Home / Romansa / Saat Aku Melepasmu / Bab 2. Resmi Berpisah

Share

Bab 2. Resmi Berpisah

last update Last Updated: 2025-07-25 22:10:00

Tangan Adeline bergetar di kala memegang surat cerai yang baru saja dia terima dari pengacara suaminya. Matanya sudah berkaca-kaca tak sanggup menahan air mata. Pasokan oksigen seakan mulai menipis akibat sesak yang ditimbulkan oleh rasa terkejut ini.

Wanita itu tahu bahwa dia akan segera dikirim surat cerai, tetapi dia masih menganggap bahwa paling tidak dirinya memiliki sedikit waktu untuk bersama dengan Asher. Akan tetapi, fakta yang ada suaminya itu sudah tak sabar menceraikannya.

Air mata jatuh membasahi pipi Adeline. Tampak jelas tatapannya menatap nanar kata demi kata yang tertulis di surat cerai. Pena yang kini dia pegang gemetar—akibat jemarinya yang merasakan keterkejutan luar biasa.

Lidah tak bertulang itu sudah tak sanggup lagi menyusun kata, menciptakan sebuah suara. Hanya ada air mata yang tak henti berlinang jatuh membasahi pipinya. Ya, ini adalah patah hati luar biasa untuk Adeline.

“Jika ini yang kau inginkan, aku akan menuruti keinginanmu, Asher,” bisik Adeline serak, lalu dia dengan penuh paksaan membubuhkan tanda tangannya ke surat cerai itu.

Surat cerai sudah resmi ditandatangani. Hal itu mengartikan bahwa Adeline bukan lagi istri dari Asher Lennox. Sungguh, dirinya seperti ada di dalam sebuah mimpi buruk yang menyakitkan. Namun, dia sadar bahwa ini kenyataan—yang tak bisa dia tolak.

Adeline menyeka air matanya susah payah. Wanita itu meletakan surat cerai dan pena ke atas meja. Lantas, dia melangkah mengambil barang-barangnya yang harus dia bawa. Tentu dia tak akan mungkin tetap tinggal di mansion ini. Sebab, ini bukan lagi rumah untuknya.

Satu koper berukuran sedang kini ditarik Adeline keluar dari kamar. Dia tak membawa banyak barang-barang. Dia hanya membawa barang penting yang memang miliknya saja. Sejak menikah, dia tak bekerja, dan hidupnya ditanggung oleh Asher. Jadi, dia tak layak kalau mengambil semua barang-barang dari Asher—apalagi kalau itu barang mahal.

Langkah Adeline pelan menuju ke depan pintu, tetapi seketika dia melihat Asher yang baru saja kembali. Pria itu turun dari mobil, dan tampak mengerutkan kening di kala melihat Adeline keluar mansion membawa satu koper.

“Kau mau ke mana, Adeline?” tanya Asher melayangkan tatapan dingin, dan tajam pada Adeline.

Adeline tersenyum, menatap dalam manik mata cokelat gelap Asher. Pria  itu selalu tampan di matanya. Selalu sempurna. Dia menatap pria yang telah menjadi mantan suaminya itu. Tatapan cukup lama, membuatnya benar-benar hanyut.

Adeline tak langsung memberikan jawaban, karena dia masih ingin menatap lama pria itu. Bukan tanpa alasan, dia sadar bahwa mungkin tatapan ini adalah tatapan terakhir. Mungkin saja dia tak akan lagi melihat pria yang telah mengisi hatinya itu.

“Aku sudah menandatangani surat ceraimu,” ucap Adeline pelan.

Kening Asher mengerut dalam, menunggu wanita itu menyelesaikan ucapannya lagi.

“Karena aku sudah mendatangani surat ceraimu, jadi aku harus pergi sekarang,” lanjut Adeline dengan suara tenang.

“Kau mau pergi ke mana?” tanya Asher sedikit mendesak.

“Ini rumahmu, Asher. Ini tempat tinggalmu. Aku sudah menjadi mantan istrimu. Aku tidak layak berada di sini,” jawab Adeline tetap tegar, meski matanya sejak tadi sudah kembali berkaca-kaca.

Adeline ingin menjerit, menangis sekencang mungkin di dalam pelukan Asher. Namum, wanita itu tahu bahwa sekalipun dia menjerit tetap tidak akan menuaikan hasil apa pun. Tidak ada yang berubah. Dia dan Asher memang sudah seharusnya berpisah.

