Share

Rencana

last update Last Updated: 2023-08-10 09:17:19

Setelah refleks melepaskan tangan Saskia dari pinggangku, aku berbalik dengan cepat. Jantungku berdegup kencang ketika melihat Bu Sonia menatap ke arahku dengan wajah heran.

"A-ada apa, Ma?" tanyaku dengan perasaan was-was, dan tak bisa menyembunyikan sikap salah tingkahku.

Aku benar-benar berharap Mama mertuaku itu tak sempat melihat apa yang aku dan Saskia lakukan tadi, saat masuk ke pintu ruang dapur bersih.

"Kalian sedang apa berduaan saja di sini?" tanya Bu Sonia sambil menatap ke arahku dan Saskia bergantian.

"Ah, tidak, Ma. Aku tadi ingin mengambil minum, dan tak sengaja bertemu Saskia di sini," ucapku kemudian, sambil menyeka keringat yang mulai membasahi pelipis.

"Benar, Tante," sahut Saskia, yang juga kelihatan salah tingkah.

Bu Sonia masih menatap ke arah kami dengan pandangan yang susah diartikan.

"Ada apa ini?" Tiba-tiba Mama muncul, membuatku seperti kedatangan malaikat penyelamat. Mama langsung mendelik ke arahku dan Saskia.

"Kenapa kalian bisa berdua-duaan di sini?" tanyanya kemudian, dengan wajah yang meyakinkan sekali jika sedang marah. "Kalian tahu kan, setan bisa saja membuat kalian khilaf. Ingat istrimu, Denis!"

"Sudah, Bu, jangan marah-marah seperti ini." Bu Sonia mengelus pundak Mama, menenangkannya. "Sepertinya kita salah paham. Mereka tidak melakukan apa-apa."

"Bukan begitu, Jeng. Bagaimanapun, kita harus mencegah segala kemungkinan yang akan terjadi. Makam menantuku masih basah, Jeng." Mama mulai memukul dadanya, dengan air mata yang mengalir deras.

"Sudah, Bu, sudah." Bu Sonia mulai terlihat panik melihat besannya menangis. "Pasti ini cuma salah paham saja, Denis juga tidak mungkin macam-macam dengan Saskia."

"Benar, Ma. Kami tidak melakukan apa-apa," sahutku kemudian. "Kami cuma tak sengaja bertemu di sini dan ngobrol sebentar."

"Awas saja kalau kamu macam-macam, Denis." Mama menunjuk ke arahku dengan mata melotot.

"Sudah, Bu. Jangan menuduh Denis macam-macam lagi." Bu Sonia masih mengelus pundak Mama. "Saskia, ikut Tante ke depan."

"Iya, Tante." Saskia menurut, lalu mengikuti Bu Sonia ke depan.

Setelah mereka berdua pergi, Mama langsung mengusap air matanya dan mendekatiku seraya mendelik.

"Ceroboh sekali kamu, Denis!" ucapnya padaku. "Bisa-bisanya berduaan dengan Saskia di rumah ini. Bagaimana kalau mertuamu curiga, hah?"

"Maaf, Ma. Tadi aku benar-benar ...."

"Sudah jangan mencari alasan!" potong Mama. "Kamu harus menahan sendiri sebentar kalau benar-benar ingin bersama Saskia. Setidaknya sampai semua aset milik Aruna jatuh ke tanganmu. Setelah itu, baru kamu boleh berbuat sesukamu!"

"Iya, Ma, iya." Aku tak bisa lagi membantah ucapan Mama.

Sebenarnya kami sudah bisa hidup enak dengan harta gono-gini yang aku dapatkan jika seandainya Aruna dulu benar-benar menceraikanku. Namun benar kata Mama, kenapa cuma puas dengan sedikit, jika bisa mendapatkan lebih banyak?

Aruna sudah tiada, dan kami belum punya anak. Semua akan segera jatuh ke tanganku, sesuai dengan perjanjian pra nikah yang diam-diam aku rancang agar menguntungkanku. Bahkan uang asuransi jiwa Aruna yang jumlahnya fantastis juga akan kudapatkan sebentar lagi.

