Share

SYAIR SINGGASANA 2 : DARAH PARA RAJA
SYAIR SINGGASANA 2 : DARAH PARA RAJA
Author: Ryandhika Rahman

1. CERITA DI DINDING PENJARA

Cadudasa melangkah pelan mengiringi arah kaki para pengawal yang membelenggu tangannya. Jelas didengarnya tangis yang meratapi kepergiannya, anak dan istrinya terlihat yang paling pilu di sana. Tangan mereka mencoba menggapai dirinya namun terhalang penjagaan ketat para pengawal yang mengelilinginya. Jeritan lain terdengar dan terlihat pula olehnya, bercampur antara jeritan sedih karena dakwaan yang ditimpakan kepadanya dan jeritan hinaan yang terlempar keji yang juga mengarah padanya.

Bagi Cadudasa, tak ada bedanya lagi hinaan maupun dukungan, dua duanya hampir terdengar sama baginya. Keputusan telah ditetapkan, dan dirinya adalah pesakitan yang tak punya daya lagi untuk membela diri. Semua alibi tak ada gunanya di depan sidang dimana semua saksi menyatakan hal yang menyalahkan dirinya.

Cadudasa mencoba menoleh ke belakang disela langkah beratnya. Paduka Raja menatapnya dengan mata merah. Cadudasa tak ingin menebak atau berandai-andai apakah itu ekspresi pembelaan tuntuk dirinya ataupun kekecewaan. Toh jabatan dan ikatan saudara pun tak mampu membendung kekuasaan hukum dan sidang yang disumpah atas nama Dewa.

Ia kembali melangkahkan kaki, kali ini dengan senyum yang seolah ditujukan untuk menyambut gapaian tangan anak dan istrinya yang larut dalam raungan kesedihan. Senyumnya mengembang kian lebar, mencoba menutupi rasa pilunya ditangisi sedemikian rupa. Senyum yang terus bertahan hingga ia memasuki lorong yang menuju ruang selnya.

Eksekusinya akan dilakukan dalam satu pekan lagi, putus hakim dalam sidang pengumuman eksekusinya baru saja. Ingatan itu tak pelak membuat keringat dingin mengucur di dahinya. Bagaimanapun ia tetaplah manusia biasa, ketakutan dan kekhawatiran adalah hal yang normal yang bisa ia rasakan. Benar jika ia tak hanya sekali berhadapan dengan kematian, namun kematian sebagai seorang yang didakwa sebagai penghianat negara pastinya bukanlah cara mati yang ia idamkan. Agak sesak rasanya membayangkan bahwa pangkat dan jabatan yang ia dapatkan dengan membela panji negaranya selama bertahun-tahun ini ternyata tak mampu membantunya terhindar dari tiang pancung.

Cadudasa memasuki selnya dengan diiringi tatapan dingin seorang pengawal yang mengunci pintu selnya. Ia sekilas menatap balik pengawal itu, pengawal itu menunduk tanpa berkata sepatah kata pun sebelum akhirnya pergi. Wajah yang agak asing bagi Cadudasa, ia seperti baru melihatnya, mungkin karena ia sebentar lagi akan dieksekusi dan itu membuat pandangan para pengawal penjara pun berubah padanya, dari seorang yang awalnya adalah pejabat tinggi ketika ia baru dimasukkan ke sel ini enam bulan yang lalu dan kini menjadi terdakwa kasus berat yang sudah diputuskan akhir hidupnya.

Cadudasa merebahkan tubuh lelahnya di dipan kecil yang selama kurang lebih enam bulan terakhir ini menjadi teman tidurnya. Ia menghembuskan nafasnya perlahan-lahan, memandangi tembok sel yang kini penuh dengan coretan tangannya. Selama enam bulan ini ia memutuskan untuk menulis kisah hidupnya di dinding selnya itu dengan kapur putih. Ia memulainya saat ia memasuki pekan kedua mendekam di sel ini.

“Mungkin suatu hari nanti ada yang menempati sel ini setelah aku dan menarik bagiku jika ia mengetahui kisah tragis tentang seorang Mahapatih yang hidupnya berakhir di tiang pancung.”

Itulah alasannya ketika Dira pertama kali menanyakan mengapa ia menulis kisah hidupnya di tembok penjara. Ada isak tangis yang serak dalam suara Dira ketika menanyakan hal itu.

