Share

Terror

last update Last Updated: 2023-09-07 13:52:39

"Tante Yanti kenapa, Mas?" Saskia ikut berdiri, menatapku dengan pandangan bingung.

"Mama pingsan, Saskia. Mbok Asri bilang Mama berteriak memanggil Aruna," jawabku sambil menutup telpon.

"Aruna?" Wajah Saskia berubah memucat. "Apa jangan-jangan kita benar-benar tidak salah lihat, Mas?"

Aku tak menjawab pertanyaan Saskia. Aku memang sudah bercerita padanya jika aku juga melihat sosok wanita mirip Aruna, tapi aku berkata padanya jika itu cuma bayangan saja. Buktinya, sudah cukup lama kami hidup damai tanpa melihatnya lagi. Kenapa kali ini Mama yang ....

"Aku harus pulang, Kia," ucapku pada Saskia kemudian.

"Aku ikut, Mas. Aku kan juga ingin tahu keadaan Tante Yanti." Saskia mengambil tasnya, lalu kami berdua pun bergegas meninggalkan restoran itu.

Kami segera menuju mobil, dan langsung meluncur pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Mbok Asri membukakan pintu, dan menyambut kami dengan wajah yang masih panik.

"Mama bagaimana, Mbok?" tanyaku kemudian.

"Masih belum siuman, Den. Mbok gak kuat mengangkat tubuh Nyonya sendirian."

Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung berlari menuju kamar Mama.

"Bukan kamar itu, Den, tapi kamar Neng Aruna," ucap Mbok Asri, membuatku kaget.

Aku urung bertanya, dan langsung menuju kamar pribadi Aruna. Benar saja, Mama masih tergeletak di lantai. Aku seketika berhambur ke arahnya dan mengangkat kepala Mama.

"Bantu saya mengangkat Mama, Mbok," titahku.

"Baik, Den."

Kami berdua membaringkan tubuh Mama ke atas tempat tidur. Aku kemudian menatap sekeliling, mungkin saja ada orang selain kami di dalam kamar itu. Kamar yang besar ini adalah ruangan pribadi milik Aruna, tempat dia melepas lelah karena pekerjaan kantor, juga tempat dia menyimpan barang-barang mewahnya, seperti tas, sepatu, gaun, dan perhiasan tentunya.

"Apa yang Mama lakukan di sini, Mbok?" tanyaku kemudian pada Mbok Asri.

"Saya juga tidak tahu, Den. Tiba-tiba saja saya mendengar teriakan Nyonya waktu sedang masak. Sampai di sini Nyonya sudah pingsan," jawab Mbok Asri.

Aku menarik napas mendengar jawaban wanita tua itu, lalu beralih menatap ke arah Mama. Kucoba menggoncangkan tubuh Mama berulang kali dan menepuk-nepuk pipinya.

"Mama! Mama!" panggilku, tapi Mama tak juga siuman.

"Ambilkan minyak angin, Mbok," titah Saskia pada Mbok Asri.

Mbok Asri menurut. Dia bergegas keluar kamar, dan tak lama kemudian kembali sambil membawa botol minyak angin. Saskia mengambil minyak itu dari tangan Mbok Asri dan mulai menggosokkanya pada leher dan hidung Mama. Benar saja, sesaat kemudian kedua netra Mama bergerak-gerak, dan akhirnya sadar kembali.

"Ma, Mama baik-baik saja?" tanyaku saat Mama mulai membuka matanya.

Mama seketika seperti orang terkejut, lalu bangkit duduk dengan gugup.

"Aruna! Aruna!" teriaknya seperti orang kebingungan.

"Ma, sadar, Ma." Aku memegang kedua bahu Mama dan menggoncangnya pelan. Mama sepertinya mulai sadar dan menatapku.

"Mama ... melihat Aruna, Denis! Dia pasti ada di sekitar sini! Dia pasti sedang berbunyi!" ucapnya panik.

"Ma, Aruna sudah tidak ada. Yang Mama lihat itu cuma bayangan Mama saja," ucapku kemudian.

"Sumpah, Denis! Aruna ada di sini! Dia teriak pada Mama agar tidak menyentuh barang-barangnya." Mama menggoncang lenganku.

Aku menatap lekat ke arah Mama ketika mendengar ucapannya.