"Ya sudah, Denis. Acara sebentar lagi selesai. Jangan sampai kamu mengulangi hal seperti itu tadi!" ancam Mama.

Aku hanya bisa menuruti ucapan Mama. Setelah acara selesai, Mama tak langsung mengajakku pulang karena masih berbincang dengan Bu Sonia di ruang tengah. Aku bisa mendengar perbincangan mereka dari tempatku duduk.

"Meskipun Aruna sudah tiada, saya harap kita masih bisa menjalin hubungan yang baik, Jeng. Jangan sampai putus di sini saja," ucap Mama sambil memegang tangan Bu Sonia.

"Iya, Bu. Sudah pasti. Denis juga sudah saya anggap putra saya sendiri. Jika suatu saat dia ingin menikah lagi, biar saya yang akan urus semuanya," jawab Bu Sonia.

"Tidak, Jeng. Bagi saya, Aruna adalah menantu saya satu-satunya. Denis juga pasti akan sangat sulit untuk tertarik pada wanita lain setelah ini," jawab Mama lagi.

"Seandainya saya punya satu putri lagi ...." Bu Sonia terlihat terisak. "Saya masih beruntung punya kalian yang begitu baik."

"Sudah jadi kewajiban kami, Jeng." Mama mengelus pundak Bu Sonia.

Aku menarik napas sambil memperhatikan mereka. Diam-diam aku mengagumi kemampuan Mama bersandiwara. Bu Sonia itu terlalu baik hati, mungkin hanya satu dari seribu wanita seperti dia. Harta kekayaan peninggalan suaminya yang begitu melimpah, hanya dia habiskan untuk membiayai anak-anak yatim asuhannya.

Begitupun Aruna, yang sejak menikah denganku, mempercayakan seluruh perusahaannya padaku. Itu juga karena aku berjuang keras untuk mendapatkan posisi itu, saat aku masih menjadi bawahannya dulu. Ah, Aruna. Seandainya waktu itu kamu mau memaafkan kekhilafanku ....

Setelah tujuh hari kematian Aruna, aku sudah tidak pernah melihat penampakan sosok mirip Aruna lagi, seperti yang Mbah Jupri katakan waktu itu. Namun aku masih datang beberapa kali dalam mimpi dengan wujud yang menakutkan. Mungkin karena aku masih belum bisa lepas dari bayangannya.

Hubunganku dengan Saskia juga semakin dekat, tanpa khawatir ada yang mengganggu lagi. Kami bertemu beberapa kali di hotel dalam seminggu. Selebihnya kami sering bertemu di rumah Bu Sonia, karena hampir setiap hari Saskia ada di sana. Sepertinya Saskia juga mulai berhasil menggantikan posisi Aruna, karena Bu Sonia tak henti-hentinya memujinya saat bersamanya. Dia juga selalu membelikan apapun yang Saskia butuhkan.

"Mas, kapan kamu menikahiku?" tanya Saskia saat kami makan siang di restoran hotel.

"Sabar, Kia. Kalau kita cepat menikah, orang-orang terutama Bu Sonia akan curiga," hawabku. "Lagipula melihat keadaan sekarang, pasti Bu Sonia sendiri yang akan meminta kita untuk menikah."

"Tapi aku sudah tidak sabar, Mas. Aruna juga sudah jadi tanah, mau tunggu apa lagi?"

"Tunggu sampai uang asuransi Aruna kudapatkan, dan seluruh aset miliknya berganti namaku," jawabku lagi.

Wajah Saskia langsung berbinar. "Benar juga, Mas. Kalau kita bisa mendapatkan semuanya, kenapa tidak?"

Kami berdua tersenyum bersama, mengingat sebentar lagi kami akan bahagia tanpa ada yang perlu ditakutkan lagi. Aku yakin, semua akan berjalan lancar sesuai rencana.

Saat kami masih sibuk berbincang, tiba-tiba gawaiku berdering. Telepon dari rumah. Aku cepat-cepat mengangkatnya, dan langsung disambut oleh suara Mbok Asri yang terdengar panik.

"Halo, Mbok Asri." Aku mengerutkan kening. "Apa yang terjadi?" tanyaku.

