Share

Bab 6

Janda?

Aku tak pernah membayangkan di umur 30 tahun aku akan menyandang setatus seperti yang disebutkan ibu mertuaku barusan. Tapi kalau memang itu takdir ku akan ku terima dengan ikhlas.

Selepas kepergian mertuaku, aku mengedarkan keberadaan mas Arman namun mas Arman sama sekali tak terlihat.

"Kemana dia?" gumam ku sambil berharap mas Arman segera datang. lelah menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke pasar seseui rencana ku di awal sebelum kedatangan ibu mertuaku.

"Bang, kiri bang," pinta ku kepada supir angkot.

Lelaki itu kemudian menepikan mobilnya persis di depan pintu masuk pasar. Setelah memastikan mobil itu berhenti, baru aku turun dari pintu belakang.

"Terimakasih, bang. Berapa ongkosnya?" tanyaku.

Sudah lama sekali aku tidak naik kendaraan umum, dan baru hari ini lagi aku naik angkutan umum karena sepeda motor ku di pakai oleh mas Arman. Itu adalah sepeda motor yang di beli oleh uang ku sendiri waktu masih bekerja, tidak bagus memang tapi setidaknya masih layak pakai.

"5000 saja, Mbak."

"Oh, lima ribu yah bang. Ini," kata ku sembari memberikan uang itu kepada pak supir tadi.

Ku langkahkan kaki menuju pintu masuk pasar, lalu ku beli beberapa bahan-bahan kue pesanan Mbak Santi untuk besok pagi.

"Mabk saya mau bahan-bahan ini." Aku memberikan satu lembar kertas yang sudah ku tulis dari rumah supaya tidak lupa.

Dengan cekatan, wanita penjaga toko itu mengambil semua bahan-bahan yang sudah di tulis di kertas itu.

Palk!

"Rina? Kamu Rina kan?"

Deg!

Jantung ku di buat kaget oleh seorang wanita yang tiba-tiba menepuk pundak ku cukup keras dari arah belakang. Aku yang sedang pokus memperhatikan barang pesanan ku sontak langsung menoleh kebelakang.

"Ratan!" aku terkejut sekaligus senang saat melihat ternyata orang yang menepuk pundak ku barusan adalah Ratan, sahabat ku sewaktu kami masih duduk di bangku SMA. "Masya Allah ... Ratna, kamu sekarang terlihat sangat cantik, wajah mu glowing," puji ku.

Wanita itu tersenyum simpul saat aku memujinya seperti itu. Melihat dari penampilannya, sepertinya kehidupan Ratna sejahtera.

"Kamu bisa saja, Rin. Kalau kamu mau glowing kayak aku bisa kok!" ucap nya sambil tersenyum menggoda ku.

"Mabk, ini belanjaan nya total nya 150 ribu," ucap pelayan toko tersebut sambil menyodorkan bahan-bahan yang aku pesan plus dengan nota yang harus ku bayar.

"Rin, biar aku yang bayar," ucap Ratan.

"Nggak usah, Rat. Aku bisa bayar sendiri," tolak ku.

"Nggak apa-apa. Simpan saja uang itu buat jajan anak-anak kamu," ujarnya.

Masya Allah, Alhamdulillah ya Allah, ternyata di dunia yang kejam ini masih terselip orang-orang baik seperti Ratna.

Wanita itu kemudian memberikan uang pecahan seratus ribu sebanyak 2 lembar kepada pelayanan itu.

"Ini, Mbak," ucap Ratan.

"Ini kembali nya, Mbak," balas wanita itu sambil memberikan uang 50 ribu kepada Ratan.

Setelah mendapatkan apa yang aku butuhkan Ratan kemudian mengajak ku untuk mampir di sebuah kedai bakso yang ada di dekat pasar, awalnya aku menolak, jangankan untuk membayar satu porsi bakso, untuk jajanan anak-anak saja terkadang uang nya tidak cukup.

Mana mungkin aku bilang sama Ratna kalau aku tidak punya uang untuk jajan bakso? Walaupun aku miskin tapi aku masih punya urat malu, lagi pula ini sudah sangat siang aku takut mas Arman dan anak-anak mencari ku.

"Lain kali saja yah, Rat," tolak ku halus.

"Yah. Tapi kenapa, Rin?" tanya nya keberatan dengan keputusan ku.

"Nggak apa-apa. Aku takut mas Arman nyariin. Tadi aku pergi tidak pamit padanya," jawab ku.

"Tapi sebentar saja nggak lama, kok. Ada sesuatu yang pengen aku bicarakan sama kamu, Rina," ucap nya memohon.

Wanita itu menatap ku dalam. Aku sampai tak enak hati melihat nya.

"Baiklah, aku setuju."

