Tidak, ini tidak mungkin! Apa benar itu Aruna?
Aku mengucek mataku sekali lagi, dan melihat kembali ke arah luar jendela. Netraku seketika membola, karena wanita itu sudah tidak ada di sana. Aku menyapukan pandangan ke sana, kemari, namun yang ada hanya kegelapan.Tanpa pikir panjang aku bergegas berlari keluar kamar, lalu berjalan menuju luar rumah. Aku langsung mencari-cari ke sekeliling taman, tak juga kujumpai sosok mirip Aruna barusan. Aku memegang kepala yang pening setelah lelah mencari. Ah, jangan-jangan aku juga ikut berhalusinasi seperti Saskia?Aku mulai mengacak rambut karena bingung, sampai mendadak tersentak kaget karena seseorang menepuk pundakku. Aku langsung menoleh, dan melihat Mbok Asri ada di sana, menatapku dengan pandangan bingung."Astaga, Mbok! Mbok Asri mau saya jantungan, ya?" tanyaku kesal pada wanita tua bertubuh tambun itu."Den Denis ngapain di luar malam-malam?" Dia balik bertanya.Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, agak bingung harus menjawab apa."Mbok Asri melihat Aruna di sini, tidak?" tanyaku kemudian."Neng Aruna?" Kening wanita itu mengkerut. "Den Denis ini bicara apa?""Ah, maksud saya ... wanita yang mirip Aruna, Mbok. Tadi berdiri di sini," ucapku menjelaskan."Mana mungkin ada wanita masuk ke sini, Den? Den Denis pasti mimpi."Aku mengusap wajah, masih bingung dengan pandanganku sendiri. Baru tadi aku menyebut Saskia sedang halu, ternyata aku juga mengalaminya."Tapi kalau Den Denis melihat wanita mirip Neng Runa ... bisa jadi itu beneran Neng Runa, Den," celetuk Mbok Asri lagi, yang membuatku tersentak lagi."Maksud Mbok Asri?""Kata orang, arwah orang yang meninggal akan tetap berada di rumahnya selama 40 hari, Den. Jadi mungkin Den Denis benar-benar melihat Neng Aruna," lanjut Mbok Asri menjelaskan.Aku terdiam mendengar ucapan Mbok Asri itu, lalu mendadak bulu kudukku berdiri. Bukannya itu cuma mitos? Apa iya orang yang sudah mati bisa gentayangan? Sepertinya aku harus menanyakan hal ini pada Mbah Jupri besok."Atau mungkin kematian Neng Runa memang gak wajar seperti kata orang-orang, Den?"Aku kaget mendengar pertanyaan Mbok Asri, dan seketika mendelik ke arahnya."Mbok Asri ngomong apa?" tanyaku."Orang-orang pada ngomongin kalau kematian Neng Runa terlalu mendadak, Den. Bisa jadi kena santet sama orang yang gak suka sama pernikahan dan kesuksesan Den Denis dan Neng Runa," ucap Mbok Asri panjang lebar. "Kalau benar begitu, wajar jika arwah Neng Runa gak tenang."Aku memegang pelipis karena pening. Padahal kami tinggal di perkotaan dan perumahan mewah yang modern, tapi ternyata masih banyak juga yang masih percaya ilmu hitam. Perkiraanku dan Mama selama ini ternyata salah."Den. Den Denis baik-baik saja?" Mbok Asri bertanya lagi, membuyarkanku dari lamunan."Nggak apa-apa, Mbok," jawabku tergagap. "Mbok Asri juga ngapain masih di luar?""Kan tadi Mbok gak sengaja melihat Den Denis berjalan di sini, kelihatan bingung. Mbok pikir Den Denis ngelindur."Aku membuang napas kesal mendengar alasannya."Ya sudah, masuk rumah lagi, Mbok. Jangan lupa mengunci semua jendela dan pintu.""Baik, Den."Mbok Asri berjalan meninggalkanku yang masih berdiri di luar, memikirkan perkataannya barusan. Aku curiga wanita tua itu cuma mencoba menakut-nakutiku saja. Dia itu sudah lama bekerja dengan Aruna, jadi aku yakin dialah yang menyebarkan gosip itu. Sepertinya aku harus mencari cara menyingkirkan wanita tua itu juga setelah ini.Aku menarik napas panjang, dan berjalan kembali ke dalam rumah setelah memastikan memang tidak ada siapa-siapa di luar rumah. Mungkin tadi memang cuma bayanganku saja....Rumah Mbah Jupri yang letaknya cukup jauh dari perkotaan, membuatku menghabiskan berjam-jam untuk sampai ke sana. Rumah yang terlihat sangat sederhana itu berada di kaki bukit, dan letaknya jauh sekali dari perkampungan."Mbah sudah menunggu kedatanganmu, Le." Seperti biasa, lelaki berjenggot putih itu selalu tahu jika aku akan datang.Dia memintaku untuk duduk bersila di depannya."Mbah, apa istri saya benar-benar sudah meninggal?" tanyaku tak sabar."Apa ada yang membuka petinya sebelum sampai