"Neni ...!" gumamku dengan bibir dan tangan gemetar. "Benarkah ini Neni?" Aku meyakinkan diriku sendiri dengan mengamati foto itu. Keyakinanku benar, foto yang ada di profil itu Neni. Tanpa berpikir panjang chat segera aku buka.
MAS JAM BERAPA KITA BERANGKAT. AKU SUDAH PULANG DARI ARISAN. Degg, jantungku seolah berhenti berdetak, tubuhku gemetar pandanganku berkunang- kunang, keringat dingin mengucur di seluruh tubuhku, emosiku mendadak meluap bak ruap bir. Ponsel Mas Bram aku letakkan kembali di atas meja. Aku diam sesaat menenangkan hati dan jiwaku. Setelah menyatu, emosiku kembali bereaksi. Dengan cepat aku berdiri, melangkah mendekati pintu kamar mandi. Rasanya ingin mendobrak pintu kamar mandi untuk menghajar Mas Bram dan menanyakan ada hubungan apa dengan Neni. Aku mengambil nafas panjang. Dan kuhempaskan perlahan. "Ya Allah, kuatkan aku Ya Allah." Aku menyandarkan tubuhku ke dinding dekat pintu kamar mandi. Mulutku terus menyebut nama Allah. Hingga aku tersadar dan mengurungkan niatku untuk mendobrak kamar mandi. Aku tak mungkin melakukan itu. Aku berpikir perbuatanku tak akan menyelesaikan semuanya. Aku kembali melangkah keluar kamar. Membiarkan ponsel Mas Bram terus berbunyi. Aku malas membuka ponsel itu, yang pasti membuat hatiku sakit. Yang penting buatku, aku sudah tau ternyata Mas Bram sudah tak jujur padaku, ia sudah mengkhianati aku. Entah saat ini juga kepercayaanku sama Mas Bram mulai luntur. Aku melangkah menuju ruang tamu, kuhempaskan tubuhku di atas sofa panjang dan kusandarkan kepalaku di sandaran sofa. Pikiranku kembali pada kalimat Neni yang ada di ponsel Mas Bram. Aku baru paham kenapa sampai Neni tidak mengundangku dalam acara pernikahan. Ternyata suamiku sendiri pengantin laki- lakinya. Rasanya aku ingin menjerit, dan mengusir suamiku. Tapi lagi-lagi suara hatiku mengatakan, "sabar ... Sabar dulu Kinan, kamu harus rebut dulu aset yang sudah kamu berikan pada suamimu Bram, baru kau berbuat apa yang kau mau?" Aku tersadar lagi dengan bisikan batinku. Namun air mataku yang tak bisa aku bohongi. "Say ...!" Terdengar suara Mas Bram memanggilku dari ruang keluarga. Aku dengan cepat mengusap air mataku. "Ya, aku di sini, ada apa?" jawabku dingin tanpa beranjak dari sofa. Sepertinya aku malas untuk menemui Mas Bram yang hendak pergi sama Neni. Aku berusaha untuk pura-pura tak tau tentang perselingkuhan itu. Dan aku harus bermain sandiwara di depan Mas Bram. Mas Bram sudah berdiri di sampingku dengan pakaian rapi. Tercium aroma parfum yang sangat harum pada pakaian Mas Bram. Aku mendongakkan kepalaku. Menatap Mas Bram yang sudah dua belas tahun menikahiku. Rasa cemburu berkecamuk dalam hatiku. Rasanya aku ingin menarik pakaian Mas Bram dan mengatakan tentang tulisan yang aku baca barusan dari Neni. Namun lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa- apa. Aku kembali meredam emosiku. Timbul pikiranku untuk memancing kepergian Mas Bram. "Mas boleh aku menemanimu ke Singapura. Bukankah selama pernikahan kita kamu tak pernah mengajak aku ke Singapura?" Mas Bram seperti kaget mendengar ucapanku. Namun bukan Mas Bram kalau tidak bisa membuat sejuta alasan. "Sayang, ini bukan liburan! Ini urusan perusahaan. Kalau kamu ingin berlibur ke sana. Bulan depan insya Allah kamu aku ajak jalan-jalan ke sana." ucap Mas Bram lembut, selembut aroma parfum yang dipakainya. Aku hanya diam tanpa bereaksi. Hingga Mas Bram membungkukkan tubuhnya dan mencium ke dua pipiku. "Sudah ya, jaga diri baik-baik, dan jangan lupa jaga Jenar." Aku tak merespon kata- kata