Share

Terror

"Tante Yanti kenapa, Mas?" Saskia ikut berdiri, menatapku dengan pandangan bingung.

"Mama pingsan, Saskia. Mbok Asri bilang Mama berteriak memanggil Aruna," jawabku sambil menutup telpon.

"Aruna?" Wajah Saskia berubah memucat. "Apa jangan-jangan kita benar-benar tidak salah lihat, Mas?"

Aku tak menjawab pertanyaan Saskia. Aku memang sudah bercerita padanya jika aku juga melihat sosok wanita mirip Aruna, tapi aku berkata padanya jika itu cuma bayangan saja. Buktinya, sudah cukup lama kami hidup damai tanpa melihatnya lagi. Kenapa kali ini Mama yang ....

"Aku harus pulang, Kia," ucapku pada Saskia kemudian.

"Aku ikut, Mas. Aku kan juga ingin tahu keadaan Tante Yanti." Saskia mengambil tasnya, lalu kami berdua pun bergegas meninggalkan restoran itu.

Kami segera menuju mobil, dan langsung meluncur pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Mbok Asri membukakan pintu, dan menyambut kami dengan wajah yang masih panik.

"Mama bagaimana, Mbok?" tanyaku kemudian.

"Masih belum siuman, Den. Mbok gak kuat mengangkat tubuh Nyonya sendirian."

Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung berlari menuju kamar Mama.

"Bukan kamar itu, Den, tapi kamar Neng Aruna," ucap Mbok Asri, membuatku kaget.

Aku urung bertanya, dan langsung menuju kamar pribadi Aruna. Benar saja, Mama masih tergeletak di lantai. Aku seketika berhambur ke arahnya dan mengangkat kepala Mama.

"Bantu saya mengangkat Mama, Mbok," titahku.

"Baik, Den."

Kami berdua membaringkan tubuh Mama ke atas tempat tidur. Aku kemudian menatap sekeliling, mungkin saja ada orang selain kami di dalam kamar itu. Kamar yang besar ini adalah ruangan pribadi milik Aruna, tempat dia melepas lelah karena pekerjaan kantor, juga tempat dia menyimpan barang-barang mewahnya, seperti tas, sepatu, gaun, dan perhiasan tentunya.

"Apa yang Mama lakukan di sini, Mbok?" tanyaku kemudian pada Mbok Asri.

"Saya juga tidak tahu, Den. Tiba-tiba saja saya mendengar teriakan Nyonya waktu sedang masak. Sampai di sini Nyonya sudah pingsan," jawab Mbok Asri.

Aku menarik napas mendengar jawaban wanita tua itu, lalu beralih menatap ke arah Mama. Kucoba menggoncangkan tubuh Mama berulang kali dan menepuk-nepuk pipinya.

"Mama! Mama!" panggilku, tapi Mama tak juga siuman.

"Ambilkan minyak angin, Mbok," titah Saskia pada Mbok Asri.

Mbok Asri menurut. Dia bergegas keluar kamar, dan tak lama kemudian kembali sambil membawa botol minyak angin. Saskia mengambil minyak itu dari tangan Mbok Asri dan mulai menggosokkanya pada leher dan hidung Mama. Benar saja, sesaat kemudian kedua netra Mama bergerak-gerak, dan akhirnya sadar kembali.

"Ma, Mama baik-baik saja?" tanyaku saat Mama mulai membuka matanya.

Mama seketika seperti orang terkejut, lalu bangkit duduk dengan gugup.

"Aruna! Aruna!" teriaknya seperti orang kebingungan.

"Ma, sadar, Ma." Aku memegang kedua bahu Mama dan menggoncangnya pelan. Mama sepertinya mulai sadar dan menatapku.

"Mama ... melihat Aruna, Denis! Dia pasti ada di sekitar sini! Dia pasti sedang berbunyi!" ucapnya panik.

"Ma, Aruna sudah tidak ada. Yang Mama lihat itu cuma bayangan Mama saja," ucapku kemudian.

"Sumpah, Denis! Aruna ada di sini! Dia teriak pada Mama agar tidak menyentuh barang-barangnya." Mama menggoncang lenganku.

Aku menatap lekat ke arah Mama ketika mendengar ucapannya.

"Memangnya Mama mau mengambil barang milik Aruna?" tanyaku kemudian.

Mama tersentak kaget, lalu mendadak seperti salah tingkah.

"Jadi Mama ke kamar ini untuk mengambil barang-barang Aruna?" Aku mengulangi pertanyaanku.

"Ngomong apa sih kamu, Denis!" sahut Mama kemudian. Sepertinya ketakutannya tadi sudah hilang, berubah dengan emosi karena mungkin tersingung dengan pertanyaanku.

