Home / Romansa / SUAMIKU SEORANG PENDUSTA / Bab 1 Arisan Rumpis.

Share

SUAMIKU SEORANG PENDUSTA
SUAMIKU SEORANG PENDUSTA
Author: Adira

Bab 1 Arisan Rumpis.

Author: Adira
last update Last Updated: 2025-06-04 18:19:36

"Siapa lagi yang mau pesan? Ini ada berlian murah, model terbaru!" suara Rita sebagai bendahara dalam arisan grup Rumpis dengan membuka kotak perhiasan berwarna merah beludru sebesar kotak kue. Ia memperlihatkan sebuah kalung bermata berlian.

Aku duduk diam, di sudut ruangan rumah Nora sebagai ketua arisan Rumpis. Aku hanya memandang teman-teman arisan yang berusaha mencoba perhiasan secara bergantian.

"Halo Jeng Neni, pengantin baru nggak ingin membeli perhiasan terbaru?" tanya Rita tersenyum memandang Neni.

Neni yang merasa terpanggil tersenyum segera mengarahkan pandangannya ke arah Rita. "Maaf Bu Rita, suami saya sudah membelikan hadiah," ucapnya dengan sopan dan melontarkan senyum khas.

Aku tersentak saat mendengar percakapan antara Rita dan Neni. Hatiku bertanya-tanya hingga berpikiran menanyakan pada Ratih yang duduk di sebelahku.

"Lho Bu, apa Mbak Neni menikah? Kapan? Kok saya nggak diundang?"

Ratih mengernyit kan dahinya menatapku dengan gugup.

"Ooo iya Jeng, tapi memang Jeng Neni tidak menyebar undangan, ia nikah diam- diam. Hanya ibu-ibu yang mengetahui saja yang datang."

Aku bingung, seribu pertanyaan singgah dalam pikiranku. Dengan tak taunya aku dalam pernikahan Neni yang merupakan teman dekatku. Serta tak ada pemberitahuan ataupun undangan padaku. Padahal ibu- ibu arisan tau, akulah orang yang paling dekat dengan Neni dibanding ibu- ibu arisan lainnya.

Apalagi setiap kali ada teman yang ingin mengadakan acara, pasti diposting di dalam grub w******p. Mereka dengan antusias merundingkan pakaian apa yang harus mereka kenakan nanti? Warna yang sama atau tidak? Di mana harus berkumpul? Tapi kenapa di grub juga sepi tanpa ada pemberitaan.

Nita juga begitu, padahal berangkat dan pulang arisan selalu bersama naik mobilku. Tapi Nita tidak mengatakan apa-apa kepadaku. Rasa penasaranku muncul. Aku segera berdiri, melangkah mendekati tempat duduk Neni.

Kebetulan di samping Neni ada kursi kosong.

"Ya Allah Mbak, aku nggak tau kalau Mbak Neni menikah. Kapan Mbak? Aku kok nggak di undang?" Kuhempaskan tubuhku di atas kursi dan kugeser kursinya agak mendekat pada Neni.

Neni tampak gugup, ia berusaha tersenyum membalas pertanyaanku. "Tidak apa-apa Mbak? Acaranya sederhana kok. Sebenarnya saya nggak mengundang siapa-siapa Mbak? Ibu-ibunya saja yang tiba-tiba datang!" ucap Neni yang usianya lebih muda dari usiaku. Dan masih dikaruniai anak satu perempuan yang baru berumur dua tahun. Ia menjanda satu tahun yang lalu sebab suaminya meninggal mendadak.

Aku pun berkali-kali mengucapkan maaf. Dan hari ini juga aku berencana hendak ke rumahnya sekedar ingin menebus kesalahan dengan tidak hadirnya dalam pernikahan Neni. Namun Neni menolaknya secara halus dengan alasan ia hendak pergi bulan madu ke Bali.

Akupun menyadari hal itu. Yang menjadi ganjalan hatiku. Neni begitu baik sama aku.

Bahkan waktu aku punya hajatan khitanan Jenar anakku, ia merelakan utuk bermalam di rumahku selama dua hari untuk membantuku menyiapkan acara itu hingga selesai.

Akupun sering berbagi kebahagiaan menceritakan Mas Bram yang sangat memperhatikan aku. Dan Neni juga menyanjung kesetiaan Mas Bram.

Pikiranku tetap tak enak. Hingga perjalan pulang otakku terus berpikir soal tidak taunya aku tentang pernikahan Neni. Nita yang duduk di sampingku saat di dalam mobilku, aku cerca dengan berbagai pertanyaan.

"Bu Nita, kenapa Mbak Neni menikah gak memberitahuku? Padahal Mbak Neni itu sudah kuanggap seperti saudara sendiri."

Nita menjawabnya dengan enteng.

