"Ginjal Dok!" suaraku menekan. Seolah tak percaya dengan tulisan yang tertera pada kertas hasil diagnosa.
Dokter Frans mengangguk berat. "Ya Nyonya, masih stadium dua. Dia butuh perhatian khusus. Tubuhku semakin lemas dan seperti tak punya tenaga sama sekali saat dokter Frans mengatakan kalau Jenar terkena penyakit Ginjal stadium dua. Aku ingin menjerit sekuat tenaga, aku merasa Allah tak adil dengan kehidupanku. "Ya, ini salahku ... Salahku! Aku memburu egoku sendiri. Aku tak memperhatikan anakku. Aku terlalu mementingkan diriku sendiri," batinku dengan menyandarkan kepalaku di sandaran kursi dengan menatap dokter Frans. "Kenapa bukan aku saja yang sakit, Dok?" ucapku melemah. "Nyonya nggak usah khawatir. Semua ada jalan keluarnya. gagal ginjal stadium 2 masih lebih besar potensinya untuk membaik, meski belum tentu sembuh sempurna." Dokter menegaskan. Dan Dokter memberi saran setiap tiga hari sekali, Jenar harus kontrol ulang. Penjelasan Dokter membuatku sedikit agak lega. *** Hanya tiga hari anakku Jenar menginap di rumah sakit. Namun yang membuat aku kesal dan hatiku terasa sakit. Mas Bram tak kunjung juga pulang. Aku sudah lelah dan capek untuk menghubungi lagi Mas Bram. Dengan berbagai alasan setiap kuminta segera pulang. Hingga tiga hari kepulangan Jenar dari rumah sakit. Mas Bram baru mengabari kalau acara perusahaan di Singapura sudah selesai dan hari ini juga Mas Bram mengabariku kalau hendak pulang. Aku tak merespon sama sekali saat Mas Bram telpon. Entah dia terasa atau tidak yang pasti aku tak bisa memaafkan sampai kapanpun. Ternyata ia lebih mementingkan istri barunya dibanding anaknya sendiri yang sakit. "Sayang maafkan aku, waktu Jenar sakit, aku tak bisa secepatnya pulang. Sebab pekerjaan belum bisa aku selesaikan dalam waktu singkat," ucap Mas Bram setelah berada di rumah dengan bahasa merayu. Aku tetap diam. Dan Aku sengaja tak menanyakan perselingkuhannya dengan Neni sahabatku sendiri. Aku menjaga kondisi Jenar yang baru keluar dari rumah sakit. Aku biarkan dulu sampai dia puas, sebab aku punya cara sendiri. "Kenapa kau diam, Sayang?" Aku hanya menggelengkan kepala. Dalam hatiku aku ingin menampar mulut suamiku yang bermuka dua. Namun semua itu tak mungkin aku lakukan demi Jenar yang masih butuh Mas Bram. "Aku ingin kita lebih memperhatikan Jenar. Dokter menyarankan tiga hari sekali Jenar harus kontrol kesehatan." lirihku. Mas Bram manggut-manggut. "Ya, aku juga meminta kamu untuk mengurangi aktivitas luar, Sayang! Dan bagaimana kalau semua perusahaan, kamu serahkan padaku biar kamu fokus mengurus anak kita?" Aku tersentak dengan mendongakkan kepalaku menatap wajah Mas Bram. Dalam hatiku aku tertawa. Sebodoh itu aku menyerahkan perusahaan pada Mas Bram. Memang aku akui dulu sebelum perselingkuhan terjadi. Aku berniat melepas perusahaanku dan aku serahkan pada Mas Bram. Mengingat pernikahanku sudah dua belas tahun berjalan mulus. Bahkan Mas Bram sangat menyayangi aku dan Jenar. "Ya, aku belum memikirkan hal itu Mas! Aku masih fokus pada anak kita?" "Lha justru itu, kalau kamu ingin fokus serahkan saja semua urusan perusahaan padaku? Apa susahnya sih? Kamu tinggal panggil pak Edward pengacara kita, suruh dia datang ke sini dan kamu tanda tangan, dah selesai." kata Mas Bram enteng. Aku memaksa tersenyum dan menggelengkan kepala. "Mas Bram terlalu capek nanti, pergi ke Surabaya balik lagi ke Jakarta." Aku beralasan agar tak menyinggung perasaan Mas Bram. "Maksudku bukan itu Sayang? Aku ingin kau fokus pada anak kita? Kan ada baiknya aku yang mengurusi perusahaan." Aku tak menghiraukan ucapan Mas Bram, dalam hatiku tertawa, memang semudah