Share

Bertemu Teman Ayah

Bab 3

Kemana Agung? Harusnya ia mengangkat teleponku dan tidak seperti ini.

Lalu aku janjian dengan temannya Ayah yang akan menempati rumah Bogor. Kata Ayah, Ia adalah teman lamanya, yang ingin tinggal sementara di Bogor. Namanya Om Agus dan Tante Tari. Kami janjian di lokasi.

***

Aku tiba di rumah Bogor. Rumahnya nampak sepi. Tapi kulihat rumah ini seperti baru ditinggal pengisinya. Agung pun tak ada di sini, rumahnya dekat sini padahal.

Aku coba mencari Agung di rumahnya. Ternyata ia luka-luka. Ketika kubertanya mengapa? Ia bilang dipukuli oleh orang-orang yang tak dikenal.

"Apa mungkin Mas Dafa curiga kamu membocorkan keberadaan mereka?" tanyaku.

"Bisa jadi, Bu. Tapi Pak Dafa tak punya bukti. Ponsel saya sampai rusak memang, mereka mencari sesuatu di ponsel ini. Untungnya semua riwayat sudah dihapus, Bu," jawabnya.

"Ya Allah, maafkan saya ya, Gung. Semoga kamu cepet sembuh, ini uang buat berobat kamu, ya!" Aku pamit dari rumah Agung. Ia sudah memiliki istri dan seorang anak.

"Terima kasih, ya, Bu. Doakan semoga suami saya cepat pulih."

"Iya, pasti. Oya, nanti pekan depan orang yang menempati rumah akan datang. Oya, kamu nggak lihat mereka pindah ya? Kapan ya pindahnya? Semalam atau tadi pagi?" tanyaku.

"Saya nggak lihat, Bu. Kan saya dipukuli kemarin sore. Jadi, saya nggak ke rumah ibu sejak kemarin sore. Istri saya pun tak ke sana, karena harus menjaga saya dan anak kami. Maaf ya, Bu!" katanya.

"Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu!"

Mas Dafa sungguh cerdik, ia sudah memindahkan Ranti dan keluarganya. Aku harus mencari tau kemana mereka pindah?

Aku kembali ke rumah, lalu Om Agus dan Tante Tari sudah di lokasi.

"Eh, Om sudah di sini?" tanyaku. 

"Iya sudah. Salam kenal, Om, Tante. Saya Sarah anaknya Pak Satrio," ucapku sembari memberikan tangan pada mereka.

"Iya tau, karena kamu mirip Ayahmu," jawab Om Agus.

Lalu kami ke dalam bersama.

"Om, Tante. Kalian yang nyaman ya tinggal di sini! Semoga rumah ini bermanfaat buat kalian tinggal saat ini," ucapku.

"Terima kasih, ya, Sarah!"

"Aku harus permisi dulu, karena harus mencari tau kemana perginya pengisi rumah ini sebelumnya," kataku.

"Oh, tadi ada orang yang sudah mengantar pindah pengisi rumah ini. Tadi katanya pindah ke daerah Ciluar, kalau nggak salah. Coba tanya saja, rumah orangnya di sebrang!"

"Baiklah, Tante."

Aku bertanya pada orang yang disebutkan tadi. Aku pun mendapatkan alamat pastinya.

Dari situ aku menuju alamat yang diberikan tadi. Cukup sulit mendapatkan rumah kontrakan mereka yang ternyata di sebuah perumahan yang tak jauh dari tipe rumah kami sebelumnya.

'Enak saja mereka diberi fasilitas dari uangku!' 

Lalu aku melihat ada mobil Mas Dafa di sana. Kuselidiki lebih lanjut, Mas Dafa dan Ranti sedang saling berpegangan tangan. Mereka duduk berdampingan di kursi luar rumah. Kepala Ranti menyender di bahu Mas Dafa.

Ingin sekali aku langsung menyergap mereka. Tapi ini belum waktunya. Lebih baik kufoto dulu sebagai bukti menguatkan semua perselingkuhannya.

Setelah itu aku menuju kost-kostan yang akan kubeli. Sepanjang jalan aku harus menahan tangis ini. Berkali-kali air mataku keluar. Aku tak bisa mencegahnya, sehingga kubiarkan saja mata ini basah.

***

"Anda Bu Sarah?" tanya seseorang di sebuah kost-kostan tujuanku.

"Ya, betul."

"Saya Ari--pemilik kost-kostan ini."

"Oh, ya? Boleh saya lihat ke dalam?" tanyaku.

"Boleh. Anda sendiri saja ya, karena ini kost perempuan. Ada beberapa mahasiswa juga yang sedang di kamarnya. Saya menjaga privasi mereka," katanya.

"Baiklah, Pak Ari."

Setelah kulihat-lihat ke dalam, ternyata kost-kostan ini sangat menjanjikan. Banyak kamarnya, penghuninya juga ramai. Letaknya tak jauh dari kampus. Selain itu bangunannya juga baru.

"Bagaimana, Bu?"

"Saya setuju. Untuk harga bagaimana?"

"Sudah saya sepakati dengan Pak Satrio," katanya.

"Apa? Anda bisa dipercaya memberi harga yang pas pada Ayah saya?" tanyaku.

"Iya, saya tak mau membohongi orang tua," katanya.

"Baiklah kalau begitu. Nanti anda hubungi saya berapa yang harus saya transfer dan nomor rekeningnya juga," jawabku tanpa basa-basi.

"Okey, saya belum tau nomor Bu Sarah," katanya.

"Jika anda berhubungan dengan Ayah saya, kenapa tak tanya langsung padanya?" 

"Tak usah, karena orangnya sudah ada di depan saya sekarang. Baik, berapa nomor anda Bu Sarah?" tanyanya.

Akhirnya aku memberikan nomor ponselku. Kami segera berpisah karena aku harus segera sampai rumah.

***

Ketika sampai rumah, Mas Dafa masih belum kembali. Apa ia masih di Bogor? Ah sangat menyebalkan sekali orang itu.

Aku menunggunya hingga pukul sepuluh malam, ia masih belum kembali. Sehingga aku memutuskan untuk menghubunginya di telepon.

Saat nada panggilan berbunyi, aku gemetar. Kuhela napas dalam-dalam, agar perasaan ini kembali tenang.

Lalu terdengar suara Mas Dafa menyapa di telepon.

"Halo, Sayang. Maaf aku tak bisa pulang malam ini. Aku pulang ke rumah ibu di Bogor. Ibu sakit lagi, Dek!" katanya.

Lalu terdengar suara perempuan yang berkata 'Sayang, cepat!' pada Mas Dafa. 

Ia langsung mengoreksinya.

"Maaf, itu suara istri kakakku. Mereka baru saja tiba," katanya.

Aku tau kamu berbohong, Mas!

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status