Share

Robeknya Selaput Dara

SUCI TAK PERAWAN 4

"Jika bukan karena aku, hal seperti ini tak akan pernah terjadi." Kak Alan berkata sambil meremas rambutnya.

Laki-laki itu masih setia menemaniku dengan duduk di sisi ranjang tempat di mana aku meringkuk sambil menangis. Mama menenangkan Papa yang marah luar biasa. Bagaimana tidak marah saat anak gadis satu-satunya ditinggalkan begitu saja oleh pria yang baru saja menikahinya.

"Itu bukan salah, Kakak. Aku yang memaksa Kakak waktu itu."

"Kenapa tidak kau jelaskan semuanya pada Kairo, kalian sudah dekat selama satu tahun. Harusnya kamu jelaskan semuanya saat dia meragukanmu."

"Dia sudah sangat marah, Kak Kai tidak memberikan padaku kesempatan untuk berbicara dan keluar begitu saja dari kamar kami," terangku.

Semua ini tidak akan terjadi jika waktu itu tidak memaksa Kak Alan mengajariku naik sepeda. Saat itu, aku baru kelas satu Sekolah Menengah Pertama sedangkan Kak Alan kelas satu SMA. Dia bisa naik sepeda sejak aku masih kecil, namun aku tidak pernah diijinkan oleh Mama untuk belajar naik sepeda.

"Dibonceng sama Kakak sama saja," ucap Mama waktu itu.

Hingga suatu hari, diam-diam aku dan Kak Alan pergi ke tanam dan kupaksa dia mengajariku naik sepeda. Karena tekad yang sangat kuat, tidak butuh waktu lama aku sudah bisa naik tanpa dipegang lagi oleh kakak angkatku itu.

Aku langsung berkeliling sendirian dan Kak Alan hanya mengawasiku dari kejauhan. Aku begitu asyik mengendarai sepeda milik Kak Alan hingga tiba-tiba melintas di depanku seekor kucing liar. Aku yang kaget sampai lupa harus berbuat apa, hingga aku turun begitu saja dari sadel sepeda dengan maksud menghentikan laju sepeda tersebut.

Kemudian yang terjadi adalah sesuatu yang tidak pernah kubayangkan. Bagian intimku menghantam dengan keras besi sepeda itu. Aku berteriak kesakitan, menangis dan menjerit, hingga harus dibawa ke klinik terdekat oleh Kak Alan yang juga panik waktu itu.

Aku merasakan rasa sakitnya hingga berhari-hari, bahkan sempat keluar darah. Darah yang dicari oleh Kak Kai sudah hilang sejak aku mulai beranak dewasa.

Kupikir hal ini tidak akan menjadi masalah, makanya saat kami masih bertunangan aku tidak pernah mengatakan apapun padanya. Aku enggan membahas masalah sensitif, karena Kak Kai kadang kala berpikir untuk melakukan aktivitas ranjang. Siapa yang mengira jika pada akhirnya hal itu menjadi petaka bagiku.

"Aku harus menjelaskan pada Kairo sekarang, bagaimana dengan acara besok. Tak mungkin dibatalkan begitu saja, dan tidak mungkin juga kamu berada di pelaminan sendirian," ucap Kak Alan. Menarik kembali kesadaranku yang sempat berkelana ke masa lalu.

"Tidak perlu, Kak, percuma. Kalaupun pada akhirnya dia percaya, Papa tidak akan memaafkannya. Kamu dengar sendiri kan tadi apa yang Papa katakan. Papa sudah mengancamnya tapi dia tetap tak peduli."

Kak Alan membuang nafas kasar.

Lagipula, aku juga sudah kecewa padanya. Entah rasa apa yang tersisa di dalam hatiku untuknya sekarang ini. Kebersamaan kami yang penuh gelak tawa selama ini sepertinya musnah dalam waktu semalam.

Tok ... tok ... tok

Terdengar pintu kamarku diketuk. Mungkin Mama sudah bisa menenangkan Papa yang sempat murka dan kecewa.

