Home / Romansa / SUAMIKU SEORANG PENDUSTA / Bab 4 vonis dokter.

Share

Bab 4 vonis dokter.

Author: Adira
last update Last Updated: 2025-06-04 20:18:06

"Ginjal Dok!" suaraku menekan. Seolah tak percaya dengan tulisan yang tertera pada kertas hasil diagnosa.

Dokter Frans mengangguk berat. "Ya Nyonya, masih stadium dua. Dia butuh perhatian khusus.

Tubuhku semakin lemas dan seperti tak punya tenaga sama sekali saat dokter Frans mengatakan kalau Jenar terkena penyakit Ginjal stadium dua. Aku ingin menjerit sekuat tenaga, aku merasa Allah tak adil dengan kehidupanku.

"Ya, ini salahku ... Salahku! Aku memburu egoku sendiri. Aku tak memperhatikan anakku. Aku terlalu mementingkan diriku sendiri," batinku dengan menyandarkan kepalaku di sandaran kursi dengan menatap dokter Frans.

"Kenapa bukan aku saja yang sakit, Dok?" ucapku melemah.

"Nyonya nggak usah khawatir. Semua ada jalan keluarnya. gagal ginjal stadium 2 masih lebih besar potensinya untuk membaik, meski belum tentu sembuh sempurna." Dokter menegaskan. Dan Dokter memberi saran setiap tiga hari sekali, Jenar harus kontrol ulang.

Penjelasan Dokter membuatku sedikit agak lega.

***

Hanya tiga hari anakku Jenar menginap di rumah sakit. Namun yang membuat aku kesal dan hatiku terasa sakit. Mas Bram tak kunjung juga pulang. Aku sudah lelah dan capek untuk menghubungi lagi Mas Bram. Dengan berbagai alasan setiap kuminta segera pulang. Hingga tiga hari kepulangan Jenar dari rumah sakit. Mas Bram baru mengabari kalau acara perusahaan di Singapura sudah selesai dan hari ini juga Mas Bram mengabariku kalau hendak pulang. Aku tak merespon sama sekali saat Mas Bram telpon. Entah dia terasa atau tidak yang pasti aku tak bisa memaafkan sampai kapanpun. Ternyata ia lebih mementingkan istri barunya dibanding anaknya sendiri yang sakit.

"Sayang maafkan aku, waktu Jenar sakit, aku tak bisa secepatnya pulang. Sebab pekerjaan belum bisa aku selesaikan dalam waktu singkat," ucap Mas Bram setelah berada di rumah dengan bahasa merayu.

Aku tetap diam. Dan Aku sengaja tak menanyakan perselingkuhannya dengan Neni sahabatku sendiri. Aku menjaga kondisi Jenar yang baru keluar dari rumah sakit. Aku biarkan dulu sampai dia puas, sebab aku punya cara sendiri.

"Kenapa kau diam, Sayang?"

Aku hanya menggelengkan kepala. Dalam hatiku aku ingin menampar mulut suamiku yang bermuka dua. Namun semua itu tak mungkin aku lakukan demi Jenar yang masih butuh Mas Bram.

"Aku ingin kita lebih memperhatikan Jenar. Dokter menyarankan tiga hari sekali Jenar harus kontrol kesehatan." lirihku.

Mas Bram manggut-manggut. "Ya, aku juga meminta kamu untuk mengurangi aktivitas luar, Sayang! Dan bagaimana kalau semua perusahaan, kamu serahkan padaku biar kamu fokus mengurus anak kita?"

Aku tersentak dengan mendongakkan kepalaku menatap wajah Mas Bram. Dalam hatiku aku tertawa. Sebodoh itu aku menyerahkan perusahaan pada Mas Bram. Memang aku akui dulu sebelum perselingkuhan terjadi. Aku berniat melepas perusahaanku dan aku serahkan pada Mas Bram. Mengingat pernikahanku sudah dua belas tahun berjalan mulus. Bahkan Mas Bram sangat menyayangi aku dan Jenar. "Ya, aku belum memikirkan hal itu Mas! Aku masih fokus pada anak kita?"

"Lha justru itu, kalau kamu ingin fokus serahkan saja semua urusan perusahaan padaku? Apa susahnya sih? Kamu tinggal panggil pak Edward pengacara kita, suruh dia datang ke sini dan kamu tanda tangan, dah selesai." kata Mas Bram enteng.

Aku memaksa tersenyum dan menggelengkan kepala. "Mas Bram terlalu capek nanti, pergi ke Surabaya balik lagi ke Jakarta." Aku beralasan agar tak menyinggung perasaan Mas Bram.

"Maksudku bukan itu Sayang? Aku ingin kau fokus pada anak kita? Kan ada baiknya aku yang mengurusi perusahaan."

