Sedikit demi sedikit kesehatan Lea mulai pulih. Clint dan timnya telah menyempurnakan penawar racun Manchineel. Dua hari yang lalu, Clint telah memberikan penawar itu kepada Lea. Zen sendiri yang memantau pemberian penawar itu.
"Kau yakin ramuan itu bisa menyembuhkannya?" Zen berdiri di dekat ranjang dengan tangan terlipat di depan dada. Kedua alisnya berkerut, nyaris bersatu di bagian pangkalnya saat melihat jarum yang disuntikkan pada lengan Lea. Obat penawar itu disuntikkan di sana agar langsung menyebar ke pembuluh darah Lea.
"Itulah gunanya pengujian berulang-ulang, Zen." Menoleh sekilas, Clint memberi tatapan jengah.
"Apa itu akan menyakitinya?" tanya Zen lagi.
Clint menarik satu sudut bibirnya ke atas sambil melirik pada Zen. Ibu jarinya menekan plunger hingga mendorong cairan berwarna kekuningan di dalam spuit itu masuk ke pembuluh darah Lea lalu mencabut jarum dan menekan bekas suntikan itu dengan kapas yang sudah dibasahi dengan antiseptik. Selesai
Kebutaan yang dialami Lea sama sekali tidak menghalangi wanita itu untuk bersenang-senang. Insting Lea berperan penting dalam permainan mereka. Dia benar-benar tidak membutuhkan penglihatan untuk melakukan pekerjaan yang satu ini. Kalaupun penglihatannya normal, dia akan lebih suka menutup mata karena dia lebih bisa merasakan apa yang dia lakukan.Bermula dari kecupan-kecupan kecil hingga ciuman ringan, Lea ingin bermain dengan tempo lambat. Dia tidak ingin terburu-buru."Let's play slowly," bisik Lea di sela ciuman ringan yang dia lakukan."As you wish, Sweet Cake," balas Zen.Bibir pria itu menyeringai lantas kembali melumat bibir si wanita. Tak ingin hanya berdiri dan saling memagut, Zen mengarahkan tangannya ke bawah tubuh Lea lantas mengangkatnya seolah tanpa beban. Tanpa melepas pagutan, Zen menggendong, membawa Lea menuju sofa alih-alih membawanya ke ranjang.Zen mendaratkan wanitanya dengan perlahan sambil terus mempertahankan bibir mereka
Kesenangan yang baru saja dia rasakan seolah menguap begitu saja saat Zen mendengar kabar bahwa Bram sedang berada di Brownsville. Pria itu pergi ke ruang kerja untuk mengambil Desert Eagle yang biasa menemaninya ke mana pun dia pergi ketika sedang berperan sebagai hakim kegelapan.Mengambil magazin dari kotak penyimpanan, Zen terus berpikir. Otak pria itu terus berputar, mencari cara agar dapat menghabisi ayah tiri Lea. Beberapa pola mulai terbentuk di otak Zen, namun dia harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana situasinya. Gegabah dalam merencanakan serangan hanya akan membuat mereka mati sia-sia. Maka dari itu, Zen tak hanya memikirkan satu cara untuk meringkus Bram."Aku akan pergi sendiri. Tetap siaga. Jangan biarkan siapa pun masuk ke mansion tanpa seizinku," kata Zen pada salah satu anak buahnya."Baik, Tuan," balas si anak buah.Tak ingin terlihat mencolok hingga menarik perhatian, Zen memilih sebuah mobil SUV untuk datang ke titik di mana Arthu
Kedua tangan Zen mengepal kuat karena apa yang baru saja dia dengar. Rahangnya mengetat, seiring dengan deru napas yang memburu. Hasrat untuk membunuhnya sudah berteriak, meminta dipuaskan. Terlebih lagi, saat ini target yang dia incar berada di dekatnya. Sungguh, godaan yang sangat besar untuk segera menarik pisau lipat yang terselip di sepatu kanannya dan mengoyak jantung Bram tanpa ampun.Tidak, Zen tidak akan memilih senjata api untuk membunuh Bram. Terlalu mudah. Bajingan seperti Bram tidak pantas mati dengan mudah. Pisau lipat, adalah pilihan yang sempurna. Zen akan menyayat arteri Bram hingga pria tersebut mati perlahan-lahan karena kehabisan darah. Oh, tentu saja tidak hanya dengan satu sayatan! Mudah sekali! Zen akan menusuk dada Bram, lantas melubangi jantung busuk pria itu dan membiarkan detaknya perlahan melemah. Hingga dia bisa menyaksikan ayah tiri Lea itu berpikir, mati adalah pilihan yang lebih baik."Bajingan!" Zen mengumpat tertahan.Dadanya su
