Share

BAB 2 SYOK DAN MARAH

Namaku Susan, dulu aku bekerja sebagai sekertaris dewan direksi di sebuah perusahaan farmasi ternama. Banyak teman seangkatanku yang menganggapku beruntung dengan jenjang karirku yang luar biasa cepat di perusahaan. Tapi taksedikit pula yang iri dan lebih suka berpikiran picik bahwa aku hanya sekedar memanfaatkan kelebihan fisikku untuk menggait perhatian atasanku.

Aku memang selalu ikut serta dalam meeting-meeting penting perusahaan, bepergian keluar kota bahkan keluar negeri adalah hal biasa yang kujalani. Orang kadang memang sering memiliki pikiran negatif saat melihat wanita muda berkarir dengan mudah. Tapi sepertinya juga tidak perlu kujelaskan kepada semua orang tentang prinsipku dalam menjaga diri. Cukup hanya dengan dukungan dan kepercayaan dari kedua orang tuaku, karena bagiku hanya pendapat mereka yang penting.

Keluargaku juga sudah tahu jika aku memiliki hubungan yang sudah sangat stabil dengan salah seorang mantan teman kuliahku. Kami sudah berhubungan hampir dua tahun dan sudah berencana untuk melangkah ke hubungan yang lebih serius. Meski kami sama-sama belum mengutarakan niat tersebut secara langsung tapi kedua keluarga kami sudah sangat terbuka dan memberi lampu hijau terhadap hubungan kami. Nolan juga memiliki karir yang luar biasa di perusahaan tempatnya bekerja, dia sudah menjabat sebagai wakil dewan direksi di usianya yang masih sangat muda. Aku merasa hidupku sudah sangat sempurna dengan keluarga yang selalu mendukungku, karir yang luar biasa, dan pria sebaik Nolan yang mencintaiku.

'Sampai mimpi buruk itu tiba dan aku merasa benar-benar gila karena ada pria bernama Eric Northman di kepalaku!'

"Susan, " dia memanggilku, tapi aku tetap pura-pura sibuk untuk mengancingkan blazer.

"Susan, tolong dengarkan aku."

"Sudah jangan berisik karena aku sudah hampir terlambat!"

Aku buru-buru menyambar handphone dan tas jinjing, bahkan memakai sepatu sambil menuang susu ke dalam gelas yang kemudian langsung kuteguk sampai habis. Aku tidak sempat membuat sarapan karena aku bakal terlambat.

"Di mana kau menyimpan kunci mobilku? " tanyaku setelah sampai di basemen.

"Di tasmu."

Buru-buru aku merogoh ke dalam tas jinjingku dan menemukan serangkaian kunci dengan gantungan kepala singa. Aku sempat merinding melihat kumisnya tapi coba kuabaikan.

"Di mana mobilku? " Aku bingung karena tidak mendapati sedan merah cherryku di manapun sampai kudengar cuitan dari mobil hitam berbodi kokoh itu ketika kupencet tombol alarm di tanganku. Sangking tidak percayanya aku sampai mengulangnya beberapa kali.

Kemudian aku diam dan berhenti.

"Jangan bilang kau menukar mobilku dengan benda mirip tank ini?"

"Sungguh aku merasa aneh ketika harus duduk di dalam sedan merahmu yang mencolok," awab Eric dari dalam kepalaku.

Coba kukendalikan diriku sampai sejauh ini dan kembali kulihat gantungan kunci berkepala singa itu. Buru-buru aku melepasnya dan menginjak-injak benda itu untuk melampiaskan kekesalanku seperti gadis kecil yang merajuk saat dibelikan mainan yang salah.

"Jangan sampai kau juga menjadikanku miskin karena membeli benda seperti ini!" kutendang bodi besar dari mobil berlapis baja sialan yang membuat kakiku justru hampir terkilir.

"Kau bisa cek sendiri saldo rekeningmu nanti," suara Eric kembali mengingatkanku.

"Jika kau tidak bersembunyi di dalam kepalaku pasti aku sudah mencakarmu pengecut!"

Sungguh aku tidak pernah bermimpi untuk menaiki kendaraan seperti ini. "Aku tidak tahu bagaimana harus memarkirnya nanti. "

"Kau tidak sendiri," kata suara di kepalaku.

Bagaimana aku bisa hampir lupa jika dia juga bisa mengendalikan tubuhku. Aku mulai khawatir jika jangan-jangan dia jauh lebih menguasai tubuhku dari pada diriku sendiri. Sepertinya aku memang harus cepat memikirkan cara untuk menyingkirkannya sebelum hal mengerikan itu benar-benar terjadi dan kuharap dia tidak bisa mendengar apa yang sedang kupikirkan. Aku mulai berpikir hati-hati.

