Share

SUCI TAK PERAWAN
SUCI TAK PERAWAN
Penulis: Isna Arini

Tragedi Malam Pertama

SUCI TAK PERAWAN

"Sayang, ayolah. Aku udah tidak tahan lagi, nih." Aku berkata sambil memeluk tubuhnya yang mengeluarkan aroma wangi setelah dia selesai mandi.

Oceana Safina Kinanti, itu namanya. Wanita itu baru saja kunikahi tadi pagi, yang kutunggu untuk bisa kunikmati sejak satu tahun yang lalu. Awalnya kami dijodohkan dalam sebuah pertunangan satu tahun yang lalu, siapa sangka hanya butuh waktu dua bulan aku sudah jatuh cinta padanya.

Jika ada beberapa orang yang benci dengan perjodohan, maka tidak dengan diriku. Meskipun awalnya aku tidak suka, tapi seiring berjalannya waktu aku mulai menyukai gadis itu. Kelembutannya, sikap manis dan perhatiannya yang kunikmati setiap hari dalam kebersamaan kami di restoran yang sama, membuat benih-benih cinta tumbuh dengan sendirinya. Cean-begitu aku menyebut namanya-dijadikan tunanganku sekaligus asistenku.

"Jangan sekarang, Kak. Besok setelah resepsi saja bagaimana?" Cean menolak ajakanku.

"Katanya setelah melakukan itu, akan ada rasa sakit. Nanti kalau aku tidak bisa berdiri dengan benar saat acara bagaimana?" Wanita itu menjelaskan alasan penolakannya.

Hari ini memang pernikahan kami dan acara keluarga inti, lalu besok barulah acara resepsi penikahan yang akan di hadiri oleh semua kenalan dan collega kedua keluarga.

Aku semakin gemas mendapat penolakan darinya, sekian lama menunggu lalu sekarang harus menunggu lagi. Cean tidak pernah mau kusentuh lebih jauh meskipun kami sudah resmi bertunangan, walaupun segala bujuk rayu sudah kulancarkan. Dia benar-benar kukuh menjaga dirinya hingga kami benar-benar diikat dalam penikahan.

"Aku sudah menunggu satu tahun, kau suruh aku menunggu lagi." Aku berusaha membujuknya.

"Sehari lagi, ya." Cean memutar tubuhnya menghadap padaku dan meyakinkan diriku dengan kedua matanya yang berbinar itu.

"Nyicipin aja dikit, aku gak bakalan melakukan lebih jauh, janji." Siapa yang bisa menunggu lagi jika sudah berdua seperti ini.

"Bener?"

"Iya beneran." Aku memastikan.

Segera kubawa wanitaku ke pembaringan, dan akhirnya terjadilah apa yang aku inginkan. Siapa yang bisa menahan diri jika sudah halal dinikmati, lagipula Cean pun tidak menolak juga pada akhirnya. Terdorong rasa penasaran dan keinginan, membuat kami menyatu dengan sempurna.

***

"Kamu nyari apa sih, Kak?" tanya Cean dengan penasaran.

Setelah beristirahat sejenak, aku memang sedang mencari sesuatu di atas sprei berwarna biru langit yang melapisi tempat tidur kami. Bahkan aku mencarinya di bekas tisu yang tadi aku pakai untuk membersihkan diri.

"Darah," jawabku dengan gusar.

Tentu saja aku mulai gusar setelah berusaha mencarinya tapi tidak menemukan noda itu.

"Darah apa?" tanya Cean, seperti tak faham dengan maksudku.

"Tentu saja darah keperawananmu."

Wanita itu hanya diam, tidak membalas lagi ucapanku. Membuatku langsung menatap tajam padanya, jangan-jangan dia sudah pernah melakukan hal itu sebelum kami menikah. Jangan-jangan penolakannya selama ini bukan karena dia menjaga diri, tapi karena takut ketahuan tidak perawan sebelum pernikahan kami terjadi. Meskipun sudah menikah, aku tetap akan meninggalkannya jika seperti ini.

