Share

Kepastian

Mobil milikku meluncur dengan mulus menuju rumah sakit tempat dulu aku membawa Aruna yang tengah meregang nyawa. Bayangan wajah Aruna yang menatap tajam padaku sebelum masuk ke ruang gawat darurat, kembali masuk ke dalam kepalaku.

Ada sedikit penyesalan yang menyusup jauh di lubuk hatiku yang dalam. Aruna wanita yang sempurna, cantik luar dalam, dan dia punya segalanya. Dia juga yang sudah mengangkat kehidupanku yang hanya anak seorang janda, menjadi presiden direktur di sebuah perusahaan yang begitu besar.

Namun ... aku masih saja terpesona dengan sosok Saskia. Ya, Aruna yang begitu penurut, lambat laun membuatku bosan. Ditambah lagi kondisi fisiknya lemah dan sering sakit. Aku mulai melirik ke arah sahabat baiknya, Saskia, yang begitu ceria dan agresif. Aku tak mampu menolak pesonanya, ditambah lagi dia yang terus menerus menggodaku.

"B*jingan kamu, Mas!"

Aruna yang begitu lemah lembut, untuk pertama kalinya menatap ke arahku dengan murka, saat melihatku sedang bermesraan dengan sahabatnya di ruangan kantor. Bahkan detik itu juga, dia meminta cerai dariku. Aku sudah memohon, bersujud di kakinya, namun dia tidak mau mendengarkanku.

Tidak, aku tidak mau kembali miskin. Jika Aruna menceraikanku, aku akan kehilangan segala yang aku miliki sekarang. Ketakutanku akan hal itu mengalahkan akal sehatku.

"Ini, berikan ini pada istrimu. Kirim saja istrimu itu ke alam lain, jika dia tetap ngotot menceraikanmu," ucap Mama sambil memberikan botol kecil cairan yang entah berisi apa.

"Maksud Mama? Kita akan membu nuh Aruna?" tanyaku dengan suara gemetar, tak percaya dengan apa yang akan kami lakukan.

"Tenang saja, tidak akan ada yang tahu, karena kita menggunakan cara halus untuk melakukannya," ucap Mama lagi.

Benar apa yang dikatakan Mama, cara "halus" yang kami lakukan bisa memuluskan rencana kami tanpa perlu takut ketahuan polisi.

Aku membuyarkan lamunan begitu mobil telah sampai di depan rumah sakit. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera menuju ke arah resepsionis untuk menanyakan data pasien dan tentang istriku.

"Mohon maaf, Pak. Data pasien bernama Aruna Wijayanto tidak ada lagi di sini," ucap petugas resepsionis rumah sakit itu.

"Bagaimana mungkin, Suster? Istri saya belum ada satu Minggu meninggal," ucapku kemudian, tak terima.

"Ini karena pasien yang masuk ke data khusus di rumah sakit ini, tidak boleh sembarangan dibocorkan pada siapapun," ucap petugas itu lagi.

"Saya ini suaminya, Suster!" Aku mulai tak sabar. "Mana mungkin saya tidak diijinkan melihat data istri saya sendiri? Rumah sakit macam apa ini?"

"Mohon maaf, Pak. Ini sudah ketentuan rumah sakit, karena pasien terdaftar dalam pasien khusus."

Aku mengacak rambut mendengar hal itu. Memang Aruna termasuk pasien spesial di rumah sakit ini, tapi bagaimana mungkin aku yang suaminya bahkan tidak bisa melihat datanya?

"Ada apa ini, Suster?"

Aku menoleh, dan seorang pria berpakaian serba putih ala dokter berdiri di depanku. Aku mengerutkan kening, seperti pernah melihatnya sebelumnya. Tapi di mana?

"Kebetulan sekali, Dokter Leo. Ini ada suami dari pasien dengan nama Aruna Wijayanto, ingin meminta data tentang pasien." Petugas itu menjelaskan.

"Aruna Wijayanto? Pasien yang meninggal beberapa hari yang lalu?" tanya Dokter yang ternyata bernama Leo itu.

"Benar Dokter. Suami pasien ingin meminta data kematian, yang sudah masuk dalam data pasien khusus."

Dokter Leo menatap ke arahku seraya tersenyum tipis.

"Jenazah pasien sudah dimandikan dan dikafani oleh pihak rumah sakit atas keinginan Anda dan keluarga sendiri, bukan? Dan bukankah Anda juga yang meminta agar tidak membocorkan data kematian pada siapapun? Jadi kami sudah melakukan kewajiban kami," ucapnya.

Aku mengurut kening. Benar, aku lupa. Aku sendiri yang meminta pihak rumah sakit agar tidak membocorkan data kematian Aruna pada siapapun. Bukan tanpa alasan, tapi aku takut perbuatanku terendus pihak berwajib jika kematian Aruna yang mendadak.

"Apakah Anda meragukan kematian istri Anda sendiri?"

Pertanyaan Dokter Leo langsung membuatku tersentak, dan refleks salah tingkah.

"Bukankah seharusnya, kalian melihat wajahnya untuk terakhir kali saat tiba di rumah duka?" tanya Dokter Leo lagi.

"Ah, tidak, Dokter. Bukan seperti itu. Saya hanya ingin memastikan lagi penyebab kematian istri saya," jawabku kemudian, mencari alasan. "Tentu saja saya melihat wajah istri saya sebelum dikebumikan."

"Baguslah jika demikian." Dokter Leo tersenyum lagi.

"Kalau begitu terima kasih, Dokter. Saya permisi dulu," ucapku kemudian, sambil berlalu dan meninggalkan rumah sakit.

Setidaknya aku sudah menerima jawaban, jika Aruna benar-benar sudah meninggal. Aku sudah bisa pulang dengan napas lega. Hari sudah menjelang malam ketika aku tiba di rumah, dan disambut oleh omelan Mama.

"Aduh, Denis! Kamu ini kemana saja? Bukannya ke rumah Mbah Jupri saja?" tanyanya begitu aku sampai. "Kita sudah terlambat ke acara tahlil di rumah Mama mertuamu!"

"Aku ke rumah sakit, Ma," jawabku, yang membuat Mama langsung mengerutkan kening.

"Untuk apa kamu ke sana?" tanyanya.

"Untuk memastikan jika Aruna benar-benar sudah meninggal, Ma," jawabku lagi.

"Astaga, Denis! Sudah pasti Aruna sudah mati! Apalagi yang kamu ragukan?" omel Mama lagi.

Aku hanya terdiam mendengar ucapan Mama. Masih dengan mengomel, Mama memintaku untuk langsung meluncur ke rumah Bu Sonia. Acara tahlil sudah dimulai ketika kami sampai di sana. Mama sibuk meminta maaf pada besannya. Sementara aku langsung melangkah ke dapur, karena belum sempat minum.

Saat sampai di sana, tiba-tiba seseorang memeluk pinggangku dari belakang. Bisa kutebak itu siapa. Saskia.

"Mas, aku kangen. Kamu gak kangen sama aku?" tanyanya dengan suara manja.

Aku tak menjawab pertanyaan Saskia. Benar juga, sejak ketahuan Aruna waktu itu, kami berdua tidak pernah lagi bisa berdua. Jujur, aku juga merindukannya. Tapi aku tidak bisa tenang Saskia memelukku di tempat yang seperti ini.

"Denis!"

Aku terkejut bukan main mendengar suara Bu Sonia, dan refleks melepaskan tangan Saskia dari pinggangku. Mati aku! Apa kami ketahuan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status