itu aku menyerahkan perusahaan ku, yang akhirnya jatuh ke tangan Mas Bram. Dan membawanya pergi dengan Neni. Kekesalanku mulai aku tampakkan dihadapan Mas Bram dengan berdiri melangkah meninggalkan Mas Bram dan masuk ke kamar Jenar untuk melihat keadaan Jenar. Masih terdengar suara Mas Bram dengan jelas di telingaku. "Bagaimana kalau besok pak Edward dipanggil kesini Sayang?" Aku tak menjawab, seolah aku tak mendengar ucapan Mas Bram. *** Malam itu aku sengaja tidur di kamar Jenar walau keadaan Jenar sudah membaik. Aku tak bisa memejamkan mata, perselingkuhan Mas Bram dan Neni terus berada dalam pikiranku. Rasa jijik dan ingin muntah bila bertemu dengan Mas Bram. Aku terus berpikir, bagaimana caranya agar aku bisa menangkap basah Mas Bram saat berduaan dengan Neni. Jika bukti perselingkuhan itu hanya lewat ucapan, tentu seribu alasan keluar dari mulut Mas Bram. Dan pastinya aku yang kalah sebab bukti kuat tak ada. Tiba tiba pintu kamar terbuka. Muncul Mas Bram dengan memakai boster tanpa memakai baju atasan. Cepat-cepat ku pejamkan mataku pura-pura tidur. Aku merasakan Mas Bram mendekatiku dan mengusap rambutku dengan lembut. "Sayang, kenapa kamu tidak tidur di kamar kita saja?" bisik Mas Bram membuatku terpaksa membuka mata. Aku diam, dengan mata sedikit terbuka aku pandang suamiku dalam remang lampu lima watt di ruangan kamar. Rasa benci, kesal, cemburu jadi satu. "Aku gendong ke kamar, ya? Jenar kan sudah baikan? Malah besok Jenar sudah masuk sekolah," bisiknya lagi dengan lembut. Aku menghela nafas panjang. Sembari mengusap-usap mataku seolah masih merasakan ngantuk. "Jam berapa sekarang?" Aku menatap jam yang ada di sudut ruangan kamar Jenar. Jarum jam menunjukkan angka sembilan malam. Sebenarnya masih terlalu sore untuk kota metropolitan "Kamu nggak kangen sama aku, Sayang? Bukankah hampir satu minggu lebih, kita tidak bercinta?" sambung Mas Bram lagi. Pandangan mataku kupertajam menatap wajah Mas Bram. Tiba-tiba terlintas bayangan Mas Bram bercinta dengan Neni. Semakin aku menatap lekat Mas Bram, semakin jelas bayangan itu mengganggu pikiranku. Hingga timbul rasa jijik menyatu dalam pikiranku. Aku kembali membalikkan tubuhku menghadap Jenar dengan tangan memeluk tubuh Jenar yang tidur pulas. "Aku lagi tanggal merah Mas." ucapku bohong. "Bukankah minggu kemarin kamu sudah menstruasi?" ucap Mas Bram dengan nada kesal. "Ya begini kalau wanita banyak pikiran," kutinggikan nada bicaraku, agar Mas Bram merasa tersindir dengan perkataanku. Namun Mas Bram seolah tak merasakan apa-apa. Apalagi tersindir. Ia malah berdiri dan meninggalkan aku tanpa mengatakan sepatah kata. Dan terdengar suara pintu kamar dibanting keras-keras. Aku tau Mas Bram kecewa. Aku kembali diam dengan pikiranku. Dan kembali mengotak atik kesalahanku apa? Sampai Mas Bram mencari perbandingan diriku dengan Neni. Menurutku aku kurang perhatian apa sama Mas Bram. Hingga dua perusahaan ku di Jakarta dan di Surabaya aku serahkan Mas Bram untuk mengelolanya dan hasilnya sepeserpun aku tak mengambil. Kadang aku koreksi diriku sendiri. Apa aku kurang cantik? Tapi, dibanding Neni yang postur tubuhnya pendek dan gemuk, aku masih mendapatkan nilai plus. Bagaimanapun juga, dulu aku juga pernah menjadi Miss kampusku saat itu. Dari segi wajah dan kulit juga masih menang aku. Perbandingan antara satu dibanding dua. Cuma untuk usia dia lebih muda dari aku. Padahal Mas Bram yang dulunya hanya karyawan biasa. Dan bisa terangkat derajatnya menjadi dirut perusahaan sebab menikah denganku. Dan aku juga tak begitu pelit dengan orang tuanya maupun adik-adiknya dengan membiayai kuliah kedua adiknya