Kali ini aku pulang kantor dengan hati senang. Semoga saja rencanaku berhasil. Aku belikan kue untuk dibawa ke Bogor yang telah dicampur dengan obat pencahar.Tinggal menunggu Mas Dafa pulang nanti semoga saja rencana ini berhasil.***Mas Dafa nggak pulang sejak hari Senin. Ada apa dengan dia? Seenaknya saja nggak masuk. Baru aja dijadikan koordinator produksi. Kalau dia mangkir terus, bakal kukeluarkan dari kantor. Masih banyak orang cerdas yang butuh pekerjaan, namun Mas Dafa malah menyepelekan pekerjaan.Apa perlu kudatangi rumah ibunya? Biar segera terbukti kalau ia tak ke rumah ibunya. Namun, kerumah wanita itu.Saat tiba di kantor, Ayah sudah ada. Beliau sesekali mengontrol kami. "Bagaimana Sarah, apa ada kesulitan?" tanya Ayah."Nggak, Yah. Insya Allah dalam sebulan sudah bisa dioperasikan. Sekarang sedang open recruitment para karyawan. Mereka wawancara hari ini di sini," kataku."Sudah ada tim wawancaranya?""Sudah, Yah. Aku dan Pak Ari.""Oh, jadi hari ini Ari akan ke sin
Kebetulan sekali ia juga mampir ke sini. Padahal ada nasi kotak yang disediakan oleh kantor. Entah kenapa aku tak selera menyantapnya. Aku hanya ingin minum segelas es cappucino."Oh, boleh-boleh. Silahkan duduk, Pak.""Bu Sarah ternyata ke sini juga. Saya kebetulan tadi sudah makan, jadi makanannya buat nanti saja. Karena ngantuk, sepertinya butuh kopi yang menyegarkan."Wah, ternyata alasan kami sama-sama ingin ngopi. "Iya, sama akupun hanya ingin ngopi saja, Pak.""Hahaha," ia tertawa menanggapiku. "Oya, untuk sesi setelah istirahat masih berapa orang lagi? Saya nggak bisa lewat dari jam empat ya," katanya."Memangnya ada acara penting ya, Pak?" "Nggak sih. Mamaku kebetulan sedang ulang tahun. Aku ingin memberikan kejutan buatnya.""Oh gitu. Beruntung sekali ya mamamu." Kata-kata ini keluar begitu saja dari mulut ini."Apa? Sebenarnya aku yang beruntung memiliki mama seperti mamaku. Ia seorang mama yang penyayang. Walau sampai saat ini aku belum menikah, ia tetap sabar walau kada
"Mau kemana, Mas?" tanyaku saat ku pulang, ia malah berkemas membawa ransel dan tas besar."Papa mau kemana?" tanya Reza anak kami. "Papa mau ke rumah Nenek di Bogor," jawabnya."Aku ikut, Pa!" pinta Reza. Ia memeluk papanya dari depan.Dafa bergeming. Ia hanya menyingkirkan Reza dari hadapannya."Nggak bisa! Kamu sama Mama aja. Mama lebih membutuhkan kamu daripada Papa," jawab Mas Dafa.Reza menangis dan berlari kearahku."Ma, Papa mau pergi. Eza nggak boleh ikut!" katanya sambil terisak."Nggak apa-apa, Za. Kamu sama Mama aja. Nanti kita lupain Papa aja dengan jajan di alf*mar*," jawabku.Mas Dafa menoleh, lalu memandangku penuh kebencian."Apa maksud perkataanmu, Sarah?" tanyanya sembari membulatkan kedua matanya."Iya, Reza harus melupakan kejadian hari ini. Mungkin dengan mengajaknya jajan, ia lupa permasalahannya denganmu," jawabku."Kamu tuh jadi istri, nggak ada bagus-bagusnya. Bicara pun menyakiti suaminya," katanya.Aku diam. Biar saja dia mengoceh sesukanya. Setelah ini, a
"Bu ... Mas Dafa mendua. Ia menikahi karyawan di kantor sekitar dua bulan lalu. Aku baru mengetahuinya, Bu. Mas Dafa membawa pindah istri barunya ke Bogor," kataku.Ibu terkejut, matanya membulat sempurna. Ia pun terlihat menghela napas kasar."Apa? Benarkah itu Sarah? Ibu sepertinya tak percaya. Menurut ibu, ia laki-laki baik dan bertanggung jawab, Sar." Ibu tetap tak percaya."Benar, Bu. Aku punya banyak bukti karena dapat dari Agung, penjaga rumah kami di Bogor ini. Ini Bu kalau mau lihat foto pernikahan mereka." Kuperlihatkan ponsel yang menampilkan foto saat Mas Dafa menikahi Ranti.Ibu menutup mulutnya, lalu bulir bening keluar dari sudut matanya. Ibu menangis melihat bukti-bukti yang kubawa."Ya Allah, Dafa. Kamu keterlaluan. Malah mengkhianati istri dan anakmu!" Ibu berkata sembari menatap ke depan."Lalu apa rencanamu sekarang, Sarah?" tanya ibu."Aku akan mendatangi rumah perempuan itu, Bu! Sekarang ia tinggal bersama ibu dan adiknya di sebuah kontrakan," jawabku."Kamu bena