"Memangnya Mama mau mengambil barang milik Aruna?" tanyaku kemudian.

Mama tersentak kaget, lalu mendadak seperti salah tingkah.

"Jadi Mama ke kamar ini untuk mengambil barang-barang Aruna?" Aku mengulangi pertanyaanku.

"Ngomong apa sih kamu, Denis!" sahut Mama kemudian. Sepertinya ketakutannya tadi sudah hilang, berubah dengan emosi karena mungkin tersingung dengan pertanyaanku.

"Mama tidak mengambil apapun milik Aruna! Lagian, dia itu sudah mati! Sudah tidak butuh semua barang-barang ini!"

Aku menarik napas panjang, lalu menatap ke arah Saskia yang juga menatapku. Saskia terlihat mengangkat bahu dan sedikit mencebik.

"Benar, yang tadi itu pasti cuma bayangan Mama saja. Aruna sudah jadi tanah, tidak mungkin ada di sini!" Mama mulai turun dari tempat tidur, dan berjalan ke sekeliling ruangan.

Dia melihat setiap sudut ruangan seperti mencari-cari sesuatu. Kami bertiga hanya memperhatikan apa yang dia lakukan.

"Mbok Asri yakin tidak ada orang lain di sini tadi?" tanyaku pada Mbok Asri lagi. "Jangan-jangan yang Mama lihat tadi maling.

"Gak ada, Den. Mbok sudah pastikan gak ada orang masuk ke sini," jawab Mbok Asri.

Aku lagi-lagi membuang napas. Lama-lama aku dan Mama bisa gi-la karena terus dibayangi Aruna yang entah benar ada atau tidak.

"Denis, besok kita panggil Mbah Jupri saja biar membersihkan rumah ini dari sisa-sisa Aruna," ucap Mama tiba-tiba.

"Maksud Mama?" tanyaku tak mengerti.

"Aduh, Denis. Mungkin saja istrimu itu memang__" Mama tak meneruskan ucapannya, mungkin sadar Mbok Asri tengah menatap heran pada kami.

"Mbah Jupri itu siapa, Den?" tanya Mbok Asri dengan wajah penuh tanda tanya.

"Mbok Asri gak perlu tahu!" sahut Mama. "Mbok Asri itu tugasnya masak, beres-beres rumah, bukan ikut campur sama urusan kami!"

"Maaf, Nyah." Mbok Asri minta maaf seraya menunduk.

"Mbok Asri tolong kembali ke dapur," pintaku kemudian.

Mbok Asri menurut, dan akhirnya keluar kamar untuk melanjutkan masak. Aku kemudian menatap ke arah Mama.

"Jangan sentuh barang-barang milik Aruna dulu, Ma. Kan Mama sendiri yang bilang, kita harus sedikit bersabar," ucapku kemudian pada Mama.

"Mama cuma mau ngambil satu tas untuk arisan besok, Denis," jawab Mama tanpa rasa bersalah, yang membuatku kembali membuang napas.

"Tapi Mas, suatu saat nanti aku juga boleh dong, memiliki semua ini juga," ucap Saskia sambil tersenyum.

Aku membalas senyuman Saskia yang begitu menawan itu. "Tentu saja, Sayang," jawabku sambil mencolek hidungnya.

"Malam ini kamu menginap di sini saja, Saskia," ucap Mama kemudian.

"Baiklah, Tante. Tapi aku harus menelpon Tante Sonia dulu untuk pamitan, mencari alasan tentunya," jawab Saskia.

"Pintar kamu, Saskia. Sepertinya sebentar lagi wanita bodoh itu bakal mengangkat kamu menjadi anaknya," ucap Mama lagi.

Kami bertiga seketika tersenyum, menyadari rencana kami berjalan dengan begitu mulusnya. Malam itu Saskia menginap di rumah kami, di kamar tidurku dan Aruna tentunya. Kami bahkan sampai bangun kesiangan.

"Loh, apa ini, Mas?" tanya Saskia saat mendapati ada sesuatu di depan pintu kamar kami.

Saskia mengangkat kotak itu, lalu membawanya ke arahku yang juga baru bangun dari tidur. Kotak kado dengan pita berwarna merah.

"Mas Denis mau memberikan kejutan untukku, ya?" tanya Saskia sambil tersenyum, lalu membuka pita kotak itu.