Mata Asher menyalang, menatap tajam Adeline seperti burung Elang yang murka. “Bukankah aku sudah bilang rumah ini bisa kau tempati?” balasnya dengan nada menggeram.

Adeline kembali tersenyum, di balik kerapuhannya. Mata yang sedikit sayu menunjukkan betapa hancur dirinya. Hanya saja, dia tak bisa melontarkan kata demi membuat hatinya tak lagi sesak. Sebab, memaki sekalipun, atau meminta keadilan tetap saja dia tak akan mendapatkan apa pun.

Asher mencintai Talia, bukan dirinya.

Asher menginginkan Talia, bukan dirinya.

Asher membutuhkan Talia, bukan dirinya.

“Rumah ini pemberian orang tuamu setelah kita resmi menikah. Tapi, ini tetap rumahmu. Aku sama sekali tidak memiliki hak tinggal di rumah ini. Dulu aku adalah istrimu. Aku berhak tinggal di tempat tinggal di mana suamiku berada. Tapi, mulai hari ini sejak di mana aku menandatangani surat cerai yang dikirimkan pengacaramu, ikatan kita telah terputus, Asher. Itu menandakan tidak mungkin aku tetap berada di rumah ini,” terang Adeline dengan nada lembut.

Asher tampak tak suka dengan ucapan Adeline. “Kau tidak punya tempat tinggal. Kau akan ke mana?” tanyanya dingin, dan tajam.

Adeline sedikit tersentuh akan ucapan Asher. Pria itu bahkan terlihat peduli pada kehidupannya. Namun, dia meneguhkan bahwa mungkin saja Asher hanya kasihan padanya. Tidak lebih dari itu.

“Aku bisa bekerja, Asher. Selama kita menikah, kau sudah mencukupiku. Aku berterima kasih. Sekarang, biarkan aku belajar mandiri berjuang dengan kedua kakiku. Aku pasti bisa menghidupi diriku,” jawab Adeline pelan.

Asher tetap tak suka dengan jawaban Adeline. “Tapi, kau selama ini sudah terbiasa menjadi ibu rumah tangga. Kau tidak terbiasa bekerja.”

Adeline tersenyum, menatap dalam Asher. “Kau benar. Aku terbiasa menjadi seorang ibu rumah tangga. Aku tenggelam dalam kenyamanan yang telah kau ciptakan Asher. Sampai aku lupa, bahwa rasa nyaman itu bisa saja sewaktu-waktu menghilang. Hal yang harus kau tahu bahwa semua orang bisa berubah.”

Asher langsung diam, tak bisa menjawab ucapan Adeline.

Adeline melangkah sambil menggeret kopernya. “Rasa nyaman itu mungkin akan sedikit membuatku kesulitan mandiri. Dari segi financial, aku sudah terlalu bergantung padamu. Apalagi saat keluargaku jatuh bangkrut, kau selalu menolong ekonomiku. Aku berterima kasih atas itu. Tapi, satu hal yang membuatku sadar. Bahwa di dunia ini yang menemani kita adalah diri kita sendiri. Semua orang bisa pergi.”

Lagi dan lagi, Asher kembali diam, tak bisa menjawab.

“Banyak hal yang aku petik selama kita menikah. Cinta itu tidak bisa dipaksakan. Cinta itu harus berkorban. Cinta itu harus merelakan. Dan cinta harus tahu bahwa terkadang melepas, bisa membuatnya bahagia. Seperti contoh aku melepasmu untuk bersama dengan orang yang kau cintai. Aku bahagia, Asher. Aku bahagia melihat senyumanmu. Aku bahagia melihat kau bisa bersama dengan wanita yang kau inginkan,” lanjut Adeline pelan, dan lembut.

Asher membeku diam. Kata demi kata yang diucapkan oleh Adeline seperti peluru yang menancap jantung. Suara lembut, tetapi membuat jantungnya merasa nyeri. Entah dia tak mengerti kenapa.

Tak selang lama, taksi muncul, memasuki gerbang mansion. Penjaga di depan memberikan izin taksi masuk, karena sebelumnya Adeline yang meminta pada penjaga untuk membiarkan jika ada taksi masuk.

