"Siapa lagi yang mau pesan? Ini ada berlian murah, model terbaru!" suara Rita sebagai bendahara dalam arisan grup Rumpis dengan membuka kotak perhiasan berwarna merah beludru sebesar kotak kue. Ia memperlihatkan sebuah kalung bermata berlian.
Aku duduk diam, di sudut ruangan rumah Nora sebagai ketua arisan Rumpis. Aku hanya memandang teman-teman arisan yang berusaha mencoba perhiasan secara bergantian. "Halo Jeng Neni, pengantin baru nggak ingin membeli perhiasan terbaru?" tanya Rita tersenyum memandang Neni. Neni yang merasa terpanggil tersenyum segera mengarahkan pandangannya ke arah Rita. "Maaf Bu Rita, suami saya sudah membelikan hadiah," ucapnya dengan sopan dan melontarkan senyum khas. Aku tersentak saat mendengar percakapan antara Rita dan Neni. Hatiku bertanya-tanya hingga berpikiran menanyakan pada Ratih yang duduk di sebelahku. "Lho Bu, apa Mbak Neni menikah? Kapan? Kok saya nggak diundang?" Ratih mengernyit kan dahinya menatapku dengan gugup. "Ooo iya Jeng, tapi memang Jeng Neni tidak menyebar undangan, ia nikah diam- diam. Hanya ibu-ibu yang mengetahui saja yang datang." Aku bingung, seribu pertanyaan singgah dalam pikiranku. Dengan tak taunya aku dalam pernikahan Neni yang merupakan teman dekatku. Serta tak ada pemberitahuan ataupun undangan padaku. Padahal ibu- ibu arisan tau, akulah orang yang paling dekat dengan Neni dibanding ibu- ibu arisan lainnya. Apalagi setiap kali ada teman yang ingin mengadakan acara, pasti diposting di dalam grub w******p. Mereka dengan antusias merundingkan pakaian apa yang harus mereka kenakan nanti? Warna yang sama atau tidak? Di mana harus berkumpul? Tapi kenapa di grub juga sepi tanpa ada pemberitaan. Nita juga begitu, padahal berangkat dan pulang arisan selalu bersama naik mobilku. Tapi Nita tidak mengatakan apa-apa kepadaku. Rasa penasaranku muncul. Aku segera berdiri, melangkah mendekati tempat duduk Neni. Kebetulan di samping Neni ada kursi kosong. "Ya Allah Mbak, aku nggak tau kalau Mbak Neni menikah. Kapan Mbak? Aku kok nggak di undang?" Kuhempaskan tubuhku di atas kursi dan kugeser kursinya agak mendekat pada Neni. Neni tampak gugup, ia berusaha tersenyum membalas pertanyaanku. "Tidak apa-apa Mbak? Acaranya sederhana kok. Sebenarnya saya nggak mengundang siapa-siapa Mbak? Ibu-ibunya saja yang tiba-tiba datang!" ucap Neni yang usianya lebih muda dari usiaku. Dan masih dikaruniai anak satu perempuan yang baru berumur dua tahun. Ia menjanda satu tahun yang lalu sebab suaminya meninggal mendadak. Aku pun berkali-kali mengucapkan maaf. Dan hari ini juga aku berencana hendak ke rumahnya sekedar ingin menebus kesalahan dengan tidak hadirnya dalam pernikahan Neni. Namun Neni menolaknya secara halus dengan alasan ia hendak pergi bulan madu ke Bali. Akupun menyadari hal itu. Yang menjadi ganjalan hatiku. Neni begitu baik sama aku. Bahkan waktu aku punya hajatan khitanan Jenar anakku, ia merelakan utuk bermalam di rumahku selama dua hari untuk membantuku menyiapkan acara itu hingga selesai. Akupun sering berbagi kebahagiaan menceritakan Mas Bram yang sangat memperhatikan aku. Dan Neni juga menyanjung kesetiaan Mas Bram. Pikiranku tetap tak enak. Hingga perjalan pulang otakku terus berpikir soal tidak taunya aku tentang pernikahan Neni. Nita yang duduk di sampingku saat di dalam mobilku, aku cerca dengan berbagai pertanyaan. "Bu Nita, kenapa Mbak Neni menikah gak memberitahuku? Padahal Mbak Neni itu sudah kuanggap seperti saudara sendiri." Nita menjawabnya dengan enteng. "Ya kapan- kapan Jeng Kinan bisa datang sendiri ke rumah Jeng Neni. Waktu masih panjang, gak usah terlalu dipikirkan." Aku mangut- manggut membenarkan ucapan Nita. Tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri, dalam benakku merasakan kekecewaan yang