Enam bulan tentu bukanlan waktu yang sebentar. Tentunya juga adalah waktu yang sangat membosankan bagi Cadudasa jika hanya duduk menghitung hari kapan eksekusinya akan diumumkan. Ia merasa memiliki ketrampilan yang bagus dalam menulis selain menjadi politikus tentunya. Dulu ia pernah bercita-cita menjadi penyair saat kecil. Di usia delapan tahun ia sering melihat Cakramurti, penyair kerajaan kesayangan ayah angkatnya, Maharaja Aria Rajasa II, menulis syairnya di tepi telaga tak jauh dari perpustakaan tempat ia bekerja. Namun Maharaja Aria Rajasa V malah mengirimnya ke sekolah keprajuritan dan ia harus dengan diam-diam menemui Cakramurti saat musim libur untuk belajar menulis atau sekedar mendengarkan pria yang senang memakan daun kemangi itu membaca syairnya, dari banyak syair yang ditulis dan dibacakan oleh Cakramurti, meskipun saat itu Cadudasa tak begitu memahami isi syair yang kerap diciptakan oleh Cakramurti, ia hanya suka bagaimana Cakramurti menciptakan kalimat-kalimat indah dalam ironi yang ia ceritakan.

Pada saat Cadudasa berusia tiga belas tahun, ia mendengar kabar jika Cakramurti tewas tenggelam di telaga tempat ia sering menulis. Belakangan Cadudasa tahu jika Cakramurti tak bisa berenang dan benci pada air dalam, namun kebencian itu yang justru melahirkan inspirasi bagi syair-syairnya. Hal itu pula yang membuat Cadudasa akhirnya memiliki kolam juga di belakang rumahnya, bedanya Cadudasa tak benci air dalam dan tentu saja ia sangat mahir berenang.

Cerita tentang perkenalannya dengan Cakramurti adalah salah satu bagian favoritnya yang ia tuliskan di dinding selnya. Bagian lain yang juga menjadi favoritnya adalah bagian tentang putranya yang tewas saat balita. Kakak kandung Dira. Bocah malang itu terjebak di dalam rumah Narsih, pembantunya saat berlibur bersama ibunya ke desa pembantunya itu. Nahasnya hari itu bertepatan dengan serangan mendadak dari Lalawangan Ganiyangan yang berniat memisahkan diri dari Kerajaan Adighana. Putranya tersebut terjebak saat sedang bersembunyi di bawah dipan sendirian saat ibunya sedang mencari keberadaannya dan api telah berkobar. Tentara Adighana di bawah pimpinan Darmendra yang datang terlambat mendapatkan dua hal sekaligus, pertama mereka berhasil memadamkan pemberontakan, kedua mereka menemui separuh desa yang hangus terbakar, termasuk putra Cadudasa dan pembantunya. Hal itu menyebabkan selama lima tahun lamanya Cadudasa tak mau bertegur sapa dengan Darmendra, sebelum akhirnya kelahiran Dira sedikit mencairkan rasa kecewanya, meskipun sejujurnya rasa kehilangan itu masih ada hingga saat ini.

Bagian lain yang jadi favoritnya adalah tentang Dira, putrinya yang jelita. Lahir lima tahun setelah kepergian putra pertamanya, Dira sedikit banyak mampu menjadi pengobat kerinduannya akan seorang anak. Dira mewarisi sedikit kepandaiannya dalam berkuda dan memanah, namun istrinya yang agak trauma pada perang membuat Dira harus melupakan mimpinya menjadi seorang prajurit. Untungnya ia cerdas, selalu menjadi nomor satu di kelasnya sejak kecil sehingga ia menemukan jalan lain dalam hidupnya yaitu menjadi guru di desa Hulu Kecil yang hanya berjarak setengah hari perjalanan berkuda dari ibu kota Adighana.

Kejadian memilukan yang dialami Dira dengan mantan calon menantu Raja Danishawara sengaja tidak ia tulis. Ia lebih memilih untuk menghancurkan tembok penjara dengan kepalanya ketimbang mengingat kembali hal yang sangat menyakitkan itu.

