POV Denis"Dek ....""Diam kamu, Mas! Kamu tidak punya hak untuk bicara!" Aruna menyela ucapanku, sebelum aku sempat bicara. "Biar aku yang sekarang bicara!"Pandangan Aruna berubah tajam padaku."Sandiwara kalian sungguh luar biasa, sampai-sampai bisa menipuku dan Mama selama hampir setahun," ucapnya kemudian. "Sejak awal mendekatiku, mengambil hatiku, lalu menikahiku hanya karena ingin mendapatkan hartaku saja. Bahkan diam-diam membubuhkan racun dalam makananku agar aku mati pelan-pelan. Sungguh licik!""Dek, kamu salah paham. Tidak ada yang meracunimu," ucapku, menyangkal.Aruna tersenyum miring, lalu menatapku lagi."Aku sudah mendapatkan sampel makanan beracun yang setiap hari aku makan, rekaman percakapanmu dengan Mama atas rencana kalian, sidik jarimu dalam botol racun, dan saksi ahli atas semua itu. Kamu mau menyangkal apa lagi, Mas?"Aku terdiam seraya menelan saliva mendengar ucapan Aruna."Mungkin Mamamu masih bisa lepas dari jeratan hukum, tapi kamu tidak akan bisa lepas l
POV Denis"Sekarang sebaiknya kalian berdua pergi dari tempat ini, karena aku sudah mencabut jabatan sekaligus semua fasilitas kalian," ucap Aruna kemudian."Kamu tidak bisa melakukan itu pada kami, Aruna," ucapku, setengah berteriak. "Aku berhak atas separuh dari perusahaan ini!"Aruna tertawa lagi ketika mendengar ucapanku."Maksudmu ... perjanjian pra nikah yang diam-diam kamu rancang untuk menguntungkanmu, Mas?" tanyanya. "Di sana tertulis jika aku meninggal, kamu berhak atas perusahaan ini, dan jika kita bercerai, maka kamu berhak atas separuhnya. Bukankah begitu?"Aku terdiam. Dulu bahkan Aruna tidak pernah mempertanyakan kenapa aku membuat perjanjian pra nikah kami tertulis seperti itu. Itu karena dia begitu percaya padaku. Sekarang dia bahkan mengingat dengan jelas isi perjanjian itu."Bangun, Mas! Aku masih hidup! Dan kita belum bercerai!" ucapnya lantang, yang seketika membuatku kembali bungkam.Padahal baru beberapa saat yang lalu, aku berpikir semua rencanaku berjalan deng
POV Denis"Tolong hentikan, Pa! Hentikan!"Kulihat Saskia berlari ke arah sang papa, lalu bersujud memeluk kakinya seraya menangis."Tolong jangan pukul Mas Denis lagi! Dia tidak bersalah! Jangan pukul lagi, Pa!" raungnya.Pria yang setahuku bernama Joko itu mengangkat sebelah tangannya, mengisyaratkan agar anak buahnya berhenti memukuliku. Mereka menurut. Aku terbatuk karena nyeri yang amat sangat di perut dan wajahku."Seharusnya saya juga menghajar anak kurang ajar sepertimu, Saskia!" ucap Pak Joko dengan suara beratnya."Kami gak salah, Pa! Sejak awal kami sudah saling mencintai! Aruna yang merebut Mas Denis dariku!" jawab Saskia, masih sambil menangis."Saskia!"PLAK!Saskia terjatuh sambil memegang pipinya. Wajah Pak Joko terlihat memerah karena geram, menatap ke arah sang putri yang baru saja dia tampar itu."Kamu masih berani membela bajingan yang masih berstatus suami orang? Dia bahkan sudah membuatmu mengandung anak haram!"Saskia tak menjawab, masih memegangi pipinya yang m
POV Aruna"Syukurlah, kondisimu sudah jauh lebih baik." Aku bangkit dari tempat pemeriksaan begitu Leo selesai memeriksa, lalu berjalan dan duduk di depan meja dokter. Leo memperlihatkan hasil ex-ray padaku."Kondisi lambungmu sudah membaik, tapi tetap harus berhati-hati. Pasti berat sekali menjaga pola makan ketat, padahal tubuhmu sudah sekurus itu," ucap Leo lagi, setengah bercanda.Aku tersenyum kecut mendengar ucapan Leo. Setidaknya, Tuhan sudah memberiku kesempatan kedua untuk hidup, meskipun selama ini aku sudah mengkonsumsi racun yang pelan-pelan mematikan."Kenapa kau merubah pikiranmu untuk mengirim Denis ke penjara?" tanya Leo kemudian, seraya menatapku. "Jangan-jangan kau masih cinta padanya?""Jangan sembarangan ngomong kamu," sahutku sambil melirik kesal ke arahnya. "Aku hanya malas jika harus keluar masuk tempat persidangan, dan pasti prosesnya akan sangat panjang. Untuk saat ini, mengambil kembali apa yang sudah dia rampas, bagiku sudah cukup.""Yakin seperti itu?" Leo