"Ya kapan- kapan Jeng Kinan bisa datang sendiri ke rumah Jeng Neni. Waktu masih panjang, gak usah terlalu dipikirkan."

Aku mangut- manggut membenarkan ucapan Nita. Tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri, dalam benakku merasakan kekecewaan yang mendalam. Dan bertanya- tanya tak diundangnya aku dalam acara penting.

Padahal dua hari yang lalu Neni sempat chatingan sama aku. Tapi tak sedikitpun Neni menyinggung soal pernikahan. Bahkan Neni tak pernah menceritakan calon suaminya. Neni cenderung tertutup walau aku sama Neni sering ngobrol. Malahan aku sering mengajaknya ke restoran makan bersama dengan Mas Bram dan belanja bareng. Neni sudah seperti adikku sendiri sebab aku merasa tak punya saudara.

Timbul rasa penasaranku dan ingin tau siapa suami Neni. Sebab selama ini Neni tak pernah membicarakan soal calon suaminya. "Suaminya Mbak Neni itu orang mana sih Bu, aku kok gak pernah dengar dia punya calon suami? Dia juga gak pernah cerita sama saya?"

Nita yang hadir waktu acara pernikahan Neni dengan antusias menceritakan

kalau suami Neni itu pengusaha muda yang sukses, orang terpandang. Duda tanpa anak walau usianya terpaut delapan tahun lebih tua dibanding usia Neni.

"Tapi waktu ibu- ibu kesana, tidak bertemu suaminya. Suaminya kebetulan barusan keluar ada kepentingan keluarga," jelas Nita.

Mendengar cerita dari Nita aku ikut merasa bahagia, bagaimanapun juga Neni aku anggap adikku. Aku tak mempunyai sedikitpun rasa kesal walau dalam pernikahannya aku tak diberitahu. Aku hanya bisa berpikir, Neni memang sengaja tak menyebar undangan atau memberitahu siapapun sesuai perkataannya tadi.

"Ya, mungkin itu sudah jodohnya Mbak Neni. Aku juga turut senang Bu Nita?" ucapku dengan fokus mengendarai mobil.

"Tapi dengar-dengar anak jeng Neni itu juga anak hasil dari suami yang sekarang lho, Jeng. Jadi sebelum suaminya meninggal Jeng Neni itu sudah selingkuh duluan!"

"Ooh ya, benarkah itu Bu?" ucapku agak terkejut dan hampir tak percaya,

Hingga sampai di rumah kata-kata Nita masih terngiang di telingaku. Cepat-cepat aku turun dari mobilku setelah kunci mobil aku serahkan Dodi satpam rumahku untuk memasukkan ke garasi mobil. Itu sudah menjadi kebiasaan Dodi.

Langkah kakiku kupercepat masuk rumah, untuk menemui suamiku dan menceritakan tentang Neni. Aku tarik gagang pintu kamarku. Aku tau kalau suamiku sudah pulang sebab pertama aku masuk halaman rumah kulihat mobil suamiku sudah bertengger di halaman.

"Lho sudah pulang, Sayang?" Tanya Bramasta suamiku yang mana aku memanggilnya mas Bram.

Aku bengong saat melihat suamiku memasukkan pakaian ke dalam koper. Belum juga aku menjawab pertanyaannya. Berbagai pertanyaan aku lontarkan pada Mas Bram. "Mas mau kemana? Kenapa bawa pakaian banyak? Dan kenapa tidak memberitahu aku sebelumnya kalau Mas hendak ke luar kota?"

Mas Bram tersenyum mendekati aku. Sebuah kecupan hinggap di keningku.

"Aku harus ke Singapura Sayang? Ada acara mendadak, tentang perusahaan kita. Jadi aku tak sempat memberitahu kamu?"

"Kenapa mendadak Mas? Bukankah kemarin hampir seminggu Mas Bram sudah pergi ke Surabaya? Kok bukan asistennya saja yang berangkat!" protesku dengan menghempaskan tubuhku ke pinggiran ranjang, kutunjukkan rasa kesalku di depan Mas Bram.

"Nggak lama Say, cuma satu minggu. Kamu pesan apa?" rayu Mas Bram lembut, tangannya mengusap- usap rambutku.

Aku hanya menggelengkan kepala. Aku percaya penuh kalau Mas Bram laki-laki setia. Ia juga perhatian sama Jenar putra satu-satunya. Apalagi apapun yang aku minta Mas Bram selalu menurutinya.

"Mas, Mbak Neni menikah. Tapi kenapa gak memberitahu kita?" tanyaku memandang Mas Bram yang melangkah hendak ke kamar mandi dengan meraih handuk.

Mas Bram tampak kaget. Ia memandangku. "Mbak Neni teman arisan kamu? Yang sering kamu ajak jalan- jalan itu?"