Dira adalah alasan terbaik baginya untuk meneteskan air mata ketika menulis bagian itu di dinding selnya. Ia adalah cinta terbesar dalam diri Cadudasa, dan meninggalkan putri tercintanya itu untuk selama-lamanya dengan kondisi yang seperti ini mau tak mau membuat ulu hatinya pedih bukan main. Terlebih, sebagai seorang ayah ia belum mampu menemukan pasangan yang tepat untuk Dira. Putrinya itu memang sulit diajak berbicara mengenai laki-laki, seingatnya hanya dua nama pria yang membuat Dira tersipu. Nama pertama membuatnya ingin muntah, sedangkan nama kedua adalah Bayu.

Ia bertemu dan bicara dengan Dira dan istrinya sesaat sebelum ia dibawa ke pengadilan untuk mendengarkan pengumuman hari eksekusinya tadi dan dalam beberapa kesempatan Dira ada menyebut nama Bayu sebagai salah satu nama yang cukup ia khawatirkan. Namun saat Cadudasa sendiri yang menyebut nama Bayu, ada rona merah dan getar sipu di balik tangis sedihnya yang pilu.

Mengingat Bayu tentu saja membawa Cadudasa kembali pada pertemuan yang tidak biasa empat tahun lalu pada remaja yang menurutnya istimewa. Hal itu ia tulis pula di dinding selnya. Ia sudah berkali-kali terlibat dalam perang dan berkali-kali pula ia menyaksikan para remaja ikut berperang. Tapi anak ini berbeda, ia satu-satunya remaja yang sempoyongan mengangkat pedang, menghadapi panglima perang yang menjadi lawan negaranya, namun penuh emosi dan jiwa nekat yang besar.

Saat para prajurit lain menjauhi Sang Panglima, anak ini justru berhasil membunuhnya dengan senjata Panglima itu sendiri. Ya, meski harus diakui ada keberuntungan yang menjadi penentu di sana. Tapi Cadudasa melihat Bayu sebagai remaja yang tak memiliki kepandaian bela diri tapi punya amarah besar dan daya tahan yang cukup mengesankan. Hal itulah yang menjadikan alasan dirinya memberi saran kepada kepala asrama prajurit untuk mencoba Bayu agar berlatih di kesatuan prajurit khusus.

Terakhir ia bertemu Bayu, anak itu telah tumbuh lebih berisi, lincah, dan dari apa yang ia lihat tentang bagaimana Bayu menghadapi ratusan pasukan Adighana yang coba mengejarnya, Cadudasa menyadari jika anak itu telah berkembang menjadi seseorang yang memiliki kemampuan di atas rata-rata.

Ia ingat pertarungan Bayu melawan Anarbuana di gelanggang Putri Paramitha yang melegenda itu. Sejujurnya, ia sengaja tak menahan Bayu untuk turun bertarung karena ia yakin Raja Danishwara tak akan mau namanya tercoreng karena dua keluarga istana saling bunuh di gelanggang putrinya, namanya akan dihujat oleh kerajaan-kerajaan sekutunya. Cepat atau lambat Paduka Raja pasti akan menghentikan pertarungan itu. Meskipun ia tahu Anarbuana tak akan tertandingi untuk menjadi juara, tapi yang mencengangkan adalah bagaimana Bayu mampu bertahan dan memberi perlawanan pada Anarbuana yang notabene adalah Panglima Muda kebanggaan Adighana.

Kabar terakhir yang ia dapat tentang Bayu adalah bahwa ia kini menjadi buronan Kerajaan Adighana, apalagi setelah diketahui jika ia terlibat dalam pencarian pusaka paling berharga di Dunia di Balik Kabut, pusaka yang menjadi sengketa selama ratusan tahun, pusaka yang terakhir dikuasai oleh Danta dan coba direbut oleh kerajaan lain termasuk negerinya karena merasa berhak juga menguasainya, yaitu Pusaka Gajahsora.

Yang lebih menyakitkan lagi, ia dituduh oleh Darmendra dan antek-anteknya sebagai orang yang menyuruh Bayu mencari pusaka itu sebagai alat lobi mengumpulkan pasukan untuk merebut tahta Adighana. Padahal seumur hidupnya ia bahkan belum pernah melihat wujud benda yang dikatakan mahasakti itu, ia malah adalah satu dari sedikit orang yang meragukan kehebatan pusaka itu. Lebih dari empat tahun lalu, ia sempat memprotes kebijakan Adighana untuk menyerang Negeri Danta demi merebut pusaka tersebut. Namun Raja lebih menuruti hasrat Pangeran Raksa yang ingin membuktikan kapasitasnya sebagai calon menantu Raja dengan memimpin pasukan untuk menaklukkan negeri sebesar Danta dengan strateri yang menurut Cadudasa sangat tidak matang dan cenderung terburu-buru, wajar saja jika akhirnya berhasil dipukul mundur.

