Mobil berhenti perlahan di halaman luas kediaman keluarga Rajendra. Bangunan megah bergaya eropa berdiri angkuh di tengah taman terawat, dikelilingi pohon-pohon tinggi dan air mancur kecil yang menyala di tengah lingkaran jalan. Keheningan mencengkeram atmosfer dalam mobil.“Ayo turun,” ujar Sagara pelan tapi mantap, membuka sabuk pengaman dan keluar lebih dulu.Viana tidak bergerak."Aku nggak mau turun," ucapnya lirih tapi keras kepala.Sagara membuka pintu penumpang dan membungkuk sedikit. "Viana, please. Hadapi mereka. Jangan begini terus.”“Aku nggak siap!” Viana menggeleng cepat. Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku masih marah, aku belum bisa pura-pura semuanya baik-baik aja!”Sagara menghela napas dalam, lalu mengulurkan tangan. “Aku tahu. Tapi kamu nggak sendiri.”Viana tetap diam.Sagara akhirnya menggenggam tangan Viana dengan lembut, lalu menariknya keluar. Tidak paksa, tapi cukup kuat untuk membuat Viana melangkah turun dengan berat hati.Dan saat itu juga, suara decitan ban
Langkah kaki Viana terdengar pelan di atas kerikil halaman. Sagara berjalan di sebelahnya, menggenggam kunci mobil tanpa sepatah kata pun. Pintu pagar besi bergaya Eropa tertutup perlahan di belakang mereka, menyisakan denting kecil yang terasa menggema di dada Viana.Begitu sampai di depan mobil, Sagara membukakan pintu depan penumpang. Viana ragu sejenak sebelum akhirnya masuk dan duduk. Wajahnya menoleh ke luar jendela, menatap bangunan besar dengan dinding abu-abu hangat yang baru saja mereka tinggalkan.Sagara masuk ke sisi pengemudi dan menyalakan mesin. Tapi dia tidak langsung melajukan mobil. Tangannya masih diam di atas kemudi."Aku nggak tau kalo hubungan aku sama Mama kamu seburuk itu. Dan aku juga nggak nyangka kalo aku dulu orang jahat," gumam Viana tiba-tiba. Suaranya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Dan aku nggak nyangka kalo Mama kamu bersikap baik ke aku, dan bahkan minta maaf ke aku!" "Padahal dulu Mama kamu ber—" Dia menggantungkan kalimatnya
Langit mendung menggantung rendah saat mobil berhenti di depan rumah bergaya Eropa klasik di kawasan elit. Pilar-pilar tinggi menjulang kokoh, diselingi jendela kaca besar dan taman mungil yang tertata rapi. Aroma bunga lavender menyeruak dari pot-pot keramik di beranda. Viana menatap bangunan itu dari balik kaca mobil, ada rasa gugup yang merayapi perutnya.Sagara mematikan mesin. “Aku cuma mau nganter Alin sebentar ke rumah Mama,” ujarnya, menoleh ke Viana yang duduk di kursi penumpang depan. “Tapi kalau kamu capek, bisa tunggu di mobil.”Viana menggeleng cepat. “Nggak apa-apa. Aku ikut aja.”Ia membuka pintu dan melangkah turun bersamanya. Saat mereka berjalan menuju pintu depan, langkah Viana melambat. Rumah itu terasa asing, tapi entah kenapa langkahnya begitu berat seolah ada sesuatu yang menahan langkahnya. Dan saat seorang wanita elegan membuka pintu dengan senyum hangat, napas Viana tercekat.Dia mengerutkan dahinya bingung. Itu Ibu kandung Sagara? Mertuanya?Wanita itu menge
Suasana di dalam mobil terasa berbeda. Hening, tapi bukan hening yang nyaman. Hanya suara samar mesin pendingin dan sisa denting sendok es krim Alin yang kini duduk di baris ketiga. Gadis kecil itu masih menjilat es krimnya pelan, meski sesekali menatap dua orang di depannya lewat celah bangku dengan pandangan penuh tanya.Viana duduk di kursi penumpang depan, tangannya saling menggenggam di pangkuan. Matanya menatap lurus ke depan, tapi sesekali melirik Sagara yang duduk di kursi kemudi tanpa menyalakan mobil.Sagara menyandarkan tubuhnya ke jok, satu tangan menumpu setir, sementara mata tajamnya menatap Viana dari sudut pandang. Diam. Ia sedang menunggu.Dan Viana tahu, ia harus bicara lebih dulu."Alin udah jelasin hubungan kita dulu, Sagara," ucapnya lirih.Sagara tidak menanggapi. Tapi ia tidak memalingkan wajahnya juga. Itu cukup."Dan aku juga udah denger semuanya dari mulut Papa dan Tante Alesha. Selama ini mereka bohongin aku, mereka bilang kamu pacar yang buruk makanya aku b
Ruangan kantor Arthur terasa menyesakkan. Meski aroma kopi dan wangi parfum mahal masih melekat di udara, dada Viana terasa sesak. Baru beberapa menit lalu ia keluar dari ruang kerja pria itu, tapi pikirannya sudah kacau balau.Ia berjalan cepat ke lobi, langkahnya mantap tapi wajahnya sayu. Begitu sampai di pintu masuk, ia langsung menghampiri Pak Tono yang sedang menunggu di dekat mobil hitam milik keluarga Rajendra."Pak Tono, pulang aja dulu ya. Aku rasa bakal lama di sini," ucap Viana, suaranya terdengar lelah.Pak Tono sempat ragu. "Apa perlu saya tungguin, Non?""Nggak usah. Aku pulang sendiri nanti," jawab Viana singkat sambil melambaikan tangan. Ia tidak ingin banyak bicara. Kepalanya penuh, pikirannya kusut. Ia hanya ingin menjauh sejenak.Begitu mobil Pak Tono berlalu, Viana menghela napas berat. Ia berbalik, menyeberangi trotoar besar di depan gedung kantor Arthur, lalu mengangkat tangan memanggil taksi yang melintas."Taman kota, Pak," ucapnya saat duduk di bangku belakan
Alesha bangkit dari sofa lebih dulu, ekspresi wajahnya seketika berubah tegang. “Viana, ini bukan seperti yang kamu dengar barusan.”“Oh iya?” Viana melangkah masuk lebih jauh, pintu di belakangnya tertutup perlahan. Tatapannya lurus pada dua orang yang selama ini ia panggil orang tua. “Lalu seperti apa? Coba jelaskan.”Arthur berdiri dengan tenang, membenahi jasnya seolah ingin menjaga wibawa, meski wajahnya jelas menegang. “Kamu nggak seharusnya menyelinap dan mendengarkan tanpa izin.”“Dan kalian seharusnya nggak membohongi aku kaya gini. Kalian manfaatin aku yang amnesia buat jadi seperti yang kalian mau!” Suara Viana meninggi, akhirnya meledak juga. “Aku bukan anak kecil, Pa. Aku berhak tahu kebenaran tentang hidup aku!”Alesha melangkah mendekat, mencoba meraih tangan Viana. “Nak, kamu belum siap menerima semuanya waktu itu. Kami hanya—”Viana menarik tangannya cepat, tatapannya tajam. “Kalian bilang Sagara cuma mantan pacar yang manipulatif! Kalian bilang aku kecelakaan karena