Share

Aku Sudah Tau, Mas!

Bab 2

"Apa? Mengapa kamu menjualnya?" Mas Dafa membulatkan matanya padaku.

Aku hanya tertawa dalam hati. Dengan begini saja kamu begitu kaget, Mas?

"Ya ... karena aku telah tertarik bisnis kos-kosan di dekat kampus di Bogor. Nanti uangnya aku belikan kost-kostan ya ng lebih menguntungkan, pastinya," jawabku.

"Harga kost-kostan justru pasti lebih mahal, Dek! Lagipula yang mengontrak bagaimana?" kata Mas Dafa.

"Betul, Mas. Ayahku bersedia meminjamkan dana segar untuk ini, nanti kubayar dari pembayaran kost para mahasiswa. Buat yang mengontrak, besok akan kuberi pengertian baik-baik, biar mereka pergi baik-baik juga. Kamu kembalikan nanti kerugian mereka," jawabku.

"Ah ... kamu ini sok tau. Nanti kalau kostnya nggak laku gimana? Kita harus benar-benar punya pertimbangan matang untuk buka sebuah kost-kostan. Trus kamu tega sekali mengusir yang ngontrak," kata Mas Dafa.

Pinter sekali dia ngeles. Padahal ia takut istri keduanya jadi gembel kalau nggak tinggal di rumah kami. Pokoknya aku harus mempertahankan pendapatku. Karena pembeli rumah itu juga tak lain adalah Ayahku.

"Pokoknya aku sudah menjualnya, uangnya sudah ada padaku. Akupun akan membayarkan untuk kost-kostan, Mas. Besok aku kan ke Bogor, ke rumah kita dan ke kost-kostan yang akan kubeli. Orang yang membeli rumah kita akan menempatinya Minggu depan soalnya. Besok sekalian kuberi pengertian pada pengontrak rumah kita," sahutku, dan itu membuat Mas Dafa mengangga. 

Memangnya aku tak tau, Mas, kalau yang mengontrak sebenarnya sudah pindah. Hal itu yang menjadikan kesempatan buatmu menempatkan selingkuhanmu dan keluarganya tinggal di sana.

"Sar, kamu gil* ya? Kenapa mendadak sekali? Memangnya orang yang beli rumah kita nggak lihat-lihat dulu, sampe langsung beli aja," katanya.

"Justru dia percaya banget padaku nggak bakal nipu soal jual beli rumah. Dia sudah lihat sebelumnya kok karena pernah mampir saat aku ke sana dulu. Saat ini, ia membutuhkan rumah, jadinya kujual deh!" jawabku enteng.

"Huh, kamu aneh! Segala sesuatu harus seizinku, Sar. Kamu tak boleh semena-mena menjual, lalu belikan lagi. Memangnya kamu nggak punya suami?" tanyanya lagi.

"Lah ... Mas lupa? Rumah di Bogor itu atas namaku, terus Mas beri sebagai hadiah keuntungan percetakan saat itu. Jadi, terserah aku dong mau dijual atau tidak?" Aku mengungkitnya.

Mas Dafa diam, namun ia mengerucutkan bibirnya. Ia pula nampak berpikir keras. Mungkin ia sedang berpikir untuk memindahkan Ranti dan keluarganya. Rasakan kamu, Mas!

***

Beberapa hari sebelumnya.

"Sarah, biar Ayah beli saja rumahmu di Bogor. Bilang saja pada Dafa ada yang sudah membeli rumahmu. Nanti biar ayah suruh orang Ayah yang pura-pura akan menempatinya," kata Ayah. "Nanti suatu saat Ayah dan Ibu memang ingin pindah ke sana," katanya.

"Trus bagaimana?"

"Lebih baik kamu gunakan uang pembelian rumah itu untuk beli kost-kostan mahasiswa. Nanti kalau kurang, Ayah tambahin. Uangnya jangan bagi-bagi buat si Dafa itu. Kamu harus bisa membalas semua, jangan sisakan sepeserpun untuknya," ucap Ayah.

"Boleh juga ide Ayah. Nanti kucari kost-kostan yang akan di jual sekitar kampus deh, Yah!"

"Nggak usah, ada punya teman Ayah yang mau dijual. Kamu bisa lihat datanya ada di Ayah. Kalau butuh gambar detail juga ada. Tapi kalau mau lihat langsung ke sana juga bisa," jawab Ayah.

"Baiklah, Yah. Aku percaya pada Ayah."

"Iya, Sarah. Ibu dan Ayah mendukungmu. Kamu harus buat Dafa jatuh miskin. Ia laki-laki tak tau diri, malah menikahi karyawannya saat istrinya berjuang dengan anaknya yang sakit."

"Iya, Bu. Tapi Sarah juga belum memastikannya," jawabku.

"Ayah sudah memastikannya, dan perkiraan kamu betul. Mereka menikah saat ia izin padamu menengok ibunya yang sakit. Padahal ibunya tak apa-apa. Dan pada saat itu Reza--anakmu juga sedang sakit kan?"

"Betul, Yah. Terima kasih ya, Yah, atas bantuannya. Aku tak bisa tau ini jika tak ada Ayah. Aku tak ada akses untuk menyelidikinya," ucapku.

"Sama-sama. Ayah hanya ingin kamu dan cucu Ayah bahagia. Ternyata Ayah salah selama ini, menikahkanmu dengan seorang buaya. Maafkan Ayah ya, Nak!" sahut Ayah.

"Aku kok yang memilih Mas Dafa. Ayah tak salah apapun, Yah."

Aku memeluk kedua orang tuaku. Mereka sangat mendukungku saat ini. Mereka tau hati ini sedang rapuh dan hancur. Tapi aku pun berusaha untuk tegar.

***

Pagi ini, aku beranjak ke Bogor setelah menitipkan anakku pada Ibu. Mas Dafa sudah pergi lebih pagi dariku. Ia bilang saat ini percetakan buka lebih pagi karena ingin meningkatkan pelayanan pada pelanggan.

Namun aku tak percaya begitu saja, mungkin ia sedang mencarikan rumah baru buat Ranti dan keluarganya.

Aku mencoba cari tau dari Agung. Kucoba menelepon Agung, tapi setelah beberapa kali di telepon, ia tak menjawab. Kemana Agung?

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Wawan Hermawanto
bagus dan cukup menghibur dan menjadi teman dalam waktu luang buat membaca
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status