Tuduhan itu baginya sangat tidak masuk akal, untuk apa ia menyuruh Bayu, ia justru mulai menyayangi anak itu. Ia bahkan tak pernah menyarankan untuk memasukkannya dalam bagian prajurit di serangan kedua kepada Danta yang berujung perang saudara itu. Anarbuana lah yang memilih sendiri pasukannya, sementara ia saat ini jarang dilibatkan dalam kebijakan militer, terutama semenjak kekalahan atas Danta 4 tahun lalu.

Namun jika memang benar Bayu melakukan pencarian pusaka itu, untuk apa? Padahal sebelum kabar itu berhembus ia tak pernah tahu jika pusaka itu hilang dari kekuasaan Danta. Apa kepentingan Bayu atas pusaka itu? Apakah itu perintah langsung dari Ratu Ayunda selaku penguasa negeri di mana Bayu berasal? Tapi kenapa Bayu?

Pertanyaan-pertanyaan itu tak ia tulis di dinding penjaranya. Ia sebentar lagi akan mati, dan mati tentu tak akan lebih baik jika masih membawa pertanyaan-pertanyaan yang ia tak tahu jawabannya. Walaupun pada akhirnya ia akan menemui Dewata, ia tak ingin menanyakan hal itu pada Dewata, toh doanya agar tetap hidup saja dicemooh Dewata, apalagi pertanyaan.

Ia juga menulis tentang Desa Rudira – Desa terkutuk banyak orang menyebutnya – ia mungkin 1 dari hanya sedikit manusia yang masih hidup hingga saat ini yang pernah ke sana. Saat jabatannya masih sebagai Rakryan, ia pernah ditugaskan memimpin satu pasukan kecil ke sana untuk menangkap gerombolan bandit Sumiloka yang mengacau di ibu kota dan beberapa Lawangan di Adighana sampai menculik dan membunuh beberapa pejabat penting kerajaan. Bandit Sumiloka adalah peneror yang paling ditakuti rakyat ketika itu karena kerap merampok dan membunuh dengan sadis dan dengan perencanaan yang matang.

Cadudasa berangkat setelah menyelidiki informasi dari berbagai sumber tentang tempat pelarian para bandit itu beserta korban penculikannya. Berisikan 50 pasukan terlatih, Cadudasa berangkat melalui jalur darat dan laut selama dua bulan hingga akhirnya tiba di desa paling utara dunia di balik kabut itu. Hawa dingin, aura mistis dan tempat terpencil adalah kesan pertama yang ia temukan di desa itu.

Di sana mereka menyamar sebagai pekerja kasar. Ia ingat penduduk desa Rudira tidak seperti yang ia bayangkan sebelum ia ke sana, jumlah mereka lebih banyak dari perkiraannya. Kulit mereka putih dengan rambut ikal dengan tatapan mata dingin. Meskipun jauh dari peradaban lain di Dunia di Balik Kabut, para penduduknya baik pria maupun wanita, tua atau muda, sama-sama bisa bela diri. Mereka dilatih oleh Ki Lewatik, pria paruh baya misterius yang masih percaya jika penduduk Desa Rudira tidak seprimitif dan sesadis yang orang bayangkan, Ki Lewatik juga mengajarkan baca tulis huruf Palawwa bagi anak-anak di sana, dan membuat penilaian Cadudasa tentang kebengisan desa Rudira berangsur hilang. Hanya satu yang masih ada, besi Rudira, karena bagi mereka itu warisan leluhur, dan sejujurnya besi itu berguna jika digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat, hanya saja penilaian negatif orang umum tentang Desa Rudira sudah ratusan tahun melekat.

Cadudasa juga menemui fakta bahwa anggapan orang mengenai kepercayaan penduduk Rudira menyembah tetuanya dan hukuman tusuk selangkangan bagi yang membangkang hanyalah gosip yang tak benar. Kabar itu hanya terus dihembuskan oleh mereka yang tak ingin besi Rudira dikuasai oleh segelintir pihak mengingat begitu kuat dan berbahanya besi itu.