“Taksiku sudah datang.” Adeline tersenyum lembut, lalu menatap Asher dengan tatapan hangat. “Asher, aku pergi. Jaga dirimu dengan baik. Namamu tidak pernah lepas dari doa yang aku panjatkan.” Air mata Adeline berlinang lagi jatuh membasahi pipinya.

“Ah, aku hampir lupa. Cincin pernikahan belum aku lepas.” Wanita itu mulai melepaskan cincin pernikahan yang tersemat di jari manisnya, lalu memberikan pada Asher. “Jika kau ingin menyimpan cincin ini silakan. Tapi aku sarankan kau bisa menjual saja cincin ini, dan uangnya bisa kau berikan cincin baru untuk Talia. Cincin pernikahan kita dari berlian. Pasti harganya sangat mahal. Sampaikan salamku untuk Talia.”

Adeline menyeka air matanya, lalu dia masuk ke dalam taksi, dan meminta sang sopir untuk segera meninggalkan mansion itu. Tampak sorot mata Asher terus menatap taksi yang membawa Adeline.

Tubuh Asher membeku, perlahan di kala taksi mulai leyap dari pandangannya, tatapannya teralih pada cincin pernikahan Adeline yang ada di telapak tangannya. Tenggorokannya sejak tadi seakan tercekat—tak bisa sama sekali mengeluarkan kata.

Cincin itu selalu dipakai Adeline, kapan pun dan di momen apa pun. Tak pernah sekalipun wanita itu melepas cincin pernikahan itu. Namun sekarang, cincin pernikahan itu sudah dilepas bukan untuk sementara, melainkan untuk selamanya.

Adeline merelakan Asher mendapatkan kebahagiaan, dan harusnya si pria merasakan kebahagiaan dan kelegaan di kala Adeline begitu mudah menyetujui perpisahan. Akan tetapi, fakta yang ada adalah Asher merasa hatinya mulai gelisah.

Shit! Kau ini kenapa?” geram Asher pada dirinya sendiri, seraya meremas kuat cincin pernikahan yang ada di tangannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saat Aku Melepasmu   Bab 5. Berjuang Demi Kembar

    Keheningan membentang dari dalam mobil. Adeline duduk tenang di kursi penumpang, sedangkan Nora duduk di kursi kemudi. Musim semi, memberikan udara menyejukan, tetapi angin cukup kencang membuat beberapa pohon bergoyang-goyang.“Adeline, kenapa kau malah pulang duluan?” tanya Nora sambil melirik Adeline yang sejak diam.Pertanyaan Nora belum dijawab oleh Adeline. Lebih tepatnya, Adeline masih melamun, dengan pikiran yang entah ke mana.“Adeline?” panggil Nora sedikit keras.Adeline langsung membuyarkan lamunannya. “Hm? Kenapa Nora?” Nora menghela napas kasar. “Tadi aku tanya, kenapa kau malah pergi dari restoran lebih dulu? Tuan Lennox saja belum berpamitan. Tindakanmu tadi tidak sopan. Kau tahu itu?”Adeline terdiam mendengar teguran dari Nora. Jelas dia tahu bahwa tindakannya tadi sedikit kurang sopan. Harusnya dia menunggu paling tidak, sampai sang investor pergi. Namun, kali ini kasus amat berbeda. Sebab, sang investor adalah mantan suaminya sendiri.Adeline tak mungkin bercerit

  • Saat Aku Melepasmu   Bab 4. Orang yang Sama, Tapi Semua Berubah

    Adeline tak bergerak sedikit pun. Tubuhnya membeku dengan pancaran mata menunjukkan jelas rasa terkejut, panik, cemas, dan rindu yang tak bisa terucapkan. Dia bahkan sampai menggelengkan kepala pelan, meyakinkan bahwa apa yang dia lihat ini mimpi. Ruangan itu seakan benar-benar tak memiliki pasokan oksigen. Adeline bahkan kini merasa tak bisa bernapas. Terlalu sesak—membuat paru-parunya seakan penuh dengan kumpulan air. Oh, ini gila. Dia tak lagi bisa berpikir jernih.Pria yang ada di hadapan Adeline sangat jelas. Dia adalah pria yang memberikan luka amat dalam padanya. Namun, kenapa semesta mengajaknya bercanda dengan mempertemukannya kembali dengan pria yang sampai detik ini dirinya upayakan mati-matian untuk melupakan.Saat Adeline tenggelam akan pandangannya, pria itu jelas mulai menyadari kehadiran sosok Adeline. Tampak tatapan mata pria itu menyorot menatap Adeline penuh keterkejutan nyata. Ruangan itu cukup penuh dengan banyak orang, tetapi atmosfer—seakan menunjukkan di ruan