Ratan senang, kami berdua kemudian masuk kesebuah kedai bakso yang cukup ramai pengunjungnya. Ratna pergi untuk memesan menu bakso Semetara aku mencari tempat duduk. Aku mengedarkan pandangan ku, mencari tempat duduk yang kosong.

"Nah itu!" Melihat meja di sebelah kiri kosong, aku langsung bergegas duduk di sana namun siapa sangka, di tempat itu aku malah melihat Anita adik bungsunya mas Arman yang tak lain adalah adik ipar ku.

"Kamu! Ngapain di sini, Mbak?" tanya nya dengan nada tidak suka.

"Seharusnya saya yang tanya sama kamu, Anita. Kamu ngapain ada di sini? Bukannya ini masih jam pelajaran sekolah yah? Dan_ siap pria ini?" Bukannya menjawab, aku malah balik bertanya kepada nya sambil melirik ke arah pria dewasa yang duduk satu meja bersama Anita.

"Siapa dia, sayang?" tanya pria itu kepada nya.

"Maaf, pak. Tapi anda bilang apa? Sayang? Pak, gadis ini masih duduk di bangku SMA, sedang Anda_"

"Diam kamu, Mbak!" sentak Anita, germa. "Aku sudah bilang jangan ikut campur," sambungan nya.

"Aku akan ikut campur karena kamu adalah adik ipar ku, Anita. Dan perbuatan mu hari ini adalah tidak benar. Ibu sama bapak pasti akan kecewa kalau tahu kelakuan kamu seperti ini."

Byur!

"Rina!"

Ratan berlari menghampiri ku saat satu mangkuk bakso yang penuh dengan saus sambal itu di siram oleh Anita ke baju ku. Semetara aku hanya diam tak percaya kalau Anita, gadis yang masih berusia 17 tahun itu akan berbuat seperti ini pada ku.

"Rasakan itu, Mbak. Aku sudah bilang jangan ikut campur. Aku bakal melakukan hal yang lebih dari ini kalau Mbak berani mengadu sama ibu," ancam nya sambil berlalu pergi dari hadapanku.

"Rina, kamu nggak apa-apa?" tanya Ratan khawatir.

"Aku nggak apa-apa," jawab ku. Mungkin raga ku baik-baik saja tapi tidak dengan hati ku.

"Mendingan sebaiknya aku anterin kamu pulang saja yah, Rin. Baju kamu basah dan pasti panas banget yah? Tadi itu siapa dia? Kalau aku ada di posisi kamu, aku pasti akan menampar nya dengan keras. Keterlaluan sekali!" rutuk Ratan, geram.

"Dia adalah Anita, adik nya mas Arman," jawab ku, lirih.

"Adik ipar kok nggak tahu adab sama sekali. Apa jangan-jangan ibu bapak nya tidak mengajarkan sopan santun pada nya?"

Deg!

Aku terdiam saat Ratan bertanya seperti itu, aku tidak tahu jawabannya. Mungkin keluarga itu memang memiliki sikap yang buruk sehingga anak nya pun memiliki sifat yang demikian. Aku hanya berharap semoga saja anak-anak tidak memiliki sifat seperti itu.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 15 menit akhirnya aku sampai di rumah, setibanya di rumah ternyata mas Arman sudah pulang dan si kecil, Kirani sudah tidur pulas di ayunan.

"Mamah," sapa Dani anak ku sambil berlari menghampiri ku.

"Kamu habis dari mana, Rin?" tanya mas Arman dari dalam.

"Mampir dulu Rat," ajak ku. Alih-alih menjawab pertanyaan mas Arman aku malah bicara sama Ratna dan mengajak nya masuk kedalam rumah.

"Tidak usah, Rin. Lain kali saja. Aku juga buru-buru. Kapan-kapan aku pasti mampir. Anak pintar, ini Tante bawakan sesuatu untuk kamu sayang ... ," ucap Ratna sembari memberikan satu kantong plastik hitam entah apa isinya? Tapi aku menduga, kalau itu ada bakso yang tadi sempat di pesan olehnya.

Dani terlihat senang, anaknya itu langsung menerima pemberian Ratan dengan senyum sumringah.

"Terimakasih, Tante," ucap nya.

"Sama-sama, sayang. Rina, aku pamit dulu yah. Kalau ada apa-apa, kamu telpon aku saja," ucap nya sambil berlalu dari hadapanku.

Aku hanya menatap nanar kepergian wanita itu, hanya Ratan yang baik saat ini pada ku, ingin rasanya aku menceritakan semua ini pada nya, tapi aku malu.

"Rina, siap dia? Dan kamu habis pergi kemana? Atau jangan-jangan bener yah apa yang di katakan ibu, kalau kamu suka keluyuran nggak jelas?"

Deg!

"Maksud kamu apa yah, Mas? Keluyuran nggak jelas seperti apa maksud kamu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status