Share

Rencana

Setelah refleks melepaskan tangan Saskia dari pinggangku, aku berbalik dengan cepat. Jantungku berdegup kencang ketika melihat Bu Sonia menatap ke arahku dengan wajah heran.

"A-ada apa, Ma?" tanyaku dengan perasaan was-was, dan tak bisa menyembunyikan sikap salah tingkahku.

Aku benar-benar berharap Mama mertuaku itu tak sempat melihat apa yang aku dan Saskia lakukan tadi, saat masuk ke pintu ruang dapur bersih.

"Kalian sedang apa berduaan saja di sini?" tanya Bu Sonia sambil menatap ke arahku dan Saskia bergantian.

"Ah, tidak, Ma. Aku tadi ingin mengambil minum, dan tak sengaja bertemu Saskia di sini," ucapku kemudian, sambil menyeka keringat yang mulai membasahi pelipis.

"Benar, Tante," sahut Saskia, yang juga kelihatan salah tingkah.

Bu Sonia masih menatap ke arah kami dengan pandangan yang susah diartikan.

"Ada apa ini?" Tiba-tiba Mama muncul, membuatku seperti kedatangan malaikat penyelamat. Mama langsung mendelik ke arahku dan Saskia.

"Kenapa kalian bisa berdua-duaan di sini?" tanyanya kemudian, dengan wajah yang meyakinkan sekali jika sedang marah. "Kalian tahu kan, setan bisa saja membuat kalian khilaf. Ingat istrimu, Denis!"

"Sudah, Bu, jangan marah-marah seperti ini." Bu Sonia mengelus pundak Mama, menenangkannya. "Sepertinya kita salah paham. Mereka tidak melakukan apa-apa."

"Bukan begitu, Jeng. Bagaimanapun, kita harus mencegah segala kemungkinan yang akan terjadi. Makam menantuku masih basah, Jeng." Mama mulai memukul dadanya, dengan air mata yang mengalir deras.

"Sudah, Bu, sudah." Bu Sonia mulai terlihat panik melihat besannya menangis. "Pasti ini cuma salah paham saja, Denis juga tidak mungkin macam-macam dengan Saskia."

"Benar, Ma. Kami tidak melakukan apa-apa," sahutku kemudian. "Kami cuma tak sengaja bertemu di sini dan ngobrol sebentar."

"Awas saja kalau kamu macam-macam, Denis." Mama menunjuk ke arahku dengan mata melotot.

"Sudah, Bu. Jangan menuduh Denis macam-macam lagi." Bu Sonia masih mengelus pundak Mama. "Saskia, ikut Tante ke depan."

"Iya, Tante." Saskia menurut, lalu mengikuti Bu Sonia ke depan.

Setelah mereka berdua pergi, Mama langsung mengusap air matanya dan mendekatiku seraya mendelik.

"Ceroboh sekali kamu, Denis!" ucapnya padaku. "Bisa-bisanya berduaan dengan Saskia di rumah ini. Bagaimana kalau mertuamu curiga, hah?"

"Maaf, Ma. Tadi aku benar-benar ...."

"Sudah jangan mencari alasan!" potong Mama. "Kamu harus menahan sendiri sebentar kalau benar-benar ingin bersama Saskia. Setidaknya sampai semua aset milik Aruna jatuh ke tanganmu. Setelah itu, baru kamu boleh berbuat sesukamu!"

"Iya, Ma, iya." Aku tak bisa lagi membantah ucapan Mama.

Sebenarnya kami sudah bisa hidup enak dengan harta gono-gini yang aku dapatkan jika seandainya Aruna dulu benar-benar menceraikanku. Namun benar kata Mama, kenapa cuma puas dengan sedikit, jika bisa mendapatkan lebih banyak?

Aruna sudah tiada, dan kami belum punya anak. Semua akan segera jatuh ke tanganku, sesuai dengan perjanjian pra nikah yang diam-diam aku rancang agar menguntungkanku. Bahkan uang asuransi jiwa Aruna yang jumlahnya fantastis juga akan kudapatkan sebentar lagi.

"Ya sudah, Denis. Acara sebentar lagi selesai. Jangan sampai kamu mengulangi hal seperti itu tadi!" ancam Mama.

Aku hanya bisa menuruti ucapan Mama. Setelah acara selesai, Mama tak langsung mengajakku pulang karena masih berbincang dengan Bu Sonia di ruang tengah. Aku bisa mendengar perbincangan mereka dari tempatku duduk.