Aku tak menghiraukan ucapan Mas Bram, dalam hatiku tertawa, memang semudah itu aku menyerahkan perusahaan ku, yang akhirnya jatuh ke tangan Mas Bram. Dan membawanya pergi dengan Neni. Kekesalanku mulai aku tampakkan dihadapan Mas Bram dengan berdiri melangkah meninggalkan Mas Bram dan masuk ke kamar Jenar untuk melihat keadaan Jenar. Masih terdengar suara Mas Bram dengan jelas di telingaku.

"Bagaimana kalau besok pak Edward dipanggil kesini Sayang?"

Aku tak menjawab, seolah aku tak mendengar ucapan Mas Bram.

***

Malam itu aku sengaja tidur di kamar Jenar walau keadaan Jenar sudah membaik. Aku tak bisa memejamkan mata, perselingkuhan Mas Bram dan Neni terus berada dalam pikiranku. Rasa jijik dan ingin muntah bila bertemu dengan Mas Bram. Aku terus berpikir, bagaimana caranya agar aku bisa menangkap basah Mas Bram saat berduaan dengan Neni. Jika bukti perselingkuhan itu hanya lewat ucapan, tentu seribu alasan keluar dari mulut Mas Bram. Dan pastinya aku yang kalah sebab bukti kuat tak ada. Tiba tiba pintu kamar terbuka. Muncul Mas Bram dengan memakai boster tanpa memakai baju atasan. Cepat-cepat ku pejamkan mataku pura-pura tidur. Aku merasakan Mas Bram mendekatiku dan mengusap rambutku dengan lembut.

"Sayang, kenapa kamu tidak tidur di kamar kita saja?" bisik Mas Bram membuatku terpaksa membuka mata.

Aku diam, dengan mata sedikit terbuka aku pandang suamiku dalam remang lampu lima watt di ruangan kamar. Rasa benci, kesal, cemburu jadi satu.

"Aku gendong ke kamar, ya? Jenar kan sudah baikan? Malah besok Jenar sudah masuk sekolah," bisiknya lagi dengan lembut. Aku menghela nafas panjang. Sembari mengusap-usap mataku seolah masih merasakan ngantuk.

"Jam berapa sekarang?" Aku menatap jam yang ada di sudut ruangan kamar Jenar. Jarum jam menunjukkan angka sembilan malam. Sebenarnya masih terlalu sore untuk kota metropolitan

"Kamu nggak kangen sama aku, Sayang? Bukankah hampir satu minggu lebih, kita tidak bercinta?" sambung Mas Bram lagi.

Pandangan mataku kupertajam menatap wajah Mas Bram. Tiba-tiba terlintas bayangan Mas Bram bercinta dengan Neni. Semakin aku menatap lekat Mas Bram, semakin jelas bayangan itu mengganggu pikiranku. Hingga timbul rasa jijik menyatu dalam pikiranku. Aku kembali membalikkan tubuhku menghadap Jenar dengan tangan memeluk tubuh Jenar yang tidur pulas. "Aku lagi tanggal merah Mas." ucapku bohong.

"Bukankah minggu kemarin kamu sudah menstruasi?" ucap Mas Bram dengan nada kesal.

"Ya begini kalau wanita banyak pikiran," kutinggikan nada bicaraku, agar Mas Bram merasa tersindir dengan perkataanku.

Namun Mas Bram seolah tak merasakan apa-apa. Apalagi tersindir. Ia malah berdiri dan meninggalkan aku tanpa mengatakan sepatah kata. Dan terdengar suara pintu kamar dibanting keras-keras. Aku tau Mas Bram kecewa. Aku kembali diam dengan pikiranku. Dan kembali mengotak atik kesalahanku apa? Sampai Mas Bram mencari perbandingan diriku dengan Neni.

Menurutku aku kurang perhatian apa sama Mas Bram. Hingga dua perusahaan ku di Jakarta dan di Surabaya aku serahkan Mas Bram untuk mengelolanya dan hasilnya sepeserpun aku tak mengambil.

Kadang aku koreksi diriku sendiri. Apa aku kurang cantik? Tapi, dibanding Neni yang postur tubuhnya pendek dan gemuk, aku masih mendapatkan nilai plus. Bagaimanapun juga, dulu aku juga pernah menjadi Miss kampusku saat itu. Dari segi wajah dan kulit juga masih menang aku. Perbandingan antara satu dibanding dua. Cuma untuk usia dia lebih muda dari aku.

Padahal Mas Bram yang dulunya hanya karyawan biasa. Dan bisa terangkat derajatnya menjadi dirut perusahaan sebab menikah denganku. Dan aku juga tak begitu pelit dengan orang tuanya maupun adik-adiknya dengan membiayai kuliah kedua adiknya hingga menjadi sarjana semua, serta membiayai pernikahan mereka. Malahan aku mengorbankan kasih sayang Mama ku sendiri. Yang tak merestui hubunganku dengan Mas Bram.