POV Aruna"Ce- cerai?" Mas Denis perlahan bangkit, lalu kembali menatapku."Iya, Mas, kita cerai," jawabku dengan nada datar."Pengacaraku sudah mengurus semuanya, jadi kamu tidak perlu mengeluarkan uang. Aku sudah membawa bukti-bukti percobaan pembunuhan yang sudah kau lakukan ke pengadilan, dan hakim sudah mengabulkan gugatanku untuk membatalkan perjanjian pra nikah kita."Aku menatap ke arah pria di depanku itu lagi."Sekarang semua keputusan ada di tanganmu. Bercerai dan menandatangani surat pembatalan perjanjian pra nikah kita, atau masuk penjara. Tapi ingat, aku tetap bisa menuntut pembatalan perjanjian itu, karena kamu sudah terlibat kriminal dimana aku sendiri sebagai istrimu, adalah korbannya."Mas Denis tampak terdiam, entah apa yang dia pikirkan. Dia tentu berat memutuskannya, karena aku tahu benar dari awal yang dia incar adalah harta. Jika dia setuju berpisah dariku kali ini, dia tidak akan mendapatkan hak sedikitpun atas hartaku."Tanda tangani, Mas! Ceraikan dia!"Kami
POV Aruna"Jangan bercanda kamu, Leo!" Aku membuang muka, tak kuat melihat tatapan matanya yang lain dari biasanya itu, membuatku salah tingkah saja."Aku tidak bercanda, Aruna." Leo memegang pipiku, menghadapkan wajahku ke arahnya lagi."Aku sudah menunggu sejak lama untuk mengatakan ini padamu," ucapnya lagi. "Saat aku tahu Denis melakukan perbuatan yang begitu kejam padamu, akulah orang yang paling ingin menyuntik mati dia."Kedua mataku membulat sesaat. Aku tak bisa berkata apapun. Memang saat pertama kali mengetahui ada yang diam-diam meracuniku, ada sirat kemarahan di mata Leo. Begitu pun saat aku sedang kritis waktu itu, dialah yang paling panik, sampai membentak-bentak perawat saat akan menyelamatkanku. Aku melihatnya meskipun dalam keadaan setengah sadar. Leo benar-benar tulus mencemaskanku.Tapi ... aku masih menganggapnya sahabat hingga detik ini ...."Tapi, Leo ... saat ini aku belum resmi bercerai," ucapku pelan. "Aku juga harus melewati masa iddah, lalu mencari cara untu
POV Denis"Mas! Tolong!"Aku yang sejak tadi sibuk melihat-lihat lowongan pekerjaan yang ada di koran, seketika melonjak kaget saat mendengar jeritan Saskia. Aku bergegas menuju arah sumber suara, yang berasal dari kamar kami."Ada apa ini, Kia?" tanyaku panik, melihat Saskia terlihat sangat ketakutan di sudut kamar."Itu, Mas, itu ...." Saskia menunjuk-nunjuk. "Ada kecoa!"Aku yang tadinya panik karena mengira terjadi sesuatu, seketika langsung berubah kesal bukan main."Saskia! Kamu tahu gak kalau aku sedang sibuk?" bentakku padanya."Tapi aku takut, Mas!" Saskia masih terlihat gemetaran."Dengar, Saskia! Posisi kita sekarang tidak sama dengan yang dulu! Jadi tolong berhenti bersikap kekanak-kanakan!" ucapku lagi, sambil meninggalkannya dengan perasaan kesal.Aku tak peduli lagi dengan Saskia yang masih berteriak-teriak. Aku kembali mengambil koran di atas meja, lalu sibuk melingkari lowongan pekerjaan yang ada di sana. Sesekali aku mencocokkannya dengan informasi dari ponselku.Sej
POV Denis"Aduh, sakit, Mas!" Saskia terus mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya."Waduh, Pak Denis, sepertinya Neng Saskia akan melahirkan," ucap Pak RT, ikut panik. "Cepat segera dibawa ke rumah sakit.""T-tapi, Pak ... saya tidak punya mobil," jawabku kemudian, bingung tak tahu harus berbuat apa."Tenang saja, Pak Denis. Di balai desa ada ambulan milik kampung ini, biar saya mencari supir," ucap Pak RT lagi, lalu bergegas keluar dari rumah kami."Saskia, bertahanlah, Saskia." Mama memegangi tubuh Saskia, mencoba menenangkan Saskia yang terus saja merintih kesakitan.Aku sendiri hanya bisa mondar-mandir karena bingung. Kami sama sekali belum punya persiapan apapun, dan aku pikir Saskia akan melahirkan sekitar sebulan lagi. Aku tak menyangka dia mengalami kontraksi jauh lebih cepat. Apa yang aku lakukan sekarang?Lamunanku buyar ketika mendengar suara mobil berhenti di depan rumah."Pak Denis, bantu Neng Saskia masuk ke dalam mobil," ucap Pak RT begitu dia muncul dari luar.A