Kami masih menunggu Mas Dafa dan Ranti datang. Ibunya Ranti shock, sedari tadi ia diam. Namun, air mata tak henti keluar dari sudut matanya.Aku dan Ibu masih menunggu mereka. Namun, ada rasa tak enak hati pada ibunya Ranti.Ternyata ia pun dibohongi oleh kedua orang itu. Mereka sudah menikah diam-diam, itu berarti mereka telah melanggar hukum yang berlaku. Jika terpaksa, aku akan memperkarakan mereka ke ranah hukum."Silahkan diminum, Bu!" ucap Sang Ibu lemah. "Saya malu dengan kelakuan anak saya. Tak menyangka akan seperti ini." Ia berkata dengan pelan dan terisak."Harusnya ibu cari tau dulu asal usul calon mantu. Jangan asal setuju aja. Selama ini ibu belum pernah ketemu besan kan?" Ibu Mertuaku murka. Dari sejak datang ia marah besar. Tak terima dengan perbuatan anaknya yang telah mengkhianati pernikahannya denganku."Ya, Bu. Saya salah memang tidak terlalu fokus dengan itu. Saya hanya orang kecil. Saat Pak Dafa datang, bagai berkah yang datang dari Allah. Saya ambil sisi positif
"Katakan Dafa! Apa benar kamu mencur* perhiasan Sarah?"Ia masih bergeming. Aku juga kesal melihatnya."Katakan Dafa! Atau ibu akan b*nuh diri karena gagal dalam mendidikmu. Ibu gagal menjadikanmu laki-laki yang baik dan bertanggung jawab," kata ibu.Aku mendekati ibu, lalu merangkulnya."Jangan Bu! Ibu tak boleh berbuat serendah itu demi laki-laki yang tak punya harga diri ini," kataku.Kemudian aku mendekati Ranti."Lepaskan seluruh perhiasan itu! Kamu tak pantas memakainya!" Aku menggertak Ranti.Ranti diam saja, ia malah memandangku dengan sinis. Wanita ini memang ngelunjak sekarang."Ya sudah, aku kembalikan semuanya. Lagian nanti juga Mas Dafa belikan perhiasan lagi buatku. Ambil saja ini! Kamu mau mengakuinya, ambil!" katanya sembari melemparkan perhiasan ke atas meja.Sontak aku mendekat padanya lagi. Ingin sekali kutampar mulutnya yang songong ini, tapi aku membatasi diriku agar tidak berbuat bar-bar. Aku mengambil perhiasanku di atas meja.Kemudian saat ini ibunya Ranti yang
"Bagaimana ya?" jawab Ibu ragu."Iya, bagaimana Bu? Aku sudah kesal dan muak dengan tingkah Mas Dafa dan Ranti. Aku ingin mereka jera. Dengan melaporkan perbuatan mereka, aku yakin mereka akan bertaubat." Aku meyakinkan Ibu Mertua."Tapi, Sar? Dafa itu suamimu dan ayah dari anakmu. Apa kamu nggak malu nanti kalau suamimu dipenjara? Nanti kalau ada yang meledek anakmu gimana? Sekarang saja ia sudah empat tahun dan sebentar lagi masuk SD," kata Ibu.Ibu ternyata tak benar-benar murka pada anaknya. Ia tak bisa melihat Mas Dafa masuk jeruji besi. Aku takkan membahasnya lagi. Biar itu jadi urusanku. Toh, yang sakit hati itu aku. Akulah yang berhak menentukan hukuman buat mereka."Iya, Bu. Aku tau itu, tapi aku tak mau memikirkan hal itu. Mereka tak berhak bahagia di atas penderitaanku, Bu. Anakku mungkin nanti mengerti kalau Papanya tak bisa dipertahankan karena perbuatannya yang memang tak bisa dimaafkan. Sampai saat ini pun, Mas Dafa tak ingin kembali padaku. Ia tetap bertahan dengan Ran
"Baiklah, Mas. Aku setuju. Tapi sebelum laporan, kita ke rumah seseorang dulu. Aku mau mencari bukti rekaman suara Agung. Ia adalah pengurus rumah yang Mas tinggali kemarin," kataku."Oh, iya tau. Agung kan?" "Iya.""Tapi, setauku Agung itu tipe orang yang prioritasnya uang. Karena orang tuaku pernah menguji orang itu. Bilang padanya kalau kami orang tak punya, mau nggak kalau ia bantu kami? Ternyata ia tak datang-datang lagi. Namun, setelah ia tau aku bawa mobil mewah, ia langsung mau ketika disuruh-suruh oleh orang tuaku. Jadi kami bisa menyimpulkan seperti itu. Maaf jika kamu tidak berkenan," katanya.Ternyata ada kabar buruk tentang kelakuan Agung. Memang benar sih, aku kemarin langsung memberinya sejumlah uang ketika aku tau ia dipukuli dan itu pasti oleh orang suruhannya Mas Dafa.Aku akan membuktikannya setelah ini. Apakah ia akan membantuku dengan tulus? Atau ia mengharapkan imbalan sejumlah uang?***Aku sengaja memarkirkan kendaraanku di rumah Ayah. Mas Ari menunggu di sana