Share

Bab 3

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2023-04-25 13:56:57

“Mela, Bapak besarkan kamu dari kecil, berharap suatu hari nanti kamu bisa menjadi kebanggaan keluarga! Namun apa? Tidak ada hal baik yang bisa kamu berikan pada Bapak yang telah berjasa membesarkanmu ini!

Bahkan menuruti permintaan kecil Bapak saja kamu tidak mau! Bapak kecewa punya anak seperti kamu, Mela!

Setidaknya lihat Mbakmu---Miranda, hidupnya mapan dan terpandang. Punya suami pekerja keras dan sudah karyawan. Sudah punya rumah. Tiap bulan bisa ngasih sama ibu dan Bapak! Lha kamu?

Apa yang sudah kamu berikan pada Ibu dan Bapak? Selama dua puluh empat tahun kami besarkan! Gak ada timbal baliknya sama sekali! Bisanya hanya buat malu dan buat Bapak kecewa!” ujarnya lagi.

Aku semakin erat memeluk Alika. Ingin aku berlari ke kamar dan menangis sepuas-puasnya. Setiap ucapan Bapak terasa pedih mengiris. Mungkin jika Ibu mengatakan dia bukan Bapak kandungku, maka aku akan percaya. Sejak kecil, perlakuannya sangat berbeda padaku dengan perlakuannya pada Mbak Miranda.

Aku menguatkan hati. Kututup kuping Alika meski dia terus menggeleng-geleng kepalanya karena tak nyaman. Bagaimanapum aku harus tetap di sini mendampingi Mas Yasa. Dia tidak mungkin berkutik menghadapi Bapak sendirian di sini.

“Maafin Mela kalau sudah mengecewakan Bapak! Maafin Mela yang baru mampu menumpang dan selalu menyusahkan Bapak! Maafkan Mela kalau tidak sebaik Mbak Miranda! Maafkan Mela kalau sampai saat ini masih membuat Bapak malu!” ucapku dengan gemetar. Air mata sudah deras mengalir membasahi pipi.

“Iya, kamu itu keras kepala, Mela! Cuma mengabulkan permintaan kecil Bapak saja tidak bisa! Apa hebatnya sih suami kamu yang pengangguran itu, hah?

Sadar Mela! Sadar! Hidup itu tidak akan kenyang hanya dengan makan cinta! Lihat anak kamu, makin besar makin butuh biaya! Apa kamu kira hanya dengan ngendon di kamar, uang itu bisa datang sendirinya?! Gak akan, gak ada dalam sejarah tujuh keturunan dari leluhur Bapak!” ujarnya dengan nada tinggi beberapa oktaf, entahlah.

“Pak, tolong jangan terus memojokkan Mela! Semua itu masalahnya ada pada saya! Saya sudah jelaskan ke Bapak kan?

Saya di kamar bukan hanya main-main dan istirahat! Saya sedang membangun jaringan pasif income dari konten di dunia digital! Suatu saat nanti saya yakin bisa membahagiakan Mela dan memenuhi semua kebutuhan finansialnya!” ujar Mas Yasa menjelaskan untuk ke sekian kalinya.

“Syukur kalau kamu sadar jika semua masalah itu ada di kamu! Dari dulu jawabannya sama! Sok pinter lah pake bahasa-bahasa kekinian!

Kalau malas, ya, malas saja! Jangan banyak alasan! Bapak sudah gak percaya lagi sama omong kosong kamu, Yasa!” ujar Bapak sambil melengos membuang muka.

Aku memejamkan mata. Menekan rasa sakit yang semakin menjalar ke dada.

“Saya tidak pernah menjanjikan omong kosong! Ini sms banking, saya, Pak! Bapak lihat sudah mulai ada pemasukan meski belum stabil dan besarannya belum seberapa! Tapi ini sudah bukti kalau diamnya saya di rumah itu bukan tanpa alasan!” Mas Yasa mengambil gawainya dan menunjukkan sms banking pada Bapak.

“Ck! Kamu pikir Bapak bodoh! Itu bisa saja teman kamu disuruh sms! Cuma nulis kayak gitu semua orang juga bisa! Alasan kamu saja itu. Kamu sengaja minta temanku kamu sms buat bodoh-bodohi si Mela!” ujarnya tetap tidak percaya.

“Lalu apa yang harus saya buktikan agar Bapak percaya?” tanya Mas Yasa masih dengan nada datar.

“Kamu pergi dari rumah ini! Jangan pernah kembali sebelum kamu punya rumah dan pekerjaan tetap yang bisa mencukupi kehidupan anak saya! Sekarang! Pergi! Buktikan omong kosongmu selama ini!” bentak Bapak.

Aku sampai terperanjat mendengar kalimatnya. Mas Yasa mengepalkan tangannya. Aku tahu, harga dirinya sebagai seorang lelaki pasti terluka.

“Bapak, Bapak jangan keterlaluan sama Mas Yasa!” pekikku tak tahan.

“Diam!” bentaknya kali ini padaku.