Rasanya sudah sampai di ubun-ubun amarah yang bergelora di dalam dada Zen. Melihat Lea yang tergeletak tak berdaya, membuat Zen semakin geram."Apa dia masih hidup?" tanya Zen dengan nada dingin.Alih-alih terlihat cemas terhadap kondisi Lea, Zen justru tampak sangat marah dengan wajah yang merah padam. Pria itu juga hanya melihat kondisi Lea dari posisinya yang berdiri. Namun percayalah, saat ini ... dia bukan hanya marah, tapi juga sangat mengkhawatirkan kondisi wanita itu. Hanya saja, Zen tidak suka menunjukkan apa yang dia rasa kepada orang lain.Clint yang berdiri di sebelah Zen, menatap Lea sembari menggeleng lemah."Denyut nadinya lemah sekali. Entahlah, aku belum bisa memastikan. Kurasa ada yang memasukkan sesuatu pada makanan atau minuman yang dikonsumsi Lea. Karena dia baik-baik saja sebelumnya. Aku perlu memeriksanya lebih lanjut, tapi ... sialnya listrik padam." Clint menjawab seperti yang dia ketahui."Lakukan apa pun yang harus kau la
Pergerakan waktu yang begitu cepat, memaksa Zen untuk berpikir cepat pula."Berlindung!!!" teriak Zen seraya membalik badan dan berlari keluar dari ruangan itu.Anak buah Zen pun langsung berhamburan keluar untuk mencari tempat berlindung meski terlihat sia-sia. Karena mereka tidak tahu seberapa besar dampak ledakan yang dapat ditimbulkan oleh bom itu.Namun, hingga beberapa saat mereka berlari, tak ada tanda-tanda bom itu meledak. Zen seketika menghentikan langkah. Dia mengangkat kepalan tangan, mengisyaratkan anak buahnya untuk berhenti panik. Kemudian dia menoleh ke belakang. Kedua matanya awas, meneliti pintu ruang kendali generator."Ada sesuatu yang salah di sini," ujarnya.Lantas, dia memutar badan dan berjalan dengan hati-hati ke arah ruangan yang baru saja dia tinggalkan dengan tergesa-gesa."Tuan!" seru anak buahnya yang merasa khawatir.Zen berhenti melangkah, lantas menoleh ke arah anak buahnya."Bukankah seharusnya
Lea koma.Setengah tak percaya dengan apa yang dia dengar. Zen memastikan sekali lagi bahwa dia tidak salah mendengar ucapan Clint."Iya, Zen. Lea koma." Clint menegaskan sekali lagi.Kepala Zen berputar, mengarah pada wanita yang sedang terjebak di antara dua dunia itu. Seolah bisa melihat Lea yang tengah berjalan di atas tambang untuk menuju cahaya, namun di bawahnya berkobar api neraka yang mengerikan. Seolah wanita itu memang sudah mati dan sedang menunggu peradilan di akhirat."Fungsi otaknya menurun drastis hingga dia kehilangan sebagian kendali atas kinerja organ di dalam tubuh yang mengakibatkannnya menjadi seperti ini." Clint menunjukkan hasil CT scan kepada Zen yang hanya direspons dengan lirikan oleh pria itu."Apa tidak ada yang bisa kau lakukan untuk membuatnya hidup lagi?" tanya Zen tanpa berpaling dari Lea.Pertanyaan itu lebih terdengar seperti candaan di telinga Clint. Hingga dia melemaskan bahu seraya menatap lelah pada san
Berada di ruangan itu hanya berdua dengan Lea, ditemani suara monitor yang menandakan bahwa alat vital di tubuh wanita itu masih berfungsi. Tentu saja dengan bantuan beberapa alat penunjang kehidupan. Jika tidak, bisa saja nyawa Lea saat ini sudah melayang. Zen duduk bertopang dagu, dengan siku yang bertumpu pada tepi ranjang Lea. Pria itu tidak mengatakan apa pun sejak dirinya meminta Clint meninggalkan ruangan tersebut. Kedua netranya terus menyorot pada wajah sang wanita. Menatap paras cantik dengan kelopak mata yang menyembunyikan iris hijau menawan yang biasanya selalu memancarkan keindahan.Beberapa orang, termasuk Clint merasa ada yang berubah dari sosok seorang Zen Aberdein. Pria berhati dingin yang tak kenal belas kasih itu seolah bermetamorfosa menjadi sosok yang menyimpan kepedulian begitu besar di dalam hatinya. Bahkan mereka berpikir, cinta telah menyentuh hati pria itu."Kehadiran Nona Lea telah membawa perubahan yang sangat besar pada Tuan Zen," ujar sal
Mengguyur kepalanya dengan air yang mengucur dari shower, Zen merasa sedikit lebih rileks. Penat yang dia rasa seolah ikut luruh bersama air yang mengalir melalui permukaan kulit. Dengan kedua tangan, pria itu mengusap wajah, menghalau aliran air yang menderas melalui wajah agar tetap dapat bernapas.Hanya satu yang tak bisa hilang ketika air mengalir deras dari ujung kepala hingga ujung kaki Zen, yaitu Lea. Senyum indah dan kilau mata yang berbinar di wajah wanita itu seakan tak mau pergi dari kepala Zen. Semua yang ada pada diri Lea, seolah menempel di otaknya seperti gurita yang mengikat musuh dengan tentakel."Sweet Cake ...." Tanpa sadar panggilan itu mengalun lirih dari bibir Zen.Pria itu memejam sembari menundukkan kepala. Kedua tangannya menapak pada kaca buram yang menjadi penyekat di dalam kamar mandi. Dia biarkan air mengalir melalui ujung hidung runcingnya dan berakhir di permukaan lantai kamar mandi hingga menimbulkan suara gemericik yang begitu ra