"Anu, Den. Nyonya besar ... Nyonya besar jatuh pingsan, Den."

"Pingsan?" Aku kaget, begitupun dengan Saskia yang menatap ke arahku.

"Tadi Nyonya berteriak-teriak memanggil nama Neng Aruna. Pas Mbok sampai ke kamarnya, Nyonya sudah jatuh pingsan di atas lantai."

Aku seketika berdiri mendengar ucapan Mbok Asri. Apa sekarang giliran Mama yang melihat penampakan Aruna? Ah, ini mustahil!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Restoe Boemi
denis ternyata gak benar benar tulus sm aruna, cm mau nguasai hartanya sj
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Akhir ( TAMAT )

    POV Aruna"Rumah sakit jiwa?" Aku kaget mendengar keterangan petugas kepolisian itu."Benar, sejak dibawa kemari, tahanan terus berteriak dan membuat keributan, sehingga kami segera melakukan tindakan pemeriksaan. Hasilnya, memang tahanan terganggu kejiwaannya," jawab petugas itu lagi.Aku terdiam sebentar setelah mendengar hal itu. Padahal saat ditangkap Bu Yanti tampak baik-baik saja, meskipun pandangannya kosong dan tampak sangat shock."Boleh saya tahu alamat rumah sakitnya?" tanyaku lagi."Silakan ikut dengan saya. " Petugas itu membawaku ke meja kerjanya, lalu mencatatkan alamat rumah sakit jiwa tempat Bu Yanti dirawat.Setelah mendapatkan alamat itu dan mengucapkan terima kasih, aku langsung meluncur ke alamat tersebut dengan mobil milik Leo. Bukan tak percaya dengan keterangan polisi, tapi aku hanya ingin memastikan jika wanita itu tidak berpura-pura gila. Itu karena dulu saat menjadi mertuaku, actingnya sungguh luar biasa.Sesampainya di gedung rumah sakit yang letaknya cukup

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Kehilangan

    POV Aruna"Tolong! Tolong Saskia!" teriakku histeris, seperti orang gila melihat darah yang terus merembes dari kepala Saskia. "Tolong panggilkan ambulan! Siapa saja, tolong! Tolong panggil ambulan!"Tak berapa lama kemudian Nyonya Merry dan Melany datang, dan ikut panik bukan main melihat kondisi Saskia. Nyonya Merry cepat-cepat memanggil ambulan, sedangkan aku masih terus memeluk Saskia sambil menangis.Beberapa lama kemudian, para petugas ambulan datang dan langsung mengangkat Saskia dengan menggunakan tandu. Aku dan Nyonya Merry mengikuti mereka sampai Saskia dimasukkan ke dalam mobil putih bersirine itu."Tante akan ikut duluan ke rumah sakit. Susul kami setelah ini, Runa," ucap Nyonya Merry sambil ikut masuk ke dalam mobil.Aku hanya bisa mengangguk di sela tangisku. Dalam beberapa detik, suara sirine mendayu-dayu, dan mobil pun mulai berjalan meninggalkan tempat itu.Di saat yang sama, terlihat petugas polisi menggiring Bu Yanti dan Mas Denis. Kedua tangan mereka diborgol ke be

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Tahanan

    POV Aruna"Tunggu dulu! Tunggu dulu, Pak polisi!" Bu Yanti menghalangi para petugas itu saat akan mendekati Mas Denis."Anak saya tidak melakukan apapun! Kalian tidak bisa menangkapnya!" teriaknya."Silakan melakukan laporan pembelaan di kantor polisi, Bu," jawab salah satu petugas itu. "Kami hanya melaksanakan tugas.""Tidak! Kalian tidak boleh menangkapnya tanpa bukti!""Kami sudah memiliki bukti yang kuat atas kasus yang dituduhkan, jadi sebaiknya Ibu tidak menghalangi tugas kami.""Seharusnya mereka yang ditangkap, Pak!" Bu Yanti menatap ke arahku, juga Nyonya Merry dan Melany. "Mereka sudah menipu kami!""Lebih baik kamu diam dan biarkan para petugas itu menangkap putramu, Bu Yanti," ucap Nyonya Merry sambil menatap tajam ke arah Bu Yanti."Kamu yang seharusnya diam, Nyonya!" Bu Yanti tidak mau kalah. Dia membalas tatapan Nyonya Sonia dengan tidak kalah tajam. "Permainanmu ini sungguh seperti anak kecil! Untuk apa kamu melakukan ini, hah? Agar putrimu tidak disebut perempuan mura