"Meskipun Aruna sudah tiada, saya harap kita masih bisa menjalin hubungan yang baik, Jeng. Jangan sampai putus di sini saja," ucap Mama sambil memegang tangan Bu Sonia.

"Iya, Bu. Sudah pasti. Denis juga sudah saya anggap putra saya sendiri. Jika suatu saat dia ingin menikah lagi, biar saya yang akan urus semuanya," jawab Bu Sonia.

"Tidak, Jeng. Bagi saya, Aruna adalah menantu saya satu-satunya. Denis juga pasti akan sangat sulit untuk tertarik pada wanita lain setelah ini," jawab Mama lagi.

"Seandainya saya punya satu putri lagi ...." Bu Sonia terlihat terisak. "Saya masih beruntung punya kalian yang begitu baik."

"Sudah jadi kewajiban kami, Jeng." Mama mengelus pundak Bu Sonia.

Aku menarik napas sambil memperhatikan mereka. Diam-diam aku mengagumi kemampuan Mama bersandiwara. Bu Sonia itu terlalu baik hati, mungkin hanya satu dari seribu wanita seperti dia. Harta kekayaan peninggalan suaminya yang begitu melimpah, hanya dia habiskan untuk membiayai anak-anak yatim asuhannya.

Begitupun Aruna, yang sejak menikah denganku, mempercayakan seluruh perusahaannya padaku. Itu juga karena aku berjuang keras untuk mendapatkan posisi itu, saat aku masih menjadi bawahannya dulu. Ah, Aruna. Seandainya waktu itu kamu mau memaafkan kekhilafanku ....

Setelah tujuh hari kematian Aruna, aku sudah tidak pernah melihat penampakan sosok mirip Aruna lagi, seperti yang Mbah Jupri katakan waktu itu. Namun aku masih datang beberapa kali dalam mimpi dengan wujud yang menakutkan. Mungkin karena aku masih belum bisa lepas dari bayangannya.

Hubunganku dengan Saskia juga semakin dekat, tanpa khawatir ada yang mengganggu lagi. Kami bertemu beberapa kali di hotel dalam seminggu. Selebihnya kami sering bertemu di rumah Bu Sonia, karena hampir setiap hari Saskia ada di sana. Sepertinya Saskia juga mulai berhasil menggantikan posisi Aruna, karena Bu Sonia tak henti-hentinya memujinya saat bersamanya. Dia juga selalu membelikan apapun yang Saskia butuhkan.

"Mas, kapan kamu menikahiku?" tanya Saskia saat kami makan siang di restoran hotel.

"Sabar, Kia. Kalau kita cepat menikah, orang-orang terutama Bu Sonia akan curiga," hawabku. "Lagipula melihat keadaan sekarang, pasti Bu Sonia sendiri yang akan meminta kita untuk menikah."

"Tapi aku sudah tidak sabar, Mas. Aruna juga sudah jadi tanah, mau tunggu apa lagi?"

"Tunggu sampai uang asuransi Aruna kudapatkan, dan seluruh aset miliknya berganti namaku," jawabku lagi.

Wajah Saskia langsung berbinar. "Benar juga, Mas. Kalau kita bisa mendapatkan semuanya, kenapa tidak?"

Kami berdua tersenyum bersama, mengingat sebentar lagi kami akan bahagia tanpa ada yang perlu ditakutkan lagi. Aku yakin, semua akan berjalan lancar sesuai rencana.

Saat kami masih sibuk berbincang, tiba-tiba gawaiku berdering. Telepon dari rumah. Aku cepat-cepat mengangkatnya, dan langsung disambut oleh suara Mbok Asri yang terdengar panik.

"Halo, Mbok Asri." Aku mengerutkan kening. "Apa yang terjadi?" tanyaku.

"Anu, Den. Nyonya besar ... Nyonya besar jatuh pingsan, Den."

"Pingsan?" Aku kaget, begitupun dengan Saskia yang menatap ke arahku.

"Tadi Nyonya berteriak-teriak memanggil nama Neng Aruna. Pas Mbok sampai ke kamarnya, Nyonya sudah jatuh pingsan di atas lantai."

Aku seketika berdiri mendengar ucapan Mbok Asri. Apa sekarang giliran Mama yang melihat penampakan Aruna? Ah, ini mustahil!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Restoe Boemi
denis ternyata gak benar benar tulus sm aruna, cm mau nguasai hartanya sj
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status