Share

Kepastian

last update Last Updated: 2023-08-10 09:16:27

Mobil milikku meluncur dengan mulus menuju rumah sakit tempat dulu aku membawa Aruna yang tengah meregang nyawa. Bayangan wajah Aruna yang menatap tajam padaku sebelum masuk ke ruang gawat darurat, kembali masuk ke dalam kepalaku.

Ada sedikit penyesalan yang menyusup jauh di lubuk hatiku yang dalam. Aruna wanita yang sempurna, cantik luar dalam, dan dia punya segalanya. Dia juga yang sudah mengangkat kehidupanku yang hanya anak seorang janda, menjadi presiden direktur di sebuah perusahaan yang begitu besar.

Namun ... aku masih saja terpesona dengan sosok Saskia. Ya, Aruna yang begitu penurut, lambat laun membuatku bosan. Ditambah lagi kondisi fisiknya lemah dan sering sakit. Aku mulai melirik ke arah sahabat baiknya, Saskia, yang begitu ceria dan agresif. Aku tak mampu menolak pesonanya, ditambah lagi dia yang terus menerus menggodaku.

"B*jingan kamu, Mas!"

Aruna yang begitu lemah lembut, untuk pertama kalinya menatap ke arahku dengan murka, saat melihatku sedang bermesraan dengan sahabatnya di ruangan kantor. Bahkan detik itu juga, dia meminta cerai dariku. Aku sudah memohon, bersujud di kakinya, namun dia tidak mau mendengarkanku.

Tidak, aku tidak mau kembali miskin. Jika Aruna menceraikanku, aku akan kehilangan segala yang aku miliki sekarang. Ketakutanku akan hal itu mengalahkan akal sehatku.

"Ini, berikan ini pada istrimu. Kirim saja istrimu itu ke alam lain, jika dia tetap ngotot menceraikanmu," ucap Mama sambil memberikan botol kecil cairan yang entah berisi apa.

"Maksud Mama? Kita akan membu nuh Aruna?" tanyaku dengan suara gemetar, tak percaya dengan apa yang akan kami lakukan.

"Tenang saja, tidak akan ada yang tahu, karena kita menggunakan cara halus untuk melakukannya," ucap Mama lagi.

Benar apa yang dikatakan Mama, cara "halus" yang kami lakukan bisa memuluskan rencana kami tanpa perlu takut ketahuan polisi.

Aku membuyarkan lamunan begitu mobil telah sampai di depan rumah sakit. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera menuju ke arah resepsionis untuk menanyakan data pasien dan tentang istriku.

"Mohon maaf, Pak. Data pasien bernama Aruna Wijayanto tidak ada lagi di sini," ucap petugas resepsionis rumah sakit itu.

"Bagaimana mungkin, Suster? Istri saya belum ada satu Minggu meninggal," ucapku kemudian, tak terima.

"Ini karena pasien yang masuk ke data khusus di rumah sakit ini, tidak boleh sembarangan dibocorkan pada siapapun," ucap petugas itu lagi.

"Saya ini suaminya, Suster!" Aku mulai tak sabar. "Mana mungkin saya tidak diijinkan melihat data istri saya sendiri? Rumah sakit macam apa ini?"

"Mohon maaf, Pak. Ini sudah ketentuan rumah sakit, karena pasien terdaftar dalam pasien khusus."

Aku mengacak rambut mendengar hal itu. Memang Aruna termasuk pasien spesial di rumah sakit ini, tapi bagaimana mungkin aku yang suaminya bahkan tidak bisa melihat datanya?

"Ada apa ini, Suster?"

Aku menoleh, dan seorang pria berpakaian serba putih ala dokter berdiri di depanku. Aku mengerutkan kening, seperti pernah melihatnya sebelumnya. Tapi di mana?

"Kebetulan sekali, Dokter Leo. Ini ada suami dari pasien dengan nama Aruna Wijayanto, ingin meminta data tentang pasien." Petugas itu menjelaskan.

"Aruna Wijayanto? Pasien yang meninggal beberapa hari yang lalu?" tanya Dokter yang ternyata bernama Leo itu.

"Benar Dokter. Suami pasien ingin meminta data kematian, yang sudah masuk dalam data pasien khusus."

Dokter Leo menatap ke arahku seraya tersenyum tipis.

"Jenazah pasien sudah dimandikan dan dikafani oleh pihak rumah sakit atas keinginan Anda dan keluarga sendiri, bukan? Dan bukankah Anda juga yang meminta agar tidak membocorkan data kematian pada siapapun? Jadi kami sudah melakukan kewajiban kami," ucapnya.

Aku mengurut kening. Benar, aku lupa. Aku sendiri yang meminta pihak rumah sakit agar tidak membocorkan data kematian Aruna pada siapapun. Bukan tanpa alasan, tapi aku takut perbuatanku terendus pihak berwajib jika kematian Aruna yang mendadak.

"Apakah Anda meragukan kematian istri Anda sendiri?"

Pertanyaan Dokter Leo langsung membuatku tersentak, dan refleks salah tingkah.