Ia harus berterima kasih pada Ilayan dan keempat rekannya, yang merupakan penduduk lokal Desa Rudira, karena turut membantu ia dan pasukannya meringkus dan membunuh gerombolan bandit Sumiloka. Jika tanpa mereka, upaya Cadudasa tentu akan lebih lama memakan waktu. Yang lebih menyentuh hati Cadudasa, Ilayan dan para rekannya menolak hadiah yang ditawarkan Cadudasa. Mereka justru hanya meminta agar cerita negatif tentang Rudira terus berkembang agar tanah mereka tidak dijajah, dan besi kebanggaan mereka tidak dirampas. Bagi mereka, kemerdekaan lebih utama ketimbang pandangan dunia tentang mereka. Mereka sudah cukup sejahtera dengan dunia mereka.

Bicara tentang bandit Sumiloka, mengingatkan dirinya tentang dua remaja kembar yang sangat memperihatinkan sekaligus mengerikan. Remaja itu kala itu mungkin masih berusia 14-15 tahunan. Wajah mereka sendu, namun tampak selalu kelaparan. Ada amarah sekaligus kesedihan yang seolah terpancar dari sorot mata mereka, seperti memendam masa lalu yang memilukan. Entahlah apa itu, Cadudasa tak sempat menebak-nebak, yang jelas ia memastikan bahwa itu pastilah hal yang buruk.

Menurut informasi yang Cadudasa dapatkan dari para bandit itu, si kembar itu mereka culik dari salah satu dari banyak desa yang mereka rampok, remaja yang dikenal dengan nama Danggapura dan Balasoka. Sayangnya sampai saat ini Cadudasa tak tau lagi nasib kedua remaja itu, padahal jika kedua remaja itu dididik dengan baik pasti suatu saat akan menjadi pendekar yang berguna untuk kebaikan.

Namun jika ia disuruh mengingat kembali tentang satu nama bertalenta luar biasa namun memiliki sifat agak gila mau tak mau ia akan menyebut nama Arya Kunundhani sebagai nama teratas.

Ia kali pertama bertemu dengan pria yang lebih muda sepuluh tahun darinya itu saat menjadi delegasi Adighana dalam rangkaian acara pernikahan putra mahkota kerajaan Warastika yang saat itu masih menjadi negeri sahabat Adighana lima belas tahun yang lalu. Arya Kunundhani ada di sana entah untuk apa. Ia sempat berbicara panjang dengan pria itu saat mereka secara tidak sengaja berkunjung di warung makan yang sama di sela rangkaian hari upacara pernikahan.

Arya Kunundhani ia kenal sebagai pribadi yang blak-blakan dan penuh percaya diri. Bahkan ia tak segan mengatakan pada Cadudasa di tempat itu bahwa ia memiliki mimpi untuk menjadi raja, dan negeri yang ingin ia pimpin adalah Warastika karena memiliki kedekatan geografi dengan negeri Hematala, negeri penghasil salah satu pedang terbaik di dunia di balik kabut, pedang Hematala. Arya Kunundhani adalah pria yang cukup banyak omong, namun dibekali dengan kemampuan bertarung yang sama tangguhnya. Ia menyaksikan sendiri saat akhirnya ia mencoba mengacau di tiga hari sebelum hari pelaksanaan upacara pernikahan itu, entah apa yang merasuki pria itu saat ia dengan nekad menyerang patih negeri Warastika yang sedang beribadah, ia berhasil membunuh sang patih yang terkenal tangguh, mengalahkan Guwabarong, salah satu delegasi dari negeri Danta yang kebetulan saat itu sedang bertamu di rumah sang patih, sebelum akhirnya Patih Tarkas dari negeri Danta yang juga berada di sana berhasil menebas punggungnya namun Arya Kunundhani berhasil kabur dan setidaknya membuat pesta pernikahan harus ditunda selama beberapa pekan untuk menghormati kepergian patih mereka.

Jika saja tak memiliki talenta bertarung yang hebat tak mungkin ia berani berhadapan langsung dengan tiga nama tadi, apalagi Patih Tarkas yang merupakan salah satu jendral perang negeri Danta. Beberapa tahun setelah kejadian itu, ia mendengar Arya Kunundhani kembali mengacau di beberapa daerah negeri Danta dan sempat dipenjara, namun kemudian bebas atau kabur entah yang mana yang benar kabar yang beredar, yang jelas hampir lima tahun yang lalu ia benar-benar memenuhi ambisinya menjadi penguasa negeri Warastika setelah memimpin pemberontakan yang sukses membunuh Raja Silacadurmanggi dan Ratu Hanumsari yang sepuluh tahun sebelumnya ia datangi acara pernikahannya.