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Kejutan

    POV Aruna"Sebenarnya apa yang Bu Yanti inginkan?" tanyaku kemudian sambil menatap ke arah mereka."Astaga, Aruna. Bagaimanapun, kamu pernah memanggilku Mama. Tega sekali di acara sepenting ini kamu tidak mengundang kami," jawab Bu Yanti, lagi-lagi dengan nada suara yang sengaja ditinggikan."Mama?" Aku seketika ingin tertawa mendengarnya. Entah otak dan pikiran wanita tua itu berada di mana sekarang, sampai berkata sesuatu yang mempermalukan dirinya sendiri."Ada apa ini?"Kami semua menoleh, dan terlihat Mama berdiri di belakang kami dengan wajah cemas."Kamu baik-baik saja, Runa?" tanyanya lagi.Aku hanya mengangguk pada Mama tanpa menjawab. Dia lalu menatap heran ke arah Bu Yanti."Jeng Sonia, semudah itu keluarga kalian melupakan kami. Padahal sebelumnya kita seperti saudara," ucap Bu Yanti lagi pada Mama. "Aruna bertunangan, saya juga ingin mengucapkan selamat, Jeng. Tega sekali tidak mengundang dan melupakan kami.""Maaf, Bu Yanti. Acara ini dikhususkan untuk kerabat dan sahaba

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   POV Aruna--Perubahan

    POV ArunaAku menatap ke arah Saskia yang tertidur di jok belakang mobil sambil tetap memeluk bayinya. Baru beberapa bulan, tapi penampilannya jauh berbeda dari dia yang dulu. Rambutnya berantakan, wajahnya kusam, dan tubuhnya mengeluarkan bau tak sedap. Kentara sekali dia tidak terurus sama sekali."Kita harus membawa mereka ke rumah sakit," ucap Leo yang berada di depan kemudi. "Sepertinya mereka butuh pemeriksaan kesehatan."Aku mengangguk setuju. Aku kaget sekali saat tiba-tiba hari ini Saskia menelponku sambil menangis dan meminta aku menjemputnya. Meskipun aku sudah mendengar kondisinya dari informasi Nyonya Merry, aku tak menyangka jika dia jauh lebih parah dari yang kudengar."Kia, biar kugendong bayimu," ucapku lirih sambil pelan-pelan meraih bayi dalam gendongan Saskia.Saskia cuma sedikit mengeliat, masih dengan mata terpejam, membiarkanku menggendong bayinya. Dia kelihatan kelelahan sekali, atau bahkan mungkin memang tidak sehat.Aku menatap ke arah bayi mungil yang juga s

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Perasaan

    "Apa yang terjadi, Pak Denis?" Melany menatap ke arahku dengan pandangan heran."Maaf, Bu. Saya ... ada sedikit masalah di rumah," jawabku sambil berdiri dari duduk, dan salah tingkah karena bingung."Kalau begitu biar saya antarkan pulang." Melany ikut berdiri dari duduknya."Tidak usah, Bu. Saya bisa naik taksi. Saya tidak ingin merepotkan Bu Melany," jawabku lagi."Astaga, Pak Denis. Sama sekali tidak merepotkan. Kalau naik taksi harus menunggu lama, lebih cepat saya antar."Akhirnya aku tidak bisa menolak lagi, karena ingin segera ingin tahu apa yang terjadi di rumah. Dalam beberapa menit, kami sudah meluncur menuju arah rumahku dengan menggunakan mobil Melany.Sesampainya di rumah, terdengar suara Mama mengomel, sedangkan Saskia terdengar menangis tersedu-sedu, bersamaan dengan suara Rasya yang menangis juga. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung masuk untuk melihat apa yang terjadi.Saskia duduk bersimpuh di lantai kamar sambil menangis, sedangkan putri kami berada di atas tempa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status