ke liang lahat?" Mbah Jupri balik bertanya.Aku terdiam sejenak. Aku terakhir melihat Aruna saat berada di rumah sakit, saat dia tengah bertarung dengan maut, dan mengucapkan sumpah serapahnya padaku. Setelah itu, aku memang tidak melihat jazadnya karena petugas rumah sakit sudah memasukkannya dalam peti. Peti itu sendiri Mbah Jupri yang menyiapkan."Tidak, Mbah. Saya pastikan sejak dimasukkan ke dalam peti, tak ada seorangpun yang membukanya," jawabku."Kalau begitu kalian tidak perlu khawatir," ucap Mbah Jupri lagi."Tapi, Mbah ...." Aku ragu-ragu ingin mengatakan jika aku melihat bayang-bayang Aruna, begitupun dengan Saskia."Kenapa? Kamu dibayangi oleh istrimu?"Aku kaget karena Mbah Jupri tahu yang aku pikirkan. Pria tua itu tertawa melihat wajahku yang kebingungan."Jangan khawatir. Itu cuma sementara saja, nanti juga pasti akan menghilang sendiri," ucap Mbah Jupri kemudian. "Bersabar saja sampai tujuh hari kematiannya."Pria tua itu mengusap jenggotnya sesaat, lalu mengambil botol yang menyerupai parfum. Dia mengulurkannya padaku."Seperti biasa, pakai ini saat bertemu dengan Mama mertuamu."Aku tersenyum sambil menerima botol itu. Aku memang kurang percaya tahayul, tapi memang sikap Mama mertua begitu baik padaku setiap aku memakainya. Dengan begitu, akan lebih mudah juga bagiku untuk menjalankan semua rencanaku."Terima kasih, Mbah," ucapku sambil mengambil amplop coklat tebal, dan memberikannya pada Mbah Jupri.Mbah Jupri manggut-manggut sambil tersenyum, lalu mengantarkanku sampai ke depan pintu kayu rumahnya. Aku meninggalkan rumah Mbah Jupri dan meluncur kembali ke arah kota, setelah berpamitan dengannya.Sepanjang perjalanan, pikiranku melayang tidak tentu arah. Entah kenapa, aku masih belum bisa sepenuhnya percaya pada ucapan Mbah Jupri tentang Aruna. Bayangan Aruna waktu itu begitu jelas, sama sekali tak terlihat seperti arwah gentayangan. Aku benar-benar ingin membuktikan jika pikiranku itu salah.Tiba-tiba saja, aku terpikirkan sesuatu. Detik itu juga aku banting stir, mengubah pikiran untuk langsung pulang ke rumah.Ya, aku harus ke rumah sakit. Pihak rumah sakit pasti tahu, Aruna sudah benar-benar meninggal, atau mungkin saja masih hidup!POV Aruna"Rumah sakit jiwa?" Aku kaget mendengar keterangan petugas kepolisian itu."Benar, sejak dibawa kemari, tahanan terus berteriak dan membuat keributan, sehingga kami segera melakukan tindakan pemeriksaan. Hasilnya, memang tahanan terganggu kejiwaannya," jawab petugas itu lagi.Aku terdiam sebentar setelah mendengar hal itu. Padahal saat ditangkap Bu Yanti tampak baik-baik saja, meskipun pandangannya kosong dan tampak sangat shock."Boleh saya tahu alamat rumah sakitnya?" tanyaku lagi."Silakan ikut dengan saya. " Petugas itu membawaku ke meja kerjanya, lalu mencatatkan alamat rumah sakit jiwa tempat Bu Yanti dirawat.Setelah mendapatkan alamat itu dan mengucapkan terima kasih, aku langsung meluncur ke alamat tersebut dengan mobil milik Leo. Bukan tak percaya dengan keterangan polisi, tapi aku hanya ingin memastikan jika wanita itu tidak berpura-pura gila. Itu karena dulu saat menjadi mertuaku, actingnya sungguh luar biasa.Sesampainya di gedung rumah sakit yang letaknya cukup
POV Aruna"Tolong! Tolong Saskia!" teriakku histeris, seperti orang gila melihat darah yang terus merembes dari kepala Saskia. "Tolong panggilkan ambulan! Siapa saja, tolong! Tolong panggil ambulan!"Tak berapa lama kemudian Nyonya Merry dan Melany datang, dan ikut panik bukan main melihat kondisi Saskia. Nyonya Merry cepat-cepat memanggil ambulan, sedangkan aku masih terus memeluk Saskia sambil menangis.Beberapa lama kemudian, para petugas ambulan datang dan langsung mengangkat Saskia dengan menggunakan tandu. Aku dan Nyonya Merry mengikuti mereka sampai Saskia dimasukkan ke dalam mobil putih bersirine itu."Tante akan ikut duluan ke rumah sakit. Susul kami setelah ini, Runa," ucap Nyonya Merry sambil ikut masuk ke dalam mobil.Aku hanya bisa mengangguk di sela tangisku. Dalam beberapa detik, suara sirine mendayu-dayu, dan mobil pun mulai berjalan meninggalkan tempat itu.Di saat yang sama, terlihat petugas polisi menggiring Bu Yanti dan Mas Denis. Kedua tangan mereka diborgol ke be