mendalam. Dan bertanya- tanya tak diundangnya aku dalam acara penting. Padahal dua hari yang lalu Neni sempat chatingan sama aku. Tapi tak sedikitpun Neni menyinggung soal pernikahan. Bahkan Neni tak pernah menceritakan calon suaminya. Neni cenderung tertutup walau aku sama Neni sering ngobrol. Malahan aku sering mengajaknya ke restoran makan bersama dengan Mas Bram dan belanja bareng. Neni sudah seperti adikku sendiri sebab aku merasa tak punya saudara. Timbul rasa penasaranku dan ingin tau siapa suami Neni. Sebab selama ini Neni tak pernah membicarakan soal calon suaminya. "Suaminya Mbak Neni itu orang mana sih Bu, aku kok gak pernah dengar dia punya calon suami? Dia juga gak pernah cerita sama saya?" Nita yang hadir waktu acara pernikahan Neni dengan antusias menceritakan kalau suami Neni itu pengusaha muda yang sukses, orang terpandang. Duda tanpa anak walau usianya terpaut delapan tahun lebih tua dibanding usia Neni. "Tapi waktu ibu- ibu kesana, tidak bertemu suaminya. Suaminya kebetulan barusan keluar ada kepentingan keluarga," jelas Nita. Mendengar cerita dari Nita aku ikut merasa bahagia, bagaimanapun juga Neni aku anggap adikku. Aku tak mempunyai sedikitpun rasa kesal walau dalam pernikahannya aku tak diberitahu. Aku hanya bisa berpikir, Neni memang sengaja tak menyebar undangan atau memberitahu siapapun sesuai perkataannya tadi. "Ya, mungkin itu sudah jodohnya Mbak Neni. Aku juga turut senang Bu Nita?" ucapku dengan fokus mengendarai mobil. "Tapi dengar-dengar anak jeng Neni itu juga anak hasil dari suami yang sekarang lho, Jeng. Jadi sebelum suaminya meninggal Jeng Neni itu sudah selingkuh duluan!" "Ooh ya, benarkah itu Bu?" ucapku agak terkejut dan hampir tak percaya, Hingga sampai di rumah kata-kata Nita masih terngiang di telingaku. Cepat-cepat aku turun dari mobilku setelah kunci mobil aku serahkan Dodi satpam rumahku untuk memasukkan ke garasi mobil. Itu sudah menjadi kebiasaan Dodi. Langkah kakiku kupercepat masuk rumah, untuk menemui suamiku dan menceritakan tentang Neni. Aku tarik gagang pintu kamarku. Aku tau kalau suamiku sudah pulang sebab pertama aku masuk halaman rumah kulihat mobil suamiku sudah bertengger di halaman. "Lho sudah pulang, Sayang?" Tanya Bramasta suamiku yang mana aku memanggilnya mas Bram. Aku bengong saat melihat suamiku memasukkan pakaian ke dalam koper. Belum juga aku menjawab pertanyaannya. Berbagai pertanyaan aku lontarkan pada Mas Bram. "Mas mau kemana? Kenapa bawa pakaian banyak? Dan kenapa tidak memberitahu aku sebelumnya kalau Mas hendak ke luar kota?" Mas Bram tersenyum mendekati aku. Sebuah kecupan hinggap di keningku. "Aku harus ke Singapura Sayang? Ada acara mendadak, tentang perusahaan kita. Jadi aku tak sempat memberitahu kamu?" "Kenapa mendadak Mas? Bukankah kemarin hampir seminggu Mas Bram sudah pergi ke Surabaya? Kok bukan asistennya saja yang berangkat!" protesku dengan menghempaskan tubuhku ke pinggiran ranjang, kutunjukkan rasa kesalku di depan Mas Bram. "Nggak lama Say, cuma satu minggu. Kamu pesan apa?" rayu Mas Bram lembut, tangannya mengusap- usap rambutku. Aku hanya menggelengkan kepala. Aku percaya penuh kalau Mas Bram laki-laki setia. Ia juga perhatian sama Jenar putra satu-satunya. Apalagi apapun yang aku minta Mas Bram selalu menurutinya. "Mas, Mbak Neni menikah. Tapi kenapa gak memberitahu kita?" tanyaku memandang Mas Bram yang melangkah hendak ke kamar mandi dengan meraih handuk. Mas Bram tampak kaget. Ia memandangku. "Mbak Neni teman arisan kamu? Yang sering kamu ajak jalan- jalan itu?" "Iya?" jawabku singkat. Mas Bram hanya manggut- manggut tampak cuek. Ia melangkah masuk ke kamar mandi, tanpa merespon ucapanku. Pikiranku masih terbawa tentang Neni yang tidak mengundangku dalam pernikahan. Dalam hatiku