LOGINTangan Adeline bergetar di kala memegang surat cerai yang baru saja dia terima dari pengacara suaminya. Matanya sudah berkaca-kaca tak sanggup menahan air mata. Pasokan oksigen seakan mulai menipis akibat sesak yang ditimbulkan oleh rasa terkejut ini.
Wanita itu tahu bahwa dia akan segera dikirim surat cerai, tetapi dia masih menganggap bahwa paling tidak dirinya memiliki sedikit waktu untuk bersama dengan Asher. Akan tetapi, fakta yang ada suaminya itu sudah tak sabar menceraikannya.
Air mata jatuh membasahi pipi Adeline. Tampak jelas tatapannya menatap nanar kata demi kata yang tertulis di surat cerai. Pena yang kini dia pegang gemetar—akibat jemarinya yang merasakan keterkejutan luar biasa.
Lidah tak bertulang itu sudah tak sanggup lagi menyusun kata, menciptakan sebuah suara. Hanya ada air mata yang tak henti berlinang jatuh membasahi pipinya. Ya, ini adalah patah hati luar biasa untuk Adeline.
“Jika ini yang kau inginkan, aku akan menuruti keinginanmu, Asher,” bisik Adeline serak, lalu dia dengan penuh paksaan membubuhkan tanda tangannya ke surat cerai itu.
Surat cerai sudah resmi ditandatangani. Hal itu mengartikan bahwa Adeline bukan lagi istri dari Asher Lennox. Sungguh, dirinya seperti ada di dalam sebuah mimpi buruk yang menyakitkan. Namun, dia sadar bahwa ini kenyataan—yang tak bisa dia tolak.
Adeline menyeka air matanya susah payah. Wanita itu meletakan surat cerai dan pena ke atas meja. Lantas, dia melangkah mengambil barang-barangnya yang harus dia bawa. Tentu dia tak akan mungkin tetap tinggal di mansion ini. Sebab, ini bukan lagi rumah untuknya.
Satu koper berukuran sedang kini ditarik Adeline keluar dari kamar. Dia tak membawa banyak barang-barang. Dia hanya membawa barang penting yang memang miliknya saja. Sejak menikah, dia tak bekerja, dan hidupnya ditanggung oleh Asher. Jadi, dia tak layak kalau mengambil semua barang-barang dari Asher—apalagi kalau itu barang mahal.
Langkah Adeline pelan menuju ke depan pintu, tetapi seketika dia melihat Asher yang baru saja kembali. Pria itu turun dari mobil, dan tampak mengerutkan kening di kala melihat Adeline keluar mansion membawa satu koper.
“Kau mau ke mana, Adeline?” tanya Asher melayangkan tatapan dingin, dan tajam pada Adeline.
Adeline tersenyum, menatap dalam manik mata cokelat gelap Asher. Pria itu selalu tampan di matanya. Selalu sempurna. Dia menatap pria yang telah menjadi mantan suaminya itu. Tatapan cukup lama, membuatnya benar-benar hanyut.
Adeline tak langsung memberikan jawaban, karena dia masih ingin menatap lama pria itu. Bukan tanpa alasan, dia sadar bahwa mungkin tatapan ini adalah tatapan terakhir. Mungkin saja dia tak akan lagi melihat pria yang telah mengisi hatinya itu.
“Aku sudah menandatangani surat ceraimu,” ucap Adeline pelan.
Kening Asher mengerut dalam, menunggu wanita itu menyelesaikan ucapannya lagi.
“Karena aku sudah mendatangani surat ceraimu, jadi aku harus pergi sekarang,” lanjut Adeline dengan suara tenang.
“Kau mau pergi ke mana?” tanya Asher sedikit mendesak.
“Ini rumahmu, Asher. Ini tempat tinggalmu. Aku sudah menjadi mantan istrimu. Aku tidak layak berada di sini,” jawab Adeline tetap tegar, meski matanya sejak tadi sudah kembali berkaca-kaca.
Adeline ingin menjerit, menangis sekencang mungkin di dalam pelukan Asher. Namum, wanita itu tahu bahwa sekalipun dia menjerit tetap tidak akan menuaikan hasil apa pun. Tidak ada yang berubah. Dia dan Asher memang sudah seharusnya berpisah.
Mata Asher menyalang, menatap tajam Adeline seperti burung Elang yang murka. “Bukankah aku sudah bilang rumah ini bisa kau tempati?” balasnya dengan nada menggeram.