“Ingat, Yasa! Kalau kamu memang tidak bisa membuktikan bualanmu itu! Saya minta kamu tidak usah kembali dan ceraikan saja si Mela! Saya akan jodohkan dengan calon mantu pilihan saya! Sekarang tinggalkan rumah ini!” hardiknya lagi.

“Baik kalau itu mau Bapak! Saya berjanji akan secepatnya menjemput Mela kembali dengan mobil terbaik yang akan saya beli!” ucap Mas Yasa dengan suara gemetar.

Bapak malah tertawa. Lalu tersenyum miring mendengar perkataan Mas Yasa.

“Mel, Mela! Suami kamu itu tukang ngimpi! Kesambet hidupnya kebanyakan tidur soalnya!” ujar Bapak sambil menggeleng-geleng kepala.

“Dek, Mas pergi dulu! Secepatnya Mas akan kembali untuk jemput kamu dan Alika!” ucapnya.

“Enggak, Mas! Aku ikut!” Aku menarik lengannya.

“Hal itu Mas kembalikan ke kamu, Dek! Mas siap-siap dulu!” ujarnya sambil mengayun langkah cepat menuju kamar kami di belakang.

“Bapak gak punya hati!” pekikku sambil menangis. Aku langsung masuk ke dalam hendak menyusul Mas Yasa. Lebih baik aku pergi dari pada di sini tanpa suamiku.

Mas Yasa sudah memasukan peralatan digitalnya pada tas gendong. Ada beberapa pakaian yang dia masukan juga. Tidak banyak hanya beberapa helai saja.

“Mas, kamu mau pergi ke mana? Aku ikut, Mas!” Aku memegang tangannya.

“Kamu yakin? Mas akan coba pulang dulu ke Surabaya, Dek! Mungkin benar, kalau nunggu dari konten ini menghasilkan akan terlalu lama! Mas mau pinjam uang modal pada keluarga, Mas! Kamu beneran mau ikut, tapi harus siap menghadapi sikap keluarga Mas yang memang belum merestui pernikahan kita, Dek! Mas cuma takut kamu gak kuat!” lirihnya.

Aku terdiam. Dilemma datang. Sudah dua tahun menikah, bahkan aku belum mengenal seperti apa rupa mertuaku dan saudara-saudara Mas Yasa. Pilihan yang Mas Yasa ambil telah benar-benar membuatnya menjadi orang terbuang juga dari keluarganya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 37

    Bapak dari Mela sudah kembali dibawa pulang, keadaannya masih belum ada perubahan. Penyakit stroke bukan hal yang bisa cepat diobati. Butuh waktu, butuh biaya dan butuh kesabaran. Utang Miranda pada Mela dan Yasa sudah dilunasi, kini dia membeli satu buah rumah kecil dari bambu untuknya tinggal. Tidak jauh dari rumah orang tuanya hingga bisa bolak balik juga menjenguk kondisi Bapaknya bergantian dengan Mela.Kini, Miranda mau tidak mau harus berpikir untuk menapkahi kehidupannya karena Hasim masih mendekam dalam penjara. Jika dulu dia selalu mencibir Mela dan merendahkannya karena suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap dan status Mela harus kerja keras menjual sayuran, kini berbalik. Miranda kini berjualan sayur keliling dengan mengambil sayur-mayur dari kebun Mela, nanti setiap mengambil yang baru dia akan setor uang penjualan tadi pagi.Seminggu dua kali, Yasa mengantar mertuanya ke rumah sakit untuk berobat, bagaimanapun ini sudah jadi tanggung jawab dia untuk berbakti, seburuk

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 36

    Lelaki sepuh itu segera dibopong oleh Yasa---menantu yang selama ini dinistakannya. Menantu yang selalu dihina karena tidak memiliki pekerjaan tetap, menantu yang bahkan diusir dan tidak dianggap.Ada tetesan bening mengalir di sudut netra lelaki tua itu. Dia mencoba bicara tetapi tidak jelas.Di dalam mobil, Mela memangku kepala sang Bapak sambil tak henti berdoa. Dipijatnya lembut tangan keriput yang tiba-tiba menjadi kaku itu. “Bapak, sabar, ya … sebentar lagi kita akan tiba di rumah sakit,” lirih Mela sambil menghapus air mata. Anak mana yang tega melihat orang tuanya terkapar seperti itu. Bu Tati---sang istri duduk dan memijat bagian kaki. Beruntung Alika mau duduk sendiri di kursi depan. Dia sesekali nemplok pada sandaran kursi dan melihat semua yang terjadi di belakang.“Kakek kok bobok, Mah?” tanyanya sambil menatap Mela. “Iya, Sayang … Kakek lagi sakit,” jawab Mela singkat. “Nenek sama Mama kenapa nangis?” tanya Alika lagi.“Mama lagi berdoa biar Allah sembuhkan kakek,” j