"Memangnya perawan menurutmu itu apa, Kak?" tanya Cean seakan tidak mengerti dan tanpa rasa bersalah.

"Perawan itu wanita yang masih memiliki selaput dara, yang berdarah saat berhubungan pertama kali," sahutku dengan nada mulai emosi.

"Jika itu yang kamu inginkan, maka tidak akan kau dapatkan. Tapi percayalah, aku masih suci, Kak," ucap Cean dengan percaya diri.

Aku tertawa mendengar ucapannya, bagaimana seorang wanita yang tidak perawan mengatakan dirinya suci. Lucu sekali. "Kamu pikir, kau itu Maryam. Yang suci meskipun melahirkan seorang anak," ejekku.

"Aku memang belum pernah ...."

"Cukup! Tidak usah banyak bicara untuk membela diri. Muak aku mendengarnya." Aku memotong perkataannya. Lalu beranjak pergi dari kamar ini. Menyesal aku menikah dengannya.

"Mau ke mana, Kak?"

"Pulang!"

"Tapi ...."

Aku tak peduli dengan ocehannya, tak peduli juga dengan apa yang akan terjadi besok. Aku hanya ingin meninggalkan wanita pendusta itu, sok-sokan tak mau diapa-apakan tapi ternyata ....

"Ada apa ini?" tanya Papa yang melihatku keluar dari kamar putrinya dengan kemarahan.

Aku yakin perdebatan kami barusan didengar olehnya. Hari memang belum beranjak malam, baru pukul delapan saat tadi aku merayu Cean.

"Tanya saja pada putrimu sendiri, Pa."

Tak lama berselang, Cean keluar dari kamarnya.

"Apa yang terjadi, Kinan?" tanya papa mertua. Memang hanya aku yang memanggil nama wanita itu dengan nama depannya.

"Kak Kai bilang aku sudah tidak perawan karena tidak berdarah," jawab Cean tanpa rasa malu.

Apa-apa wanita itu, bisa-bisanya bicara blak-blakan seperti itu pada orang tuanya. Memangnya dia tidak takut orang tuanya marah padanya, atau sebenarnya mereka juga sudah tahu dan bersekongkol menjebakku.

"Apa-apaan kamu, Kairo!" teriak Papa dengan suara menggelegar. "Kamu ini berpendidikan gak sih, hidup di jaman apa. Kau maknai keperawanan hanya dengan setitik darah," sambungnya, masih dengan nada marah luar biasanya.

Harusnya aku yang semarah itu, kenapa malah dia.

"Memangnya harus kumaknai dengan apa, Pa? Apa seharusnya kubawa tes dulu putrimu sebelum kunikahi?"

"Kai, tega sekali kamu berkata-kata seperti itu." Entah dari mana datangnya, kali ini pria yang menjadi kakak angkat Cean ikutan marah padaku.

"Kita bisa bicara baik-baik, Kairo!" Kali ini mama yang baru datang ikutan bicara juga, tapi dengan nada meminta. Bukan teriak-teriak dan marah seperti kedua pria itu.

"Aku jadi yakin, kalian semua yang ada di rumah ini sudah tahu segalanya dan menyembunyikan dariku. Kalian sengaja menikahkan aku dengan anak perempuan kalian yang sudah tidak perawan lagi. Lebih baik aku pergi dari sini, dasar keluarga pendusta!" Aku berlalu menuju ke pintu utama yang sudah tidak jauh lagi dari tempatku berada.

"Selangkah kaki saja kau meninggalkan rumah ini, jangan harap kembali lagi ke sini dan memiliki putriku," ancam Papa.

Ancaman yang bagiku angin lalu, harusnya aku yang marah dan mengancam mereka bukan, sebaliknya. Aku tidak akan menyesali keluar dari rumah ini dan tak akan sudi kembali pada putrinya.

Aku segera membuka pintu dan pergi dari rumah itu, tanpa peduli pada gertakan semua orang yang berada di rumah itu.

🍁 🍁🍁

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Roihatul
akhirnya tayang juga d GN
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status