sangat kecewa. Seribu pertanyaan terus bergelayut dalam otakku dengan meraba- raba mungkin aku ada salah dengan Neni. Namun pikiranku tak menemukan titik temu. Tiba-tiba terdengar dentingan ponsel chat masuk dari ponsel suamiku yang tergeletak di meja. Aku malas untuk merespon, paling dari teman bisnisnya. Toh aku jarang membuka ponsel Mas Bram. Menurutku itu sebuah privasi. Apalagi aku percaya penuh siapa Mas Bram, tak mungkin Mas Bram berbuat aneh- aneh. Namun tiba-tiba pikiranku berubah, rasa ingin tau dan penasaran untuk mengetahui siapa yang chat suamiku. Apalagi dengan keberangkatannya ke Singapura. Aku berdiri, kuraih ponsel mas Bram dan kubuka layar berwarna biru. Beruntung aku mengetahui kunci ponsel mas Bram hingga dengan mudah aku membuka ponsel mas Bram. "Andre?" gumamku, saat melihat nama yang tertera dalam ponsel itu. Aku mengenal Andre orang kepercayaan Mas Bram. Aku hendak meletakkan kembali ponsel Mas Bram. Sebab selama menikah aku tak pernah membuka isi ponsel Mas Bram. Namun baru saja ponsel hendak aku letakkan, sepintas aku melihat foto profil pada nomor ponsel Andre. Disitu tertera foto seorang wanita menggendong anaknya yang masih kecil. Aku berpikir sepertinya aku pernah tau profil ini. Rasa penasaran untuk membuka profil itu kembali menguak. Profil aku buka dan aku zoom hingga tampak jelas siapa pemilik nomor yang bernama Andre. Mataku terbelalak, jantungku berdetak kencang, saat melihat foto seorang wanita menggendong anak perempuan imut, lucu, cantik.Anggi menatapku tajam. "Jadi, jadi Jeng Kinan sudah tau?" Aku diam sejenak dengan menyuapkan nasi ke dalam mulutku sembari sedikit mengunyah aku menganggukkan kepala."Kenapa ibu- ibu menyembunyikan keburukan? Bukankah mereka orang beragama? bisa memilah itu benar atau salah. Karuan Neni merebut suami orang kenapa masih ditutupi!" protesku emosi. Anggi mengangkat ke dua bahunya. "Ibu- ibu hanya tak ingin ada keributan dalam arisan. Toh Jeng Neni sekarang sudah keluar dari grup arisan," jelas Anggi yang tidak membuatku terkejut. Aku juga sudah mengira kalau Neni setelah menikah bakal keluar dari arisan itu sudah pasti. Tentu bakal malu sendiri jika bertemu denganku. "Huh, dasar pelakor!" batinku. Kesalku semakin meronta Apalagi setelah mengetahui ternyata ibu- ibu arisan lebih membela Neni daripada aku, semua itu terlontar dari mulut Anggi. "Sepertinya Bu Nora ... Mmm..."Anggi diam sejenak sepertinya tak meneruskan ucapannya. Ia malah menunduk membuatku penasaran. "Bu Nora kena
Aku menggelengkan kepala dan mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan keadaan Jenar semalam. "Tuan Kecil tidak apa-apa, Nyonya." "Ya sudah, bikinkan sarapan kesukaan Jenar, nasi goreng telur." Aku berdiri melangkah meninggalkan Bibi Nur yang membersihkan meja makan. ***Sesuai janjiku pada Alliandro, jam sepuluh tepat aku sudah berada di lokasi. Ternyata Alliandro sudah seperempat jam menungguku dengan duduk di sudut ruangan restoran. Sepertinya ia sengaja sudah memboking tempat dan makanan. Alliandro menyambut kedatanganku dengan tersenyum ceria. Ia menarik kursi memberi tempat duduk untukku. "Selamat siang Tuan Putri. Senang bertemu denganmu," canda Alliandro dengan menunjukkan tempat duduk untukku. Aku mendelik sambil nyengir. Kata-kata yang terbiasa keluar dari mulut Alliandro waktu di SMA dulu. "Dah lama menungguku All?" Aku menghempaskan tubuhku ke atas kursi. "Menunggu orang secantik kamu, menurutku tak ada kata lama." Alliandro tersenyum dan kembali duduk seperti se
