Share

bab 7

Baru juga nyampe rumah, tapi ucapan mas Arman membuat telinga ku sakit. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu padaku?

"Mas, jawab! Apa maksud pertanyaan kamu barusan? Dan_ apa saja yang sudah di katakan oleh ibu pada mu, Mas? Aku ingin mendengar nya," tanyaku sembari melangkah masuk kedalam rumah sementara mas Arman terdiam di ambang pintu.

"Mah, tolong buka ini. Tante tadi baik yah, Mah? Dani sudah lama tidak makan bakso besar kayak gini," ucap nya sambil memberikan mangkuk serta kantong plastik yang tadi di beri oleh Ratan. Melihat bakso itu, aku jadi teringat peristiwa yang sangat tidak mengenakkan yang baru saja terjadi padaku. Ingin rasanya mengadu sama mas Arman, tapi sepertinya dia akan membelah Anita dari pada aku.

"Sini sayang, Mamah bukain."

Aku mengambil kantong plastik itu dan menuangkan nya kedalam wadah lalu meminta Dani untuk makan sendiri sambil menonton TV. Sementara aku bergegas pergi ke dapur untuk menyimpan semua bahan-bahan kue yang tadi di beli di pasar.

"Rin," panggil mas Arman dari belakang.

Aku menoleh lalu berkata,"Ada apa? Maaf Mas, aku tidak mau ribut di depan anak-anak. Jika ada yang ingin di bahas, nanti malam saja."

"Rin, aku mohon sama kamu, mengalah lah sama ibu. Kalau tidak_" Mas Arman menggantung kalimat nya, seperti berat untuk mengatakan kelanjutannya.

"Kalau tidak, apa Mas? Kita akan bercerai? Itu kan yang ingin kamu katakan, Mas?"

Aku bisa menebak apa yang ingin di katakan oleh suamiku, karena tadi ibu mertua mengatakan, kalau aku akan segera menjadi janda. Walaupun sakit rasanya untuk menerima kenyataan itu, tapi kalau itu yang terbaik apa boleh buat?

Mas Arman menunduk, ia kemudian berdiri di hadapan ku dan menatap ku dalam. "Rin, cobalah mengerti posisi ku, di satu sisi aku ingin mempertahankan kamu sebagai istri ku dan di satu sisi, aku juga ingin berbakti kepada ibu ku dan aku tidak mau di cap sebagai anak durhaka," ucap nya lirih.

"Lalu bagaimana dengan semua luka yang keluarga mu berikan, Mas? Apa aku harus menerima semua perlakuan buruk keluarga mu pada ku, begitu maksud kamu, Mas? Kamu tahu Mas? Apa yang sudah terjadi padaku hari ini? Kamu lihat baju aku yang basah ini? Ini semua ulah adik mu, Anita!" ucap ku lantang. Biarkan saja, tadi nya aku tidak ingin menceritakan kejadian yang telah menimpa ku di kedai bakso, tapi karena mas Arman meminta ku untuk mengalah kepada keluarga nya terpaksa aku menceritakan semuanya pada mas Arman, aku ingin tahu apa reaksinya.

"Anita? Kamu jangan ngaco Rina! Mana mungkin Anita berbuat seperti itu sama kamu? Lagi pula, di jam segitu dia pasti ada di sekolah. Kalau kamu benci sama ibu, jangan fitnah Anita seperti ini, Rina. Aku tidak suka! Dan kamu harus tahu, Rina. Anita itu adalah adik kesayanganku.Jadi, aku paling tidak suka kalau ada yang berkata buruk tentang nya. Yah! Mungkin ibu sering menghina mu dan apa yang salah dari ucapan nya? Semua nya memang benar kan? Selama ini kita masih merepotkan dia dan mana keluargamu? Apa mereka membantu kita di saat kita susah? Tidak, Rina. Hanya keluargaku yang membantu kita di saat kita susah dan seharusnya kamu sadar itu, Rina. Jangan berdebat lagi dengan ku soal ini. Kepalaku pusing," jawab nya. Sudah aku duga. Mas Arman pasti tidak akan percaya dan wow! Aku sangat terkejut dengan ucapan nya barusan.

"Aku nggak ngaco, Mas. Ada buktinya, Ratan. Dia melihat semuanya bagaimana Anita menyiram ku tadi. Kamu kira aku bohong, Mas? Mas, keluarga mu itu tidak suka padaku. Kenapa kamu tidak bilang dari awal sih? Kalau keluarga mu tidak setuju kamu menikah dengan ku. Mungkin aku tidak akan seperti ini," tutur ku lirih.

"Bu_kan seperti itu juga Rina," sahut nya.

"Lalu seperti apa?"