Belum sempat aku menjawab, Saskia menjerit histeris sambil melempar kotak yang baru dibukanya. Aku ikut kaget ketika melihat isi kotak itu ternyata boneka rusak, yang berlumur cairan merah menyerupai darah. Saskia masih menjerit-jerit karena ngeri.

Aku mengambil kertas yang ada di kotak itu, membaca tulisan di sana.

"Selamat atas perzinaan kalian."

Aku meremas kertas itu dengan emosi. Sekarang aku yakin, Aruna memang sudah meninggal, tapi ada orang yang mencoba menakut-nakuti kami, dan seolah-olah itu perbuatan arwah Aruna!

Aku yakin itu!

Tapi siapa orang yang melakukannya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Eli Mirza
Mdh2n aruna msh diselamatkan dokter2 nya..jahanam klian semoga kena karma.enk aja rebutan harta
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Akhir ( TAMAT )

    POV Aruna"Rumah sakit jiwa?" Aku kaget mendengar keterangan petugas kepolisian itu."Benar, sejak dibawa kemari, tahanan terus berteriak dan membuat keributan, sehingga kami segera melakukan tindakan pemeriksaan. Hasilnya, memang tahanan terganggu kejiwaannya," jawab petugas itu lagi.Aku terdiam sebentar setelah mendengar hal itu. Padahal saat ditangkap Bu Yanti tampak baik-baik saja, meskipun pandangannya kosong dan tampak sangat shock."Boleh saya tahu alamat rumah sakitnya?" tanyaku lagi."Silakan ikut dengan saya. " Petugas itu membawaku ke meja kerjanya, lalu mencatatkan alamat rumah sakit jiwa tempat Bu Yanti dirawat.Setelah mendapatkan alamat itu dan mengucapkan terima kasih, aku langsung meluncur ke alamat tersebut dengan mobil milik Leo. Bukan tak percaya dengan keterangan polisi, tapi aku hanya ingin memastikan jika wanita itu tidak berpura-pura gila. Itu karena dulu saat menjadi mertuaku, actingnya sungguh luar biasa.Sesampainya di gedung rumah sakit yang letaknya cukup

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Kehilangan

    POV Aruna"Tolong! Tolong Saskia!" teriakku histeris, seperti orang gila melihat darah yang terus merembes dari kepala Saskia. "Tolong panggilkan ambulan! Siapa saja, tolong! Tolong panggil ambulan!"Tak berapa lama kemudian Nyonya Merry dan Melany datang, dan ikut panik bukan main melihat kondisi Saskia. Nyonya Merry cepat-cepat memanggil ambulan, sedangkan aku masih terus memeluk Saskia sambil menangis.Beberapa lama kemudian, para petugas ambulan datang dan langsung mengangkat Saskia dengan menggunakan tandu. Aku dan Nyonya Merry mengikuti mereka sampai Saskia dimasukkan ke dalam mobil putih bersirine itu."Tante akan ikut duluan ke rumah sakit. Susul kami setelah ini, Runa," ucap Nyonya Merry sambil ikut masuk ke dalam mobil.Aku hanya bisa mengangguk di sela tangisku. Dalam beberapa detik, suara sirine mendayu-dayu, dan mobil pun mulai berjalan meninggalkan tempat itu.Di saat yang sama, terlihat petugas polisi menggiring Bu Yanti dan Mas Denis. Kedua tangan mereka diborgol ke be

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Tahanan

    POV Aruna"Tunggu dulu! Tunggu dulu, Pak polisi!" Bu Yanti menghalangi para petugas itu saat akan mendekati Mas Denis."Anak saya tidak melakukan apapun! Kalian tidak bisa menangkapnya!" teriaknya."Silakan melakukan laporan pembelaan di kantor polisi, Bu," jawab salah satu petugas itu. "Kami hanya melaksanakan tugas.""Tidak! Kalian tidak boleh menangkapnya tanpa bukti!""Kami sudah memiliki bukti yang kuat atas kasus yang dituduhkan, jadi sebaiknya Ibu tidak menghalangi tugas kami.""Seharusnya mereka yang ditangkap, Pak!" Bu Yanti menatap ke arahku, juga Nyonya Merry dan Melany. "Mereka sudah menipu kami!""Lebih baik kamu diam dan biarkan para petugas itu menangkap putramu, Bu Yanti," ucap Nyonya Merry sambil menatap tajam ke arah Bu Yanti."Kamu yang seharusnya diam, Nyonya!" Bu Yanti tidak mau kalah. Dia membalas tatapan Nyonya Sonia dengan tidak kalah tajam. "Permainanmu ini sungguh seperti anak kecil! Untuk apa kamu melakukan ini, hah? Agar putrimu tidak disebut perempuan mura