Tak ada yang tahu pasti darimana asal Arya Kunundhani yang sebenarnya, ada yang menyebut ia berasal dari negeri Gandewa, ada yang menyebut ia bersal dari negeri Danta, bahkan ada yang menyebut ia berasal dari sebuah lalawangan kecil dari negeri Warastika itu sendiri. Arya Kunundhani sendiri tak pernah bercerita darimana asalnya pada Cadudasa hari itu, ia hanya menyebut bahwa ia sempat dilatih dan diberikan pedang Hematala oleh gurunya yang bernama Maesa Bhupendra dari pulau Sanuremas, entah di mana pulau itu ia tak pernah mendengar. Begitupun nama Maesa Bhupendra yang hingga kini masih terdengar asing baginya. Namun ia bersumpah atas nama Dewa manapun, dengan pedang Hematala di tangan Arya Kunundhani, ia lebih memilih menghindar jika diminta bertarung dengannya langsung.

Ia juga menulis tentang Perang Dewadaru, yang dianggap sebagai salah satu perang terpanjang di Dunia di Balik Kabut, dimulai ketika Sujatmika Penangging, kepala prajurit keamanan ibukota negeri Adighana dicopot dan dipindah tugaskan sebagai duta besar negeri Adigaha untuk negeri Gandewa secara mengejutkan oleh Maharaja Aria Rajasa II, ayah angkat Cadudasa yang saat itu memerintah. Pencopotan itu disinyalir karena Sujatmika dianggap melakukan tindakan ilegal dengan membunuh empat belas penjahat politik negeri Adighana tanpa izin dari sang Raja, meskipun terbilang sebagai pemimpin pasukan yang berani dan berkharisma, namun Sujatmika dianggap terlalu liar dan tanpa kompromi sehingga bisa mengganggu stabilitas politik luar negeri Adighana, selain itu keberingasannya menindak para penjahat membuat namanya banyak dielu-elukan oleh masyarakat ibukota karena menganggap Maharaja Aria Rajasa II terlalu lamban dalam bertindak. Raja merasa khawatir jika nama besar Sujatmika akan malah menenggelamkan namanya, untuk itulah ia dicopot.

Sujatmika yang tidak terima dan merasa ada politik busuk yang bermaksud menyingkirkannya, ia menolak putusan sang Raja dan dengan dukungan dari simpatisannya yang berasal dari para prajurit setianya yang dijuluki Pasukan dari Neraka karena keberingasannya, juga dari rakyat yang mengidolakannya, ia lantas diam-diam merebut Lalawangan Serawan dan Palubang, setelah itu ia secara terang terangan mengobarkan pemberontakkan kepada pemerintah pusat dengan merebut secara beruntun Lalawangan Bedauh, Pemangkut, Lalawangan Dewadaru dan Pulau Urpukala lalu bersama sekitar 18 ribu pasukannya menasbihkan Negeri baru bernama Inderasari yang berpusat di Dewadaru dengan ia sendiri yang menjadi Raja bergelar Sri Maharaja Purnama Dewa Sujatmika Mangku Alam.

Tentu saja negeri baru itu tidak direstui oleh Adighana meskipun mendapatkan dukungan dari negeri lain seperti Cayapata dan Tirtayana walaupun bukan dukungan yang terang terangan. Adighana berusaha melakukan serangan dan merebut Lalawangan tersebut dari Sujatmika namun selalu gagal, mereka memang beberapa kali berhasil merebut sebagian Lalawangan tersebut dari kekuasaan Jatmika, namun biasanya hanya bertahan beberapa bulan sebelum Sujatmika dengan bala tentaranya berhasil merebutnya kembali dan mengusir tentara Adighana.

