Share

Bab 2 terkuak

Penulis: Adira
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-04 18:36:57

"Neni ...!" gumamku dengan bibir dan tangan gemetar. "Benarkah ini Neni?" Aku meyakinkan diriku sendiri dengan mengamati foto itu. Keyakinanku benar, foto yang ada di profil itu Neni. Tanpa berpikir panjang chat segera aku buka.

MAS JAM BERAPA KITA BERANGKAT. AKU SUDAH PULANG DARI ARISAN.

Degg, jantungku seolah berhenti berdetak, tubuhku gemetar pandanganku berkunang- kunang, keringat dingin mengucur di seluruh tubuhku, emosiku mendadak meluap bak ruap bir.

Ponsel Mas Bram aku letakkan kembali di atas meja. Aku diam sesaat menenangkan hati dan jiwaku. Setelah menyatu, emosiku kembali bereaksi.

Dengan cepat aku berdiri, melangkah mendekati pintu kamar mandi. Rasanya ingin mendobrak pintu kamar mandi untuk menghajar Mas Bram dan menanyakan ada hubungan apa dengan Neni.

Aku mengambil nafas panjang. Dan kuhempaskan perlahan.

"Ya Allah, kuatkan aku Ya Allah." Aku menyandarkan tubuhku ke dinding dekat pintu kamar mandi. Mulutku terus menyebut nama Allah. Hingga aku tersadar dan mengurungkan niatku untuk mendobrak kamar mandi.

Aku tak mungkin melakukan itu. Aku berpikir perbuatanku tak akan menyelesaikan semuanya.

Aku kembali melangkah keluar kamar. Membiarkan ponsel Mas Bram terus berbunyi. Aku malas membuka ponsel itu, yang pasti membuat hatiku sakit. Yang penting buatku, aku sudah tau ternyata Mas Bram sudah tak jujur padaku, ia sudah mengkhianati aku.

Entah saat ini juga kepercayaanku sama Mas Bram mulai luntur.

Aku melangkah menuju ruang tamu, kuhempaskan tubuhku di atas sofa panjang dan kusandarkan kepalaku di sandaran sofa.

Pikiranku kembali pada kalimat Neni yang ada di ponsel Mas Bram. Aku baru paham kenapa sampai Neni tidak mengundangku dalam acara pernikahan. Ternyata suamiku sendiri pengantin laki- lakinya.

Rasanya aku ingin menjerit, dan mengusir suamiku. Tapi lagi-lagi suara hatiku mengatakan, "sabar ... Sabar dulu Kinan, kamu harus rebut dulu aset yang sudah kamu berikan pada suamimu Bram, baru kau berbuat apa yang kau mau?"

Aku tersadar lagi dengan bisikan batinku. Namun air mataku yang tak bisa aku bohongi.

"Say ...!" Terdengar suara Mas Bram memanggilku dari ruang keluarga.

Aku dengan cepat mengusap air mataku.

"Ya, aku di sini, ada apa?" jawabku dingin tanpa beranjak dari sofa. Sepertinya aku malas untuk menemui Mas Bram yang hendak pergi sama Neni. Aku berusaha untuk pura-pura tak tau tentang perselingkuhan itu. Dan aku harus bermain sandiwara di depan Mas Bram.

Mas Bram sudah berdiri di sampingku dengan pakaian rapi. Tercium aroma parfum yang sangat harum pada pakaian Mas Bram.

Aku mendongakkan kepalaku. Menatap Mas Bram yang sudah dua belas tahun menikahiku.

Rasa cemburu berkecamuk dalam hatiku. Rasanya aku ingin menarik pakaian Mas Bram dan mengatakan tentang tulisan yang aku baca barusan dari Neni. Namun lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa- apa. Aku kembali meredam emosiku. Timbul pikiranku untuk memancing kepergian Mas Bram.

"Mas boleh aku menemanimu ke Singapura. Bukankah selama pernikahan kita kamu tak pernah mengajak aku ke Singapura?"

Mas Bram seperti kaget mendengar ucapanku. Namun bukan Mas Bram kalau tidak bisa membuat sejuta alasan.

"Sayang, ini bukan liburan! Ini urusan perusahaan. Kalau kamu ingin berlibur ke sana. Bulan depan insya Allah kamu aku ajak jalan-jalan ke sana." ucap Mas Bram lembut, selembut aroma parfum yang dipakainya.

Aku hanya diam tanpa bereaksi. Hingga Mas Bram membungkukkan tubuhnya dan mencium ke dua pipiku. "Sudah ya, jaga diri baik-baik, dan jangan lupa jaga Jenar."