  • Saat Aku Melepasmu   Bab 3. Semesta Mengizinkan Pertemuan

    Paris, Prancis.Empat tahun berlalu ... Suara ketukan heels menuruni podium sedikit terdengar bercampur dengan suara tepuk tangan dan musik yang berdentum. Tampak seorang wanita cantik berambut cokelat panjang dan bergelombang memberikan senyuman terbaik, di kala baru saja mendapatkan sebuah pernghargaan dengan nominasi artis wanita pendatang baru terbaik.Paras cantiknya begitu menawan membuat semua tamu undangan seakan tersihir. Gaun pesta bewarna merah—begitu menyala memberikna kesan cantik, seksi, dan anggun. Piala di tangan membuat banyak orang kagum akan prestasi menjulang.Ya, dia adalah Adeline Hart. Berawal dua tahun lalu dari tak sengaja mengikuti casting mencari artis berbakat—membuat dirinya kini cukup dikenal. Roller coaster yang dia alami. Tak jarang dia mendapatkan banyak penolakan, karena logat Bahasa Prancis yang masih belum kental.Namun, Adeline wanita cantik berdarah Amerika itu, tetap berupaya keras memberikan yang terbaik. Terus berlatih bahasa. Terus mengikuti

  • Saat Aku Melepasmu   Bab 2. Resmi Berpisah

    Tangan Adeline bergetar di kala memegang surat cerai yang baru saja dia terima dari pengacara suaminya. Matanya sudah berkaca-kaca tak sanggup menahan air mata. Pasokan oksigen seakan mulai menipis akibat sesak yang ditimbulkan oleh rasa terkejut ini.Wanita itu tahu bahwa dia akan segera dikirim surat cerai, tetapi dia masih menganggap bahwa paling tidak dirinya memiliki sedikit waktu untuk bersama dengan Asher. Akan tetapi, fakta yang ada suaminya itu sudah tak sabar menceraikannya.Air mata jatuh membasahi pipi Adeline. Tampak jelas tatapannya menatap nanar kata demi kata yang tertulis di surat cerai. Pena yang kini dia pegang gemetar—akibat jemarinya yang merasakan keterkejutan luar biasa.Lidah tak bertulang itu sudah tak sanggup lagi menyusun kata, menciptakan sebuah suara. Hanya ada air mata yang tak henti berlinang jatuh membasahi pipinya. Ya, ini adalah patah hati luar biasa untuk Adeline.“Jika ini yang kau inginkan, aku akan menuruti keinginanmu, Asher,” bisik Adeline serak

  • Saat Aku Melepasmu   Bab 1. Awal dari Sebuah Perpisahan

    “Bisa kau jelaskan apa ini?”Adeline Hart memberikan sebuah foto di mana suami tercintanya sedang bersama dengan seorang wanita di dokter kandungan. Matanya sudah memerah, berkaca-kaca menunjukkan kepedihan. Dia mencoba meyakinkan bahwa itu mungkin hanya kesalahpahaman, tetapi entah hatinya tetap menjerit merasakan sakit luar biasa.Asher Lennox masih berdiri kokoh di depannya, dengan tatapan dingin dan ekspresi datar di balik wajah tampan serta arogan. Tak ada gejolak emosi yang tampak di sana, tetapi ketenangannya bagaikan ombak yang menyapu bersih pinggir pantai.“Dari mana kau dapat foto itu?” tanya Asher dengan nada dingin, tak acuh.Mata Adeline berkaca-kaca. “Ada paket yang berisikan foto-foto ini. Katakan padaku, siapa wanita yang bersama denganmu, Asher? Dan kenapa kalian ada di dokter kandungan?”Asher menatap dingin foto yang ditunjukkan oleh Adeline. “Itu Talia. Dia sedang hamil,” jawabnya singkat, tanpa memikirkan perasaan Adeline.Jantung Adeline bagaikan telah ditikam o

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status