MasukAlex muncul di teras. Jaketnya setengah terbuka, bahu tegap. Di sisinya, anak kecil itu Lily... berlari kecil, tertawa menabrak udara. Alex menurunkan langkah, ia menoleh ke belakang sekali. Dua kali. Lalu... pandangan itu jatuh ke Amel. Amel berdiri di ambang pintu kaca. Rambutnya tergerai, wajahnya pucat di bawah lampu hangat. Ia mengangkat tangan kecil, isyarat sederhana dan Alex mengangguk. Hanya itu. Tapi bagi lensa di kejauhan, itu cukup. *** Di markas Black Dragon, Martin memandangi layar monitor yang menampilkan feed jarak jauh. Ia tak berkedip. Beni berdiri di belakangnya, tangan di saku, rahang mengeras. “Dia sudah menemukan dunianya” gumam Martin. “Anak itu… dan Amel.” “Kalau kita sentuh salah satunya...” Beni memulai. “Alex akan murka dan marah.” Martin menyelesaikan, tenang. “Dan dia tidak akan tinggal diam.” Martin menggeser kursi, berdiri. “Aktifkan fase dua.” Di layar lain, peta kota menyala. Titik-titik bergerak pelan... bukan mendekat ke mansion, mela
Markas Black Dragon tenggelam dalam cahaya redup. Lampu neon tua berdengung pelan di langit-langit, memantulkan bayangan panjang di dinding beton yang berbau asap rokok dan oli. Di tengah ruangan, Martin duduk santai di kursi kulit hitamnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk sandaran. Pintu besi berdecit. Seorang pria dengan pakai preman... anak buah Martin, dia melangkah masuk. Bajunya basah oleh keringat, rahangnya tegang. Ia berdiri beberapa meter dari Martin, menelan ludah sebelum bicara. “Bos,” katanya. “Kami mengintai dari kejauhan karena mansion Alex… nggak aman kalau didekati.” Martin mengangkat alis, sedikit saja. Isyarat untuk lanjut. “Penjagaan berlapis,” lanjutnya. “Gerbang depan, sisi taman, bahkan jalur belakang. Kami pakai teropong dari bukit seberang.” “Terus?” potong Martin, suaranya rendah. Dia menarik napas. “Kita lihat sesuatu yang… beda.” Martin berhenti mengetuk. Ruangan terasa menyempit. “Alex,” kata si pengintai, “dia sangat peduli, bukan pura-pura.” Ia meng
Dari kejauhan, Maria berdiri di bawah bayang pohon flamboyan. Tangannya terlipat di depan tubuh, sikapnya seperti biasa—tenang, menjaga jarak. Namun matanya tak lepas dari tiga sosok yang berjalan perlahan di tengah taman. Lily mengayun tangan mereka, tertawa kecil setiap kali langkahnya meloncat tak seirama. Amel menyesuaikan langkah, sesekali menunduk untuk mendengarkan celoteh Lily. Alex… berjalan di sisi lain. Bahunya tegak seperti biasa, wajahnya tetap datar. Tapi Maria melihat Alex sangat peduli pada Lily seperti... saat dia menurunkan langkah agar sejajar dengan Lily, jemarinya menguat setiap kali Lily tersandung sedikit. Senyum tipis terbit di bibir Maria. Hangat. Lama tak ia rasakan pemandangan seperti itu di mansion ini. Langkah sepatu mendekat dari sisi taman. “Maria? Ngapain lo disitu.” Maria menoleh. Joni berdiri beberapa langkah darinya, jaket kulit terbuka, kacamata hitam diselipkan di kerah. Tatapannya mengikuti arah pandang Maria—lalu berhenti. “Bos…” gumamny
Amel melangkah pelan ke ruang makan. Dress sederhana berwarna ungu bunga-bunga membingkai tubuhnya tanpa berusaha mencuri perhatian. Rambutnya terikat rapi, menyisakan beberapa helai halus di pelipis. Ia berhenti sejenak, memastikan napasnya kembali teratur, lalu maju.Alex sudah duduk. Entah sejak kapan. Ia menoleh ketika langkah Amel terdengar. Tatapannya singgah... sekilas, lalu berpindah ke jendela. Seolah sengaja memberi ruang, seolah menahan sesuatu.“Duduk,” katanya singkat.Amel menarik kursi di seberangnya. Porselen kembali berdenting pelan. Matahari pagi merayap lebih jauh, memantul di cangkir kopi Alex.Belum sempat hening menjadi canggung, pintu kaca menuju taman terbuka.“Mama!” suara Lily meluncur cerah, berlari kecil masuk dengan langkah tak beraturan. Rambutnya sedikit lepas, pipinya memerah oleh tawa.Amel refleks bangkit setengah. “Lily—pelan-pelan sayang,” katanya, senyum tak tertahan.Lily berhenti tepat di samping Amel, lalu memeluk pinggangnya tanpa ragu. Tubuh k
Pagi menyusup pelan ke dalam mansion. Cahaya matahari jatuh miring ke lantai dapur yang luas, memantul di permukaan meja stainless dan peralatan masak yang tersusun rapi. Udara hangat oleh aroma roti panggang dan kaldu yang baru mendidih. Amel berdiri di antara para pelayan, celemek terikat rapi di pinggang. Tangannya cekatan—memotong buah, menyusun piring, sesekali tertawa kecil menanggapi candaan ringan. Wajahnya hidup, matanya berbinar. Tidak ada sisa ketakutan semalam di sana, hanya rasa diterima. Seragam pelayan yang ia kenakan tampak pas di tubuhnya. Sederhana. Bersih. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa berguna. Di luar, di taman belakang, tawa Lily melengking ringan. Gadis kecil itu berlari kecil mengejar kupu-kupu, rambutnya terikat rapi. Maria, pengasuhnya, mengawasi sambil sesekali tersenyum, memastikan langkah Lily tak terlalu jauh dari bayang-bayang pepohonan. Amel melirik ke arah jendela taman. Senyumnya melebar saat melihat Lily melambaikan tangan padany
Mobil Alex meluncur keluar dari area bar. Kilau lampu neon terpecah di kaca spion, lalu lenyap satu per satu seperti janji palsu. Begitu gerbang besi menutup, bahunya turun sedikit—hanya sedetik—sebelum kembali menegang. Jari-jarinya mencengkeram setir. Kulit kemudi berdecit pelan di bawah tekanannya, seolah yang ia kendalikan bukan mesin, melainkan sesuatu yang terus memberontak di dadanya. Joni memecah sunyi. “Bos… kita mau sampai kapan main aman begini?” Ia bersandar di kursi penumpang, menatap jalanan di depan. “Martin bukan tipe yang mau nunggu. Kita harus ketemu dia.” Alex tak langsung menjawab. Pandangannya lurus ke depan, rahangnya mengeras. Lampu merah di perempatan menyala, memantul di matanya yang gelap. “Kita nggak nyerang orang kayak Martin dengan cara lurus,” katanya akhirnya. Suaranya rendah, nyaris datar. “Dia licik. Jadi kita harus bikin dia ngelihat dirinya sendiri.” Joni menoleh. “Maksud lo?” Alex menghembuskan napas lewat hidung. “Kita jadi cermin. Biar dia







