Share

Arti Perawan?

SUCI TAK PERAWAN 2

Aku terus memacu kendaraan roda empat milikku menuju ke rumah, tak peduli apa yang akan terjadi jika kedua orang tuaku tahu aku pulang di malam pertamaku di rumah mertua. Akan kukatakan yang sejujurnya alasanku seperti Cean mengatakan semua dengan enteng pada papanya.

Saat aku sampai di rumah, Papa dan Mama belum tidur. Mungkin mereka masih melakukan persiapan untuk acara resepsi esok hari di gedung yang sudah kami pesan. Bahkan aku tidak memikirkan semua itu karena sudah dikuasai rasa marah dan kecewa.

"Loh, ngapain pulang? Mana Kinanti?" tanya Mama saat melihatku melintas hendak ke kamarku yang berada di lantai dua.

"Di rumahnya," jawabku sekenanya.

"Di rumahnya, bagaimana maksudnya?" Mama mengejar jawaban.

"Aku meninggalkannya di rumahnya dan tidak ingin meneruskan pernikahan ini."

"Ngomong apa kamu, Kai. Kau pikir pernikahan ini main-main!" seru Papa tak suka.

"Mereka yang mempermainkanku," balasku.

"Ngomong yang jelas," bentak Papa.

Aku membuang nafas kasar, kemudian mengacak rambut. Dengan malas kujelaskan semua pada mereka, tentang apa yang terjadi tadi di rumah Cean. Tentang semuanya, tanpa aku tutupi lagi. Percuma mereka berdua harus tahu juga.

"Mama mengenal Kinan dengan baik, Kai. Tak mungkin dia melakukan hal-hal di luar batas. Kamu memang tidak mengenalnya dengan dekat karena banyak menghabiskan waktu belajar di luar kota. Tapi kami tahu bagaimana dia tumbuh besar di bawah pengawasan orang tuanya," tutur Mama panjang lebar.

"Anak yang pendiam dan diawasi orang tuanya banyak yang tau-tau hamil, Ma. Masih untung dia tidak hamil makanya bisa menipu orang." Aku menyangkal perkataan Mama.

"Perawan atau tidak, tak bisa hanya berdasarkan darah, Kai. Kamu ini berpendidikan, kan. Kenapa pikiranmu kolot sekali." Kali ini Papa yang berbicara.

"Lalu dulu Mama tidak berdarah juga?"

"Kai!" seru Papa tak suka.

"Duduk kau di sana, aku akan menelpon mertuamu," perintah Papa sambil menunjuk sofa yang berada di ruang tamu.

"Tidak perlu, Pa. Papa Cean sudah mengatakan tidak akan mengijinkanku dekat dengan putrinya kalau aku pergi dari rumah itu. Tak perlu membicarakan apapun. Biar malu mereka sendiri yang menanggungnya." Aku berlalu begitu menyelesaikan kalimatku.

Tak peduli teriakan papa di bawah sana. Aku sudah cukup dewasa dan mandiri untuk menentukan jalan hidupku. Aku tidak mau hidup dengan wanita yang sudah membohongiku. Seumur hidup itu terlalu lama untuk dihabiskan dengan wanita pendusta.

***

"Pengantin lelaki kenapa tidak ada di pelaminan?" Adrian bertanya sambil menepuk pundakku dengan keras.

Ketiga laki-laki itu menerobos restoranku yang sudah tutup. Aku memilih pergi ke tempat ini daripada mendengarkan ocehan Papa dan Mama. Kedua orang tuaku tidak diterima dengan baik saat hendak berbicara dengan papa Cean lewat telepon, yang aku dengar, mereka tak butuh mempelai laki-laki untuk melangsungkan acara resepsi yang mau tidak mau tetap harus dilakukan.

Restoran ini adalah usaha yang aku rintis setelah lulus dengan pendidikanku hingga menjadi chef profesional. Di tempat ini, aku memiliki ruang dan kamar pribadi, bahkan dapur pribadi untuk bereksperimen dengan menu baru.

