Share

Pendamping Pengganti

SUCI TAK PERAWAN 5

"Tersenyumlah," perintah Kak Alan sambil menarik sudut bibirku dengan jempolnya.

Pria dengan setelan jas berwarna mocca itu tersenyum padaku. Kami sedang berada di ruang ganti di gedung penikahan yang kami sewa. Harusnya setelan itu berada di tubuh suamiku, bukan kakakku. Tapi semua hancur berantakan hanya karena darah perawan.

"Bagaimana aku bisa tersenyum?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca.

"Gampang, tinggal menarik sudut bibir ini," jawab Kak Alan.

Bagaimana aku bisa tersenyum jika hatiku terluka.

"Ayolah, setidaknya lakukan untukku. Apa yang akan dipikirkan para tamu jika melihat pengantin wanita mewek di pelaminan. Pasti mereka pikir pengantin laki-laki yang memaksa menikahinya, atau orang tuanya yang memaksa. Atau pikiran-pikiran buruk lainnya. Kasian aku, kan." Kak Alan berkata dengan wajah memelas, seakan dia akan jadi korbannya.

Kupukul lengannya dengan keras, dalam situasi seperti ini kenapa dia masih bercanda. Bagaimana pula dengan nasibnya setelah menggantikan Kak Kairo hanya di pelaminan.

"Jangan menangis untuk orang yang tak pantas ditangisi," ucapnya sambil mengusap kepalaku.

"Ayo." Kak Alan mengangkat lengannya ke samping badan, memintaku untuk meletakkan tanganku di lengan itu.

Kami akan langsung berjalan ke pelaminan, acara adat yang tadinya akan menjadi salah satu acara, diskip pada akhirnya. Tidak ada prosesi adat yang akan kami jalani. Saat ini, aku dan Kak Alan hanya akan menjadi pajangan di pelaminan untuk menyambut tamu yang sudah jauh-jauh hari kami undang.

Benar kata Papa, ada beberapa orang yang kasak kusuk melihat siapa yang ada di sampingku. Tapi semua hanya berbisik-bisik di belakang tidak ada satupun yang berani bertanya langsung. Kami hanya perlu menjelaskan nanti pada keluarga yang kemarin sempat datang di acara ijab kabul.

Acara berjalan lancar, aku bisa pura-pura tersenyum bahagia sepanjang acara. Meskipun hatiku terluka, tapi cukup aku saja yang merasakannya. Tidak dengan kedua orang tuaku.

Mbak Vina juga tidak datang di acara ini, mungkin Kak Alan sudah memberitahu wanita itu tadi malam. Entah apa yang akan terjadi pada hari-hariku selanjutnya, aku belum bisa memikirkan sama sekali.

****

Satu bulan sudah berlalu dari sejak kejadian itu. Sejak saat itu hingga sekarang, aku hampir tak pernah sama sekali keluar dari rumah, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama Mama. Papa dan Mama juga belum ada yang membicarakan tentang bagaimana nasib pernikahanku ke depannya. Mungkin mereka masih tidak ingin membicarakan hal itu saat ini.

Satu tahun kulewati waktu bersama Kak Kai, hingga membuatku lupa ke mana aku harus pergi setelah dia meninggalkanku. Selama ini kami banyak menghabiskan waktu di restorannya. Kak Kai yang menjadi chef utama di restoran tersebut dan aku menjadi asistennya membuat kami lebih banyak menghabiskan waktu di restoran.

Aku yang mempunyai keahlian di bidang cake and pastry, kadang kala membuat dessert dan bereksperimen di dapur pribadi milik Kak Kak Kai yang ada di restoran tersebut. Kami bercita-cita, setelah menikah akan membuat restoran kami semakin maju, suamiku yang memasak menu utama dan aku yang akan membuat dessertnya. Cita-cita yang sungguh begitu indah saat dibayangkan. Tapi kini semuanya hancur begitu saja hanya karena satu kata, perawan.

Sejak kejadian malam itu, aku pun tak tahu bagaimana dengan kehidupan Kak Kai. Apa dia peduli padaku, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, lalu berkeinginan untuk kembali. Atau bahkan dia tak peduli, karena tak pernah sekalipun dia datang ke rumah ini.