Adeline kembali tersenyum, di balik kerapuhannya. Mata yang sedikit sayu menunjukkan betapa hancur dirinya. Hanya saja, dia tak bisa melontarkan kata demi membuat hatinya tak lagi sesak. Sebab, memaki sekalipun, atau meminta keadilan tetap saja dia tak akan mendapatkan apa pun.
Asher mencintai Talia, bukan dirinya.
Asher menginginkan Talia, bukan dirinya.
Asher membutuhkan Talia, bukan dirinya.
“Rumah ini pemberian orang tuamu setelah kita resmi menikah. Tapi, ini tetap rumahmu. Aku sama sekali tidak memiliki hak tinggal di rumah ini. Dulu aku adalah istrimu. Aku berhak tinggal di tempat tinggal di mana suamiku berada. Tapi, mulai hari ini sejak di mana aku menandatangani surat cerai yang dikirimkan pengacaramu, ikatan kita telah terputus, Asher. Itu menandakan tidak mungkin aku tetap berada di rumah ini,” terang Adeline dengan nada lembut.
Asher tampak tak suka dengan ucapan Adeline. “Kau tidak punya tempat tinggal. Kau akan ke mana?” tanyanya dingin, dan tajam.
Adeline sedikit tersentuh akan ucapan Asher. Pria itu bahkan terlihat peduli pada kehidupannya. Namun, dia meneguhkan bahwa mungkin saja Asher hanya kasihan padanya. Tidak lebih dari itu.
“Aku bisa bekerja, Asher. Selama kita menikah, kau sudah mencukupiku. Aku berterima kasih. Sekarang, biarkan aku belajar mandiri berjuang dengan kedua kakiku. Aku pasti bisa menghidupi diriku,” jawab Adeline pelan.
Asher tetap tak suka dengan jawaban Adeline. “Tapi, kau selama ini sudah terbiasa menjadi ibu rumah tangga. Kau tidak terbiasa bekerja.”
Adeline tersenyum, menatap dalam Asher. “Kau benar. Aku terbiasa menjadi seorang ibu rumah tangga. Aku tenggelam dalam kenyamanan yang telah kau ciptakan Asher. Sampai aku lupa, bahwa rasa nyaman itu bisa saja sewaktu-waktu menghilang. Hal yang harus kau tahu bahwa semua orang bisa berubah.”
Asher langsung diam, tak bisa menjawab ucapan Adeline.
Adeline melangkah sambil menggeret kopernya. “Rasa nyaman itu mungkin akan sedikit membuatku kesulitan mandiri. Dari segi financial, aku sudah terlalu bergantung padamu. Apalagi saat keluargaku jatuh bangkrut, kau selalu menolong ekonomiku. Aku berterima kasih atas itu. Tapi, satu hal yang membuatku sadar. Bahwa di dunia ini yang menemani kita adalah diri kita sendiri. Semua orang bisa pergi.”
Lagi dan lagi, Asher kembali diam, tak bisa menjawab.
“Banyak hal yang aku petik selama kita menikah. Cinta itu tidak bisa dipaksakan. Cinta itu harus berkorban. Cinta itu harus merelakan. Dan cinta harus tahu bahwa terkadang melepas, bisa membuatnya bahagia. Seperti contoh aku melepasmu untuk bersama dengan orang yang kau cintai. Aku bahagia, Asher. Aku bahagia melihat senyumanmu. Aku bahagia melihat kau bisa bersama dengan wanita yang kau inginkan,” lanjut Adeline pelan, dan lembut.
Asher membeku diam. Kata demi kata yang diucapkan oleh Adeline seperti peluru yang menancap jantung. Suara lembut, tetapi membuat jantungnya merasa nyeri. Entah dia tak mengerti kenapa.
Tak selang lama, taksi muncul, memasuki gerbang mansion. Penjaga di depan memberikan izin taksi masuk, karena sebelumnya Adeline yang meminta pada penjaga untuk membiarkan jika ada taksi masuk.
“Taksiku sudah datang.” Adeline tersenyum lembut, lalu menatap Asher dengan tatapan hangat. “Asher, aku pergi. Jaga dirimu dengan baik. Namamu tidak pernah lepas dari doa yang aku panjatkan.” Air mata Adeline berlinang lagi jatuh membasahi pipinya.