hingga menjadi sarjana semua, serta membiayai pernikahan mereka. Malahan aku mengorbankan kasih sayang Mama ku sendiri. Yang tak merestui hubunganku dengan Mas Bram. Tapi apa pembalasan Mas Bram denganku. Ia sudah menyakitiku, menikah dengan temanku sendiri. Dalam kegalauan, aku berencana, besok setelah mengantar Jenar sekolah dan ke kantor sebentar. Aku berniat hendak ke rumah Silvi adiknya Mas Bram yang nomor dua. *** Esoknya sesuai janjiku sendiri. Setelah mengantar Jenar sekolah, tanpa sepengetahuan Mas Bram. Aku datang ke rumah Silvi yang rumahnya dari kantorku berjarak dua belas kilo meter. Jika aku tempuh perjalanan memakai mobil, hanya sekitar satu jam kurang. Seperti biasa, tanpa tangan hampa setiap aku datang ke rumah saudara Mas Bram. Kue dan buah selalu aku bawakan. "Tumben Mbak nggak sama Mas Bram?" tanya Silvi sesampainya aku di rumah Silvi. Aku menjawabnya kalau Mas Bram sibuk. Dan lagian Mas Bram baru pulang dari Singapura. Silvi tampak kaget, mendengar jawabanku. "Ke Singapura?" tanya Silvi menatapku. "Aku kok gak dikabari, sepertinya Ibu kemarin ke sini juga tak mengatakan apa-apa?" Kuhempaskan tubuhku ke sofa panjang. "Pamit aku juga mendadak, Sil," ucapku. Dalam hatiku tak penting membicarakan tentang kepergian Mas Bram ke Singapura. Yang ingin aku bicarakan tentang pernikahan Mas Bram dengan Neni. Namun aku bingung bagaimana memulai pembicaraan. "Apa Mas Bram tak pernah datang ke sini?" pancingku dengan melirik Silvi yang tampak gugup.Aku segera menempelkan ponselku ke telingaku. Namun aku sama sekali tak mengucapkan salam untuk All terlebih dulu. Entah aku merasa neg dan muak. Ingin rasanya ponselku ku banting biar tak mendengar suaranya."Halo Kinan ... Kamu ada di rumah?" ucap All dalam telpon.Aku tak menjawab ucapan All. Aku tetap diam, hingga ia mengulangi lagi pertanyaannya. Dan aku mulai menjawab dengan nada cuek. "Maaf, aku tak ingin di ganggu. Aku mau istirahat." Dengan cepat ku tutup ponselku. Baru saja aku meraih piring yang berisi nasi. Terdengar lagi suara ponselku berdering. Dalam layar ponsel tetap nama All yang tertera. Aku membiarkan ponsrl itu berdering sampai selesai. "Mbak, kenapa ponselnya tak diangkat. Mungkin ada hal penting ?" tanya Bibik yang aku jawab dengan santai sambil memasukkan makanan ke dalam mulut."Malam-malam Bik, malas untuk meladeni telpon. Dah Bik, kalau Bibik Mar mengantuk. Bibik istirahat saja, Besok Bibik kan harus bangun pagi." "Ya Mbak, saya ke kamar dulu ya!" Aku
Mobil yang aku tumpangi bersama Ardan masuk area parkir kantor Alliandro. Dalam hitungan menit aku sudah sampai di Loby kantor Alliandro. "Ya tunggu Nona!" ucap seorang resepsionis kantor. Aku pun duduk menunggu keputusan sang resepsionis. Apakah aku di perbolehkan masuk atau tidak. Aku menyadari kalau toh tak boleh aku harus menerimanya sebab aku tak ada jadwal janji dengan AlliandroDisamping itu aku juga tak menghubungi Alliandro."Nona, maaf Tuan Alliandro sepertinya belum datang. Sebab saya hubungi tidak bisa. Kalau memang Nona sangat penting tunggu saja di sini, mungkin sebentar lagi datang." Aku menatap jam yang melingkar di tanganku. Aku mengernyitkan keningku menatap resepsionis yang ada didepanku."Sudah jam satu lebih Nona, berarti Tuan Alliandro tak ada di kantor." ucapku membalikkan tubuhku untuk kembali pulang. "Ooh ya, mungkin Nona ada pesan? Boleh saya ingin tau nama Nona? Nanti saya sampaikan sama T