"Mama tidak mengambil apapun milik Aruna! Lagian, dia itu sudah mati! Sudah tidak butuh semua barang-barang ini!"

Aku menarik napas panjang, lalu menatap ke arah Saskia yang juga menatapku. Saskia terlihat mengangkat bahu dan sedikit mencebik.

"Benar, yang tadi itu pasti cuma bayangan Mama saja. Aruna sudah jadi tanah, tidak mungkin ada di sini!" Mama mulai turun dari tempat tidur, dan berjalan ke sekeliling ruangan.

Dia melihat setiap sudut ruangan seperti mencari-cari sesuatu. Kami bertiga hanya memperhatikan apa yang dia lakukan.

"Mbok Asri yakin tidak ada orang lain di sini tadi?" tanyaku pada Mbok Asri lagi. "Jangan-jangan yang Mama lihat tadi maling.

"Gak ada, Den. Mbok sudah pastikan gak ada orang masuk ke sini," jawab Mbok Asri.

Aku lagi-lagi membuang napas. Lama-lama aku dan Mama bisa gi-la karena terus dibayangi Aruna yang entah benar ada atau tidak.

"Denis, besok kita panggil Mbah Jupri saja biar membersihkan rumah ini dari sisa-sisa Aruna," ucap Mama tiba-tiba.

"Maksud Mama?" tanyaku tak mengerti.

"Aduh, Denis. Mungkin saja istrimu itu memang__" Mama tak meneruskan ucapannya, mungkin sadar Mbok Asri tengah menatap heran pada kami.

"Mbah Jupri itu siapa, Den?" tanya Mbok Asri dengan wajah penuh tanda tanya.

"Mbok Asri gak perlu tahu!" sahut Mama. "Mbok Asri itu tugasnya masak, beres-beres rumah, bukan ikut campur sama urusan kami!"

"Maaf, Nyah." Mbok Asri minta maaf seraya menunduk.

"Mbok Asri tolong kembali ke dapur," pintaku kemudian.

Mbok Asri menurut, dan akhirnya keluar kamar untuk melanjutkan masak. Aku kemudian menatap ke arah Mama.

"Jangan sentuh barang-barang milik Aruna dulu, Ma. Kan Mama sendiri yang bilang, kita harus sedikit bersabar," ucapku kemudian pada Mama.

"Mama cuma mau ngambil satu tas untuk arisan besok, Denis," jawab Mama tanpa rasa bersalah, yang membuatku kembali membuang napas.

"Tapi Mas, suatu saat nanti aku juga boleh dong, memiliki semua ini juga," ucap Saskia sambil tersenyum.

Aku membalas senyuman Saskia yang begitu menawan itu. "Tentu saja, Sayang," jawabku sambil mencolek hidungnya.

"Malam ini kamu menginap di sini saja, Saskia," ucap Mama kemudian.

"Baiklah, Tante. Tapi aku harus menelpon Tante Sonia dulu untuk pamitan, mencari alasan tentunya," jawab Saskia.

"Pintar kamu, Saskia. Sepertinya sebentar lagi wanita bodoh itu bakal mengangkat kamu menjadi anaknya," ucap Mama lagi.

Kami bertiga seketika tersenyum, menyadari rencana kami berjalan dengan begitu mulusnya. Malam itu Saskia menginap di rumah kami, di kamar tidurku dan Aruna tentunya. Kami bahkan sampai bangun kesiangan.

"Loh, apa ini, Mas?" tanya Saskia saat mendapati ada sesuatu di depan pintu kamar kami.

Saskia mengangkat kotak itu, lalu membawanya ke arahku yang juga baru bangun dari tidur. Kotak kado dengan pita berwarna merah.

"Mas Denis mau memberikan kejutan untukku, ya?" tanya Saskia sambil tersenyum, lalu membuka pita kotak itu.

Belum sempat aku menjawab, Saskia menjerit histeris sambil melempar kotak yang baru dibukanya. Aku ikut kaget ketika melihat isi kotak itu ternyata boneka rusak, yang berlumur cairan merah menyerupai darah. Saskia masih menjerit-jerit karena ngeri.

Aku mengambil kertas yang ada di kotak itu, membaca tulisan di sana.

"Selamat atas perzinaan kalian."

Aku meremas kertas itu dengan emosi. Sekarang aku yakin, Aruna memang sudah meninggal, tapi ada orang yang mencoba menakut-nakuti kami, dan seolah-olah itu perbuatan arwah Aruna!

Aku yakin itu!

Tapi siapa orang yang melakukannya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status