Ketiga temanku, Adrian, Nicholas, dan juga Putra. Dari kami berempat, aku yang belum menikah, dan dari mereka inilah aku terobsesi dengan darah perawan itu. Adrian dan Putra mengatakan jika wanita yang pertama kali melakukan itu akan mengalami sedikit pendarahan karena robeknya selaput dara. Tapi tidak dengan Nicholas, dia sama sekali tidak pernah mengatakan apapun yang berbau rajang. Dia lebih memilih diam jika kami membahas masalah itu.

"Kenapa? Bukannya kamu sangat mencintai Kinan? Sampai kau buat panggilan sayang untuknya yang hanya boleh kau pakai sendiri, padahal itu namanya juga. Kenapa kamu rela dia di atas pelaminan dengan pria lain padahal di undangan tertulis jelas nama kalian berdua." Putra memberondongku dengan banyak pertanyaan.

Ada pria lain di pelaminan bersama Cean, siapa? Hal itu tentu saja membuatku penasaran. Kupikir resepsi itu akan berlangsung tanpa mempelai laki-laki.

"Jangan tanya apapun padaku sekarang ini, aku pusing!" Aku pindah ke sini untuk menghindari pertanyaan orang di rumah, jika kalian banyak bertanya lebih baik kalian pergi saja." Kuusir teman-temanku yang kurasa mulai usil urusan pribadiku ini. Padahal biasanya kami terbiasa berbicara hal pribadi, tapi tidak kali ini. Suasana hatiku sedang tidak baik-baik saja.

Mereka tidak tahu jika aku yang ada di acara ijab kabul karena mereka hanya diundang saat resepsi saja. Mereka juga tidak tahu kalau sebenarnya aku sudah menikah dengan Cean dan sudah melakukan hubungan suami istri dengannya.

"Kamu tak butuh kami untuk menghiburmu?" tanya Adrian.

"Tidak!"

Putra menghela nafas panjang. "Lebih baik kita pulang saja, sepertinya Kairo sedang tidak ingin diganggu.

Adrian dan putra berlalu, pergi dari tempat ini. Tinggalkan aku dan Nicholas yang sejak tadi hanya diam tak menanyakan apapun padaku. Dia yang paling tak banyak bicara, tapi kadang berbicara urusan pribadi dengannya jauh lebih nyaman.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Nicholas membuka percakapan. "Tapi jika tidak ingin cerita ya gak usah cerita. Mungkin lain waktu," sambungnya.

Perkataannya yang seperti ini yang membuatku tak sungkan bercerita. Dia tak pernah memaksa dan terkesan memberi waktu orang untuk berpikir dulu.

"Sebenarnya aku sudah menikah dengan Cean, akulah yang menjadi mempelai laki-laki saat acara ijab kabul." Akhirnya aku mulai bercerita.

"Lalu?"

"Aku meninggalkannya karena dia tidak perawan lagi."

"Bagaimana kamu menyimpulkan seperti itu, Kai?"

"Dia sendiri yang bilang, jika tolok ukur keperawanan adalah selaput dara dan berdarah di malam pertama maka dia tidak memilikinya. Tapi dia bilang masih suci, perkataan macam apa itu."

"Ya ampun, Kai. Tidak ada yang salah dengan perkataannya. Jika menurutmu perawan adalah noda darah dan selaput dara, maka tidak semua wanita memilikinya. Ada wanita yang kehilangan selaput daranya saat kecelakaan, jatuh dari sepeda dan bagian intimnya terbentur dengan sangat keras misalnya. Atau wanita yang selaput daranya elastis hingga tidak robek saat melakukan hubungan pertama kali. Ada juga wanita yang terlahir tanpa selaput dara," terang Nicholas panjang lebar.

Perkataan Nicholas tentu saja membuatku shock seketika. Dia seorang dokter, tentu saja perkataannya bisa dipertanggung jawabkan. Selama ini dia tidak pernah menyela saat aku, Adrian dan Putra membahas hal-hal seperti ini. Aku pun tak berminat untuk mencari tahu tentang hal-hal seperti itu. Bahkan saat aku dengan percaya diri mengatakan pada Putra dan Adrian akan mengabadikan noda darah yang mungkin tercetak di sprei, Nicholas hanya diam saja, tapi sekarang dengan lancarnya dia menjelaskan segala. Lalu aku harus bagaimana sekarang.

🍁 🍁 🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status