Share

SUKSES SETELAH DIHINA MERTUA
SUKSES SETELAH DIHINA MERTUA
Author: Kirani senja.

Bab 1

"Nenek ... ." Kudengar putri bungsu ku memanggil nama nenek nya, aku yang saat itu sedang sibuk membersihkan rumah hanya diam tanpa menengok keluar. Namun setelah beberapa menit, ibu mertuaku tidak masuk kerumah atau pun memanggil nama ku.

"Kok tumben Ibu nggak masuk kedalam," pikir ku, lalu aku pun bergegas untuk menghampirinya.

"Ibu, kapan ibu datang? Mari masuk," ajak ku pada nya dengan ramah. Namun bukan sesungging senyuman yang aku dapatkan dari wajah ibu mertua ku, melainkan raut wajah yang sudah di penuhi dengan emosi.

"Rina, kenapa kamu tidak bilang kalau Arga lagi sakit, hah!" sentak nya.

Aku cukup terkejut saat ibu mertua tiba-tiba marah padaku. Benar dugaan ku, kalau dia memang marah.

"Bu, tapi kan Arga juga tidak ada di rumah. Dia masih di luar kota, jadi untuk apa aku bilang sama ibu. Lagi pula, tadi pagi aku nggak sempat mampir ke rumah ibu, karena Kirani sakit aku membawa nya ke klinik " jawab ku menjelaskan.

Memang tadi pagi-pagi sekali, sekitar pukul 06:00 Arga adik ipar ku menelpon ku dan meminta aku untuk menelpon suamiku untuk mengantar dirinya ke dokter. Aneh memang, padahal jarak tempat nya bekerja dengan tempat suamiku bekerja tidak terlalu jauh, tapi entah mengapa dia malah menelpon ku yang posisinya ada di kampung halaman.

Pagi itu kebetulan hp ku habis baterai dan nomor suamiku juga sedang tidak aktif. Aku sudah meminta Arga untuk menelpon langsung Kaka nya saja, lagi pula mereka sama-sama tinggalkan di kota yang sama, karena kebetulan suamiku juga bekerja di kota yang sama dengan adik nya.

Namun entah dapat kabar dari mana sehingga mertua ku bisa tahu kalau Arga lagi sakit dan Arga menelpon ku. Entah setan apa yang merasuki ibu mertua ku sore itu, dia marah dan menuduh ku, kalau aku selalu pilih kasih kepada anaknya bungsu nya itu. Padahal tidak sama sekali, aku selalu berusaha menjadi Kaka yang terbaik untuk adik-adik ku, entah itu adik ku atau adik ipar ku. Namun karena rasa benci ibu mertuaku pada ku, sehingga ia meluapkan amarah nya begitu saja tanpa berpikir kalau hati ku akan terluka atau tidak.

"Dasar wanita pelit. Kamu memang dari dulu nggak sayang sama adik ipar mu. Kamu lupa, kalau rumah yang Kamu tempati saat ini adalah aku yang membangun nya. Seumur-umur kamu nggak pernah beli beras, nggak mikir ini itu, seharusnya kamu sadar, Rina! Atau jangan-jangan, uang putra ku Kamu kasih sama keluarga mu? Kamu ini memang istri pembawa sial. Pantas hidup mu tak bergelimang harta, karena kamu tak pernah ibadah! Jadi rejekinya sempit," hardik nya tanpa rasa iba.

"Astagfirullah, astagfirullah." Aku hanya mengelus dada saat ibu mertua ku memakai ku di depan umum dan menjadi tontonan para tetangga rumah ku.

Air mataku menetes, hati ku terasa perih. Baru kali ini aku di hina dan di rendahkan seperti ini dan bahkan yang melakukan itu semua adalah ibu mertuaku sendiri. Ingat rasanya saat itu juga aku menjerit dan angkat kaki dari rumah yang baru saja kami tempati 6 tahun, namun aku tahan karena melihat wajah kedua putri ku.

Dengan bangga, ibu mertua bilang kalau rumah ini hasil jerit payah nya sendiri. Padahal dia lupa, sebelum membangun rumah ini aku juga ikut menyumbang seluruh tabungan ku selama waktu aku masih gadis, karena aku pikir, rumah itu juga akan menjadi milikku, tapi kenyataannya, saat aku sudah tidak punya apa-apa lagi dan hanya karena masalah sepele, mertua dengan mudah mencaci dan menghinaku, bahkan aku di permalukan sedemikian rupa di depan umum.

