Home / Romansa / SUAMIKU SEORANG PENDUSTA / Bab 3 terbongkar rahasia.

Share

Bab 3 terbongkar rahasia.

Author: Adira
last update Last Updated: 2025-06-04 19:18:46

Namun, tiba- tiba Bu Darma berheti bicara. Ia tampak ragu, lama ia menjawab. Namun aku mendesak terus, agar Bu Darma menceritakannya.

Bu Darma menceritakan seperti yang pernah Neni ceritakan sebelum pernikahan itu terjadi. Menurut pengakuan Neni sendiri sebelum suaminya yang dahulu meninggal mempunyai hutang pada Tuan Smith.

Aku kaget saat Bu Darma menyebut nama Tuan Smith. Dengan cepat aku memotong ucapan Bu Darma. "Tuan Smith?" tanyaku agak bingung. "Siapa Tuan Smith?"

Bu Darma memandangku tajam. Dan ia langsung menjelaskan kalau Tuan Smith suami Neni. Ia seorang pengusaha muda yang kaya raya. Duda tanpa anak, ia menginginkan anak dari Neni. Dari Tuan Smith lah hutang suami Neni terlunasi.

Aku lebih kaget saat Bu Darma bicara soal hutang. "Hutang ...?!" aku terperanjat. Apalagi Bu Darma menyebut nama Smith. Nama Smith itu nama Papaku yang sudah meninggal. Nama panjangnya Hans Smith. Berkebangsaan Swiss. Mamaku bernama Citra Lestari orang Jogjakarta. Orang kebanyakan memanggil Mamaku dengan sebutan Bu Citra. Mamaku pengusaha batik yang sukses. Dan Papaku pengusaha properti serta mempunyai pabrik tekstil yang terkenal di negeri ini dengan berbagai cabang di luar negri.

Semenjak Papaku meninggal, aku anak satu-satunya yang harus menggantikan mengelola usaha Papaku. Untuk usaha Mamaku tetap dikelola Mamaku sendiri. Aku yang merasa sendirian begitu kalang kabut mengelolanya. Mas Bramasta sebagai tangan kanan Papaku waktu itu berusaha membantuku dengan mendorong agar usaha Papaku jangan sampai gulung tikar sebab ditinggal Papaku.

Dengan seringnya kami bertemu, aku jatuh cinta sama Mas Bram, begitu juga Mas Bram. Akhirnya aku menikah dengan Mas Bram yang mana sebenarnya Mama tak begitu merestui. Lama- lama Mama menyerah dengan tekatku, serta merestui pernikahanku hingga dikaruniai anak laki-laki satu yaitu Jenar Putra Bramasta.

"Lho, apa keluarga Jeng Kinan waktu pernikahan Jeng Neni tidak datang. Pernikahannya baru dua hari ini lho Jeng!" ucap Bu Darma membuyarkan lamunanku.

Aku menjawab dengan menggelengkan kepala.

"Sudah lama adik saya ada masalah sama keluarga Bu," aku membela diri dengan kebohongan. Dalam hatiku sangat yakin laki-laki yang bernama Smith itu Mas Bram, ia menyamar memakai nama Papaku. Ia menikahi Neni sebab hutang. Dan yang lebih membuat hatiku hancur berkeping-keping. Mas Bram mengaku kalau dirinya Duda tanpa anak pada warga perumahan ini.

Aku berdiri dan mohon pamit dengan mengucap banyak terima kasih dengan informasinya. Dan aku meminta Bu Darma kalau ada informasi tentang Neni aku menyuruh agar Bu Darma berkenan memberitau aku. Aku menyodorkan nomor ponselku kearah Bu Darma. Dan sebuah jawaban anggukan kepala dari Bu Darma.

Aku keluar dari rumah Bu Darma menuju mobilku. Pikiranku semakin tak karu-karuan. Sejuta pertanyaan terus bergelayut dalam otakku. "Jadi suami Neni sebelum meninggal punya hutang Mas Bram? Kenapa Mas Bram tidak memberitahu aku?"