"Bukankah seharusnya, kalian melihat wajahnya untuk terakhir kali saat tiba di rumah duka?" tanya Dokter Leo lagi.

"Ah, tidak, Dokter. Bukan seperti itu. Saya hanya ingin memastikan lagi penyebab kematian istri saya," jawabku kemudian, mencari alasan. "Tentu saja saya melihat wajah istri saya sebelum dikebumikan."

"Baguslah jika demikian." Dokter Leo tersenyum lagi.

"Kalau begitu terima kasih, Dokter. Saya permisi dulu," ucapku kemudian, sambil berlalu dan meninggalkan rumah sakit.

Setidaknya aku sudah menerima jawaban, jika Aruna benar-benar sudah meninggal. Aku sudah bisa pulang dengan napas lega. Hari sudah menjelang malam ketika aku tiba di rumah, dan disambut oleh omelan Mama.

"Aduh, Denis! Kamu ini kemana saja? Bukannya ke rumah Mbah Jupri saja?" tanyanya begitu aku sampai. "Kita sudah terlambat ke acara tahlil di rumah Mama mertuamu!"

"Aku ke rumah sakit, Ma," jawabku, yang membuat Mama langsung mengerutkan kening.

"Untuk apa kamu ke sana?" tanyanya.

"Untuk memastikan jika Aruna benar-benar sudah meninggal, Ma," jawabku lagi.

"Astaga, Denis! Sudah pasti Aruna sudah mati! Apalagi yang kamu ragukan?" omel Mama lagi.

Aku hanya terdiam mendengar ucapan Mama. Masih dengan mengomel, Mama memintaku untuk langsung meluncur ke rumah Bu Sonia. Acara tahlil sudah dimulai ketika kami sampai di sana. Mama sibuk meminta maaf pada besannya. Sementara aku langsung melangkah ke dapur, karena belum sempat minum.

Saat sampai di sana, tiba-tiba seseorang memeluk pinggangku dari belakang. Bisa kutebak itu siapa. Saskia.

"Mas, aku kangen. Kamu gak kangen sama aku?" tanyanya dengan suara manja.

Aku tak menjawab pertanyaan Saskia. Benar juga, sejak ketahuan Aruna waktu itu, kami berdua tidak pernah lagi bisa berdua. Jujur, aku juga merindukannya. Tapi aku tidak bisa tenang Saskia memelukku di tempat yang seperti ini.

"Denis!"

Aku terkejut bukan main mendengar suara Bu Sonia, dan refleks melepaskan tangan Saskia dari pinggangku. Mati aku! Apa kami ketahuan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Akhir ( TAMAT )

    POV Aruna"Rumah sakit jiwa?" Aku kaget mendengar keterangan petugas kepolisian itu."Benar, sejak dibawa kemari, tahanan terus berteriak dan membuat keributan, sehingga kami segera melakukan tindakan pemeriksaan. Hasilnya, memang tahanan terganggu kejiwaannya," jawab petugas itu lagi.Aku terdiam sebentar setelah mendengar hal itu. Padahal saat ditangkap Bu Yanti tampak baik-baik saja, meskipun pandangannya kosong dan tampak sangat shock."Boleh saya tahu alamat rumah sakitnya?" tanyaku lagi."Silakan ikut dengan saya. " Petugas itu membawaku ke meja kerjanya, lalu mencatatkan alamat rumah sakit jiwa tempat Bu Yanti dirawat.Setelah mendapatkan alamat itu dan mengucapkan terima kasih, aku langsung meluncur ke alamat tersebut dengan mobil milik Leo. Bukan tak percaya dengan keterangan polisi, tapi aku hanya ingin memastikan jika wanita itu tidak berpura-pura gila. Itu karena dulu saat menjadi mertuaku, actingnya sungguh luar biasa.Sesampainya di gedung rumah sakit yang letaknya cukup

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Kehilangan

    POV Aruna"Tolong! Tolong Saskia!" teriakku histeris, seperti orang gila melihat darah yang terus merembes dari kepala Saskia. "Tolong panggilkan ambulan! Siapa saja, tolong! Tolong panggil ambulan!"Tak berapa lama kemudian Nyonya Merry dan Melany datang, dan ikut panik bukan main melihat kondisi Saskia. Nyonya Merry cepat-cepat memanggil ambulan, sedangkan aku masih terus memeluk Saskia sambil menangis.Beberapa lama kemudian, para petugas ambulan datang dan langsung mengangkat Saskia dengan menggunakan tandu. Aku dan Nyonya Merry mengikuti mereka sampai Saskia dimasukkan ke dalam mobil putih bersirine itu."Tante akan ikut duluan ke rumah sakit. Susul kami setelah ini, Runa," ucap Nyonya Merry sambil ikut masuk ke dalam mobil.Aku hanya bisa mengangguk di sela tangisku. Dalam beberapa detik, suara sirine mendayu-dayu, dan mobil pun mulai berjalan meninggalkan tempat itu.Di saat yang sama, terlihat petugas polisi menggiring Bu Yanti dan Mas Denis. Kedua tangan mereka diborgol ke be