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Kejutan

    POV Aruna"Sebenarnya apa yang Bu Yanti inginkan?" tanyaku kemudian sambil menatap ke arah mereka."Astaga, Aruna. Bagaimanapun, kamu pernah memanggilku Mama. Tega sekali di acara sepenting ini kamu tidak mengundang kami," jawab Bu Yanti, lagi-lagi dengan nada suara yang sengaja ditinggikan."Mama?" Aku seketika ingin tertawa mendengarnya. Entah otak dan pikiran wanita tua itu berada di mana sekarang, sampai berkata sesuatu yang mempermalukan dirinya sendiri."Ada apa ini?"Kami semua menoleh, dan terlihat Mama berdiri di belakang kami dengan wajah cemas."Kamu baik-baik saja, Runa?" tanyanya lagi.Aku hanya mengangguk pada Mama tanpa menjawab. Dia lalu menatap heran ke arah Bu Yanti."Jeng Sonia, semudah itu keluarga kalian melupakan kami. Padahal sebelumnya kita seperti saudara," ucap Bu Yanti lagi pada Mama. "Aruna bertunangan, saya juga ingin mengucapkan selamat, Jeng. Tega sekali tidak mengundang dan melupakan kami.""Maaf, Bu Yanti. Acara ini dikhususkan untuk kerabat dan sahaba

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   POV Aruna--Perubahan

    POV ArunaAku menatap ke arah Saskia yang tertidur di jok belakang mobil sambil tetap memeluk bayinya. Baru beberapa bulan, tapi penampilannya jauh berbeda dari dia yang dulu. Rambutnya berantakan, wajahnya kusam, dan tubuhnya mengeluarkan bau tak sedap. Kentara sekali dia tidak terurus sama sekali."Kita harus membawa mereka ke rumah sakit," ucap Leo yang berada di depan kemudi. "Sepertinya mereka butuh pemeriksaan kesehatan."Aku mengangguk setuju. Aku kaget sekali saat tiba-tiba hari ini Saskia menelponku sambil menangis dan meminta aku menjemputnya. Meskipun aku sudah mendengar kondisinya dari informasi Nyonya Merry, aku tak menyangka jika dia jauh lebih parah dari yang kudengar."Kia, biar kugendong bayimu," ucapku lirih sambil pelan-pelan meraih bayi dalam gendongan Saskia.Saskia cuma sedikit mengeliat, masih dengan mata terpejam, membiarkanku menggendong bayinya. Dia kelihatan kelelahan sekali, atau bahkan mungkin memang tidak sehat.Aku menatap ke arah bayi mungil yang juga s

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Perasaan

    "Apa yang terjadi, Pak Denis?" Melany menatap ke arahku dengan pandangan heran."Maaf, Bu. Saya ... ada sedikit masalah di rumah," jawabku sambil berdiri dari duduk, dan salah tingkah karena bingung."Kalau begitu biar saya antarkan pulang." Melany ikut berdiri dari duduknya."Tidak usah, Bu. Saya bisa naik taksi. Saya tidak ingin merepotkan Bu Melany," jawabku lagi."Astaga, Pak Denis. Sama sekali tidak merepotkan. Kalau naik taksi harus menunggu lama, lebih cepat saya antar."Akhirnya aku tidak bisa menolak lagi, karena ingin segera ingin tahu apa yang terjadi di rumah. Dalam beberapa menit, kami sudah meluncur menuju arah rumahku dengan menggunakan mobil Melany.Sesampainya di rumah, terdengar suara Mama mengomel, sedangkan Saskia terdengar menangis tersedu-sedu, bersamaan dengan suara Rasya yang menangis juga. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung masuk untuk melihat apa yang terjadi.Saskia duduk bersimpuh di lantai kamar sambil menangis, sedangkan putri kami berada di atas tempa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status