Tapi apa pembalasan Mas Bram denganku. Ia sudah menyakitiku, menikah dengan temanku sendiri. Dalam kegalauan, aku berencana, besok setelah mengantar Jenar sekolah dan ke kantor sebentar. Aku berniat hendak ke rumah Silvi adiknya Mas Bram yang nomor dua.

***

Esoknya sesuai janjiku sendiri. Setelah mengantar Jenar sekolah, tanpa sepengetahuan Mas Bram. Aku datang ke rumah Silvi yang rumahnya dari kantorku berjarak dua belas kilo meter. Jika aku tempuh perjalanan memakai mobil, hanya sekitar satu jam kurang.

Seperti biasa, tanpa tangan hampa setiap aku datang ke rumah saudara Mas Bram. Kue dan buah selalu aku bawakan.

"Tumben Mbak nggak sama Mas Bram?" tanya Silvi sesampainya aku di rumah Silvi.

Aku menjawabnya kalau Mas Bram sibuk. Dan lagian Mas Bram baru pulang dari Singapura.

Silvi tampak kaget, mendengar jawabanku. "Ke Singapura?" tanya Silvi menatapku. "Aku kok gak dikabari, sepertinya Ibu kemarin ke sini juga tak mengatakan apa-apa?"

Kuhempaskan tubuhku ke sofa panjang.

"Pamit aku juga mendadak, Sil," ucapku.

Dalam hatiku tak penting membicarakan tentang kepergian Mas Bram ke Singapura. Yang ingin aku bicarakan tentang pernikahan Mas Bram dengan Neni. Namun aku bingung bagaimana memulai pembicaraan.

"Apa Mas Bram tak pernah datang ke sini?" pancingku dengan melirik Silvi yang tampak gugup.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 9 kabar buruk.

    Anggi menatapku tajam. "Jadi, jadi Jeng Kinan sudah tau?" Aku diam sejenak dengan menyuapkan nasi ke dalam mulutku sembari sedikit mengunyah aku menganggukkan kepala."Kenapa ibu- ibu menyembunyikan keburukan? Bukankah mereka orang beragama? bisa memilah itu benar atau salah. Karuan Neni merebut suami orang kenapa masih ditutupi!" protesku emosi. Anggi mengangkat ke dua bahunya. "Ibu- ibu hanya tak ingin ada keributan dalam arisan. Toh Jeng Neni sekarang sudah keluar dari grup arisan," jelas Anggi yang tidak membuatku terkejut. Aku juga sudah mengira kalau Neni setelah menikah bakal keluar dari arisan itu sudah pasti. Tentu bakal malu sendiri jika bertemu denganku. "Huh, dasar pelakor!" batinku. Kesalku semakin meronta Apalagi setelah mengetahui ternyata ibu- ibu arisan lebih membela Neni daripada aku, semua itu terlontar dari mulut Anggi. "Sepertinya Bu Nora ... Mmm..."Anggi diam sejenak sepertinya tak meneruskan ucapannya. Ia malah menunduk membuatku penasaran. "Bu Nora kena

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 8 Pertemuan yang tak direncanakan

    Aku menggelengkan kepala dan mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan keadaan Jenar semalam. "Tuan Kecil tidak apa-apa, Nyonya." "Ya sudah, bikinkan sarapan kesukaan Jenar, nasi goreng telur." Aku berdiri melangkah meninggalkan Bibi Nur yang membersihkan meja makan. ***Sesuai janjiku pada Alliandro, jam sepuluh tepat aku sudah berada di lokasi. Ternyata Alliandro sudah seperempat jam menungguku dengan duduk di sudut ruangan restoran. Sepertinya ia sengaja sudah memboking tempat dan makanan. Alliandro menyambut kedatanganku dengan tersenyum ceria. Ia menarik kursi memberi tempat duduk untukku. "Selamat siang Tuan Putri. Senang bertemu denganmu," canda Alliandro dengan menunjukkan tempat duduk untukku. Aku mendelik sambil nyengir. Kata-kata yang terbiasa keluar dari mulut Alliandro waktu di SMA dulu. "Dah lama menungguku All?" Aku menghempaskan tubuhku ke atas kursi. "Menunggu orang secantik kamu, menurutku tak ada kata lama." Alliandro tersenyum dan kembali duduk seperti se

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 7 pesta.