Ya Allah, terkadang aku berpikir, di mana hati nuraninya? Seandainya saja, kejadian ini menimpa kepada putri nya.

Aku baru tahu, kalau ibu mertua ku tak menyukai saat kami baru saja menikah. Seandainya saja aku tahu dari awal kalau ibu nya tidak setuju mas Arman menikah dengan ku, mungkin aku memilih untuk mundur dan mengubur dalam-dalam perasan cinta ku untuk mas Arman.

Namun nasi sudah menjadi bubur. Aku terlanjur menikah dengan putra nya dan kini pernikahan kami sudah memiliki dua buah hati. Satu laki-laki dan satu permpuaan, Athalla dan Kirani.

Ibu mertua ku pergi begitu saja setelah puas melupakan emosi pada ku, aku berusaha untuk menenangkan diri ku, lalu menyusul nya ke rumah nya. Kebetulan jarak rumah yang aku tempati tidak terlalu jauh, hanya beda RT saja.

Sore itu juga aku langsung menyusul nya dengan maksud ingin menjelaskan nya kepada bapak mertua ku, tapi tak di sangka setibanya di sana bukan sambutan hangat yang aku terima dari bapak mertuaku, lagi-lagi cacian dan hinaan yang aku dapatkan dari nya.

"Untuk apa kamu datang kesini, hah? Saya sudah tidak sudi melihat wajah mu lagi," ucap nya dengan suara lantang dan lagi-lagi aku di permalukan di depan umum, karena kebetulan sore itu tetangga samping rumah mertua ku mereka sedang duduk di teras rumah nya.

Semua orang diam sambil menatap ku. Aku yang masih bercucur air mata, berusaha untuk menjelaskan nya kepada mereka, namun hati mereka seperti sudah tertutup, mereka tidak mau mendengar penjelasan ku dan menilai kalau aku yang bersalah karena tidak memberi tahu, kalau anak bungsunya sedang sakit, padahal secara logika, salah aku di mana. Walaupun kalau aku memang salah, apa aku pantas di perlakukan seperti itu? Apa itu adil bagi ku? Aku sudah seperti manusia yang tidak punya harga diri lagi di depan mereka, apa karena aku terlahir dari keluarga miskin sedangkan mereka keluarga kaya sehingga aku di pandang sebagai manusia yang hina di matanya. Walaupun seandainya aku memberi tahu kepada mereka kalau putranya sakit, toh tidak ada yang bisa mereka lakukan karena posisi masih berada di luar kota.

"Pergi dari sini. Saya tidak mau mendengar penjelasan apapun lagi dari mulut mu. Untuk kedepannya, kalau kamu masih mau rumah tangga mu langgeng dengan Arman, jangan ulangi hal seperti itu lagi, atau saya akan meminta Arman untuk menceraikan kamu!"

Deg!

Lagi-lagi dada ku nyeri saat mendengar ucapan bapak mertuaku. Namun kali ini aku memilih diam dan menahan air mata ku sebisa mungkin.

Cukup!

Sudah cukup. Orang-orang yang sedang ada di hadapan ku sekarang tidak berhak lagi mengatai ku sesuka hati mereka.

Aku lalu mengusap air mata ku dan menatap kedua wajah mereka secara bergantian dengan tatapan sedikit berani. Aku merasa kalau ini sudah cukup bagi ku. Ibu ku yang telah melahirkan kedunia ini juga tidak pernah memperlakukan aku seperti ini, tapi mereka yang baru saja kenal karena menikah dengan putranya malah memperlakukan aku seperti binatang.

"Kalau kalian ingin mengambil putra mu kembali, silahkan saja! Ingat! Hukum Allah itu adil!" ucap ku dengan lantang, lalu menarik tangan putra sulung ku dan mengajak nya pergi dari rumah mertua itu.

Aku bersumpah dalam hati, tidak akan ku ijinkan kaki ku di rumah itu lagi. Lalu meninggalkan rumah itu dengan rasa yang begitu perih dan aku tidak akan melupakan kejadian hari ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status