POV Aruna"Tunggu dulu! Tunggu dulu, Pak polisi!" Bu Yanti menghalangi para petugas itu saat akan mendekati Mas Denis."Anak saya tidak melakukan apapun! Kalian tidak bisa menangkapnya!" teriaknya."Silakan melakukan laporan pembelaan di kantor polisi, Bu," jawab salah satu petugas itu. "Kami hanya melaksanakan tugas.""Tidak! Kalian tidak boleh menangkapnya tanpa bukti!""Kami sudah memiliki bukti yang kuat atas kasus yang dituduhkan, jadi sebaiknya Ibu tidak menghalangi tugas kami.""Seharusnya mereka yang ditangkap, Pak!" Bu Yanti menatap ke arahku, juga Nyonya Merry dan Melany. "Mereka sudah menipu kami!""Lebih baik kamu diam dan biarkan para petugas itu menangkap putramu, Bu Yanti," ucap Nyonya Merry sambil menatap tajam ke arah Bu Yanti."Kamu yang seharusnya diam, Nyonya!" Bu Yanti tidak mau kalah. Dia membalas tatapan Nyonya Sonia dengan tidak kalah tajam. "Permainanmu ini sungguh seperti anak kecil! Untuk apa kamu melakukan ini, hah? Agar putrimu tidak disebut perempuan mura
POV Aruna"Sebenarnya apa yang Bu Yanti inginkan?" tanyaku kemudian sambil menatap ke arah mereka."Astaga, Aruna. Bagaimanapun, kamu pernah memanggilku Mama. Tega sekali di acara sepenting ini kamu tidak mengundang kami," jawab Bu Yanti, lagi-lagi dengan nada suara yang sengaja ditinggikan."Mama?" Aku seketika ingin tertawa mendengarnya. Entah otak dan pikiran wanita tua itu berada di mana sekarang, sampai berkata sesuatu yang mempermalukan dirinya sendiri."Ada apa ini?"Kami semua menoleh, dan terlihat Mama berdiri di belakang kami dengan wajah cemas."Kamu baik-baik saja, Runa?" tanyanya lagi.Aku hanya mengangguk pada Mama tanpa menjawab. Dia lalu menatap heran ke arah Bu Yanti."Jeng Sonia, semudah itu keluarga kalian melupakan kami. Padahal sebelumnya kita seperti saudara," ucap Bu Yanti lagi pada Mama. "Aruna bertunangan, saya juga ingin mengucapkan selamat, Jeng. Tega sekali tidak mengundang dan melupakan kami.""Maaf, Bu Yanti. Acara ini dikhususkan untuk kerabat dan sahaba
POV ArunaAku menatap ke arah Saskia yang tertidur di jok belakang mobil sambil tetap memeluk bayinya. Baru beberapa bulan, tapi penampilannya jauh berbeda dari dia yang dulu. Rambutnya berantakan, wajahnya kusam, dan tubuhnya mengeluarkan bau tak sedap. Kentara sekali dia tidak terurus sama sekali."Kita harus membawa mereka ke rumah sakit," ucap Leo yang berada di depan kemudi. "Sepertinya mereka butuh pemeriksaan kesehatan."Aku mengangguk setuju. Aku kaget sekali saat tiba-tiba hari ini Saskia menelponku sambil menangis dan meminta aku menjemputnya. Meskipun aku sudah mendengar kondisinya dari informasi Nyonya Merry, aku tak menyangka jika dia jauh lebih parah dari yang kudengar."Kia, biar kugendong bayimu," ucapku lirih sambil pelan-pelan meraih bayi dalam gendongan Saskia.Saskia cuma sedikit mengeliat, masih dengan mata terpejam, membiarkanku menggendong bayinya. Dia kelihatan kelelahan sekali, atau bahkan mungkin memang tidak sehat.Aku menatap ke arah bayi mungil yang juga s
"Apa yang terjadi, Pak Denis?" Melany menatap ke arahku dengan pandangan heran."Maaf, Bu. Saya ... ada sedikit masalah di rumah," jawabku sambil berdiri dari duduk, dan salah tingkah karena bingung."Kalau begitu biar saya antarkan pulang." Melany ikut berdiri dari duduknya."Tidak usah, Bu. Saya bisa naik taksi. Saya tidak ingin merepotkan Bu Melany," jawabku lagi."Astaga, Pak Denis. Sama sekali tidak merepotkan. Kalau naik taksi harus menunggu lama, lebih cepat saya antar."Akhirnya aku tidak bisa menolak lagi, karena ingin segera ingin tahu apa yang terjadi di rumah. Dalam beberapa menit, kami sudah meluncur menuju arah rumahku dengan menggunakan mobil Melany.Sesampainya di rumah, terdengar suara Mama mengomel, sedangkan Saskia terdengar menangis tersedu-sedu, bersamaan dengan suara Rasya yang menangis juga. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung masuk untuk melihat apa yang terjadi.Saskia duduk bersimpuh di lantai kamar sambil menangis, sedangkan putri kami berada di atas tempa