"Iya?" jawabku singkat.

Mas Bram hanya manggut- manggut tampak cuek. Ia melangkah masuk ke kamar mandi, tanpa merespon ucapanku.

Pikiranku masih terbawa tentang Neni yang tidak mengundangku dalam pernikahan. Dalam hatiku sangat kecewa.

Seribu pertanyaan terus bergelayut dalam otakku dengan meraba- raba mungkin aku ada salah dengan Neni. Namun pikiranku tak menemukan titik temu.

Tiba-tiba terdengar dentingan ponsel chat masuk dari ponsel suamiku yang tergeletak di meja.

Aku malas untuk merespon, paling dari teman bisnisnya. Toh aku jarang membuka ponsel Mas Bram. Menurutku itu sebuah privasi. Apalagi aku percaya penuh siapa Mas Bram, tak mungkin Mas Bram berbuat aneh- aneh.

Namun tiba-tiba pikiranku berubah, rasa ingin tau dan penasaran untuk mengetahui siapa yang chat suamiku. Apalagi dengan keberangkatannya ke Singapura.

Aku berdiri, kuraih ponsel mas Bram dan kubuka layar berwarna biru. Beruntung aku mengetahui kunci ponsel mas Bram hingga dengan mudah aku membuka ponsel mas Bram.

"Andre?" gumamku, saat melihat nama yang tertera dalam ponsel itu. Aku mengenal Andre orang kepercayaan Mas Bram.

Aku hendak meletakkan kembali ponsel Mas Bram. Sebab selama menikah aku tak pernah membuka isi ponsel Mas Bram.

Namun baru saja ponsel hendak aku letakkan, sepintas aku melihat foto profil pada nomor ponsel Andre. Disitu tertera foto seorang wanita menggendong anaknya yang masih kecil.

Aku berpikir sepertinya aku pernah tau profil ini. Rasa penasaran untuk membuka profil itu kembali menguak. Profil aku buka dan aku zoom hingga tampak jelas siapa pemilik nomor yang bernama Andre.

Mataku terbelalak, jantungku berdetak kencang, saat melihat foto seorang wanita menggendong anak perempuan imut, lucu, cantik.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 45 Tamu ke dua.

    Aku segera menempelkan ponselku ke telingaku. Namun aku sama sekali tak mengucapkan salam untuk All terlebih dulu. Entah aku merasa neg dan muak. Ingin rasanya ponselku ku banting biar tak mendengar suaranya."Halo Kinan ... Kamu ada di rumah?" ucap All dalam telpon.Aku tak menjawab ucapan All. Aku tetap diam, hingga ia mengulangi lagi pertanyaannya. Dan aku mulai menjawab dengan nada cuek. "Maaf, aku tak ingin di ganggu. Aku mau istirahat." Dengan cepat ku tutup ponselku. Baru saja aku meraih piring yang berisi nasi. Terdengar lagi suara ponselku berdering. Dalam layar ponsel tetap nama All yang tertera. Aku membiarkan ponsrl itu berdering sampai selesai. "Mbak, kenapa ponselnya tak diangkat. Mungkin ada hal penting ?" tanya Bibik yang aku jawab dengan santai sambil memasukkan makanan ke dalam mulut."Malam-malam Bik, malas untuk meladeni telpon. Dah Bik, kalau Bibik Mar mengantuk. Bibik istirahat saja, Besok Bibik kan harus bangun pagi." "Ya Mbak, saya ke kamar dulu ya!" Aku

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 45 kecewa berat.

    Mobil yang aku tumpangi bersama Ardan masuk  area parkir kantor Alliandro. Dalam hitungan menit aku sudah sampai di Loby kantor Alliandro. "Ya tunggu Nona!" ucap seorang resepsionis kantor. Aku pun duduk menunggu keputusan sang resepsionis. Apakah aku di perbolehkan masuk atau tidak. Aku menyadari kalau toh tak boleh aku harus menerimanya sebab aku tak ada jadwal janji dengan AlliandroDisamping itu aku juga tak menghubungi Alliandro."Nona, maaf Tuan Alliandro sepertinya belum datang. Sebab saya hubungi tidak bisa. Kalau memang Nona sangat penting tunggu saja di sini, mungkin sebentar lagi datang." Aku menatap jam yang melingkar di tanganku. Aku mengernyitkan keningku menatap resepsionis yang ada didepanku."Sudah jam satu lebih Nona, berarti Tuan Alliandro tak ada di kantor." ucapku membalikkan tubuhku untuk kembali pulang. "Ooh ya, mungkin Nona ada pesan? Boleh saya ingin tau nama Nona? Nanti saya sampaikan sama T

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 44 Clara marah.