Sepertinya kali ini aku juga belum bisa berpikir waras, sulit sekali untuk bisa berkonsentrasi walau aku tahu saat ini Eric yang sedang menyetir mobilnya.

Sekali lagi kutegaskan, 'mobilnya!' ... 'bukan mobilku!' karena aku tidak ingin menyebut benda seperti thank ini sebagai mobil.

"Kita mau kemana?" tanyaku bingung karena sepertinya dia tidak membawaku menuju kantor.

"Kau bekerja di tempat lain."

"APA!!!"

"Kau sudah mengundurkan diri sejak tahun lalu."

Spontan kubanting stir ke kanan sampai mobil Eric menabrak pembatas jalan yang akhirnya ringsek, tapi bodi mobilnya tetap utuh.

"Sial! " dia mengumpat dengan mulutku.

Sepertinya dia memang lebih kuat dariku karena aku tidak dapat mencegahnyamengucapkan kata-kata kotor.

"Katakan apa lagi yang sudah kau lakukan terhadap hidupku!" teriakku seperti orang gila yang bicara sendiri setelah membuat mobilnya menabrak pembatas jalan.

Aku tidak mendengar Eric mengatakan apa-apa, mungkin dia diam karena merasa bersalah. Kemudian aku melompat turun dari mobil untuk berjalan kaki.

"Kau mau kemana?" baru saat itu dia bertanya.

"Aku mau bunuh diri, memangnya apa urusanmu!" Aku menantangnya.

Bukannya terus berjalan seperti keinginanku, aku malah balik lagi masuk ke dalam mobil. Duduk dan mulai menghidupkan mesin kembali.

"Hentikan ini, Eric!"___" hentikan!" aku berhasil berteriak meski dia berusaha menutup mulutku dengan tanganku sendiri.

Bayangkan betapa anehnya adegan itu.

"Tenanglah, Susan! tenanglah ...!"

"Kau brengsek!"

"Sepertinya kita harus bicara dan tidak bisa terus bertengkar seperti ini!"

Karena kesal kugigit lenganku sendiri saat Eric lengah. Aku tahu dia juga bisa merasakannya.

"Berhentilah menyakiti dirimu sendiri!" dia terdengar marah tapi aku tidak perduli.

"Ini tubuhku, jangan ikut campur! Jika kau tidak suka pergilah saja!"

"Sungguh, Susan, kita tidak bisa terus seperti ini."

"Aku membencimu Eric  Sungguh aku membencimu!" napasku masih berdesis-desis oleh kemurkaan yang aku tidak tahu bagaimana harus melampiaskannya. Eric coba menghalangiku bahkan dia sudah memundurkan mobilnya dan kembali berjalan.

Aku sudah tidak perduli dia mau mebawaku ke mana, bahkan dia juga tidak membiarkanku menangis walaupun aku sedang ingin berteriak dan menjerit. Bibirku seperti di bungkam jika dia memang tidak mengijinkan.

"Tabrak saja tiang listrik di depanmu!"

"Jangan gila, Susan! "

Aku ingin mati saja karena sungguh aku tidak rela hidup dengan tubuh yang dikuasai orang lain seperti ini. Aku hanya bisa berpikir tapi tubuhku seperti terikat, tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk sekedar menyisir rambut atau mengosok gigi pun sepertinya aku juga tidak akan bisa jika Eric tidak mengijinkannya.

"Aku akan tetap melakukannya jika kau tetap tidak bisa diajak bicara!"

"Kau memang monster!" teriakku.

"Kau tidak harus menyukaiku, tapi paling tidak kita bisa bekerja sama!" tegas Eric.

Aku memilih diam karena tidak sudi memikirkannya sama sekali. Bahkan saat aku berpaling kaku justru Eric memaksa bibirku untuk tetap tersenyum.

"Hentikan ini!"

Bagaimanapun aku tidak ingin nampak sinting dengan senyum yang dibuat Eric.

"Kita akan pulang, dan aku akan mengurungmu di rumah jika kau tetap tidak bisa diajak kompromi!"

"Lakukan saja sesukamu!"

Aku memilih diam karena aku tahu apapun yang kulakukan akan percuma, aku tidak akan bisa menang melawan Eric. Jelas dia lebih kuat dariku dan lebih menguasai tubuhku. Tapi mungkin aku masih bisa melawannya dengan jurus pamungkas wanita, karena ngambek dan tidak mau bicara adalah jurus paling ampuh yang sering dilancarkan para wanita jika sedang kesal.

Kuputuskan, aku akan diam!

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Junaedi Juna
well unusual story
goodnovel comment avatar
Nisya Diajeng Kharem
cerita ini cukup unik..salut sama penulis... lanjut baca dulu ahhh
goodnovel comment avatar
Khair
berantem sendiri dalam pikiran...kalo aku ngalamin kayak gini..pasti dah ke psikiater. . apa aku udah gila😁
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status