Mas Bram. Aku berdiri dan melangkah pergi masuk ke dalam rumah tanpa mengikuti Mas Bram sampai ke mobil. Hingga terdengar deru mobil Mas Bram meninggalkan halaman rumah. Entah rasa cemburu tak bisa aku kendalikan. Dengan cepat. Aku meraih kunci mobilku dan keluar rumah setelah pamit sama Bibi Nur pembantuku untuk menitipkan Jenar. Perlahan mobil yang aku kendarai keluar halaman rumahku untuk membuntuti mobil Mas Bram. Mobil aku pacu dengan kecepatan tinggi agar bisa mengejar mobil Mas Bram. Tampak mobil Mas Bram di depanku berjalan pelan. Aku sedikit agak lega bisa di belakang mobil Mas Bram. Dalam hatiku semoga Mas Bram tidak melihat mobilku. Tapi aku yakin Mas Bram tak melihat mobilku. Rasa sakit sudah dikhianati bertahun-tahun. Terlintas kata-kata Nita yang mengatakan anak Neni itu bukan anak suaminya yang sudah meninggal. Itu anak hasil selingkuh sama suami yang ke dua. Berarti Neni sebelum suaminya meninggal sudah punya hubungan khusus dengan Mas Bram. Sebelum pernikahan itu, Neni sering ke rumahku, ia sering curhat tentang suaminya yang tidak bisa mencukupi kebutuhan ekonominya semenjak ia di PHK dari perusahaannya. Aku merasa kasihan dan sedikit banyak Neni sering aku beri uang sekedar untuk membeli susu dan pempers anaknya. Malahan ia aku tawari agar suaminya bekerja di perusahaanku. Namun Neni menolaknya dengan berbagai alasan hingga ajal menjemput suaminya. Pernah suatu ketika Neni menghubungi aku dan mengatakan kalau dirinya tak punya uang untuk membayar arisan. Aku yang merasa Neni adalah teman juga aku anggap saudara, aku beri uang untuk membayarnya. Tak tau dibalik semua itu ternyata Neni dan Mas Bram punya hubungan istimewa. "Bodohnya aku ...!" keluhku. Otakku mulai terbayang saat Mas Bram sudah berada di rumah Neni, dengan tiba-tiba aku muncul di rumahnya berpura-pura datang sebab waktu Neni nikah aku tak bisa hadir. Aku tersenyum perih saat membayangkan semua itu. Pandanganku kembali fokus ke mobil Mas Bram. Aku tersentak kala melihat lampu rambu lalu lintas berwarna merah. Aku menghentikan mobilku. Namun mobil Mas Bram berjalan terus meninggalkan aku. "Sialan ...! Aku terlambat." Aku gusar dan kupukul stir mobil berkali-kali. Gara-gara lampu merah yang membuat mobilku tertinggal jauh dengan mobil Mas Bram. Aku kehilangan mobil Mas Bram. Namun aku tak kehabisan akal. Aku berencana langsung ke rumah Neni, aku tak perduli apa yang bakal terjadi. Lampu hijau mulai menyala. Mobil aku pacu menuju rumah Neni yang mana sebelumnya aku pernah ke sana waktu acara arisan. Butuh waktu tiga puluh menit. Mobilku sudah memasuki kawasan perumahan dimana Neni tinggal. Sengaja mobil kuparkir agak jauh dari rumah Neni, agar Neni dan suamiku tak melihatku. Aku mempercepat langkahku agar tak ketinggalan keberangkatan suamiku dan Neni. Kuhentikan langkahku tepat didepan rumah Neni. Daun-daun kering berserakan di halaman rumah. Aku diam terpaku, menatap pintu pagar bercat hitam tergembok rapi. "Sepi ...?!" gumamku dengan mata memandang ke setiap sudut rumah Neni. "Ibu mencari siapa?" Aku tersentak, dengan cepat aku menengok ke arah suara itu. Berdiri seorang wanita paruh baya menatapku. Aku gugup, mencoba tersenyum ramah pada Ibu yang ada di depanku. "Saya mencari Bu Neni. Tapi rumahnya kok sepi?" Wanita itu tersenyum dan menjelaskan kalau Bu Neni sudah tidak tinggal di sini setelah menikah. Aku kaget, mendengar penjelasan dari wanita yang ternyata tetangga sebelah rumah Neni. Wanita itu memperkenalkan diri. "Panggil saja saya Bu Darma, saya ketua RW di kampung ini." Wanita