    "Neni ...!" teriak Bram dengan panik. Ia dengan cepat mengangkat tubuh Neni dan membaringkannya di atas sofa. Ia segera berlari ke kotak obat, dan mengobatinya kening Neni untuk sementara agar darahnya berhenti keluar dengan meneteskan betandin pada luka Neni. "Lukanya nggak parah, mungkin ia hanya pingsan sandiwara!" pikir Bram dengan duduk kembali di atas sofa dekat Neni berbaring. Ia menunggu Neni siuman untuk beberapa saat. Sepintas ia memandang Neni yang matanya masih belum terbuka. Ia kembali menatap langit-langit kamar, pikirannya kembali menerawang jauh tentang tertangkapnya Lola dan dijebloskan ke dalam penjara. "kok bisa dia tertangkap, ceroboh benar Lola. Dia pasti sudah bernyanyi di depan polisi dan mengaku tentang persekongkolan denganku, aku harus pergi?" Bram merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. "Halo Bibi Pur, cepat ke sini! Aku ada di ruang rapat," suara Bram dalam telpon menghubungi Bibi Pur yang bekerja sebagai pembantu dapur di markas. "Baik

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 43 Lola tertangkap.

    Aku geram mendengar cerita Selvi. Tapi aku yakin memang Selvi tidak bohong. Namun aku tak semudah itu melepas Selvi tanpa hukuman. "Trus kamu semalam tidur bersama Tuan All?" tanyaku menyelidik. Selvi tampak kaget. Ia memandangku, "Sebejat- bejat diriku aku tak akan mau merebut pacar temanku. Tanyakan sendiri pada Tuan All!" Aku diam, aku percaya ucapan Selvi kali ini tidak bohong. All tak mungkin melakukan hal sebejat itu. "Bagaimana kau percaya kan sama aku? Sekarang lepaskan tali ini. Dan untuk yang seterusnya aku akan bantu Kamu. Mengungkap pembunuhan orang tua kamu dan anak kamu. Tapi tolong lindungi keluargaku." Aku manggut-manggut. Aku segera mengambil ponselku dan membatalkan pihak kepolisian. Beruntung pihak Kepolisian sangat pro sama aku. Jadi dengan mudah membatalkan sesuatu. "Ya, akan aku lepas kamu!" Aku melangkah mendekati tempat duduk Selvi. "Jangan dilepas, dia pengkhianat yang bersekongkol dengan Bram!" Terdengar suara dari pintu ruang makan. Aku

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 42 Pengakuan Lola.

    Jarum jam di sudut ruangan kamarku menunjukkan angka lima. Bergegas kusibakkan selimutku. Dan aku turun dari ranjang dengan melangkah ke wastafel untuk menggosok gigi. Aku menunda untuk mandi. Kulangkahkan kakiku keluar kamar, yang pertama aku tuju kamar tamu dimana All hampir semalam dengan kelelahan tubuhku tak aku hiraukan. "Kam?!" sapaku melihat All sudah berpakaian rapi. Duduk di depan meja dengan secangkir teh. "Aku mau pulang Kinan, aku ada janji sama temen bisnis." Aku diam menatapnya. Dan berjalan menghampiri Alliandro. "Trus tentang Selvi?" "Tenang semalam aku dan Ardan sudah mengintrograsinya. Nanti tinggal menyuruh dia pulang. Kau ingin tau rekamannya?"All menyodorkan sebuah benda kecil berbentuk kotak panjang. "Jangan di putar sekarang. Nanti saja setelah Selvi pulang. Biar dia tak curigai." Aku mengangguk. Mengantarkan  Al sampai ke halaman rumah. "All bukanlah kamar yang di pakai Selvi aku kunci semalam."

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 41 pengakuan Selvi.

    Aku mengernyitkan dahiku saat menyebut dirinya Selvi. Aku mengingat ingat sepertinya aku pernah dengar suara wanita yang ada di depanku. Tapi siapa aku belum menemukan."Saya ke sini mau gabung dengan bisnis Nyonya yang ada di Jogjakarta. Kebetulan saya dulu juga kiprah di model saya banyak menelorkan murid yang sudah sukses." ucap Selvi dengan tersenyum."Sebentar, saya belum bisa menerima dan juga belum menolak. Sebab akhir-akhir ini saya di sibukkan dengan urusan bisnis lainnya." ungkapku cukup waspada. Aku takut ini sebuah jebakan dari Bram menyuruh wanita lain.Selvi manggut-manggut. Bagaimana tentang kasus Nyonya Citra apakah sudah kelar?" Aku sedikit agak kaget, entah tiba-tiba aku tertarik dengan pertanyaan Selvi. "Entahlah. Aku sudah berusaha untuk mencari siapa dalang di balik semua itu. Tapi sedikit banyak sudah mencapai titik terang. Satu persatu orang yang di ajak kerjasama oleh pelaku sudah mengaku semua!" M

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status