"Neni ...!" teriak Bram dengan panik. Ia dengan cepat mengangkat tubuh Neni dan membaringkannya di atas sofa. Ia segera berlari ke kotak obat, dan mengobatinya kening Neni untuk sementara agar darahnya berhenti keluar dengan meneteskan betandin pada luka Neni. "Lukanya nggak parah, mungkin ia hanya pingsan sandiwara!" pikir Bram dengan duduk kembali di atas sofa dekat Neni berbaring. Ia menunggu Neni siuman untuk beberapa saat. Sepintas ia memandang Neni yang matanya masih belum terbuka. Ia kembali menatap langit-langit kamar, pikirannya kembali menerawang jauh tentang tertangkapnya Lola dan dijebloskan ke dalam penjara. "kok bisa dia tertangkap, ceroboh benar Lola. Dia pasti sudah bernyanyi di depan polisi dan mengaku tentang persekongkolan denganku, aku harus pergi?" Bram merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. "Halo Bibi Pur, cepat ke sini! Aku ada di ruang rapat," suara Bram dalam telpon menghubungi Bibi Pur yang bekerja sebagai pembantu dapur di markas. "Baik
Aku geram mendengar cerita Selvi. Tapi aku yakin memang Selvi tidak bohong. Namun aku tak semudah itu melepas Selvi tanpa hukuman. "Trus kamu semalam tidur bersama Tuan All?" tanyaku menyelidik. Selvi tampak kaget. Ia memandangku, "Sebejat- bejat diriku aku tak akan mau merebut pacar temanku. Tanyakan sendiri pada Tuan All!" Aku diam, aku percaya ucapan Selvi kali ini tidak bohong. All tak mungkin melakukan hal sebejat itu. "Bagaimana kau percaya kan sama aku? Sekarang lepaskan tali ini. Dan untuk yang seterusnya aku akan bantu Kamu. Mengungkap pembunuhan orang tua kamu dan anak kamu. Tapi tolong lindungi keluargaku." Aku manggut-manggut. Aku segera mengambil ponselku dan membatalkan pihak kepolisian. Beruntung pihak Kepolisian sangat pro sama aku. Jadi dengan mudah membatalkan sesuatu. "Ya, akan aku lepas kamu!" Aku melangkah mendekati tempat duduk Selvi. "Jangan dilepas, dia pengkhianat yang bersekongkol dengan Bram!" Terdengar suara dari pintu ruang makan. Aku
Jarum jam di sudut ruangan kamarku menunjukkan angka lima. Bergegas kusibakkan selimutku. Dan aku turun dari ranjang dengan melangkah ke wastafel untuk menggosok gigi. Aku menunda untuk mandi. Kulangkahkan kakiku keluar kamar, yang pertama aku tuju kamar tamu dimana All hampir semalam dengan kelelahan tubuhku tak aku hiraukan. "Kam?!" sapaku melihat All sudah berpakaian rapi. Duduk di depan meja dengan secangkir teh. "Aku mau pulang Kinan, aku ada janji sama temen bisnis." Aku diam menatapnya. Dan berjalan menghampiri Alliandro. "Trus tentang Selvi?" "Tenang semalam aku dan Ardan sudah mengintrograsinya. Nanti tinggal menyuruh dia pulang. Kau ingin tau rekamannya?"All menyodorkan sebuah benda kecil berbentuk kotak panjang. "Jangan di putar sekarang. Nanti saja setelah Selvi pulang. Biar dia tak curigai." Aku mengangguk. Mengantarkan Al sampai ke halaman rumah. "All bukanlah kamar yang di pakai Selvi aku kunci semalam."
Aku mengernyitkan dahiku saat menyebut dirinya Selvi. Aku mengingat ingat sepertinya aku pernah dengar suara wanita yang ada di depanku. Tapi siapa aku belum menemukan."Saya ke sini mau gabung dengan bisnis Nyonya yang ada di Jogjakarta. Kebetulan saya dulu juga kiprah di model saya banyak menelorkan murid yang sudah sukses." ucap Selvi dengan tersenyum."Sebentar, saya belum bisa menerima dan juga belum menolak. Sebab akhir-akhir ini saya di sibukkan dengan urusan bisnis lainnya." ungkapku cukup waspada. Aku takut ini sebuah jebakan dari Bram menyuruh wanita lain.Selvi manggut-manggut. Bagaimana tentang kasus Nyonya Citra apakah sudah kelar?" Aku sedikit agak kaget, entah tiba-tiba aku tertarik dengan pertanyaan Selvi. "Entahlah. Aku sudah berusaha untuk mencari siapa dalang di balik semua itu. Tapi sedikit banyak sudah mencapai titik terang. Satu persatu orang yang di ajak kerjasama oleh pelaku sudah mengaku semua!" M