Tatapan Mas Bram sungguh tak nyaman buatku. Setelah Mas Bram bersalaman dengan Alliandro dan Nyonya Michel ia mengajakku keluar dari ruangan untuk bergabung dengan teman- teman lainnya. "Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Mas Bram tiba-tiba setelah berada di ruang pesta. "Maksudmu?" "Alah gak usah kau berpura-pura bego didepanku. Kau sebenarnya sudah tau kalau undangan itu dari mantan pacarmu! Makanya kau tak menolak waktu ku ajak." Aku tak habis pikir dengan ucapan Mas Bram. Aku juga tak tau maksud ucapan itu. "Kamu ngomong apa sih Mas? Kamu kan yang mengajakku datang? Kamu kan yang dapat undangan? Kenapa aku yang disalahkan?" sanggahku. Tapi Mas Bram gak mau kalah. Ia terus berkilah menyalahkan aku. Hingga pertengkaran terjadi. Mas Bram marah dan meninggalkan aku di dalam pesta itu tanpa sepengetahuanku. Aku dibuat kalang kabut. Aku bingung untuk mencari tumpangan untuk pulang, apalagi jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Aku mencoba menghubungi Mas Bram berkali-
Tiba-tiba seekor kucing melompat dari atas meja teras rumah menabrak kaleng bekas kue. "Ohh kucing, aku kira apa?" gumam Mas Bram.Aku mengambil nafas lega mendengar ucapan Mas Bram. Tampak bayangan Mas Bram yang ada di dinding sedang berdiri. Sepertinya ia hendak pulang. Sungguh perkiraanku tak meleset. Mas Bram pamit pulang. "Ya sudah Bu. Aku pulang dulu. Ini sedikit uang untuk Ibu. Lusa aku jemput Ibu. Kita berangkat sama- sama ke Surabaya," terdengar lagi kata-kata Mas Bram. Perlahan aku beranjak dari tempat persembunyianku melangkah meninggalkan rumah mertuaku. Setelah mengetahui Mas Bram hendak pulang. Jantungku tak berhenti berdetak, rasa takut menyelimuti diriku jika Mas Bram atau mertuaku mengetahui keberadaanku. Aku berjalan cepat menuju tempat parkir mobilku dan pamit pada tuan rumah yang aku titipi mobil. Mobil aku pacu kembali ke rumah rasanya ingin secepatnya bertemu Jenar.Hanya butuh waktu satu jam aku sudah sampai ke rumah. "Jenar ... Jenar ... Mama datang Nak!"
Silvi menghentikan aktivitasnya dengan meletakkan secangkir teh manis yang barusan diaduk dan menyodorkan ke arahku. "Mas Bram jarang ke sini, Mbak, kalau nggak ada kepentingan. Memang ada apa sih Mbak? Mbak bertengkar sama Mas Bram?" tanya Silvi serius. Aku menggelengkan kepalaku. Dan meraih cangkir berisi teh manis. Dalam hitungan menit teh itu sudah berpindah ke perutku. "Mas Bram jarang pulang, Sil." ucapku dengan mata mengarah keluar. Silvi tampak tenang, melangkah mendekati aku. "Mungkin ia sibuk dengan perusahaannya di Surabaya Mbak. Yakinlah kalau Mas Bram tak bakal macam-macam." Aku tersenyum masam mendengar penuturan Silvi. Tentu saja ia membela kakaknya. Aku yakin kalau Silvi tau yang sebenarnya. Ia pasti menutupinya. "Mas Bram itu orangnya polos dan jujur. Mana mungkin mau berbuat aneh- aneh. Ia sangat mencintai Mbak Kinan," ungkap Silvi lagi. Aku gigit bibirku sendiri, dalam hatiku percuma aku mengatakan yang sebenarnya sama Silvi tentang Mas Bram yang pasti S
"Ginjal Dok!" suaraku menekan. Seolah tak percaya dengan tulisan yang tertera pada kertas hasil diagnosa. Dokter Frans mengangguk berat. "Ya Nyonya, masih stadium dua. Dia butuh perhatian khusus. Tubuhku semakin lemas dan seperti tak punya tenaga sama sekali saat dokter Frans mengatakan kalau Jenar terkena penyakit Ginjal stadium dua. Aku ingin menjerit sekuat tenaga, aku merasa Allah tak adil dengan kehidupanku. "Ya, ini salahku ... Salahku! Aku memburu egoku sendiri. Aku tak memperhatikan anakku. Aku terlalu mementingkan diriku sendiri," batinku dengan menyandarkan kepalaku di sandaran kursi dengan menatap dokter Frans. "Kenapa bukan aku saja yang sakit, Dok?" ucapku melemah. "Nyonya nggak usah khawatir. Semua ada jalan keluarnya. gagal ginjal stadium 2 masih lebih besar potensinya untuk membaik, meski belum tentu sembuh sempurna." Dokter menegaskan. Dan Dokter memberi saran setiap tiga hari sekali, Jenar harus kontrol ulang. Penjelasan Dokter membuatku sedikit agak lega.