Aku tak merespon kata- kata Mas Bram. Aku berdiri dan melangkah pergi masuk ke dalam rumah tanpa mengikuti Mas Bram sampai ke mobil. Hingga terdengar deru mobil Mas Bram meninggalkan halaman rumah.

Entah rasa cemburu tak bisa aku kendalikan. Dengan cepat. Aku meraih kunci mobilku dan keluar rumah setelah pamit sama Bibi Nur pembantuku untuk menitipkan Jenar.

Perlahan mobil yang aku kendarai keluar halaman rumahku untuk membuntuti mobil Mas Bram. Mobil aku pacu dengan kecepatan tinggi agar bisa mengejar mobil Mas Bram.

Tampak mobil Mas Bram di depanku berjalan pelan. Aku sedikit agak lega bisa di belakang mobil Mas Bram. Dalam hatiku semoga Mas Bram tidak melihat mobilku. Tapi aku yakin Mas Bram tak melihat mobilku.

Rasa sakit sudah dikhianati bertahun-tahun. Terlintas kata-kata Nita yang mengatakan anak Neni itu bukan anak suaminya yang sudah meninggal. Itu anak hasil selingkuh sama suami yang ke dua. Berarti Neni sebelum suaminya meninggal sudah punya hubungan khusus dengan Mas Bram.

Sebelum pernikahan itu, Neni sering ke rumahku, ia sering curhat tentang suaminya yang tidak bisa mencukupi kebutuhan ekonominya semenjak ia di PHK dari perusahaannya.

Aku merasa kasihan dan sedikit banyak Neni sering aku beri uang sekedar untuk membeli susu dan pempers anaknya. Malahan ia aku tawari agar suaminya bekerja di perusahaanku. Namun Neni menolaknya dengan berbagai alasan hingga ajal menjemput suaminya.

Pernah suatu ketika Neni menghubungi aku dan mengatakan kalau dirinya tak punya uang untuk membayar arisan. Aku yang merasa Neni adalah teman juga aku anggap saudara, aku beri uang untuk membayarnya. Tak tau dibalik semua itu ternyata Neni dan Mas Bram punya hubungan istimewa.

"Bodohnya aku ...!" keluhku.

Otakku mulai terbayang saat Mas Bram sudah berada di rumah Neni, dengan tiba-tiba aku muncul di rumahnya berpura-pura datang sebab waktu Neni nikah aku tak bisa hadir. Aku tersenyum perih saat membayangkan semua itu.

Pandanganku kembali fokus ke mobil Mas Bram. Aku tersentak kala melihat lampu rambu lalu lintas berwarna merah. Aku menghentikan mobilku. Namun mobil Mas Bram berjalan terus meninggalkan aku.

"Sialan ...! Aku terlambat." Aku gusar dan kupukul stir mobil berkali-kali.

Gara-gara lampu merah yang membuat mobilku tertinggal jauh dengan mobil Mas Bram. Aku kehilangan mobil Mas Bram. Namun aku tak kehabisan akal. Aku berencana langsung ke rumah Neni, aku tak perduli apa yang bakal terjadi.

Lampu hijau mulai menyala. Mobil aku pacu menuju rumah Neni yang mana sebelumnya aku pernah ke sana waktu acara arisan. Butuh waktu tiga puluh menit. Mobilku sudah memasuki kawasan perumahan dimana Neni tinggal.

Sengaja mobil kuparkir agak jauh dari rumah Neni, agar Neni dan suamiku tak melihatku. Aku mempercepat langkahku agar tak ketinggalan keberangkatan suamiku dan Neni.

Kuhentikan langkahku tepat didepan rumah Neni. Daun-daun kering berserakan di halaman rumah. Aku diam terpaku, menatap pintu pagar bercat hitam tergembok rapi.

"Sepi ...?!" gumamku dengan mata memandang ke setiap sudut rumah Neni.

"Ibu mencari siapa?"

Aku tersentak, dengan cepat aku menengok ke arah suara itu. Berdiri seorang wanita paruh baya menatapku. Aku gugup, mencoba tersenyum ramah pada Ibu yang ada di depanku.

"Saya mencari Bu Neni. Tapi rumahnya kok sepi?"

Wanita itu tersenyum dan menjelaskan kalau Bu Neni sudah tidak tinggal di sini setelah menikah.

Aku kaget, mendengar penjelasan dari wanita yang ternyata tetangga sebelah rumah Neni. Wanita itu memperkenalkan diri. "Panggil saja saya Bu Darma, saya ketua RW di kampung ini." Wanita itu menyodorkan tangannya ke arahku.