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Tahanan

    POV Aruna"Tunggu dulu! Tunggu dulu, Pak polisi!" Bu Yanti menghalangi para petugas itu saat akan mendekati Mas Denis."Anak saya tidak melakukan apapun! Kalian tidak bisa menangkapnya!" teriaknya."Silakan melakukan laporan pembelaan di kantor polisi, Bu," jawab salah satu petugas itu. "Kami hanya melaksanakan tugas.""Tidak! Kalian tidak boleh menangkapnya tanpa bukti!""Kami sudah memiliki bukti yang kuat atas kasus yang dituduhkan, jadi sebaiknya Ibu tidak menghalangi tugas kami.""Seharusnya mereka yang ditangkap, Pak!" Bu Yanti menatap ke arahku, juga Nyonya Merry dan Melany. "Mereka sudah menipu kami!""Lebih baik kamu diam dan biarkan para petugas itu menangkap putramu, Bu Yanti," ucap Nyonya Merry sambil menatap tajam ke arah Bu Yanti."Kamu yang seharusnya diam, Nyonya!" Bu Yanti tidak mau kalah. Dia membalas tatapan Nyonya Sonia dengan tidak kalah tajam. "Permainanmu ini sungguh seperti anak kecil! Untuk apa kamu melakukan ini, hah? Agar putrimu tidak disebut perempuan mura

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Kejutan

    POV Aruna"Sebenarnya apa yang Bu Yanti inginkan?" tanyaku kemudian sambil menatap ke arah mereka."Astaga, Aruna. Bagaimanapun, kamu pernah memanggilku Mama. Tega sekali di acara sepenting ini kamu tidak mengundang kami," jawab Bu Yanti, lagi-lagi dengan nada suara yang sengaja ditinggikan."Mama?" Aku seketika ingin tertawa mendengarnya. Entah otak dan pikiran wanita tua itu berada di mana sekarang, sampai berkata sesuatu yang mempermalukan dirinya sendiri."Ada apa ini?"Kami semua menoleh, dan terlihat Mama berdiri di belakang kami dengan wajah cemas."Kamu baik-baik saja, Runa?" tanyanya lagi.Aku hanya mengangguk pada Mama tanpa menjawab. Dia lalu menatap heran ke arah Bu Yanti."Jeng Sonia, semudah itu keluarga kalian melupakan kami. Padahal sebelumnya kita seperti saudara," ucap Bu Yanti lagi pada Mama. "Aruna bertunangan, saya juga ingin mengucapkan selamat, Jeng. Tega sekali tidak mengundang dan melupakan kami.""Maaf, Bu Yanti. Acara ini dikhususkan untuk kerabat dan sahaba

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   POV Aruna--Perubahan

    POV ArunaAku menatap ke arah Saskia yang tertidur di jok belakang mobil sambil tetap memeluk bayinya. Baru beberapa bulan, tapi penampilannya jauh berbeda dari dia yang dulu. Rambutnya berantakan, wajahnya kusam, dan tubuhnya mengeluarkan bau tak sedap. Kentara sekali dia tidak terurus sama sekali."Kita harus membawa mereka ke rumah sakit," ucap Leo yang berada di depan kemudi. "Sepertinya mereka butuh pemeriksaan kesehatan."Aku mengangguk setuju. Aku kaget sekali saat tiba-tiba hari ini Saskia menelponku sambil menangis dan meminta aku menjemputnya. Meskipun aku sudah mendengar kondisinya dari informasi Nyonya Merry, aku tak menyangka jika dia jauh lebih parah dari yang kudengar."Kia, biar kugendong bayimu," ucapku lirih sambil pelan-pelan meraih bayi dalam gendongan Saskia.Saskia cuma sedikit mengeliat, masih dengan mata terpejam, membiarkanku menggendong bayinya. Dia kelihatan kelelahan sekali, atau bahkan mungkin memang tidak sehat.Aku menatap ke arah bayi mungil yang juga s

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Perasaan

    "Apa yang terjadi, Pak Denis?" Melany menatap ke arahku dengan pandangan heran."Maaf, Bu. Saya ... ada sedikit masalah di rumah," jawabku sambil berdiri dari duduk, dan salah tingkah karena bingung."Kalau begitu biar saya antarkan pulang." Melany ikut berdiri dari duduknya."Tidak usah, Bu. Saya bisa naik taksi. Saya tidak ingin merepotkan Bu Melany," jawabku lagi."Astaga, Pak Denis. Sama sekali tidak merepotkan. Kalau naik taksi harus menunggu lama, lebih cepat saya antar."Akhirnya aku tidak bisa menolak lagi, karena ingin segera ingin tahu apa yang terjadi di rumah. Dalam beberapa menit, kami sudah meluncur menuju arah rumahku dengan menggunakan mobil Melany.Sesampainya di rumah, terdengar suara Mama mengomel, sedangkan Saskia terdengar menangis tersedu-sedu, bersamaan dengan suara Rasya yang menangis juga. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung masuk untuk melihat apa yang terjadi.Saskia duduk bersimpuh di lantai kamar sambil menangis, sedangkan putri kami berada di atas tempa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status