Aku tak bisa berpikir lagi. Kupacu mobilku menuju rumah Mamaku untuk berbagi kesedihan.

Rasanya aku ingin menangis meminta maaf pada Mamaku, ternyata benar apa yang dikatakan Mama pilihanku salah. Kebetulan Mamaku masih berada di Jakarta. Belum berangkat ke Jogjakarta untuk mengontrol perusahaannya.

Namun apa yang terjadi dengan Mamaku. Mamaku malah menyalahkan aku saat aku mengatakan kalau Mas Bram sudah mengkhianatiku.

"Kamu nggak usah menyalahkan suamimu, Kinan? Bram sudah menjadi pilihan terbaik kamu. Salahkan dirimu sendiri, sebab kamu sudah terlalu percaya sama Bram dibanding Mama."

Sungguh aku kecewa dengan perkataan Mamaku. Memang aku merasa bersalah. Tapi tak seharusnya Mamaku berkata seperti itu.

"Ma, tolong beri aku solusi. bagaimana jalan keluarnya." Pintaku memohon dengan duduk seperti pesakitan di depan hakim sesekali kutatap wajah Mamaku.

"Kamu seharusnya tak memanjakan suamimu? Kenapa semua aset kau limpahkan pada suamimu? Bukankah kamu mempunyai Jenar?"

Degg ... Jantungku seolah berhenti berdetak. "Siapa yang melimpahkan pada Mas Bram? Aku tak sebodoh itu Ma?"

Tampak Mamaku memandangku tajam.

"Bram yang bilang. Malah dia bawa pengacara ke rumah Mama."

Aku tersentak. "Mama percaya dengan semua itu?"

Mamaku tampak diam. Ia terus menatapku tanpa berkata sepatah kata. Hingga aku mengulangi perkataanku untuk yang ke dua kalinya.

Mamaku menggelengkan kepalanya. "Aku tak memberi izin tanda tangan itu. Sebab semua aset itu namaku juga tercantum, Kinan."

Aku merasa lega. Aku mendekati wanita yang tiga puluh empat tahun melahirkan aku. Aku memeluk pipi keriputnya yang sudah termakan usia. Aku cium berkali-kali dengan mengucap terima kasih.

Dan ia berpesan agar aku hati-hati terhadap Mas Bram. Sepertinya Mama menaruh curiga dengan Mas Bram tentang aset perusahaanku. Mama tau kalau Mas Bram menduakan aku. Ia juga terus menanyakan tentang kepemilikan perusahaanku apakah sudah di atas namakan Mas Bram.

Aku menggelengkan kepala.

"Baru mengelolanya Ma, tapi untuk kepemilikan belum aku atas namakan Mas Bram."

Bu Citra panggilan nama Mamaku merasa lega mendengar ucapanku.

"Syukurlah," suara mama lirih. "kamu jangan gegabah dulu, selidiki dulu secara detail."

Aku berdiri meraih tas kecilku yang tergeletak di meja depanku. "Aku pulang dulu Ma, Jenar pasti mencariku, hampir sehari aku belum menemui Jenar," pamitku dengan sedikit rasa lega sudah bisa berbagi kesedihan pada Mama. Walaupun Mama belum memberi solusi. Mama mengangguk, mengantarku sampai di depan pintu rumah.

"Kapan-kapan bawa Jenar ke sini. Aku kangen ingin mengajaknya jalan- jalan."

Kembali aku mengangguk dan melambaikan tangan ke arah Mamaku.

***

Sampai di rumah sudah jam empat sore. Berati hampir satu hari aku disibukkan dengan urusan suamiku. Aku melangkah ke kamar Jenar. Baru saja aku membuka pintu kamar, aku kaget melihat Jenar tidur dengan kening di kompres oleh Bibi Nur.

"Jenar ...!" panggilku dengan panik. Aku melangkah menghampiri Jenar yang berbaring lemah dengan memanggil namaku.

"Mama ...!" panggilnya lemah.

