislah, aku siap kamu peluk." Akhirnya Werda bicara.Tangisan pun terdengar dari Gandes yang memeluk Wulan. Werda ikut memeluknya, seolah menyatukan air mata mereka bertiga.Rendi, Sandi yang tahu Ryan juga tersiksa, menggenggam jari sahabatnya itu."Kalian yang sabar ya," hibur Rendi.Beberapa mahasiswa dan mahasisiwi yang datang di kantin menatap. Ada yang bertanya pada temannya, ada yang hanya menggeleng."Kamu... tak apa-apa, Gandes?" tanya Ryan pelan, saat ia mendekat.Semua mengurai pelukan. Gandes menatap Ryan sedih, lalu menggeleng. Matanya memanas. Tanpa kata, air mata mulai mengalir lagi, membasahi pipi. Ia merasa begitu lelah, lelah secara fisik dan emosio

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   06. Menyelinap

    Nada Gandes lembut, tapi cukup jelas hingga membuat kamar seketika beku.Maheswari membeku, hanya menatap. Jati pun ikut diam, pandangannya jatuh ke wajah Gandes yang menunduk pasrah. Angin dari jendela meniup tirai, membawa aroma melati yang tiba-tiba terasa pahit di hidung Gandes.Dalam diam itu, ia tahu, satu kalimat itu saja sudah cukup membuat segalanya berubah.Maheswari menatap tajam."Tidak ikut? Acara adat keluarga ini tidak bisa ditolak. Semua menantu yang masuk rumah ini harus melewati adus keramas. Tanda resmi diterima keluarga." Nada suaranya datar tapi berisi ancaman. Gandes hanya bisa menunduk. Tak ada ruang untuk membantah, tak ada pilihan untuk mundur."Tapi hari ini saya ada ujian, Ibu. Saya harus ke kampus.""Apa? Kamu nikah baru kemarin. Berani kamu keluar dari rumah ini, aku akan,.." Maheswari memegangi dadanya yang sakit, tak meneruskan kata-katanya. Ia kemudian menuruni tangga. Suara sandal kayunya berderit, perlahan menghilang.Sunyi menyelimuti ruang itu.Jati

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status