Sujatmika memang seorang pemimpin yang ganas namun punya taktit bertahan dan menyerang sangat jenius, Maharaja Aria Rajasa II sampai hampir frustasi mencoba mengalahkannya. Sujatmika membangun benteng besar di Dewadaru dan melatih penduduk lokal setiap Lalawangannya menjadi prajurit terampil hingga menyulitkan bala tentara Adighana untuk menguasainya. Tiap kali tentara Adighana berusaha membuat barikade pengepungan Sujatmika dengan cermat memerintahkan pasukannya membolakade jalur logistik, bahan makanan, dan senjata bagi pasukan Adighana sehingga pasokan mereka terbatas dan dengan mudah dipukul mundur oleh pasukan dari Neraka milik Sujatmika. Sulitnya meruntuhkan pemerintahan Sujatmika memakan waktu hingga empat puluh tahun pemerintahan Aria Rajasa II, Adighana mencoba berbagai hal namun selalu gagal.

Hingga akhirnya Cadudasa yang baru saja menyelesaikan misi di Desa Rudira diperintahkan untuk memimpin pasukan Adighana merebut kembali Lalawangan-Lalawangan yang dikuasai oleh Sujatmika. Berkaca pada pengalaman pasukan yang terdahulu, Cadudasa melatih pasukannya untuk menyamar dan menyusup masuk ke Lalawangan-Lalawangan itu untuk mengeringkan sumur-sumur air mereka dan mencuri bahan makanan di sana, perlahan-lahan satu persatu Lalawangan berhasil direbut kembali dan dikuasai secara penuh oleh Adighana dalam waktu enam tahun, baik dengan jalur perang maupun diplomasi, menyisakan Lalawangan Dewadaru dan Pulau Urpukala. Dengan strategi matang dan persiapan panjang, ia dan pasukannya mengurung Dewadaru sembari menggali tanah di sekitar benteng kota agar bisa masuk dalam kota, setelah melakukan pengepungan selama satu tahun penuh, akhirnya Sujatmika mau menemui langsung Cadudasa dan berunding di luar benteng, namun perundingan itu berakhir buntu dan membuat Cadudasa tak punya pilihan lain selain menggempur Kota Dewadaru bagaimanapun caranya mengingat persediaan makanan mereka sudah mulai menipis.

Dalam waktu dua pekan mereka akhirnya berhasil merangsek masuk ke dalam kota meski cukup banyak prajurit mereka yang tewas termasuk ayah dari Subali, dan selanjutnya adalah sejarah dari pencapaian terbesarnya dalam militer setelah ia berhasil memenggal Sujatmika di atas singgasananya dan berhasil merebut kembali Lalawangan Lalawangan yang pernah dikuasai Sujatmika selama 48 tahun sekaligus menghancurkan negeri Inderasari.

Sayang, saat ia sedang mengatur strategi merebut Pulau Urpukala yang menjadi tempat pelarian sisa-sisa pasukan Sujatmika, ia keburu dipanggil kembali ke Ibukota untuk diangkat menjadi perdana menteri tinggi atau Mahapatih oleh Maharaja Danishwara yang saat itu telah naik tahta menggantikan ayahnya yang wafat.

Pulau Urpukala sendiri akhirnya berhasil direbut kembali oleh Darmendra dan pasukannya hampir sepuluh tahun yang lalu lewat pengepungan selama dua bulan penuh.

Cadudasa lalu memejamkan matanya, mencoba menidurkan dirinya di tengah-tengah rentetan kenangan dalam hidupnya yang mungkin saja akan segera ia tutup dalam hitungan hari lagi. Entah bagaimanakah rasa sakit kematian, pikirnya. Apakah sama dengan saat pahanya ditebas kapak? Atau sama dengan saat sisi lehernya tertusuk sumpit beracun di suatu perang hingga membuat Dira menangis semalaman karena takut ia akan mati?

Ya, kali ini ia akan benar-benar mati. Tidak, bukan lagi sejengkal dari kematian, tapi benar-benar mati. Dipancung di depan rakyat yang puluhan tahun ia bela. Entah bagaimana membayangkan gelapnya kematian.

Ia kembali memejamkan mata lebih dalam. Bernafas lebih tenang. Kali ini ia mulai merasa takut. Rasanya tak pernah ia sekhawatir ini.

Tiba-tiba ia mendengar suara pintu selnya berderit. Perlahan ia membuka mata. Seorang pria, nampaknya, dengan topi keprajuritan Adighana dan penutup mulut yang hanya menyisakan bagian mata yang tak tertutupi menatapnya tajam di sela cahaya obor yang menerangi ruangan kecil itu.

“Sudah tiba saatnya.” Suara pria itu lirih pada Cadudasa. Dingin, seperti ujung pedang yang serasa menusuk tipis ujung leher Cadudasa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status