itu menyodorkan tangannya ke arahku. "Saya Kinanti Bu, panggil saja saya Kinan." ucapku dengan tersenyum. Sengaja aku tidak segera pergi, kesempatanku ingin tau tentang Neni dari Bu Darma. "Apakah ibu tau? Dimana Bu Neni tinggal sekarang?" Bu Darma hanya menggelengkan kepala. "Yang saya ketahui Bu Neni sudah pindah di rumah barunya." jelas Bu Darma menatapku lekat. Degg ... Jantungku seolah berhenti berdetak. Tubuhku menjadi lemas. Aku menghela nafas dalam- dalam untuk menenangkan hati dan pikiranku. Tapi aku mencoba tenang mendengarkan cerita Bu Darma. "Dua hari yang lalu bu Neni menikah. Setelah menikah ia langsung di boyong sama suaminya di rumah barunya?" lanjut Bu Darma. "Apa Jeng Kinan masih saudara Jeng Neni?" Dengan cepat aku menganggukkan kepala. Agar Bu Darma tak curiga, aku membohongi dengan mengaku kalau aku kakaknya Neni. Beruntung Bu Darma percaya begitu saja. "Boleh saya minta informasi tentang Neni, Bu?' Bu Darma tampak senang, dan mempersilahkan aku untuk singgah sebentar di rumahnya. Dengan sangat gembira aku menerima tawaran Bu Darma. Bu Darma menceritakan banyak tentang Neni. "Sebenarnya saya sungkan hendak mengatakan sama Jeng Kinan. Tapi Jeng Kinan harus tau. Sebab Jeng Kinan kan kakak Jeng Neni." "Ceritakan saja Bu, Nggak apa-apa kok," jawabku penasaran.Aku segera menempelkan ponselku ke telingaku. Namun aku sama sekali tak mengucapkan salam untuk All terlebih dulu. Entah aku merasa neg dan muak. Ingin rasanya ponselku ku banting biar tak mendengar suaranya."Halo Kinan ... Kamu ada di rumah?" ucap All dalam telpon.Aku tak menjawab ucapan All. Aku tetap diam, hingga ia mengulangi lagi pertanyaannya. Dan aku mulai menjawab dengan nada cuek. "Maaf, aku tak ingin di ganggu. Aku mau istirahat." Dengan cepat ku tutup ponselku. Baru saja aku meraih piring yang berisi nasi. Terdengar lagi suara ponselku berdering. Dalam layar ponsel tetap nama All yang tertera. Aku membiarkan ponsrl itu berdering sampai selesai. "Mbak, kenapa ponselnya tak diangkat. Mungkin ada hal penting ?" tanya Bibik yang aku jawab dengan santai sambil memasukkan makanan ke dalam mulut."Malam-malam Bik, malas untuk meladeni telpon. Dah Bik, kalau Bibik Mar mengantuk. Bibik istirahat saja, Besok Bibik kan harus bangun pagi." "Ya Mbak, saya ke kamar dulu ya!" Aku
Mobil yang aku tumpangi bersama Ardan masuk area parkir kantor Alliandro. Dalam hitungan menit aku sudah sampai di Loby kantor Alliandro. "Ya tunggu Nona!" ucap seorang resepsionis kantor. Aku pun duduk menunggu keputusan sang resepsionis. Apakah aku di perbolehkan masuk atau tidak. Aku menyadari kalau toh tak boleh aku harus menerimanya sebab aku tak ada jadwal janji dengan AlliandroDisamping itu aku juga tak menghubungi Alliandro."Nona, maaf Tuan Alliandro sepertinya belum datang. Sebab saya hubungi tidak bisa. Kalau memang Nona sangat penting tunggu saja di sini, mungkin sebentar lagi datang." Aku menatap jam yang melingkar di tanganku. Aku mengernyitkan keningku menatap resepsionis yang ada didepanku."Sudah jam satu lebih Nona, berarti Tuan Alliandro tak ada di kantor." ucapku membalikkan tubuhku untuk kembali pulang. "Ooh ya, mungkin Nona ada pesan? Boleh saya ingin tau nama Nona? Nanti saya sampaikan sama T