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 35

    “Mbak, bolehkah aku berada di dekat suamimu sebentar, saja!” batin Yesa merangkai kata. Namun gegas dia menepisnya. Tidak mungkin berkata demikian karena pasti akan menyakiti Mela.“Aku tidak akan merebut Mas Abi, Mbak! Aku hanya ingin tinggal satu atap dengan dia.” Lagi-lagi batinnya menepisnya. Meskipun perasaannya sudah terlanjur tumbuh tetapi logikanya masih berjalan. Yesa masih menggunakan rasa empatinya. Jika dia berada di posisi Mela, pasti akan sakit mendengarnya. Namun apakah jika Mela berada di posisinya akankah berpikir sama juga? “Kami pulang dulu, Bro!” Suara Ilham membuyarkan pikiran Yesa yang sedang kacau tak karuan. “Ya sudah hati-hati, salam buat keluarga di Surabaya,” ucap Yasa. “Oke, maen lah sono! Nyokap Lu pasti seneng jika bisa melihat cucu cantiknya,” ucap Ilham sambil mencubit gemas pipi Alika. “Iya, nanti pasti mereka akan gue ajak ke Surabaya, kok!” ucap Yasa datar. Bahkan dia pun belum tahu kapan. “Pulang dulu, ya, Mbak! Makasih sudah menampung adikku y

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 34

    “Aku harus sudah pulang, semuanya sudah selesai di sini … padahal aku enggan, ingin tinggal di sini lebih lama lagi!” gumam Yesa sambil membereskan pakaiannya. “Jika di Surabaya nanti, aku hanya bisa menatapnya lewat layar kaca, tetapi jika di sini setidaknya aku bisa sesekali bercengkrama dengannya meski aku hanya memposisikan diri sebagai adiknya agar mereka tidak curiga.Ah, andai waktu bisa berputar, dulu aku ikut saja dengannya merantau! Semenjak hari itu, bahkan aku belum pernah lagi merasakan jatuh cinta pada lelaki lain! Trauma itu menyisakkan sesuatu yang janggal dan ketika bertemu dengannya kembali hati ini terasa aman dan damai!” ucap Yesa sambil menatap pantulan wajahnya pada cermin. “Ye, kita makan siang dulu!” Suara Mela membuatnya menoleh. Perempuan itu tengah berdiri di depan kamarnya. “Iya, Mbak!” jawab Yesa datar. Sementara itu, Mela sudah kembali menghilang. Gadis itu masih meneruskan mengemasi pakaian. “Mas, Abi … maaf jika di hati ini terselip sesuatu yang sa

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 33

    Yasa sudah pulang dari acara manggungnya. Kini dia dan Ilham tengah mengusut tentang beberapa foto yang tersebar pada Instagram Yesa. Ternyata benar, jejaring sosial media Yesa dihacker orang yang tidak bertanggung jawab.Sementara itu, Yesa dan Mela tengah bersiap karena sebentar lagi mereka akan melaksanakan konferensi pers. Meskipun hanya lewat media youtube akan tetapi mereka tetap harus tampil maksimal. “Mbak Mela, aku ajarin cara make up saja, ya! Produk perawatan kulitnya dipakai tiap hari ‘kan?” selidik Yesa yang sudah rapi dengan gaya casualnya.“Dipake, Ye!” jawab Mela singkat. “Mbak Mela ke salon, gak? Kayaknya ini kulit wajahnya pada kering lagi? Emang gak maskeran?” Yesa memegang pipi Mela yang hendak dia polesi make up. “Mana sempat Mbak ke salon, Ye! Kan kalian pergi, gak ada yang jagain Alika!” ucap Mela sejujurnya. “Hadeuh dasar ibu-ibu ngeyelan, suruh rawat diri saja males kayak gitu! Nih, Mbak … Mas Abi itu setiap hari banyak bertemu dengan wanita-wanita cantik,

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 32

    “Kita lihat siapa yang akan menyesal, Mbak?” gumamku dalam dada. Aku bergegas ke luar meninggalkannya yang berada di dapur. Toh niatku ke sini untuk berkunjung pada Ibu, bukan untuk bertengkar dengan Mbak Miranda. Sementara itu, dari dalam rumah tampak Mbak Miranda membawa sayuran yang kubawa untuk ibu dan dua ekor ikan mentah dalam plastiknya. Rupanya tidak ada yang matang, maka yang mentah pun jadi. Setidaknya, kini dia mau membawa bahan masakan mentah meskipun sama-sama mengeruk dari sini juga. Tanpa basa-basi, apalagi ucapan terima kasih atas bahan makanan yang kubawa tadi. Dia tergesa berlalu meninggalkan kami. Bu Sari dan Bu Wati saling melempar pandang lalu melirik ke arahku.“Sabar, ya, Mbak Mela … sudah suaminya seperti itu, saudara satu-satunya seperti ini,” ujar Bu Sari. “Iya, ditambah Bapak Mbak Mela juga sejak dulu sudah seperti itu,” tambah Bu Wati.“Mungkin kalau Bapaknya Mbak Mela, sih karena udah tua makanya jadi pemarah. Mbak Mela sabarin saja, ya!” titah Bu Sari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status