Mag-log in"Akhirnya aku sampai."Celina melangkah keluar dari taksi, tangannya dengan cepat menekan topi agar tidak terlepas oleh angin. Masker di wajahnya membuat napasnya terasa sempit, tapi ia tidak peduli yang paling penting, dia tidak boleh dikenali.Lantas ia mengangkat kepala, dan mata dia langsung terjebak pada mansion mewah di depannya, membuat Celina menghela nafas panjang, dada dia naik turun pelan.“Kamu pasti bisa Celina,” bisiknya pada diri sendiri, berusaha keras untuk menenangkan debaran jantung yang semakin tak karuan.Celina menghela napas panjang sekali lagi, napasnya terasa dingin menyentuh tenggorokan. Ia meremas bagian ujung bajunya dengan kuat, lalu melangkah perlahan menuju petugas keamanan yang berdiri tegak tidak jauh dari gerbang.Sesampainya di depan pria itu, dia menahan napas sebentar sebelum membuka mulut. Lalu, dengan suara pelan, dia gegas mengatakan, “Permisi, Pak. Saya ingin bertemu dengan Tuan Ganesha.”Pria dengan wajah sangar dan mata tajam di depannya itu
Setelah acara resepsi berakhir dan tamu mulai pulang satu per satu, Nyonya Anindita menyampaikan pesan pada Ivander; “Mama sudah menyiapkan kamar hotel untuk kalian berdua. Nikmati malam ini dengan baik. Ingat, Ivander. Kamu jangan kasar melakukannya.”Ivander hanya bisa tersenyum malu, sambil memegang erat tangan Syafana. Mereka tiba di lobi hotel yang sunyi, cahaya lampu hias membikin suasana terasa hangat dan romantis. Ivander membuka pintu lift untuk Syafana, tangan selalu menopang pinggangnya agar dia tidak terjatuh. Saat pintu lift tertutup, Syafana mendekat, kepalanya bersandar di dada Ivander. “Aku senang banget hari ini,” bisik Syafana, napasnya lembut menyentuh kain baju suaminya. “Semua orang juga bahagia. Ditambah, sesuatu yang sudah lama aku tunggu akhirnya tiba juga.” Ivander mencium puncak kepalanya dengan penuh kelembutan. “Aku juga senang, sayang. Kamu adalah wanita tercantik di dunia hari ini. Mari kita nikmati malam ini dengan bercinta.”"Dasar mesum.""Tapi kamu
"Selamat ya, Syafan. Aku kaget waktu dapet undangan resepsi. Padahal rasanya baru kemarin kita ngerayain kepulangan kamu ke Jakarta," ucap Naya, sahabat sekolah Syafana."Terima kasih sudah mau datang. Maaf, selama ini aku jarang menghubungi kalian," balas Syafana.Suara tawa dan bicara saling bersilang membanjiri ruang ballroom membuat suasana resepsi semakin hangat dan ramai.Di sudut paling depan, Bu Salsa menatap putri tunggalnya yang terlihat begitu bahagia. Mata Bu Salsa mendidih, kemudian tetesan air mata jatuh begitu saja. Hingga tiba-tiba, sebuah lembar tisu putih muncul di depan matanya. “Lihatlah, mereka begitu bahagia sampai hatiku juga terasa penuh,” ujar Nyonya Anindita dengan nada lembut, sambil menepuk bahu Bu Salsa perlahan. Bu Salsa menoleh, ia menerimanya selembar tisu itu seraya mengatakan, “Terima kasih Nyonya Anindita karena anda sudah menerima Syafana sebagai bagian dari keluarga anda.”“Tidak, jangan berterima kasih seperti itu. Justru, akulah yang berterima
Tuan Alexander langsung mendekapnya dengan begitu erat. Tubuhnya terasa hangat sampai Syafana merasakan sejuknya hati yang selama ini terkurung. “Mulai sekarang, kamu harus memanggilku Papa. Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga kita, Nak.”Kata-kata itu membuat tangis Syafana langsung pecah, menetes di bajunya Tuan Alexander. Semua waktu yang dia habiskan menunggu restu itu, diganti dengan kebahagiaan yang begitu dalam sampai sulit diucapkan.“Mulai sekarang, aku adalah orang tuamu,” lanjut Tuan Alexander seraya mengusap surai rambut Syafana yang panjang.Di kejauhan, Ghaisa berdiri berdampingan dengan Erlang, tangan pria itu menggenggam pinggangnya dengan lembut. Gadis itu melihat adegan Syafana dan Tuan Alexander, dada terasa sesak.Ia menutup mulut dengan kedua tangan, tapi air mata tetap menetes. Tanpa berpikir, dia menggapai dasi di leher Erlang, mengusap ke wajahnya untuk mengelap ingus dan air mata yang bercampur.Erlang mendegus pelan, matanya tidak ada tanda kemarahan. “K
“Seharusnya, saya membuka mata dari awal.”Kalimat itu meluncur dari bibir Tuan Alexander dengan lembut, seperti angin pagi yang menyentuh. Tak ada paksaan, tak ada kebohongan, hanya kebenaran yang lama tersembunyi. Syafana terdiam membisu, matanya berkedut, air mata yang sudah menumpuk di sudut mata tiba-tiba menurun ke pipinya.“Saya tidak tahu, apakah permintaan maaf ini akan diterima olehmu dengan baik atau tidak,” lanjutnya, suara masih lemah tapi tegas. “Tapi yang pasti, saya mengatakannya dengan tulus. Dari lubuk hati saya yang paling dalam.”Sontak Ivander dan Nyonya Anindita saling pandang. Matanya keduanya penuh kebingungan, tidak percaya dengan sikap Tuan Alexander yang datang secara tiba-tiba dan mengakui kesalahannya kepada Syafana.Perlahan, Nyonya Anindita maju satu langkah. Ia sedikit berjinjit, tangannya terangkat perlahan menuju dahi Tuan Alexander, mengukur suhu tubuhnya dengan jari-jarinya yang tipis. “Sehat,” gumamnya dengan suara lantang, membuat Tuan Alexander
"Kami mau mengadakan resepsi minggu depan," cetus Ivander. "Aku tidak berharap Papa bisa datang. Aku hanya memberitahu takut jika ada relasi bisnis Papa bertanya."Tuan Alexander terdiam. Kepalanya menatap Nyonya Anindita yang memasang wajah datar."Aku hanya ingin semua orang tahu Syafana adalah menantuku. Jadi kejadian tempo lalu tidak terulang lagi. Tidak ada lagi yang berharap bisa menikah dengan Ivander," jelas Nyonya Anindita.Syafana hanya menghela nafas panjang dan berat. Ivander mengulurkan tangan ke arahnya. Syafana mengulas senyum dari bibirnya yang tipis."Ayo, kita pulang. Aku lelah ingin istirahat," ajak Ivander."Iya, Mas. Wajah kamu juga masih pucat," sahut Syafana.Mendengar itu, Tuan Alexander melirik Ivander dan Syafana."Apa Ivander sakit?" tanyanya datar namun terdengar peduli."Aku baik-baik saja. Dokter bilang aku kena syndrom kehamilan simpatik. Jadi Syafana yang hamil dan aku yang merasakan semua keluhannya."Nyonya Anindita tertawa jahil. "Bagus, itu baru nam