Mas Arman diam, dia tak mampu menjawab pertanyaan ku. Sementara aku, aku masih dengan rasa kecewaku, seharusnya dia sebagai suamiku bisa memberikan rasa nyaman untukku, tapi dia tidak.

Rasa nya aku benar-benar sudah muak. Ingin rasanya aku pergi sejauh mungkin, tapi apalah daya ku? Ada kedua anak-anakku yang masih membutuhkan aku di sini.

Sore berganti malam. Ku pandangi wajah kedua anak-anakku yang sudah terlelap di atas kasur. Melihat mereka tidur dengan damai membuat hatiku sedikit merasa damai. Tak terasa air mata ku menetes begitu saja saat memikirkan nasib kedua buah hatiku saat kami benar-benar berpisah nanti.

*******

Drett!

Drett!

Dreet!

Mata ku masih mengantuk tapi suara bising nya ponsel membuat aku terpaksa bangun. Ku raih ponsel ku yang tadi aku letakkan di samping bantal. Aku kira ada yang menelpon, tetapi ternyata alarm yang menunjukkan sudah pukul 03:00 dini hari.

Karena hari ini ada pesan kue untuk acara Arisan di rumah mbak Santi, aku terpaksa harus bangun lebih awal dari biasanya.

"Bismillah, semoga saja ini adalah awal yang baik."

Aku pun segera bergegas menuju dapur dan langsung membuat adonan kue seperti yang di minta oleh Mbak Santi.

"Allahuakbar ... Allahuakbar ... ." Terdengar sayup-sayup azan subuh dari musholla samping rumah ku.

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Setelah hampir dua jam lebih aku di dapur, ternyata sudah masuk waktu subuh dan Alhamdulillah semua pesanan kue hampir selesai. Ku tinggalkan aktivitas ku sejenak dan segera memenuhi kewajiban ku sebagai umat Islam untuk melaksanakan sholat subuh.

"Rin, kamu sudah bangun?" tanya mas Arman saat beradu muka dengan ku.

"Sudah, Mas," jawabku datar. Aku masih kesal dengan ucapan nya semalam sehingga aku memilih acuh padanya.

"Kamu masih marah sama aku, Rin?"

"Pikir saja sendiri, Mas," ucapku ketus sambil berlalu dari hadapan nya dan memilih kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaan ku.

"Mamah, Mamah lagi bikin apa, Mah?" tanya Dani yang baru saja bangun.

"Mamah lagi bikin kue, Nak," jawab ku.

"Wah banyak banget kue nya, Mah? Dani boleh minta nggak buat bekal ke kesekolah?" tanya nya dengan senyum sumringah.

"Boleh dong. Dani mau ambil yang mana? Ambil saja, Nak." Karena memang membuat lebih, sehingga aku tidak keberatan kalau Dani mengambil beberapa kue itu untuk di bawa nya ke sekolah.

"Banyak banget kue nya, Rin? Kamu dapat uang dari mana bisa membeli bahan-bahan kue sebanyak ini? Awas yah kalau kamu pinjam uang tanpa sepengetahuan aku! Aku nggak bakal bayarin!" ucap nya.

"Kamu tenang saja, Mas. Walaupun ini hasil ngutang, insyaallah aku nggak bakal meminta kamu untuk di bayarian," jawab ku.

"Lalu ini semua dari mana?"

"Ini semua pesanan Mbak Santi dan di memberi ku uang DP," jawabku.

Mas Arman mengangguk paham lalu ia pergi entah kemana dan aku tak peduli. Aku memilih untuk mengemas kue-kue itu dalam wadah dan rencana akan ku antar sembari mengantar Dani ke sekolah.

"Mas Arman. I_bu? Kapan Ibu datang?" tanya ku saat melihat ibu mertua sudah duduk di teras depan rumah dengan suamiku. Matanya menyorot tajam saat melihat wajahku entah ada salah apa lagi diriku ini pada nya? Tapi sepertinya salah atau tidak? Dia memang akan selalu seperti itu.

"Suami di rumah bukanya di urusin. Ini malah sibuk sendiri. Sampe-sampe mau sarapan saja dia menelpon ibu. Kamu itu jadi istri nggak becus ngurus suami. Di pake apa sih uang dari Arman, hah?" sentak nya geram.

"Uang? Uang yang mana?" tanyaku bingung.

"Ibu, sudah Bu," ucap mas Arman berusaha melerai.

"Diam kamu! Ibu sudah bilang, ceraikan dia, tapi kamu ngeyel. Dia itu nggak becus jadi istri! Lihat kamu sekarang? Kamu ada di rumah saja nggak di urusin. Mau makan saja, kamu sampai datang kerumah ibu?" ucap nya.

Kapan mas Arman makan di rumah ibu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status