“Ah, aku hampir lupa. Cincin pernikahan belum aku lepas.” Wanita itu mulai melepaskan cincin pernikahan yang tersemat di jari manisnya, lalu memberikan pada Asher. “Jika kau ingin menyimpan cincin ini silakan. Tapi aku sarankan kau bisa menjual saja cincin ini, dan uangnya bisa kau berikan cincin baru untuk Talia. Cincin pernikahan kita dari berlian. Pasti harganya sangat mahal. Sampaikan salamku untuk Talia.”
Adeline menyeka air matanya, lalu dia masuk ke dalam taksi, dan meminta sang sopir untuk segera meninggalkan mansion itu. Tampak sorot mata Asher terus menatap taksi yang membawa Adeline.
Tubuh Asher membeku, perlahan di kala taksi mulai leyap dari pandangannya, tatapannya teralih pada cincin pernikahan Adeline yang ada di telapak tangannya. Tenggorokannya sejak tadi seakan tercekat—tak bisa sama sekali mengeluarkan kata.
Cincin itu selalu dipakai Adeline, kapan pun dan di momen apa pun. Tak pernah sekalipun wanita itu melepas cincin pernikahan itu. Namun sekarang, cincin pernikahan itu sudah dilepas bukan untuk sementara, melainkan untuk selamanya.
Adeline merelakan Asher mendapatkan kebahagiaan, dan harusnya si pria merasakan kebahagiaan dan kelegaan di kala Adeline begitu mudah menyetujui perpisahan. Akan tetapi, fakta yang ada adalah Asher merasa hatinya mulai gelisah.
“Shit! Kau ini kenapa?” geram Asher pada dirinya sendiri, seraya meremas kuat cincin pernikahan yang ada di tangannya.
Malam makin larut. Asher yang tadi berada di kamar memilih untuk berada di ruang kerjanya. Perkataan Talia tadi berhasil memancing emosi, membuatnya enggan untuk langsung tidur. Setelah tadi dia membersihkan tubuh, dia langsung mendatangi ruang kerjanya yang ada di mansion, dan segera menenggak segelas whisky.Pria tampan itu berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, menatap langit yang kini sudah dihiasi oleh bulan dan bintang. Kumpulan awan gelap telah menyingkir, dan tak lagi terlihat.Dia menatap langit, bukan untuk melihat pemandangan, tetapi dia seakan menbendung emosi dalam diri. Sejak tadi, dia terus menahan diri. Bahkan setelah perdebatannya dengan Talia, dia memilih untuk menghindar. Dia khawatir, dia meledakan kembali amarahnya hingga membuat sang istri terluka.Menghindar adalah cara terbaik, di kala amarah di dalam diri mengumpul menjadi satu. Asher menjauh, karena pria itu menghindari konflik. Dia tak ingin pusing berdebat dengan istrinya.Tiba-tiba, di kala Asher s
“Asher? Kau dari mana?” Kalimat pertama yang ditanyakan Talia di kala melihat Asher sudah pulang. Wanita itu tampak berusaha menahan diri. Dia tak mau mengomel, karena sadar suaminya baru pulang dari bekerja.“Paul sudah menjawab pertanyaanmu, kan?” balas Asher dingin, tampak tak acuh. Ya, sebelumnya pria tampan itu sudah mendapatkan laporan dari Paul tentang Talia yang terus menerus mencarinya. Pun dia tahu jawaban asistennya itu pada sang istri. Jadi, dia bisa menjawab sesuai dengan apa yang asistennya katakan padanya.Talia berdecak pelan. “Sayang, aku yakin Paul sudah lapor padamu tentang Alyssa sakit, kan?” tanyanya dengan nada mencoba menahan amarah.Asher mengangguk singkat. “Sebelum aku ke kamar, aku sudah ke kamar Alyssa. Demamnya sudah mulai turun. Tadi, aku juga sudah menghubungi dokter kita. Dokter bilang kondisi Alyssa akan segera membaik. So, tidak perlu ada yang dikhawatirkan.”Talia nyaris tak menyangka akan jawaban sang suami, yang seolah menunjukkan rasa tak peduli p