"Neni ...!" teriak Bram dengan panik. Ia dengan cepat mengangkat tubuh Neni dan membaringkannya di atas sofa. Ia segera berlari ke kotak obat, dan mengobatinya kening Neni untuk sementara agar darahnya berhenti keluar dengan meneteskan betandin pada luka Neni. "Lukanya nggak parah, mungkin ia hanya pingsan sandiwara!" pikir Bram dengan duduk kembali di atas sofa dekat Neni berbaring. Ia menunggu Neni siuman untuk beberapa saat. Sepintas ia memandang Neni yang matanya masih belum terbuka. Ia kembali menatap langit-langit kamar, pikirannya kembali menerawang jauh tentang tertangkapnya Lola dan dijebloskan ke dalam penjara. "kok bisa dia tertangkap, ceroboh benar Lola. Dia pasti sudah bernyanyi di depan polisi dan mengaku tentang persekongkolan denganku, aku harus pergi?" Bram merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. "Halo Bibi Pur, cepat ke sini! Aku ada di ruang rapat," suara Bram dalam telpon menghubungi Bibi Pur yang bekerja sebagai pembantu dapur di markas. "Baik
Aku geram mendengar cerita Selvi. Tapi aku yakin memang Selvi tidak bohong. Namun aku tak semudah itu melepas Selvi tanpa hukuman. "Trus kamu semalam tidur bersama Tuan All?" tanyaku menyelidik. Selvi tampak kaget. Ia memandangku, "Sebejat- bejat diriku aku tak akan mau merebut pacar temanku. Tanyakan sendiri pada Tuan All!" Aku diam, aku percaya ucapan Selvi kali ini tidak bohong. All tak mungkin melakukan hal sebejat itu. "Bagaimana kau percaya kan sama aku? Sekarang lepaskan tali ini. Dan untuk yang seterusnya aku akan bantu Kamu. Mengungkap pembunuhan orang tua kamu dan anak kamu. Tapi tolong lindungi keluargaku." Aku manggut-manggut. Aku segera mengambil ponselku dan membatalkan pihak kepolisian. Beruntung pihak Kepolisian sangat pro sama aku. Jadi dengan mudah membatalkan sesuatu. "Ya, akan aku lepas kamu!" Aku melangkah mendekati tempat duduk Selvi. "Jangan dilepas, dia pengkhianat yang bersekongkol dengan Bram!" Terdengar suara dari pintu ruang makan. Aku
Jarum jam di sudut ruangan kamarku menunjukkan angka lima. Bergegas kusibakkan selimutku. Dan aku turun dari ranjang dengan melangkah ke wastafel untuk menggosok gigi. Aku menunda untuk mandi. Kulangkahkan kakiku keluar kamar, yang pertama aku tuju kamar tamu dimana All hampir semalam dengan kelelahan tubuhku tak aku hiraukan. "Kam?!" sapaku melihat All sudah berpakaian rapi. Duduk di depan meja dengan secangkir teh. "Aku mau pulang Kinan, aku ada janji sama temen bisnis." Aku diam menatapnya. Dan berjalan menghampiri Alliandro. "Trus tentang Selvi?" "Tenang semalam aku dan Ardan sudah mengintrograsinya. Nanti tinggal menyuruh dia pulang. Kau ingin tau rekamannya?"All menyodorkan sebuah benda kecil berbentuk kotak panjang. "Jangan di putar sekarang. Nanti saja setelah Selvi pulang. Biar dia tak curigai." Aku mengangguk. Mengantarkan Al sampai ke halaman rumah. "All bukanlah kamar yang di pakai Selvi aku kunci semalam."
Aku mengernyitkan dahiku saat menyebut dirinya Selvi. Aku mengingat ingat sepertinya aku pernah dengar suara wanita yang ada di depanku. Tapi siapa aku belum menemukan."Saya ke sini mau gabung dengan bisnis Nyonya yang ada di Jogjakarta. Kebetulan saya dulu juga kiprah di model saya banyak menelorkan murid yang sudah sukses." ucap Selvi dengan tersenyum."Sebentar, saya belum bisa menerima dan juga belum menolak. Sebab akhir-akhir ini saya di sibukkan dengan urusan bisnis lainnya." ungkapku cukup waspada. Aku takut ini sebuah jebakan dari Bram menyuruh wanita lain.Selvi manggut-manggut. Bagaimana tentang kasus Nyonya Citra apakah sudah kelar?" Aku sedikit agak kaget, entah tiba-tiba aku tertarik dengan pertanyaan Selvi. "Entahlah. Aku sudah berusaha untuk mencari siapa dalang di balik semua itu. Tapi sedikit banyak sudah mencapai titik terang. Satu persatu orang yang di ajak kerjasama oleh pelaku sudah mengaku semua!" M