"Saya Kinanti Bu, panggil saja saya Kinan." ucapku dengan tersenyum. Sengaja aku tidak segera pergi, kesempatanku ingin tau tentang Neni dari Bu Darma. "Apakah ibu tau? Dimana Bu Neni tinggal sekarang?"

Bu Darma hanya menggelengkan kepala. "Yang saya ketahui Bu Neni sudah pindah di rumah barunya." jelas Bu Darma menatapku lekat.

Degg ... Jantungku seolah berhenti berdetak. Tubuhku menjadi lemas. Aku menghela nafas dalam- dalam untuk menenangkan hati dan pikiranku. Tapi aku mencoba tenang mendengarkan cerita Bu Darma.

"Dua hari yang lalu bu Neni menikah. Setelah menikah ia langsung di boyong sama suaminya di rumah barunya?" lanjut Bu Darma. "Apa Jeng Kinan masih saudara Jeng Neni?"

Dengan cepat aku menganggukkan kepala. Agar Bu Darma tak curiga, aku membohongi dengan mengaku kalau aku kakaknya Neni. Beruntung Bu Darma percaya begitu saja. "Boleh saya minta informasi tentang Neni, Bu?'

Bu Darma tampak senang, dan mempersilahkan aku untuk singgah sebentar di rumahnya. Dengan sangat gembira aku menerima tawaran Bu Darma.

Bu Darma menceritakan banyak tentang Neni.

"Sebenarnya saya sungkan hendak mengatakan sama Jeng Kinan. Tapi Jeng Kinan harus tau. Sebab Jeng Kinan kan kakak Jeng Neni."

"Ceritakan saja Bu, Nggak apa-apa kok," jawabku penasaran.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 9 kabar buruk.

    Anggi menatapku tajam. "Jadi, jadi Jeng Kinan sudah tau?" Aku diam sejenak dengan menyuapkan nasi ke dalam mulutku sembari sedikit mengunyah aku menganggukkan kepala."Kenapa ibu- ibu menyembunyikan keburukan? Bukankah mereka orang beragama? bisa memilah itu benar atau salah. Karuan Neni merebut suami orang kenapa masih ditutupi!" protesku emosi. Anggi mengangkat ke dua bahunya. "Ibu- ibu hanya tak ingin ada keributan dalam arisan. Toh Jeng Neni sekarang sudah keluar dari grup arisan," jelas Anggi yang tidak membuatku terkejut. Aku juga sudah mengira kalau Neni setelah menikah bakal keluar dari arisan itu sudah pasti. Tentu bakal malu sendiri jika bertemu denganku. "Huh, dasar pelakor!" batinku. Kesalku semakin meronta Apalagi setelah mengetahui ternyata ibu- ibu arisan lebih membela Neni daripada aku, semua itu terlontar dari mulut Anggi. "Sepertinya Bu Nora ... Mmm..."Anggi diam sejenak sepertinya tak meneruskan ucapannya. Ia malah menunduk membuatku penasaran. "Bu Nora kena

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 8 Pertemuan yang tak direncanakan

    Aku menggelengkan kepala dan mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan keadaan Jenar semalam. "Tuan Kecil tidak apa-apa, Nyonya." "Ya sudah, bikinkan sarapan kesukaan Jenar, nasi goreng telur." Aku berdiri melangkah meninggalkan Bibi Nur yang membersihkan meja makan. ***Sesuai janjiku pada Alliandro, jam sepuluh tepat aku sudah berada di lokasi. Ternyata Alliandro sudah seperempat jam menungguku dengan duduk di sudut ruangan restoran. Sepertinya ia sengaja sudah memboking tempat dan makanan. Alliandro menyambut kedatanganku dengan tersenyum ceria. Ia menarik kursi memberi tempat duduk untukku. "Selamat siang Tuan Putri. Senang bertemu denganmu," canda Alliandro dengan menunjukkan tempat duduk untukku. Aku mendelik sambil nyengir. Kata-kata yang terbiasa keluar dari mulut Alliandro waktu di SMA dulu. "Dah lama menungguku All?" Aku menghempaskan tubuhku ke atas kursi. "Menunggu orang secantik kamu, menurutku tak ada kata lama." Alliandro tersenyum dan kembali duduk seperti se

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 7 pesta.