Aku tempelkan tanganku ke kening Jenar. Aku merasakan panas pada suhu tubuh Jenar.

"Tubuh Tuan kecil panas Nyonya, tadi sudah saya cek suhunya tiga puluh delapan derajat."

Aku segera menoleh ke arah Nur yang masih berdiri dengan menunduk. "Kenapa kamu tak menghubungi aku Bik?" Nadaku kesal.

"Maaf Nyonya, sudah berkali-kali saya menghubungi Nyonya tapi tak ada jawaban dari Nyonya."

Aku tersentak, dan baru ingat kalau ponselku baterainya habis lupa untuk mengisi. Padahal sejak pulang dari arisan aku berniat untuk mengisi batrai, tapi aku tak ingat. Pikiranku sudah disibukkan dengan Mas Bram. "Kamu sudah menghubungi Tuan Bram?"

"Sudah Nyonya, tapi juga tak diangkat, Tuan kecil juga sudah saya kasih obat turun panas,"

Aku segera membuka tasku dan mengambil ponselku dengan mengulurkan ponsel ke arah Bibi Nur agar mengisi baterai nya. "Apa yang kamu rasakan, Sayang?" ucapku mengelus kepala Jenar.

Jenar hanya diam dengan mengerjapkan matanya. Aku semakin panik, segera menyuruh Bibi Nur menyuruh Arman sopirku untuk siap-siap mengantarku ke rumah sakit. Aku takut terjadi apa-apa dengan Jenar. Sengaja aku tak menghubungi dokter pribadiku terlebih dahulu.

Sesampai di rumah sakit segera aku hubungi Mas Bram. "Mas ...! Jenar sakit. Sekarang berada di rumah sakit." ucapku dalam ponsel singkat. Setelah dokter menyatakan Jenar harus rawat inap.

"Oh ya, aku akan secepatnya pulang, Tapi ...!"

Tanpa basa basi aku langsung menutup pembicaraan Mas Bram dalam ponsel. Hingga Mas Bram berkali-kali menghubungiku lagi. Namun aku enggan mengangkatnya.

Rasa sakit masih terasakan jika mengingat kata-kata Bu Darma. Dan apalagi bayangan demi bayangan terlintas di pelupuk mataku bagaimana Mas Bram bersenang-senang bergumul di atas ranjang dengan Neni.

"Mama menangis?" tanya Jenar yang tiba-tiba mengagetkan aku. "Aku nggak apa-apa Mama, besok Jenar pasti sudah sembuh." suara parau anakku yang berusia sepuluh tahun.

Aku mencoba tersenyum. Dengan mengusap air mataku yang terlanjur menetes di pipiku.

"Ohh ... hmm ..." aku gugup menjawabnya. "Kamu harus cepat sembuh," lirihku dengan menelan salivaku sendiri.

"Papa kemana, Ma?" tanya Jenar menatapku membuat hatiku terharu.

"Ohh, Papa ada urusan perusahaan ke Singapura, Sayang. Tunggu besok pasti datang," ucapku menghibur Jenar.

Tiba-tiba pintu terbuka dan seorang perawat berdiri di belakangku.

"Nyonya, ada panggilan dari dokter Frans."

Aku mengangguk. "Sebentar Sayang, Jenar sama Bibi Nur dulu ya?" Aku berdiri mencium kedua pipi Jenar. Dan mengikuti langkah suster keluar kamar inap Jenar untuk menemui dokter Frans. Dokter Frans dokter pribadi keluargaku yang sudah bertahun tahun merupakan kepercayaan Papa dan Mamaku.

"Kenapa Nyonya tidak menghubungi saya sebelumnya kalau putra Nyonya sakit?" tanya dokter Fran saat aku sudah berada diruangan.

"Maaf Dok, mungkin saya panik."

Dokter Frans mengangguk dengan menatapku tak seperti biasanya. Seperti ada sesuatu yang berat untuk disampaikan.