Suasana malam penuh keheningan. Hujan yang tadi turun cukup deras kali ini sudah berhenti. Awan gelap sudah menyingkir, tergantikan dengan kumpulan awan cerah yang tak lagi menutupi keindahan bulan dan bintang.Adeline duduk tenang di dalam mobil, membiarkan Asher melajukan mobil. Tak ada percakapan apa pun. Dia memilih untuk melihat ke jendela, tak melihat sedikit pun pada Asher yang mengemudikan mobil.“Aku tidak tahu alamat tinggalmu,” ucap Asher dingin tanpa menoleh pada Adeline.“Ambil kanan, ada apartemen di pinggir jalan di sana aku tinggal untuk sementara,” jawab Adeline tenang.Asher patuh, dia langsung membelokkan mobilnya ke kanan, dan benar apa yang dikatakan Adeline. Dia sudah melihat gedung apartemen menjulang tinggi di sisi kiri. Detik itu, dia masuk ke lobi apartemen. “Terima kasih banyak untuk hari ini,” jawab Adeline sambil membuka seat belt-nya.“Kau tinggal di sini?” tanya Asher yang kini menatap Adeline.Adeline mengangguk. “Ya, untuk sementara. Baiklah, kau ha
“Bagaimana keadaannya?” tanya Asher pada sang dokter yang baru saja selesai memeriksa luka di kepala Adeline. Tampak sorot mata pria itu dingin, menunggu sang dokter menjawab apa yang dia tanyakan.Sang dokter tersenyum di kala sudah memasang perban di kepala Adeline. “Luka di kepala Nyonya Hart tidak terlalu dalam. Beliau tidak harus sampai mendapatkan jahitan di kepalanya. Tekanan darahnya bagus. Tidak ada luka dalam juga. Kami sudah melakukan pemeriksaan seluruhnya. Jadi, Anda tidak perlu khawatir, Tuan.”“Dia tidak harus dirawat?” tanya Asher lagi tetap seakan tak ingin Adeline langsung pulang dari rumah sakit begitu saja.Sang dokter kembali tersenyum. “Tidak perlu, Tuan. Nyonya Hart bisa langsung pulang. Tapi, Anda sangat hebat langsung mengambil tindakan membawa Nyonya Hart ke rumah sakit.”Asher mengangguk singkat. “Baiklah, aku akan membawanya pulang.”Sang dokter mengalihkan pandangannya, menatap Adeline dengan tatapan sopan. “Nyonya Hart, saya sudah meresespkan obat untuk A
Mobil sport yang dilajukan Asher melaju dengan hati-hati di bawah guyuran air hujan yang membasahi kota New York. Sejak tadi, hujan masih terus turun. Bahkan di kala Asher menyelamatkan Adeline tadi, hujan tetap masih turun membasahi bumi. Hal itu yang membuat pakaian Asher dan Adeline setengah basah.Namun, meski hujan turun cukup deras, tak ada petir. Itu yang membuat Asher bisa mudah menyelamatkan Adeline. Jika tadi ada petir, besar kemungkinan proses penyelamatan tidak bisa langsung cepat.“Asher, bawa aku ke apartemen yang aku sewa selama aku di sini,” ucap Adeline pelan, tubuhnya bersandar di kursi, terlihat agak lemah.Dress yang Adeline pakai beruntung bukan dress tipis. Kalau saja wanita itu memakai dress tipis, dan menerawang sudah pasti di kala Asher menyelamatkannya, pakaian dalamnya akan terlihat.“Aku akan membawamu ke rumah sakit,” jawab Asher dingin, dengan tatapan fokus menatap ke depan, tanpa mau mengindahkan permintaan Adeline.“Asher, kau sangat keras kepala,” geru
“Adeline!” teriak Asher seraya turun dari mobil, dan berlari menghampiri mobil Adeline yang menabrak pohon besar. Tampak jelas raut wajah pria itu menunjukkan kecemasan dan kepanikan.Saat tiba di samping mobil, Asher langsung membuka keras pintu mobil—di mana Nora duduk. Namun, sialnya pintu terkunci. Nora dari dalam mobil menggedor kaca, dan menggeleng panik—menandakan pintu mobil tidak bisa terbuka.Melihat isyarat dari Nora, membuat Asher langsung bertindak. Pria tampan itu langsung melayangkan tinju keras ke kaca mobil, tapi tentu tinjuan pertamanya tidak langsung berhasil membuat kaca itu pecah.Hujan turun cukup deras. Tinjuannya agak susah mengenai sasaran karena air hujan. Namun, Asher tak menyerah, dia bisa melihat Adeline di dalam mobil tampak lemah dengan darah di kepala wanita itu. Dia kini kembali meninju kaca makin kencang—dan berhasil. Kaca mobil itu pecah, lalu Asher berusaha membuka pintu mobil. “Ya Tuhan, terima kasih, Tuan Lennox,” seru Nora di kala berhasil keluar