"Kamu masih di sini, Alan?" tanya Mama. "Baguslah, kami bisa bicara langsung di sini," sambungannya.

Entah apa yang akan mereka bicarakan hingga membutuhkan kehadiran Kak Alan juga.

"Bangun dan hapus air matamu, jangan sampai esok terlihat kesedihan di matamu," ucap Papa yang masuk ke kamar bersama Mama.

"Bagaimana mungkin Kinan sendirian di pelaminan, Pa? Aku akan membujuk Kairo sekarang." Kak Alan masih menawarkan solusi yang sama.

"Tidak perlu, bahkan jika dia dan orang tuanya yang meminta maaf sekalipun aku tidak akan pernah memaafkan pria yang berpikir sempit seperti dia. Pendidikannya saja tinggi, tapi otak tidak pintar." Papa berbicara dengan nafas naik turun. Aku yakin Papa masih menahan emosi sekarang.

Benar dugaanku, Papa tidak akan pernah memaafkan pria itu. Padahal kedua orang tua kami cukup dekat selama ini.

"Lalu bagiamana dengan Kinan?" tanya Kak Alan lagi.

Meskipun dia bukan kakak kandungku, tapi dia sangat peduli padaku. Kami memang tidak tinggal satu rumah lagi. Dia sudah tinggal terpisah dari kami saat mulai bekerja, tapi Kak Alan selalu menyempatkan diri datang ke rumah ini untuk menengok Papa dan Mama, juga mengawasiku.

"Kamu yang akan menemani Kinan," jawab Papa.

"Kamu bisa kan? Temani adikmu dan selamatkan keluarga ini dari rasa malu. Tamu undangan banyak yang belum tahu sosok suami Kinan sesungguhnya. Meskipun orang akan bertanya-tanya tapi mereka tidak akan langsung mengungkapkan dan itu lebih baik daripada Kinan sendirian."

"Bisa, Pa," jawab Kak Alan tanpa berpikir lagi.

"Kak ...."

"Aku bisa, Kinan," potong Kak Alan.

"Kamu tidak punya pilihan lain, Nak," ucap Mama. "Tinggal berapa jam lagi, tidak mungkin kita membatalkannya. Bagimana caranya," sambungannya.

"Benar, Kinan. Kamu tidak punya pilihan dan tak bisa menolaknya," timpal Papa.

Bukan aku bermaksud menolaknya, tapi bagaimana dengan Savina. Wanita yang aku tahu dekat dengan Kak Alan. Meskipun aku tidak menikah dengan Kak Alan, tapi bagaimana jika wanita itu berpikir macam-macam. Jika mereka pacaran, maka mereka bisa putus karena aku.

Papa dan Mama keluar kamar setelah menyuruhku beristirahat. Tak terkecuali Kak Alan mengikuti langkah Mama dan Papa.

"Kak ...." Kupanggil dia sebelum pintu ditutup olehnya.

"Kenapa?" tanyanya dengan tangan masih memegang handle pintu yang siap ditutup.

Hanya kepalanya yang menyembul ke dalam kamar, tidak berniat lagi masuk ke kamarku.

"Bagaimana dengan Mbak Vina?"

Wanita yang bernama Savina itu lebih suka dipanggil Mbak. Aku pernah beberapa kali bertemu dengannya saat main ke tempat tinggal Kak Alan.

"Tenang saja, jangan mengkhawatirkan apapun lagi," jawab Kak Alan sambil tersenyum dan menutup pintu kamar.

Aku menghela nafas panjang, apa rusaknya hubunganku dengan Kak Kai, akan membuat hubungan Kak Alan dengan Mbak Vina rusak juga.

"Cepat tidur dan jangan lupa pakai masker mata, aku tak mau pengantin perempuan terlihat bersedih di pelaminan."

Kak Alan kembali membuka pintu dan mengatakan hal itu padaku. Lalu kembali menutup pintu, kali ini kuyakin dia tak akan membuka pintu lagi dan berbicara hal-hal remeh.

🍁 🍁 🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status