Tubuhku lemas, seperti seorang tahanan berhadapan dengan hakim yang akan menjatuhkan hukuman berat untukku. "Sakit apa yang diderita anak saya, Dokter?" Saya bertanya dengan penuh rasa ingin tahu.

Dokter Frans menarik napas panjang. Dia mengambil sebuah kertas dan menyodorkannya ke arahku. Dengan hati berdebar-debar saya mengambil kertas itu dan membacanya. Darahku berdesir, tubuhku gemetar saat membaca tulisan yang tertera dalam kertas itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 48 Akur.

    Aku diam keremas-remas jariku sendiri. Aku tak berani menatap Alliandro. Dalam hatiku aku menyesal sudah menampar wajah All. "Maafkan aku!" lirihku. "Tapi maaf aku ingin menenangkan pikiranku dulu. All melepas tanganku dan membiarkan aku berjalan menaiki anak tangga menuju kamarku. "Kinan ...! Aku tau kau hendak menenangkan hatimu kan? Mana bisa kau tenang sedang masalahmu dengan aku belum selesai!" teriak Alliandro saat aku masih berada di anak tangga.Aku menghentikan langkahku dalam hatiku aku membenarkan ucapan All. Sebab yang jadi biang kerok tak tenangnya hatiku juga All."Kamu jangan bohongi dirimu sendiri Kinan?" Aku membalikkan tubuhku, menatap Alliandro dari anak tangga. "Trus maumu apa All? Mau menyakiti aku lagi di depan Clara kekasihmu? Kalau kau tak mengundangku? Kalau kau tak mengenalku? Aku di depan temanku karyawanku selalu menghargai kamu?" Alliandro menggelengkan kepalanya sendiri. "Aku sudah minta maaf Kinan? Aku sudah minta maaf sama kamu!" "Ya, aku sudah me

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 47 pertengkaran.

    Aku terpaku saat melihat seorang laki-laki berdiri di depan pintu ruanganku. "Kau lagi? Kenapa? Aku sudah bilang berkali kali kalau aku hari ini tidak mengundang tamu!" Alliandro diam sesaat, memandangku tajam. "Aku hanya menyampaikan kalau Lola sudah bebas!" Aku bengong mendengar ucapan All. Apalagi Alliandro langsung membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. "Jadi All datang ke sini hanya ingin menyampaikan itu? Ahh masa bodoh biar saja dia pergi." Aku kembali duduk dengan meraih ponselku. Aku segera menghubungi pihak kepolisian untuk memastikan apakah Lola bebas. "Ya, Nyonya. Ada seseorang yang mengeluarkan Lola." ucap petugas kepolisian dalam ponsel. "Siapa?" tanyaku dengan tubuh gemetar. "Tuan Bramasta!" Aku diam sesaat. "Ya sudah saya akan segera ke sana!" Aku tutup pembicaraanku dengan pihak kepolisian Tanpa pikir panjang ku raih telpon selulerku. Untuk menghubungi managerku Iwan. "Pak, cepat tolong ke sini, ke ruanganku!" Hanya butuh waktu lima menit, Iwan suda

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 46 Tamu ke dua.

    Aku segera menempelkan ponselku ke telingaku. Namun aku sama sekali tak mengucapkan salam untuk All terlebih dulu. Entah aku merasa neg dan muak. Ingin rasanya ponselku ku banting biar tak mendengar suaranya. "Halo Kinan ... Kamu ada di rumah?" ucap All dalam telpon. Aku tak menjawab ucapan All. Aku tetap diam, hingga ia mengulangi lagi pertanyaannya. Dan aku mulai menjawab dengan nada cuek. "Maaf, aku tak ingin di ganggu. Aku mau istirahat." Dengan cepat ku tutup ponselku. Baru saja aku meraih piring yang berisi nasi. Terdengar lagi suara ponselku berdering. Dalam layar ponsel tetap nama All yang tertera. Aku membiarkan ponsrl itu berdering sampai selesai. "Mbak, kenapa ponselnya tak diangkat. Mungkin ada hal penting ?" tanya Bibik yang aku jawab dengan santai sambil memasukkan makanan ke dalam mulut. "Malam-malam Bik, malas untuk meladeni telpon. Dah Bik, kalau Bibik Mar mengantuk. Bibik istirahat saja, Besok Bibik kan harus bangun pagi." "Ya Mbak, saya ke kamar dulu ya!"