    Tatapan Mas Bram sungguh tak nyaman buatku. Setelah Mas Bram bersalaman dengan Alliandro dan Nyonya Michel ia mengajakku keluar dari ruangan untuk bergabung dengan teman- teman lainnya. "Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Mas Bram tiba-tiba setelah berada di ruang pesta. "Maksudmu?" "Alah gak usah kau berpura-pura bego didepanku. Kau sebenarnya sudah tau kalau undangan itu dari mantan pacarmu! Makanya kau tak menolak waktu ku ajak." Aku tak habis pikir dengan ucapan Mas Bram. Aku juga tak tau maksud ucapan itu. "Kamu ngomong apa sih Mas? Kamu kan yang mengajakku datang? Kamu kan yang dapat undangan? Kenapa aku yang disalahkan?" sanggahku. Tapi Mas Bram gak mau kalah. Ia terus berkilah menyalahkan aku. Hingga pertengkaran terjadi. Mas Bram marah dan meninggalkan aku di dalam pesta itu tanpa sepengetahuanku. Aku dibuat kalang kabut. Aku bingung untuk mencari tumpangan untuk pulang, apalagi jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Aku mencoba menghubungi Mas Bram berkali-

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 6 Bertemu sahabat lama

    Tiba-tiba seekor kucing melompat dari atas meja teras rumah menabrak kaleng bekas kue. "Ohh kucing, aku kira apa?" gumam Mas Bram.Aku mengambil nafas lega mendengar ucapan Mas Bram. Tampak bayangan Mas Bram yang ada di dinding sedang berdiri. Sepertinya ia hendak pulang. Sungguh perkiraanku tak meleset. Mas Bram pamit pulang. "Ya sudah Bu. Aku pulang dulu. Ini sedikit uang untuk Ibu. Lusa aku jemput Ibu. Kita berangkat sama- sama ke Surabaya," terdengar lagi kata-kata Mas Bram. Perlahan aku beranjak dari tempat persembunyianku melangkah meninggalkan rumah mertuaku. Setelah mengetahui Mas Bram hendak pulang. Jantungku tak berhenti berdetak, rasa takut menyelimuti diriku jika Mas Bram atau mertuaku mengetahui keberadaanku. Aku berjalan cepat menuju tempat parkir mobilku dan pamit pada tuan rumah yang aku titipi mobil. Mobil aku pacu kembali ke rumah rasanya ingin secepatnya bertemu Jenar.Hanya butuh waktu satu jam aku sudah sampai ke rumah. "Jenar ... Jenar ... Mama datang Nak!"

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 5 Rencana jahat.

    Silvi menghentikan aktivitasnya dengan meletakkan secangkir teh manis yang barusan diaduk dan menyodorkan ke arahku. "Mas Bram jarang ke sini, Mbak, kalau nggak ada kepentingan. Memang ada apa sih Mbak? Mbak bertengkar sama Mas Bram?" tanya Silvi serius. Aku menggelengkan kepalaku. Dan meraih cangkir berisi teh manis. Dalam hitungan menit teh itu sudah berpindah ke perutku. "Mas Bram jarang pulang, Sil." ucapku dengan mata mengarah keluar. Silvi tampak tenang, melangkah mendekati aku. "Mungkin ia sibuk dengan perusahaannya di Surabaya Mbak. Yakinlah kalau Mas Bram tak bakal macam-macam." Aku tersenyum masam mendengar penuturan Silvi. Tentu saja ia membela kakaknya. Aku yakin kalau Silvi tau yang sebenarnya. Ia pasti menutupinya. "Mas Bram itu orangnya polos dan jujur. Mana mungkin mau berbuat aneh- aneh. Ia sangat mencintai Mbak Kinan," ungkap Silvi lagi. Aku gigit bibirku sendiri, dalam hatiku percuma aku mengatakan yang sebenarnya sama Silvi tentang Mas Bram yang pasti S

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 4 vonis dokter.

    "Ginjal Dok!" suaraku menekan. Seolah tak percaya dengan tulisan yang tertera pada kertas hasil diagnosa. Dokter Frans mengangguk berat. "Ya Nyonya, masih stadium dua. Dia butuh perhatian khusus. Tubuhku semakin lemas dan seperti tak punya tenaga sama sekali saat dokter Frans mengatakan kalau Jenar terkena penyakit Ginjal stadium dua. Aku ingin menjerit sekuat tenaga, aku merasa Allah tak adil dengan kehidupanku. "Ya, ini salahku ... Salahku! Aku memburu egoku sendiri. Aku tak memperhatikan anakku. Aku terlalu mementingkan diriku sendiri," batinku dengan menyandarkan kepalaku di sandaran kursi dengan menatap dokter Frans. "Kenapa bukan aku saja yang sakit, Dok?" ucapku melemah. "Nyonya nggak usah khawatir. Semua ada jalan keluarnya. gagal ginjal stadium 2 masih lebih besar potensinya untuk membaik, meski belum tentu sembuh sempurna." Dokter menegaskan. Dan Dokter memberi saran setiap tiga hari sekali, Jenar harus kontrol ulang. Penjelasan Dokter membuatku sedikit agak lega.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status