    Tatapan Mas Bram sungguh tak nyaman buatku. Setelah Mas Bram bersalaman dengan Alliandro dan Nyonya Michel ia mengajakku keluar dari ruangan untuk bergabung dengan teman- teman lainnya. "Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Mas Bram tiba-tiba setelah berada di ruang pesta. "Maksudmu?" "Alah gak usah kau berpura-pura bego didepanku. Kau sebenarnya sudah tau kalau undangan itu dari mantan pacarmu! Makanya kau tak menolak waktu ku ajak." Aku tak habis pikir dengan ucapan Mas Bram. Aku juga tak tau maksud ucapan itu. "Kamu ngomong apa sih Mas? Kamu kan yang mengajakku datang? Kamu kan yang dapat undangan? Kenapa aku yang disalahkan?" sanggahku. Tapi Mas Bram gak mau kalah. Ia terus berkilah menyalahkan aku. Hingga pertengkaran terjadi. Mas Bram marah dan meninggalkan aku di dalam pesta itu tanpa sepengetahuanku. Aku dibuat kalang kabut. Aku bingung untuk mencari tumpangan untuk pulang, apalagi jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Aku mencoba menghubungi Mas Bram berkali-

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 6 Bertemu sahabat lama

    Tiba-tiba seekor kucing melompat dari atas meja teras rumah menabrak kaleng bekas kue. "Ohh kucing, aku kira apa?" gumam Mas Bram.Aku mengambil nafas lega mendengar ucapan Mas Bram. Tampak bayangan Mas Bram yang ada di dinding sedang berdiri. Sepertinya ia hendak pulang. Sungguh perkiraanku tak meleset. Mas Bram pamit pulang. "Ya sudah Bu. Aku pulang dulu. Ini sedikit uang untuk Ibu. Lusa aku jemput Ibu. Kita berangkat sama- sama ke Surabaya," terdengar lagi kata-kata Mas Bram. Perlahan aku beranjak dari tempat persembunyianku melangkah meninggalkan rumah mertuaku. Setelah mengetahui Mas Bram hendak pulang. Jantungku tak berhenti berdetak, rasa takut menyelimuti diriku jika Mas Bram atau mertuaku mengetahui keberadaanku. Aku berjalan cepat menuju tempat parkir mobilku dan pamit pada tuan rumah yang aku titipi mobil. Mobil aku pacu kembali ke rumah rasanya ingin secepatnya bertemu Jenar.Hanya butuh waktu satu jam aku sudah sampai ke rumah. "Jenar ... Jenar ... Mama datang Nak!"

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 5 Rencana jahat.

    Silvi menghentikan aktivitasnya dengan meletakkan secangkir teh manis yang barusan diaduk dan menyodorkan ke arahku. "Mas Bram jarang ke sini, Mbak, kalau nggak ada kepentingan. Memang ada apa sih Mbak? Mbak bertengkar sama Mas Bram?" tanya Silvi serius. Aku menggelengkan kepalaku. Dan meraih cangkir berisi teh manis. Dalam hitungan menit teh itu sudah berpindah ke perutku. "Mas Bram jarang pulang, Sil." ucapku dengan mata mengarah keluar. Silvi tampak tenang, melangkah mendekati aku. "Mungkin ia sibuk dengan perusahaannya di Surabaya Mbak. Yakinlah kalau Mas Bram tak bakal macam-macam." Aku tersenyum masam mendengar penuturan Silvi. Tentu saja ia membela kakaknya. Aku yakin kalau Silvi tau yang sebenarnya. Ia pasti menutupinya. "Mas Bram itu orangnya polos dan jujur. Mana mungkin mau berbuat aneh- aneh. Ia sangat mencintai Mbak Kinan," ungkap Silvi lagi. Aku gigit bibirku sendiri, dalam hatiku percuma aku mengatakan yang sebenarnya sama Silvi tentang Mas Bram yang pasti S

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 4 vonis dokter.

    "Ginjal Dok!" suaraku menekan. Seolah tak percaya dengan tulisan yang tertera pada kertas hasil diagnosa. Dokter Frans mengangguk berat. "Ya Nyonya, masih stadium dua. Dia butuh perhatian khusus. Tubuhku semakin lemas dan seperti tak punya tenaga sama sekali saat dokter Frans mengatakan kalau Jenar terkena penyakit Ginjal stadium dua. Aku ingin menjerit sekuat tenaga, aku merasa Allah tak adil dengan kehidupanku. "Ya, ini salahku ... Salahku! Aku memburu egoku sendiri. Aku tak memperhatikan anakku. Aku terlalu mementingkan diriku sendiri," batinku dengan menyandarkan kepalaku di sandaran kursi dengan menatap dokter Frans. "Kenapa bukan aku saja yang sakit, Dok?" ucapku melemah. "Nyonya nggak usah khawatir. Semua ada jalan keluarnya. gagal ginjal stadium 2 masih lebih besar potensinya untuk membaik, meski belum tentu sembuh sempurna." Dokter menegaskan. Dan Dokter memberi saran setiap tiga hari sekali, Jenar harus kontrol ulang. Penjelasan Dokter membuatku sedikit agak lega.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status