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 45 kecewa berat.

    Mobil yang aku tumpangi bersama Ardan masuk  area parkir kantor Alliandro. Dalam hitungan menit aku sudah sampai di Loby kantor Alliandro. "Ya tunggu Nona!" ucap seorang resepsionis kantor. Aku pun duduk menunggu keputusan sang resepsionis. Apakah aku di perbolehkan masuk atau tidak. Aku menyadari kalau toh tak boleh aku harus menerimanya sebab aku tak ada jadwal janji dengan AlliandroDisamping itu aku juga tak menghubungi Alliandro."Nona, maaf Tuan Alliandro sepertinya belum datang. Sebab saya hubungi tidak bisa. Kalau memang Nona sangat penting tunggu saja di sini, mungkin sebentar lagi datang." Aku menatap jam yang melingkar di tanganku. Aku mengernyitkan keningku menatap resepsionis yang ada didepanku."Sudah jam satu lebih Nona, berarti Tuan Alliandro tak ada di kantor." ucapku membalikkan tubuhku untuk kembali pulang. "Ooh ya, mungkin Nona ada pesan? Boleh saya ingin tau nama Nona? Nanti saya sampaikan sama T

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 44 Clara marah.

    "Neni ...!" teriak Bram dengan panik. Ia dengan cepat mengangkat tubuh Neni dan membaringkannya di atas sofa. Ia segera berlari ke kotak obat, dan mengobatinya kening Neni untuk sementara agar darahnya berhenti keluar dengan meneteskan betandin pada luka Neni. "Lukanya nggak parah, mungkin ia hanya pingsan sandiwara!" pikir Bram dengan duduk kembali di atas sofa dekat Neni berbaring. Ia menunggu Neni siuman untuk beberapa saat. Sepintas ia memandang Neni yang matanya masih belum terbuka. Ia kembali menatap langit-langit kamar, pikirannya kembali menerawang jauh tentang tertangkapnya Lola dan dijebloskan ke dalam penjara. "kok bisa dia tertangkap, ceroboh benar Lola. Dia pasti sudah bernyanyi di depan polisi dan mengaku tentang persekongkolan denganku, aku harus pergi?" Bram merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. "Halo Bibi Pur, cepat ke sini! Aku ada di ruang rapat," suara Bram dalam telpon menghubungi Bibi Pur yang bekerja sebagai pembantu dapur di markas. "Baik

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 43 Lola tertangkap.

    Aku geram mendengar cerita Selvi. Tapi aku yakin memang Selvi tidak bohong. Namun aku tak semudah itu melepas Selvi tanpa hukuman. "Trus kamu semalam tidur bersama Tuan All?" tanyaku menyelidik. Selvi tampak kaget. Ia memandangku, "Sebejat- bejat diriku aku tak akan mau merebut pacar temanku. Tanyakan sendiri pada Tuan All!" Aku diam, aku percaya ucapan Selvi kali ini tidak bohong. All tak mungkin melakukan hal sebejat itu. "Bagaimana kau percaya kan sama aku? Sekarang lepaskan tali ini. Dan untuk yang seterusnya aku akan bantu Kamu. Mengungkap pembunuhan orang tua kamu dan anak kamu. Tapi tolong lindungi keluargaku." Aku manggut-manggut. Aku segera mengambil ponselku dan membatalkan pihak kepolisian. Beruntung pihak Kepolisian sangat pro sama aku. Jadi dengan mudah membatalkan sesuatu. "Ya, akan aku lepas kamu!" Aku melangkah mendekati tempat duduk Selvi. "Jangan dilepas, dia pengkhianat yang bersekongkol dengan Bram!" Terdengar suara dari pintu ruang makan. Aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status