Papa juga menolak kedatangan kedua orang tuanya, apa mungkin Kak Kai pernah ke sini tapi tak mendapatkan izin dari Papa juga. Ah entahlah ... aku tak tahu karena sudah memblokir nomor dan juga semua akun media sosialnya.

"Ayo jalan-jalan, jangan mengeram terus di kamar, nanti menetas loh telurnya," ajak Kak Alan yang barusan masuk ke kamarku.

Hari ini adalah hari libur, saat Kak Alan tidak bekerja, dia akan selalu datang ke sini hanya untuk bertemu denganku. Sejak kejadian hancurnya pernikahanku itu, Kak Alan sering datang ke rumah ini setiap hari libur. Jika dulu dia akan datang sebulan sekali maka saat ini hampir tiap weekend dia ke sini untuk menemaniku.

"Malas," jawabku sambil kembali merebahkan diri.

Beberapa hari ini, tubuhku terasa tak nyaman. Entahlah, seperti aku masuk angin karena makan tidak teratur.

"Ayo kita cari tempat buat membuka outlet, yuk. Kamu pandai membuat cake. Orang sekarang suka dengan berbagai hal yang berbau makanan kamu bisa membuat dessert dan menjualnya di sebuah outlet."

Aku mencerna perkataan Kak Alan, sepertinya aku memang harus mencari kesibukan agar tidak terus larut dalam kesedihan. Aku harus bangkit, jika dulu ingin berkolaborasi dengan suamiku, maka sekarang aku bisa melakukannya sendiri tanpa dirinya.

Benar kata Kak Alan, terjadi pergeseran gaya hidup orang sekarang. Anak muda tidak lagi tertarik membeli sesuatu dengan bentuk fisik untuk dipamerkan, namun lebih kepada kegiatan yang memberikan experience lebih, seperti traveling hingga menemukan tempat makan baru. Orang lebih suka untuk sosialisasi sambil makan, memfoto kebersamaan mereka hingga berbagai makanan yang sedang viral untuk dibagikan ke media sosial.

"Ayok!" ajak Kak Alan lagi.

"Kakak keluar dulu, aku akan ganti baju," jawabku pada akhirnya.

***

Mobil yang dikendarai Kak Alan berjalan pelan, seakan pria itu ingin agar aku menikmati suasana sepanjang perjalanan yang kami lewati. Tidak ada obrolan di antara kami, aku duduk bersandar sejak tadi. Aroma mobil ini membuatku mual, entah sejak kapan aku tidak menyukainya.

"Kenapa? Kamu sakit?" tanya Kak Alan sambil menatap khawatir padaku.

"Nggak tau, aku mual mencium aroma mobil ini," sahutku dengan lemah.

"Perasaan tidak ada yang berubah dari mobil ini. Masa gara-gara gak naik mobil sebulan kamu mabok perjalanan," seloroh Kak Alan.

"Kak, minggir dulu. Aku pengen muntah."

Begitu Kak Alan menepikan mobilnya, aku langsung keluar dan memuntahkan isi perutku yang tak seberapa. Beberapa hari ini aku memang tak nafsu makan hingga Mama sering kali mengomeliku. Perutku rasanya tak nyaman dan aku tak berselera makan, mungkin sekarang aku masuk angin karena hari ini pun aku hanya memakan sepotong roti tadi pagi.

"Lebih baik kita ke dokter, aku khawatir kamu kenapa-kenapa," ucap Kak Alan yang sudah berdiri di sampingku.

"Aku hanya masuk angin, Kak."

"Nggak peduli sakit apa. Mau hanya masuk angin sekalipun, kamu harus ke dokter sekarang!"

Kak Alan langsung mengajak kembali ke mobil setelah aku puas muntah-muntah. Pria itu berkendara dengan cepat, sambil matanya mengawasi sekeliling. Mencari klinik atau tempat berobat lainnya yang mungkin ada di pinggir jalan yang sedang kami lewati saat ini.

Kak Alan yang selama sebulan ini kembali selalu bersama dan menjagaku, hal yang harusnya dilakukan oleh orang yang sudah menjadi suamiku. Tapi apa daya, pria sudah melarikan diri, apa dia masih bisa disebut suami?

🍁 🍁 🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status